Radjiman Wedyodiningrat. Wikipedia
TEMPO.CO, Jakarta - Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat adalah anak Sutrodono yang merupakan pensiunan kopral yang jadi centeng di Pecinan Yogyakarta. Sementara itu ibunya berasal dari Gorontalo. Radjiman kecil lulus dari sekolah dasar elite untuk anak bumiputera, yakni Europeesche Lagere School (ELS) pada 27 April 1893 di Yogyakarta. Selanjutnya ia melanjutkan belajar ke sekolah dokter Jawa atau School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) dan lulus pada 22 Desember 1898. Dilansir dari repositori.kemdikbud. go.id riwayat pendidikan Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat sangat dipengaruhi oleh dokter Wahidin Sudirohusodo yang merupakan suami bibinya. Selama menempuh pendidikan di sekolah kedokteran, dokter Wahidin Sudirohusodo tiada henti-hentinya memberikan pertolongan kepada Radjiman untuk bisa menyelesaikan kuliahnya dan akhirnya lulus dari STOVIA. Setelah itu, selama menjadi dokter Radjiman Wedyoningrat pernah bertugas memberantas penyakit pes di Purworejo dan Banyumas, ia kemudian bertugas di Rumah Sakit Jiwa Lawang dan Rumah Sakit Sragen. Tidak lama kemudian, Radjiman pernah diminta untuk menjadi dokter pribadi di Keraton Susuhunan Surakarta. Lalu, pada 1909, ia memutuskan untuk pergi ke Belanda melanjutkan pendidikan serta memperdalam ilmu kedokteran. Di sana, Radjiman Wedyoningrat hanya membutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan kuliahnya. Setelah pulang dari Belanda, Radjiman Wedyoningrat tercatat pernah menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) pada tahun 1918 sampai 1921. Ia juga terlibat aktif dalam pendirian Partai Indonesia Raya (Parindra) yang didirikan pada tahun 1935 di Surakarta oleh Dr Soetomo dan kawan-kawan. Dalam sejarah Negara Indonesia, peran penting dri sosok Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat adalah ia pernah menjadi Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan inilah yang kemudian merancang cikal bakal terciptanya konstitusi Negara Indonesia yang saat ini dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar 1945. Sementara itu ketika proklamasi kemerdekaan sudah terlaksana, karir politik Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat terus berlanjut. Ia pernah diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hingga akhirnya pada 20 September 1952 Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat mengembuskan napas terakhirnya, di Ngawi, Jawa Timur, pada 20 September 1952 pada usia 73 tahun. PRIMANDA ANDI AKBAR Baca: Tiga Tokoh Diberi Gelar Pahlawan Nasional
Lihat Foto KOMPAS.com - Radjiman Wedyodiningrat merupakan seorang dokter dan salah satu tokoh pendiri Republik Indonesia. Ia pernah tergabung menjadi anggota Budi Utomo dan pada 1945 terpilih untuk memimpin (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) BPUPKI. Baca juga: Budi Utomo: Pembentukan, Perkembangan, Tujuan, dan Akhir Asal UsulRadjiman lahir di Yogyakarta, 21 April 1879 yang memiliki darah Gorontalo dari sang ibu. Ia pernah bersekolah di Batavia yang dibiayai oleh pamannya, Wahidin Soedirohoesodo. Pada awal ia menjalani pendidikannya, Radjiman hanya mendengarkan pelajaran di bawah jendela kelas saat mengantarkan putra dari pamannya ke sekolah. Sampai akhirnya, guru Belanda merasa kasihan kepada Radjiman, sehingga ia diminta untuk mengikuti pelajaran di dalam kelas sampai ia berusia 20 tahun. Di usia yang masih terbilang muda, Radjiman berhasil meraih gelar dokter dan pada usia 24 tahun, Radjiman mendapat gelar Master of Art. Tidak hanya di dalam negeri, Radjiman sempat menempuh pendidikan di Belanda, Prancis, Inggris, dan Amerika. Salah satu alasan yang mendorong Radjiman untuk belajar ilmu kedokteran yaitu karena rasa prihatin yang ia rasakan ketika melihat masyarakat Ngawi saat itu dilanda penyakit pes. Ia juga secara khusus belajar ilmu kandungan, karena saat itu banyak ibu-ibu yang meninggal karena melahirkan.
