Oleh : Dra. Tengku Sitta Syaritsa Penulis mengungkapkan bahwa seni musik Melayu sangat terpengaruh musik Cina, Portugis, India, Arab, dan Persia, sehingga bentuk awalnya tidak dapat diterka lagi. Dalam perkembangannya, musik Melayu menghadapi berbagai masalah, sehingga perlu dilakukan pengkajian yang mendalam. 1. Pendahuluan Dalam makalahnya yang dibacakan dalam Pekan Penata Tari dan Komponis Muda, T. Lukman Sinar mengutip buku John Anderson, Mission to the Eastcoast of Sumatera (1826) yang mengatakan bahwa orang-orang Melayu sangat gemar musik. The Malays in this quarter are passionately fond of music. Their most admired tunes are Lagu Dua, Siam, Chantik Manis, Gunong Sumbawa, Timang-timang, Samsam, Beranyut, Kuda Lengkong, Raja Beradu, Anak Semang, Timang Kelantan, Minto, Palembang, Melaka, Jawa, Anak Mambang, Deciong, Siak, and Batak. Musical instruments. The Instruments of music, which are not so numerous or various as in most Malayan countries (and the musician are far from being proficients), are violin, viola, gendang, a drum, rebana, a tambourine, serunai, a pipe, bangsi and suling, flutes, gong, simpang, gundir, cromong, instruments made of brass, and kechapi (Anderson, 1826). J.C.Van Eerde juga menulis mengenai kesenian Melayu: … yang belakangan ini ditarikan oleh seorang penari wanita bayaran yang disebut Joget dengan salah seorang lelaki yang hadir, dan ini sangat digemari. Pada pesta-pesta besar, Joget tidak boleh ketinggalan. Alat-alat musik utama orang Melayu ialah gendang, rebana, serunai, rebab, kecapi, suling, gong, gambang, saron, kromong, dan canang. Tiga alat musik istimewa lainnya secara khusus hanya boleh dimainkan untuk raja-raja, yaitu nafiri, lengkara, dan nobat. Biasanya dimainkan ketika raja berarak (mengadakan kunjungan). Sejarah kesenian Melayu dapat ditelusuri dengan melihat pengaruh dunia luar dalam seni musik, lagu, dan tari Melayu. Pengaruh ini terjadi karena hubungan dagang antara Kerajaan Melayu Aru yang berpusat di Deli dengan Malaka sudah berlangsung sejak abad ke-13. Sejak tahun 1511 M Malaka menjadi benteng Portugis, sehingga pengaruh Portugis juga mewarnai nada dan gerak tari Melayu yang disesuaikan dengan resam dan kebiasaan suku itu. Pengaruh Portugis tersebut tergambar dalam tari atau rentak Pulau Sari yang lebih dikenal dengan nama Serampang XII. Pengaruh Siam juga diterima melalui Kedah dan Perlis dalam seni dramatari Makyong, Menora, dan Mendu di wilayah Luhak Teluk Aru di Langkat dan di Kerajaan Serdang. Pengaruh Arab datang sejalan dengan masuknya Islam ke negeri-negeri Melayu. Corak Arab dapat dilihat dalam kesenian Zapin (Gambus), Kasidah, Rodat atau Barodah, serta Zikir Barat. Pengaruh Tamil (Keling, India Selatan) muncul dalam teater dan alat musik. Alat musik India seperti harmonium dan tabla digunakan untuk mengiringi lagu Melayu. Rentak (tempo) yang dihasilkan pada masa itu juga dikenal dengan nama chalti. Kesenian Melayu seperti musik, lagu, maupun tari yang berkembang hingga pertengahan tahun 1930 dan akhir tahun 1942 sangat bersebati dengan masyarakat pendukungnya. Dulu pengarang lagu-lagu Melayu umumnya tidak mencantumkan namanya dalam karya mereka, tetapi ada juga nama pengarang yang sempat diketahui dari mulut ke mulut. Mereka sudah lanjut usia, dan sebagian sudah meninggal dunia. Di antara mereka adalah, Tengku Perdana atau Dahlan Siregar (alm.) yang menciptakan lagu Pulau Putri, dan Tengku Zubir yang lebih dikenal dengan nama Tengku Cubit yang menciptakan Kuala Deli. Lagu ini sangat terkenal di tanah Deli. Usman menciptakan lagu Dodoi Di Dodoi. Nama-nama pengarang dan lagunya sudah didaftar oleh Dewan Kesenian Medan dan Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud Sumatera Utara. 