Ilmu dasar yang sanggup dijadikan jembatan untuk menciptakan komunikasi antara mesin dengan manusia

Ilustrasi komunikasi antara guru dengan murid (Sumber: harmowwwnycounsellings)

"Melihat jam, saya yakin pasti akan terlambat sampai di sekolah". Saya ingat hari itu jadwal beliau (seorang guru) piket. Ah, daripada emosi mendengar kata-katanya, saya putuskan menunggu di luar sampai jam piket berakhir".

"Itu sebabnya saya sampai di sekolah sudah lumayan siang". Begitulah jawaban seorang siswa ketika saya bertanya, "Mengapa kemarin kamu tiba di sekolah hampir jam 10 pagi?".

Sebagai guru, pimpinan, atau mungkin orangtua. Kita mestinya terkadang memberi teguran pada siswa, bawahan, atau anak-anak kita. Hal yang wajar tentunya. 

Tetapi kita perlu bertanya, apakah kata-kata yang kita gunakan sudah tepat? 

Kata-kata tepat yang dimaksud bukanlah soal kalimat yang dinilai memenuhi kaidah EYD, apalagi tata bahasa Indonesia yang baik. 

Melainkan bagaimana kalimat teguran tersebut disampaikan dengan memperhitungkan perasaan orang yang bersangkutan, tidak memberi label, membuka kemungkinan memberi jawaban, memberi alternatif, memberi pemahaman, dan juga secara jujur mengungkapkan pikiran, perasaan, serta tujuan kita. 

Terkadang karena merasa "posisi" lebih tinggi, jadinya seenaknya saja menegur. Apalagi yang ditegur levelnya di "bawah", sehingga kata-katanya "sekenanya" saja. Atau bisa jadi lawan bicara kita sesama rekan kerja, teman, atau pasangan. 

Sayangnya, kata-kata yang digunakan kurang dipilih dengan baik sehingga tanpa sadar menimbulkan rasa tersinggung pada yang bersangkutan.

Rasa tersinggung sering tidak ditunjukkan apa adanya, bisa jadi dengan menghindar

Sebuah fakta, ada orang yang menghindari komunikasi dengan seseorang, karena kata-katanya membuat kurang nyaman. Memancing emosi, senang menyalahkan, bahkan menghakimi. Jujur saja zaman dahulu, saya memiliki pimpinan yang punya model seperti ini. 

Jangankan mengobrol, ketika beliau memasuki ruangan, kami sudah merasakan situasi tak nyaman. Bagaimana mungkin merasa nyaman kalau ada orang yang dengan enteng mengatakan, "kamu goblok" atau " kamu bodoh" di depan orang banyak?


Page 2

"Melihat jam, saya yakin pasti akan terlambat sampai di sekolah". Saya ingat hari itu jadwal beliau (seorang guru) piket. Ah, daripada emosi mendengar kata-katanya, saya putuskan menunggu di luar sampai jam piket berakhir".

"Itu sebabnya saya sampai di sekolah sudah lumayan siang". Begitulah jawaban seorang siswa ketika saya bertanya, "Mengapa kemarin kamu tiba di sekolah hampir jam 10 pagi?".

Sebagai guru, pimpinan, atau mungkin orangtua. Kita mestinya terkadang memberi teguran pada siswa, bawahan, atau anak-anak kita. Hal yang wajar tentunya. 

Tetapi kita perlu bertanya, apakah kata-kata yang kita gunakan sudah tepat? 

Kata-kata tepat yang dimaksud bukanlah soal kalimat yang dinilai memenuhi kaidah EYD, apalagi tata bahasa Indonesia yang baik. 

Melainkan bagaimana kalimat teguran tersebut disampaikan dengan memperhitungkan perasaan orang yang bersangkutan, tidak memberi label, membuka kemungkinan memberi jawaban, memberi alternatif, memberi pemahaman, dan juga secara jujur mengungkapkan pikiran, perasaan, serta tujuan kita. 

Terkadang karena merasa "posisi" lebih tinggi, jadinya seenaknya saja menegur. Apalagi yang ditegur levelnya di "bawah", sehingga kata-katanya "sekenanya" saja. Atau bisa jadi lawan bicara kita sesama rekan kerja, teman, atau pasangan. 

Sayangnya, kata-kata yang digunakan kurang dipilih dengan baik sehingga tanpa sadar menimbulkan rasa tersinggung pada yang bersangkutan.