Dokter dan tokoh pergerakan Indonesia yang berperan penting pada masa awal kelahiran Republik Indonesia. Pada akhir Mei 1945, dengan terbentuknya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atas inisiatif Jepang, ia menjadi ketuanya. Lahir di Yogyakarta tanggal 21 April 1876, putera Ki Sutodrono, ibunya seorang keturunan Gorontalo. Setamat ELS tahun 1893 ia melanjutkan pendidikan dalam bidang kedokteran sampai mencapai gelar "dokter Jawa" (1898). Setelah itu, ia mengabdi sebagai dokter di Banyumas Purworejo, dan Semarang. Belum puas dengan gelar dokter Jawa, ia melanjutkan ke STOVIA di Jakarta sampai meraih gelar Indisch Art (dokter pribumi) tahun 1904. Setelah bekerja di Lawang, Jawa Timur, pada tahun 1906 ia melanjutkan ke Sekolah Dokter Tinggi, Amsterdam, sampai meraih gelar Arts (dokter) tahun 1910. Dengan keberhasilan ini, ia mencapai kedudukan yang sejajar dengan para dokter bangsa Belanda. Ia termasuk salah seorang tokoh pergerakan yang utama dan anggota Boedi Oetome sejak berdirinya organisasi itu (1908) dan tetap menjadi anggotanya setelah berubah menjadi Partai Indonesia Raya (akhir 1935). Pada tahun 1918 ia menjadi salah seorang anggota pertama Volksraad (Dewan Rakyat) bentukan pemerintah Hindia Belanda dan duduk selama beberapa periode hingga tahun 1931. Pada masa kemunculan berbagai studie club pada tahun 1925-an, sebagai anggota salah satu perkumpulan itu, ia memimpin penerbitan majalah tengah bulanan Timbul (1926-1930). Di majalah ini ia banyak menulis, terutama mengenai kesenian Jawa dan Kawruh Jawa. Pada zaman pendudukan Jepang ia duduk sebagai anggota Syu Sangi-Kai (Dewan Pertimbangan Daerah) Madiun dan kemudian ditarik ke pusat menjadi anggota Chua Sangi-Kai (Dewan Pertimbangan Pusat) dengan sebutan Gi-in atau anggota (1943). Setelah Poetera (poesat Tenaga Rakjat) terbentuk, ia pun duduk dalam Majelis Pertimbangan. Situasi di tanah air berkembang cepat. Setelah terdesak dalam medan pertempuran di pasifik, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKl) di Jawa pada akhir Mei 1945 dan menunjuk Dr.Radjiman sebagai ketuanya. Beberapa waktu kemudian dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan atau Dokuritsu Zyunbi Inkai dengan Ketua Ir.Soekarno dan wakil Drs.Mohammad Hatta, sedangkan Dr.Radjiman duduk sebagai salah seorang anggota. Pada awal kemerdekaan, ia menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan kemudian anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia. Dalam perkembangannya, seluruh badan perwakilan, baik yang didirikan RI maupun Belanda digabung dalam DPR-RI. Sebagai anggota tertua, mendapat kehormatan memimpin rapat pertama lembaga itu. Pada tahun 1950-1952 menjadi anggota DPR di Jakarta. Walaupun telah berusia lanjut, pikirannya masih jernih sehingga diangkat sebagai Sesepuh. Akhirnya pada tanggal 20 September 1952 Radjiman wafat di Walikukum, Ngawi Jawa Timur. Jenazahnya dimakamkan di Desa Mlati, Sleman Yogyakarta, berdekatan dengan makam Dr.Wahidin Sudiro Husodo yang telah membesarkannya. WAKILNYA di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), RP Soeroso, mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 1986. Sementara sang ketua, KRT Radjiman Wedyodiningrat, baru tahun ini