2. Periodisasi Perkembangan Musik Melayu Di Sumatera Utara b. Periode 1945–1949 c. Periode 1950–1965 Tari Serampang XII ini sangat menarik minat dan perhatian masyarakat, terutama generasi muda. Hal ini terbukti dengan terselenggaranya Festival Serampang XII pada setiap tahun sejak awal kegemilangannya hingga sekarang. Setiap pengiriman misi kesenian ke luar negeri maupun pada kesempatan mengisi acara kesenian di Istana Negara, Serampang XII dan beberapa tari Melayu lainnya selalu mendapat sambutan. Tahun-tahun tersebut boleh dikatakan sebagai masa suburnya kesenian tari Melayu. Perkembangan tari Melayu sejalan dengan perkembangan musiknya. Di mana-mana terdengar lagu-lagu Melayu dan pada saat itulah lahir komponis tiga zaman, Lili Suhairi dan biduanita kawakan, Rubiah. Keduanya dipandang sebagai tokoh yang banyak berjasa dalam memasyarakatkan musik dan lagu-lagu Melayu. Usaha itu dilakukan Lili Suhairi pada saat memimpin orkes Studio Medan. Kemudian bermunculan orkes-orkes Melayu lainnya seperti orkes Sukma Murni, Budi Pekerti, Rayuan Kesuma, dan lain-lain. Zaman itu juga telah melahirkan biduan dan biduanita Nasir, Nur Ainun, Zaidar, dan lainnya. Seiring dengan tumbuhnya orkes tersebut muncul orkes Melayu versi baru pimpinan Tengku Nazly. Atas bimbingan ayahandanya yang berkemauan keras, dia menghimbau rekan-rekan dan keluarga terdekatnya untuk membentuk orkes yang kemudian diberi nama Tropicana. Lagu-lagu Melayu yang dibawakan orkes ini sebagian besar adalah lagulagu Melayu yang sudah diubah warnanya tanpa meninggalkan rasa dan penyajiannya. Dengan kata lain, lagu-lagu Melayu dibawakan dengan tempo cha-cha, rumba, marenggue, mambo, beat Barat yang sangat populer pada masa itu, dan sebagainya. Lagu-lagu mereka sempat direkam oleh perusahaan piringan hitam Lokananta pada tahun 1958 dengan menampilkan T. Kamarulzaman, Dahlia, T. Nazly, Mayang Murni, dan T. Sitta Syaritsa. Orkes tersebut banyak dibantu oleh tokoh musik Abdul Muis Rajab (alm.) dalam hal aransemen. Walaupun Abdul Muis Rajab berasal dari tanah rencong, tetapi minatnya terhadap lagu-lagu Melayu besar sekali. Selain mengaransemen, ia juga menciptakan lagu Melayu. Salah satu lagu ciptaannya adalah Dendang Putri. Orkes ini dibina oleh Tengku Luckman Sinar yang sekaligus memegang alat perkusi. Para anggota orkes ini berprinsip setiap penyanyi harus membawakan lagu-lagu Melayu dengan ciri khas Melayu, yaitu gerenek dan tekuk lagu dalam teknik pembawaan lagu. Sementara itu, di luar kota Medan dan daerah lain musik belum membaur dan jarang tampil. Aktivitas beberapa kelompok kesenian tidak menonjol. Mereka pernah tampil tetapi terbatas di daerah mereka saja. Setiap kali kelompok itu tampil, peralatan musik Melayu tradisional masih dipakai, meskipun tidak lengkap. Perkumpulan kesenian Melayu yang berada di pinggiran lebih menunjukkan keasliannya, seperti perkumpulan persilatan di Pantai Labu (Lubuk Pakam), Rodat atau Barodah di Labuhan, kesenian Gubang di Asahan, serta beberapa perkumpulan ronggeng dan kelompok tari Zapin di Perbaungan. Semuanya masih diiringi dengan peralatan musik tradisional, meskipun sangat terbatas dan sederhana sekali, tetapi juga ada kelompok yang menggabungkan alat-alat yang