Hukum mengembalikan barang yang sudah dibeli dalam Islam

Hukum mengembalikan barang yang sudah dibeli dalam Islam

Sering Belanja dan Temukan Kalimat Berikut?

“Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan.”

Biasanya tertulis di bon atau struk belanja dari toko atau pedagang.

Pesan itu seakan menjadi harga mati yang tak bisa ditawar konsumen. Padahal, tak jarang, barang yang sudah dibeli tersebut ternyata cacat.

Sebenarnya, bolehkah konsumen mengembalikan barang cacat yang didapat kepada si pedagang? Bagaimana dasar hukumnya?

Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Widodo mengatakan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebenarnya sudah mengatur kesetaraan antara si pedagang dan si pembeli.

Salah satunya ada pada pasal 18 beleid tersebut.

“Kalau di bon ada tulisan ‘barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan’ sebetulnya itu pedagang sudah melanggar Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Kalau barang cacat, harus dong dikembalikan,” kata Widodo dalam Sinergitas Peningkatan Pemahaman Ketentuan Perlindungan Konsumen, Pengawasan Barang, dan Penegakan Hukum, di Plaza Kenari Mas, Jakarta, Selasa (27/10/2015).

Dia mengatakan, bukan tidak mungkin barang dan atau jasa yang diterima konsumen ternyata cacat atau rusak. Pada kondisi ini, konsumen berhak mengembalikan barang kepada pedagang atau toko yang menjual.

Merujuk Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen atau perjanjian.

Pada Pasal 18 ayat (1) poin c tertulis bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang menyatakan bahwa mereka berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli konsumen.

“Setiap klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum,” demikian bunyi Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen.

Salah satu syarat dalam Jual-Beli menurut Islam adalah adanya saling ridha antara penjual dan pembeli,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka (saling ridha) di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisaa : 29)

Dari Abu Said al-Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Jual beli harus dilakukan saling ridha.” (Hr. Ibn Majah, Ibn Hibban dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Para ulama menyebutkan, rukun saling ridha ada 2:

[1] Ilmu (mengetahui dan menyadari) dan

[2] al-ikhtiyar (tidak ada paksaan).

Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah,

Unsur paksaan, menggugurkan ridha.

(Mudzakarah Qawaid fi al-Buyu’, Dr. Sulaiman ar-Ruhaili, hlm 117).

Kemudian, dalam Islam ada HAK KHIYAR

Khiyar secara bahasa diambil dari kata ikhtiyar [الاختيار ] yang artinya memilih.

Secara istilah, khiyar dalam akad jual beli berarti hak orang yang akad untuk memilih antara melanjutkan akad atau membatalkannya. (Fiqh Sunah, 3/109)

Khiyar mendapatkan porsi pembahasan khusus dalam fiqh jual beli, mengingat ini bagian penting dalam jual beli. Ada banyak macam khiyar, dan secara umum bisa kita kelompokkan menjadi 4 (dibahas pada topik yang terpisah).Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

امْبَيِّ عَانَِّّ بَِّّمْخِّيَارَِّّ مََّا مََّمَّْ يََّتَفَ ركَا

“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar, selama tidak berpisah.” (HR. Bukhari & Muslim)

Tujuan besar khiyar adalah menjaga hak penjual dan konsumen, tidak ada istilah menyesal, benar-benar atas kerelaan pribadi, sehingga bisa dipastikan, jual beli ini benar-benar saling ridha. (Mukadimah fi Mu’amalah Maliyah, Dr. Yusuf as-Syubili, hlm. 8)

Dan yang membedakan kenapa, Jual Beli dalam Islam bukan sekadar untung dan rugi saja, namun juga surga dan neraka, karena dalam Islam juga terdapat IQALAAH

Apa itu iqaalah? Iqaalah adalah membatalkan akad jual beli yang telah terjadi karena sesuatu sebab.

Dari Abu Hurairah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

“Barangsiapa yang meng-iqaalahkah (menerima pembatalan akad pembelian) seorang muslim, niscaya Allah akan mengampunkan kesalahannya pada hari kiamat.”

(HR. Abu Dawud no.3460, Ibnu Majah no.2199, Ahmad 2/252, dan khatib al Baghdadi didalam kitab Tarikh al Baghdad 8/196).

Jika seorang istri yang diberikan uang belanja oleh suami, ketika masuk pasar atau pusat perbelanjaan, kemudian uang tersebut dibelikan sesuatu dengan ‘gelap mata’, kemudian sesampainya dirumah, suami tidak ridha, dan meminta dikembalikan. Maka ketika istrinya mengembalikan (meminta iqaalah) kepada penjual tersebut, karena menyesal dan suami tidak ridha, maka jika diterima oleh penjual tersebut, sesuai hadits di atas “niscaya Allah akan mengampunkan kesalahannya pada hari kiamat.”

Masih berani pasang tulisan “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan.”?

Jangan Cari Kekayaan, Carilah Keberkahan

http://sekolahmuamalah.com

Pertanyaan:

Assalamualaikum, Saya mau tanya, bagaimana hukumnya mengembalikan barang yang sudah dibeli. padahal tidak ada cacat apapun pada barang tersebut. Dan pengembaliannya dilakukan dihari berikutnya. Terima kasih atas jawabannya. Wassalamualaikum.

-- Basyirin (Cirebon)

Jawaban:


Wa’alaikumussalaam wrwb.

Apabila rukun dan syarat jual beli telah terpenuhi, maka akadnya menjadi sah secara syar’i dan tidak diperkenankan untuk dibatalkan oleh salah satu fihak (  pembeli  atau  penjual  ) ,   kecuali  dalam  tiga  kondisi  yang  disebut  dengan  الخيارات  المشروعة "  " ( hak pilih yang diperkenankan  )  :

1.      Khiyarul majlis ; yaitu bahwa kedua belah fihak mempunyai hak untuk membatalkan akad jual beli yang sudah disepakati,  selama masih dalam majlis pelaksanaan akad

2.     Khiyarussyarth ; yaitu hak pembatalan akad jual beli hingga batas waktu tertentu, dengan syarat sebagai berikut :

a.       waktunya tidak lebih dari tiga hari

b.     waktu tersebut ( tiga hari ) berkesinambungan

1.      Khiyarul’aib  ;  yaitu hak pembatalan akad jual beli yang disebabkan karena ada      cela/cacat pada barang akad,  dengan syarat sebagai berikut :

a. Cela lama sebelum akad terjadi

b.Cela yang bisa mengurangi nilai barang akad

c. Cela yang biasanya tidak terdapat pada barang akad

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka apa yang anda tanyakan tidak termasuk pada poin yang pertama, karena sudah berlalu dari majlis, dan tidak termasuk pada ponin kedua, karena anda tidak  membuat kesepakan dengan syarat pengembalian barang saat membeli,dan juga tidak termasuk pada poin yang ketika karena barang tidak ada cacatnya, yang karenanya anda tidak mempunyai hak untuk memaksa mengembalikan barang yang telah anda beli tersebut, kecuali penjual memperkenankannnya. Jadi boleh dan tidaknya anda mengembalikan barang tersebut akan ditentukan oleh penjual.

Demikian, semoga allah berkenan untuk memberikan kemudahan, taufiq dan ridho-Nya

Wallahu a'lam bishshawaab

Wassalaamu 'alaikum wrwb.

-- Agung Cahyadi, MA