Indonesia dan Belanda sepakat akan membentuk Uni yang diketuai oleh

Ilustrasi tempat perundingan dari Perjanjian Linggarjati. Sumbre: Kumparan

Perjanjian Linggarjati merupakan salah satu kesepakatan bersejarah yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dan Belanda yang berlangsung pada tanggal 11-15 Desember 1946. Sesuai dengan namanya, kesepakantan ini berlangsung di wilayah Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.

Perjanjian Linggarjati sendiri dilakukan sebagai upaya Indonesia untuk meminta pemerintah Belanda mengakui kedaulatan wilayah RI. Pada kesepakatan tersebut, pemerintah Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir sebagai pimpinannya, beserta Mr. Mohamad Roem, Mr. Susanto Tirtopojo, dan Dr. AK Gani sebagai anggota. Sedangkan pihak belanda mengirimkan Prof. Schermerhorn, Van Poel, de boer dan Van Mook sebagai pimpinannya.

Isi Kesepakatan dalam Perjanjian Linggarjati

Berikut isi kesepakan perjanjian Linggarjati yang dikutip lewat buku Sejarah Nasional dan Sejaran Umum, Penerbit Angkasa (1995):

  1. Belanda mengakui secara de facto atas wilayah Jawa, Sumatera dan Madura

  2. Pemerintah Belanda dan Indonesia sepakat membentuk RIS atau Republik Indonesia Serikat pada 1 Januari 1949

  3. Republik Indonesia Serikat dan Belanda membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan pesertanya RIS, Nederland, Suriname Curacao dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya

Meskipun isi perjanjian tersebut sangat merugikan pihak RI, namun Sutan Syahrir selaku pemimpin kabinet tetap menyetujui kesepakan tersebut dan menandatanganinya pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka).

Sayangnya tak berselang lama, pemerintah Belanda mengingkari perjanjian tersebut dan berusaha menyerang Indonesia pada 21 Juli 1947 dalam Agresi Militer Belanda I. Setelah terjadinya konflik yang memanas antara pemerintah Belanda dan Indonesia tersebut, akhirnya diputuskanlah penyelenggaran Perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948.

Sekarang kamu sudah tahu apa saja isi/poin penting dalam Perjanjian Linggarjati bukan? Semoga ulasan tadi bisa bermanfaat untuk menambah wawasanmu tentang perjuangan sejarah Republik Indonesia untuk mendapatkan kedaulatan dan kemerdekaan. (HAI)

Jakarta -

Perjanjian atau perundingan Roem-Royen adalah upaya diplomasi Indonesia untuk membebaskan diri dari Belanda. Perundingan ini dilaksanakan pada 7 Mei 1948.


Perundingan tersebut merupakan buntut dari Belanda yang secara sepihak tidak terikat lagi dengan perjanjian Renville. Kemudian pada Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer II di Ibu Kota Indonesia saat itu yakni Yogyakarta.


Dikutip dari laman resmi Kemdikbud, Belanda menyadari bahwa Agresi Militer yang dilakukannya tidak memberikan manfaat dan justru menjadikan perlawanan rakyat Indonesia semakin meluas.


Selain itu, dunia internasional melakukan tekanan kepada Belanda. Maka, tidak ada jalan lain selain mengikuti anjuran PBB untuk kembali ke meja perundingan.


Perundingan Roem Royen diadakan di Hotel Des Indes Jakarta dan dipimpin oleh Merle Cochran, delegasi RI diwakili oleh Mr. Muhammad Roem dan Belanda diketuai oleh Dr. JH. Van Royen.


Perundingan berakhir pada 7 Mei 1949 dengan hasil: pemerintah RI termasuk para pemimpin yang ditawan akan dikembalikan ke Yogyakarta dan kedua pihak sepakat untuk melaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.


Keikutsertaan pemerintah RI dalam perundingan selanjutnya bukan tanpa syarat. Pihak pemerintah RI menuntut agar Tentara Belanda ditarik dari wilayah Yogyakarta. Akhirnya Belanda menerima persyaratan tersebut.


Pada 2 Juni 1949 pengosongan wilayah Yogyakarta dimulai di bawah pengawasan UNCI (United Nations Commissioner for Indonesia).