dipakainya, seperti yang terlihat dalam pertunjukan silat di daerah-daerah. Alat musik pengiring yang dipergunakan acapkali terdiri dari serunai, dua gendang panjang, beberapa gendang zapin yang berbentuk bulat kecil (marwas), dan sebuah ‘oud (gambus). Kelompok yang tidak mempunyai peralatan itu menggantinya dengan biola atau peralatan modern lainnya yang berfungsi untuk melodi, seperti accordion, dan kadang ditambah tetawak. Pada masa itu di pinggiran kota Medan ataupun kota-kota lain masih ditemui seniman-seniman berbakat dan peralatan musik tradisional Melayu. Oleh karena alasan sibuk memenuhi keperluan hidup, penampilan mereka hanya diselenggarakan pada saat-saat tertentu saja. Musik Melayu mengalami masa suram pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, yaitu akhir tahun 1965, karena perhatian masyarakat tertumpu pada perbaikan situasi setelah meletusnya G 30 S/PKI. Keadaan saat itu tidak memungkinkan bagi mereka untuk meneruskan profesinya, sementara banyak tokoh musik yang berpindah tempat atau pindah profesi. 4. Beberapa Perkembangan Musik Di Medan Dan Sekitarnya Selain itu juga tumbuh minat kaum muda untuk membawakan lagu-lagu Melayu dengan orkes, band, dan musik kecil yang membuahkan aransemen baru yang terpengaruh musik Barat, seperti tempo cha-cha, mambo, rumba, dan sebagainya. Kelompok yang terpengaruh tersebut seperti SIRlS Combo pimpinan THM. Daniel. Dia dan rekanrekannya meneruskan warna dan corak orkes Tropicana. Minat masyarakat daerah lain pun semakin besar. Ini ditandai dengan dibawakannya lagu-lagu Melayu oleh orkes Minang. Bahkan penyanyi-penyanyi pop pun sering membawakan lagu-lagu Melayu, seperti lagu Bunga Tanjung, Seringgit Dua Kupang, Mak Inang Pulau Kampai, dan sebagainya. Tumbuhnya tari-tari kreasi baru juga menghasilkan aransemen musik Melayu baru, walaupun sebagian besar lagu yang mengiringi tarian tersebut masih seperti lagu-lagu yang biasa didengar. Musik Melayu dipengaruhi oleh musik asing, termasuk musik India yang membuahkan rentak atau tempo yang disebut chalti. Chalti ini kemudian melejit dan lebih dikenal sebagai musik dangdut. Sebagian orang mengakui bahwa lagu dangdut adalah lagu Melayu, sedang masyarakat Melayu sendiri ada yang enggan mengakuinya sebagai lagu Melayu. Jika melihat sejarah, mungkin pengaruh itu ada pada musik Melayu awal. Sekarang pengaruh tersebut sudah tidak jelas, karena ada pengaruh lain sehingga berbeda dengan rentak dan tempo chalti. Hal ini belum penulis ketahui dengan pasti, tetapi merupakan perkembangan baru yang menambah ragam rentak lagu Melayu yang telah ada dan akan menambah khazanah musik Indonesia. Dibukanya jurusan Musikologi Etnik pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang mencantumkan teori dan praktik musik Melayu telah menumbuhkan harapan cerahnya kehidupan musik Melayu pada masa mendatang. Dampaknya pada generasi muda sangat positif. Generasi muda di Sumatera Utara, khususnya Medan tidak lagi merasa “kampungan” bila memainkan musik tradisi Melayu. Demikian beberapa catatan yang menandai kemajuan dan perkembangan musik Melayu di Sumatera Utara saat ini. Dari beberapa kemajuan dan perkembangan musik Melayu tersebut masih ada yang perlu dibicarakan dan penulis ingin mengaitkannya dengan tari Melayu, karena keduanya berkaitan erat. Hampir setiap pergelaran musik diiringi tari dan begitu pula sebaliknya. Frekuensi penyajian dan wilayah pengenalan dari keduanya telah meluas. Usaha untuk memperluas lagi dilakukan