Rasa tersinggung sering tidak ditunjukkan apa adanya, bisa jadi dengan menghindar

Sebuah fakta, ada orang yang menghindari komunikasi dengan seseorang, karena kata-katanya membuat kurang nyaman. Memancing emosi, senang menyalahkan, bahkan menghakimi. Jujur saja zaman dahulu, saya memiliki pimpinan yang punya model seperti ini. 

Jangankan mengobrol, ketika beliau memasuki ruangan, kami sudah merasakan situasi tak nyaman. Bagaimana mungkin merasa nyaman kalau ada orang yang dengan enteng mengatakan, "kamu goblok" atau " kamu bodoh" di depan orang banyak?


Ilmu dasar yang sanggup dijadikan jembatan untuk menciptakan komunikasi antara mesin dengan manusia

Lihat Humaniora Selengkapnya


Page 3

"Melihat jam, saya yakin pasti akan terlambat sampai di sekolah". Saya ingat hari itu jadwal beliau (seorang guru) piket. Ah, daripada emosi mendengar kata-katanya, saya putuskan menunggu di luar sampai jam piket berakhir".

"Itu sebabnya saya sampai di sekolah sudah lumayan siang". Begitulah jawaban seorang siswa ketika saya bertanya, "Mengapa kemarin kamu tiba di sekolah hampir jam 10 pagi?".

Sebagai guru, pimpinan, atau mungkin orangtua. Kita mestinya terkadang memberi teguran pada siswa, bawahan, atau anak-anak kita. Hal yang wajar tentunya. 

Tetapi kita perlu bertanya, apakah kata-kata yang kita gunakan sudah tepat? 

Kata-kata tepat yang dimaksud bukanlah soal kalimat yang dinilai memenuhi kaidah EYD, apalagi tata bahasa Indonesia yang baik. 

Melainkan bagaimana kalimat teguran tersebut disampaikan dengan memperhitungkan perasaan orang yang bersangkutan, tidak memberi label, membuka kemungkinan memberi jawaban, memberi alternatif, memberi pemahaman, dan juga secara jujur mengungkapkan pikiran, perasaan, serta tujuan kita. 

Terkadang karena merasa "posisi" lebih tinggi, jadinya seenaknya saja menegur. Apalagi yang ditegur levelnya di "bawah", sehingga kata-katanya "sekenanya" saja. Atau bisa jadi lawan bicara kita sesama rekan kerja, teman, atau pasangan. 

Sayangnya, kata-kata yang digunakan kurang dipilih dengan baik sehingga tanpa sadar menimbulkan rasa tersinggung pada yang bersangkutan.

Rasa tersinggung sering tidak ditunjukkan apa adanya, bisa jadi dengan menghindar

Sebuah fakta, ada orang yang menghindari komunikasi dengan seseorang, karena kata-katanya membuat kurang nyaman. Memancing emosi, senang menyalahkan, bahkan menghakimi. Jujur saja zaman dahulu, saya memiliki pimpinan yang punya model seperti ini. 

Jangankan mengobrol, ketika beliau memasuki ruangan, kami sudah merasakan situasi tak nyaman. Bagaimana mungkin merasa nyaman kalau ada orang yang dengan enteng mengatakan, "kamu goblok" atau " kamu bodoh" di depan orang banyak?


Ilmu dasar yang sanggup dijadikan jembatan untuk menciptakan komunikasi antara mesin dengan manusia

Lihat Humaniora Selengkapnya


Page 4

"Melihat jam, saya yakin pasti akan terlambat sampai di sekolah". Saya ingat hari itu jadwal beliau (seorang guru) piket. Ah, daripada emosi mendengar kata-katanya, saya putuskan menunggu di luar sampai jam piket berakhir".

"Itu sebabnya saya sampai di sekolah sudah lumayan siang". Begitulah jawaban seorang siswa ketika saya bertanya, "Mengapa kemarin kamu tiba di sekolah hampir jam 10 pagi?".

Sebagai guru, pimpinan, atau mungkin orangtua. Kita mestinya terkadang memberi teguran pada siswa, bawahan, atau anak-anak kita. Hal yang wajar tentunya. 

Tetapi kita perlu bertanya, apakah kata-kata yang kita gunakan sudah tepat? 