mendapat gelar tersebut. “Peranannya yang terpenting sebagai ketua BPUPKI adalah memberikan arah pada seluruh wacana penyusunan dasar negara, dalam arti menyetujui atau menolak usul-usul anggota,” tulis Saafroedin Bahar, “Sumbangan Daerah dalam Proses Nation Building”, termuat dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional karya Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi. Radjiman Wedyodiningrat lahir di Yogyakarta pada 21 April 1879 dari keluarga biasa. Selagi masih kecil, dia sudah kehilangan orangtuanya. Prihatin dengan nasibnya, Dr. Wahidin Soedirohoesodo menolong pemuda berbakat dan penuh cita-cita itu untuk memperoleh pengajaran yang baik. Baca juga: Ketika dokter menjadi pekerjaan paling buruk di dunia Menurut A.G. Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum, Radjiman lulus dari Sekolah Dokter Bumiputera (Stovia) sebagai “dokter jiwa” pada 1898. Setelah beberapa tahun bekerja di Banyumas, Purworejo, Semarang, dan Madiun, dia meneruskan pendidikannya dan menjadi asisten di Stovia sampai lulus sebagai Indisch Arts. Dia kemudian bekerja di Sragen, menjadi asisten dokter istana Kasunanan Surakarta, dan dokter rumahsakit jiwa Lawang Jawa Timur –namanya kemudian dilekatkan pada rumahsakit tersebut: Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat. “Pada Oktober 1909 ia tiba di Negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan sebagai dokter dan untuk mengkhitan putra-putra Susuhunan,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Penjajah 1600-1950. Dia lulus dengan “hasil cemerlang” dan bergelar Arts. “Dengan demikian kedudukan dokter Radjiman setaraf dengan dokter-dokter lulusan Universitas bangsa Belanda,” tulis Pringgodigdo, “suatu hal yang waktu itu tidak mudah dicapai oleh seorang anak pribumi, jika tidak sungguh-sungguh cemerlang kecakapan dan kepandaiannya.” Baca juga: Achmad Mochtar, martir dunia kedokteran Indonesia Radjiman menjadi orang Indonesia kedua, setelah W.K. Tehupeiory, yang berceramah di Indisch Genootschap (Indies Institute) pada Februari 1911. Dalam ceramahnya, dia memberikan jawaban atas pertanyaan “apakah orang Jawa dapat menerima pencerahan lebih lanjut.” Pidato Radjiman, yang dilengkapi cuplikan dari buku-buku psikologi, diterima dengan penuh pujian. Selain di Belanda, Radjiman memperdalam keahliannya di Berlin dan Paris. “Wedyodiningrat menjadi dokter ahli bedah, ahli ilmu bersalin, dan ahli penyakit kandungan,” tulis Pringgodigdo. Sepulang dari Belanda pada pertengahan 1911, Radjiman menjadi dokter istana Kasunanan Surakarta yang pertama di Solo. Selain itu, dia kembali aktif di Boedi Oetomo sebagai wakil ketua, menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat), dan memimpin majalah tengah bulanan Timboel. Pada masa pendudukan Jepang, Radjiman menduduki jabatan-jabatan prestius tapi yang terpenting adalah ketua BPUPKI. “Apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” adalah pertanyaan yang diajukannya dalam sidang BPUPKI yang kemudian dijawab Sukarno dengan uraian mengenai Pancasila. Radjiman Wedyodiningrat wafat pada 20 September 1952. Jenazahnya dikebumikan di Desa Melati, Sleman, Yogyakarta, tempat peristirahatan terakhir bapak angkatnya, Wahidin Soedirohusodo. |