dengan menambah sarana dan fasilitas, serta dengan melakukan penggodokan terhadap para pendukungnya secara terus-menerus. Musik dan tari mendapat tempat dalam masyarakat luas, sehingga mendapat pengaruh dari beragam kultur yang kemudian membuahkan bermacam-macam gaya. Kita menyadari bahwa setiap perkembangan selalu menuju kemajuan. Namun perlu diingat bahwa kemajuan itu hendaknya disesuaikan dengan kepribadian bangsa kita. Perkembangan kesenian daerah harus diselaraskan dengan ciri khas daerah tersebut agar tidak tercerabut dari akar budayanya. Dalam makalah ini juga akan dikemukakan arah yang bisa dipegang agar pembicaraan mengenai tari dan musik tidak membingungkan, karena keduanya mempunyai persamaan dan perbedaan. Musik/lagu dan tari Melayu mempunyai kekhasan yang bisa ditandai dari beberapa hal, misalnya dalam lagu Melayu dikenal istilah gerenek, tekuk, berenjut, dan sebagainya. Sementara dalam tari dikenal istilah gentan, terkam, angguk legar, cicing, jinjit, menumit, sauk, dan sebagainya. Gerak dan gaya khas dan unik dalam tari dan lagu Melayu yang diberi nama tertentu tersebut akan dapat segera dirasakan oleh orang yang memahami tari dan lagu Melayu. Memang tidak seluruh penyanyi atau penari dapat melakukan gerak dan gaya khas Melayu, dan jika ada yang bisa melakukannya, belum tentu sesuai degan “rasa” orang Melayu. Orang Melayu sendiri tidak dapat menjelaskan yang dimaksud dengan “rasa”. Hal itu karena “rasa” sangat abstrak dan tidak ada takaran yang sahih mengenai hal itu. Barangkali “rasa” condong kepada ekspresi jiwa atau pengungkapan seperti yang ada pada setiap manusia, sehingga “rasa” sulit diverbalkan. Pengaruh dari berbagai bentuk dan jenis kesenian yang ada tentu tidak dapat dihindari. Seorang penata tari tertarik pada suatu gerak tertentu, lalu mengembangkannya, dan pada proses seperti itu terjadi perubahan nilai estetika kesenian Melayu, sehingga dalam rentang waktu tertentu kita kehilangan ciri khas kemelayuannya. Contoh yang ingin penulis kemukakan di sini adalah yang terjadi pada lagu-lagu Melayu. Seorang biduan Minang membawakan lagu Bunga Tanjung yang dikenal sebagai lagu Melayu. Cara membawakan lagu tersebut akan segera ditandai oleh pendengaran orang Melayu sebagai bukan cara pembawaan lagu Melayu, karena gerenek dan tekuk pembawaan lagunya sangat berbeda dengan pembawaan lagu biduan Melayu, tetapi pembicaraan biasanya terbatas sampai di situ saja. Kajian lebih dalam tentang perbedaan antara pembawaan lagu Gamat (Minang) dan pembawaan lagu Langgam (Melayu) perlu dilakukan untuk dijadikan patokan. 5. Penutup Sebaliknya, musisi yang sudah mahir menggunakan teknik komposisi musik Barat dalam penciptaannya sebaiknya sudi melakukan reorientasi dalam hal-hal yang esensial kepada komposisi musik tradisi Indonesia. Tampaknya kreativitas seperti itu kurang ada pada musisi musik Melayu, sehingga musisi Melayu tidak melahirkan ciptaan-ciptaan baru. Berikut penulis menyarankan beberapa langkah yang ditempuh untuk pengembangan musik Melayu. Pertama, perlu diadakan pergelaran musik tradisional untuk kepentingan apresiasi dan pengenalan oleh generasi muda, juga sebagai salah satu usaha untuk merangsang minat dalam bidang penciptaan di kalangan musisi. Kedua, institusi, lembaga, dan organisasi kesenian, baik pemerintah maupun swasta, diharapkan selalu mengadakan sayembara dalam bidang musik (tradisional dan modern) dengan hadiah yang merangsang. Ketiga, perlu dilakukan inventarisasi dan