Kata-kata tepat yang dimaksud bukanlah soal kalimat yang dinilai memenuhi kaidah EYD, apalagi tata bahasa Indonesia yang baik. 

Melainkan bagaimana kalimat teguran tersebut disampaikan dengan memperhitungkan perasaan orang yang bersangkutan, tidak memberi label, membuka kemungkinan memberi jawaban, memberi alternatif, memberi pemahaman, dan juga secara jujur mengungkapkan pikiran, perasaan, serta tujuan kita. 

Terkadang karena merasa "posisi" lebih tinggi, jadinya seenaknya saja menegur. Apalagi yang ditegur levelnya di "bawah", sehingga kata-katanya "sekenanya" saja. Atau bisa jadi lawan bicara kita sesama rekan kerja, teman, atau pasangan. 

Sayangnya, kata-kata yang digunakan kurang dipilih dengan baik sehingga tanpa sadar menimbulkan rasa tersinggung pada yang bersangkutan.

Rasa tersinggung sering tidak ditunjukkan apa adanya, bisa jadi dengan menghindar

Sebuah fakta, ada orang yang menghindari komunikasi dengan seseorang, karena kata-katanya membuat kurang nyaman. Memancing emosi, senang menyalahkan, bahkan menghakimi. Jujur saja zaman dahulu, saya memiliki pimpinan yang punya model seperti ini. 

Jangankan mengobrol, ketika beliau memasuki ruangan, kami sudah merasakan situasi tak nyaman. Bagaimana mungkin merasa nyaman kalau ada orang yang dengan enteng mengatakan, "kamu goblok" atau " kamu bodoh" di depan orang banyak?


Ilmu dasar yang sanggup dijadikan jembatan untuk menciptakan komunikasi antara mesin dengan manusia

Lihat Humaniora Selengkapnya


Page 5

"Melihat jam, saya yakin pasti akan terlambat sampai di sekolah". Saya ingat hari itu jadwal beliau (seorang guru) piket. Ah, daripada emosi mendengar kata-katanya, saya putuskan menunggu di luar sampai jam piket berakhir".

"Itu sebabnya saya sampai di sekolah sudah lumayan siang". Begitulah jawaban seorang siswa ketika saya bertanya, "Mengapa kemarin kamu tiba di sekolah hampir jam 10 pagi?".

Sebagai guru, pimpinan, atau mungkin orangtua. Kita mestinya terkadang memberi teguran pada siswa, bawahan, atau anak-anak kita. Hal yang wajar tentunya. 

Tetapi kita perlu bertanya, apakah kata-kata yang kita gunakan sudah tepat? 

Kata-kata tepat yang dimaksud bukanlah soal kalimat yang dinilai memenuhi kaidah EYD, apalagi tata bahasa Indonesia yang baik. 

Melainkan bagaimana kalimat teguran tersebut disampaikan dengan memperhitungkan perasaan orang yang bersangkutan, tidak memberi label, membuka kemungkinan memberi jawaban, memberi alternatif, memberi pemahaman, dan juga secara jujur mengungkapkan pikiran, perasaan, serta tujuan kita. 

Terkadang karena merasa "posisi" lebih tinggi, jadinya seenaknya saja menegur. Apalagi yang ditegur levelnya di "bawah", sehingga kata-katanya "sekenanya" saja. Atau bisa jadi lawan bicara kita sesama rekan kerja, teman, atau pasangan. 

Sayangnya, kata-kata yang digunakan kurang dipilih dengan baik sehingga tanpa sadar menimbulkan rasa tersinggung pada yang bersangkutan.

Rasa tersinggung sering tidak ditunjukkan apa adanya, bisa jadi dengan menghindar

Sebuah fakta, ada orang yang menghindari komunikasi dengan seseorang, karena kata-katanya membuat kurang nyaman. Memancing emosi, senang menyalahkan, bahkan menghakimi. Jujur saja zaman dahulu, saya memiliki pimpinan yang punya model seperti ini. 

Jangankan mengobrol, ketika beliau memasuki ruangan, kami sudah merasakan situasi tak nyaman. Bagaimana mungkin merasa nyaman kalau ada orang yang dengan enteng mengatakan, "kamu goblok" atau " kamu bodoh" di depan orang banyak?


Ilmu dasar yang sanggup dijadikan jembatan untuk menciptakan komunikasi antara mesin dengan manusia

Lihat Humaniora Selengkapnya