Pada perundingan Roem Royen Indonesia dan Belanda menyatakan bahwa...

Adapun isi dari perundingan Roem-Royen atau dikenal dengan "Roem-Royem Statements" adalah sebagai berikut.


Ketua Delegasi Indonesia, Mr. Roem menyatakan bahwa:


1) Pengeluaran perintah kepada pengikut-pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya


2) Kerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan; dan turut serta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.


Sementara itu, dalam perundingan tersebut, Belanda menyatakan bahwa:


1) Menyetujui kembalinya Pemerintah RI ke Yogyakarta


2) Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik


3) Tidak akan mendirikan atau mengakui Negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai RI sebelum 19 Desember 1949, dan tidak akan meluaskan Negara atau daerah dengan merugikan Republik


4) Menyetujui adanya RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat


5) Berusaha dengan sesungguh-sungguhnya supaya KMB segera diadakan sesudah Pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.


Jadi, pada perundingan Roem Royen Indonesia dan Belanda menyatakan bahwa akan mengembalikan perdamaian dengan menghentikan gencatan senjata hingga kembalinya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta, ya detikers!

Simak Video "Atlet Merah Putih, Waktunya Kembali Bangkit Mengukir Prestasi"



(faz/faz)

Liputan6.com, Jakarta - Setelah menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia masih menjadi incaran Belanda untuk kembali dikuasi. Pasca proklamasi, pasukan Belanda yang tergabung dalam NICA (Netherlands-Indies Civiele Administration) kembali ke Tanah Air dengan membonceng pasukan Sekutu.

Untuk mempertahankan kemerdekaan, genjatan senjata hingga berbagai diplomasi pun dilakukan. Salah satunya yakni melalui Perjanjian Linggarjati.

Sebelum kesepakatan digelar di salah satu wilayah di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat itu, Indonesia dan Belanda sudah beberapa kali melakukan pertemuan. Namun seringkali tidak mencapai titik temu.

Rushdy Hoesein dalam bukunya Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati menyatakan, perundingan di luar negeri pertama antara Indonesia dengan Belanda setelah merdeka diagendakan di Hoge Veluwe 14 April 1946. Namun agenda itu dianggap gagal dan tidak mencapai kesepakatan.

Setelah itu, perundingan antara kedua negara ini sempat terhenti beberapa bulan. Kemudian peluang kembali muncul saat pemerintah Inggris sebagai penanggung jawab penyelesaian konflik politik dan militer di Asia mendesak agar Indonesia dan Belanda kembali melakukan perundingan.

Tanggal 7 Oktober 1946, dibuka perundingan di Konsulat Jenderal Inggris Jakarta. Saat itu perundingan dipimpin oleh Lord Killearn.

Sedangkan Ketua delegasi RI adalah Sutan Sjahrir dan delegasi Belanda Schermerhorn. Dalam perundingan itu menghasilkan persetujuan gencatan senjata pada 14 Oktober 1946 hingga puncaknya 10 November 1946.

Lalu dilanjutkan dengan perundingan yang terjadi pada 11-14 November 1946 di Desa Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Berdasarkan laporan Tempo (9 Maret 2009), lokasi tersebut merupakan usulan dari Menteri Sosial kala itu, Maria Ulfa yang saat itu merupakan orang terdekat Sjahrir. Ayah Maria pernah menjabat sebagai Bupati Kuningan.

Kemudian secara kebetulan Bupati Cirebon, yang kala itu dipegang Makmun Sumadipradja merupakan sahabat Sjahrir. Perundingan yang berlangsung beberapa hari itu berlangsung alot, sebab terdapat 17 pasal yang dibahas.

Setelah perjanjian disepakati, kedua delegasi membawa rencana persetujuan ke masing-masing parlemen untuk disahkan. Republik Indonesia mengesahkan Perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947.

Dalam Perundingan Linggarjati tersebut secara de facto Belanda mengakui eksistensi negara Republik Indonesia. Namun, hanya tiga wilayah Indonesia yang diakui, di antaranya Sumatera, Jawa, dan Madura.

Lalu, yang kedua Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam bentuk negara Indonesia Serikat, salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.

Selanjutnya Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.