registrasi hasil karya cipta musik Melayu pada masa dahulu dan masa sekarang. Keempat, perlu mendirikan lembaga pengembangan penelitian musik/tari. Kelima, perlu menyelenggarakan seminar lagu dan tari Melayu untuk mendapatkan pedoman dasar dari keduanya. Keenam, teknik improvisasi atau gaya pembawaan lagu yang diwariskan oleh tradisi musik Melayu (seperti gerenek, tekuk, berenjut, dan sebagainya) hendaknya lebih diperhatikan dan menjadi salah satu bidang penelitian, karena hal itu merupakan bagian yang esensial dalam membawakan lagu-lagu Melayu. Ketujuh, masyarakat Melayu umumnya dan pemuka adat Melayu khususnya, diharapkan dapat berlapang hati untuk menerima nilai artistik dan estetika baru dalam karya-karya baru yang terlepas dari nilai-nilai lama atau berbeda dari yang didengar dan dilihat selama ini, karena eksperimen seperti itu juga merupakan perwujudan ekspresi baru dan merupakan sumbangan bagi khazanah dan perbendaharaan repertoar musik/gerak tari Melayu khususnya dan Indonesia umumnya. Demikian sekilas tinjauan tentang musik Melayu di Sumatera Timur dan perkembangannya. Daftar Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978–1979. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Riau. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Tari Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. –––––––––. T.t. Monografi Daerah Riau. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dewan Kesenian Jakarta. 1976. Festival Desember 1975. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. –––––––––. 1978. Pesta Seni 1976. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. Edinburgh. 1826. Mission to the Eastcoast of Sumatera. Ellfeldt, L. 1976. Dance: From Magic to Art. Dubuque, Iowa: WMC Brown. Langer, S. K. 1957. Problems of Art. New York: Charles Scribner‘s Sons. Magi, S. 1985. Tari-tarian Melayu di Beberapa Daerah di Indonesia dan Malaysia. Tugas penulisan untuk Jurusan Tari, Fakultas Kesenian, Institut Kesenian Jakarta. Mansur, T. N. A. T.t. Meninjau Beberapa Jenis Tari Melayu. Naskah tanpa keterangan. Murgiyanto, S. 1977. “Cara Menilai Seorang Penari”. Kompas, 19 Juli 1977. –––––––––. (Ed.). 1982. Penata Tari Muda 1982. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. –––––––––. 1985a. Penata Tari Muda 1983. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. –––––––––. 1985b. Penata Tari Muda 1984. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. Sheppard, M. 1972. Taman Indera. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Sinar, T. L. 1982. Latar Belakang Sejarah dan Perkembangan Seni Tari Melayu di Sumatera Timur. Makalah dalam rangka Pekan Penata Tari dan Komponis Muda Dewan Kesenian Jakarta. –––––––––. 1970. Sari Sejarah Serdang. Medan. Snyner, A. F. 1984. Examining the Dance Event From A World Perspective. Ceramah di Grand Salon, Renwick Gallery. Dra. Tengku Sitta Syaritsa, lahir di Perbaungan, 12 Februari 1938. Pendidikan ditempuhnya di Sindoro School di Medan (1952); SMP I Negeri di Medan (1955); SMA Prayatna di Medan (1958); Sastra Inggris di Medan (1979); dan mengikuti kuliah Dance Ethnology selama 1, 5 tahun di Amerika (UCLA). Dia adalah dosen tidak tetap di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Selain menjadi dosen, dia juga mengajar tari Melayu di Himpunan Seni Budaya Melayu “Sri Indera Ratu”, Medan, menjadi pengurus dan anggota Himpunan Wanita Melayu Indonesia, serta menjadi anggota dan pengurus Himpunan Ratna Busana Medan. Pada tahun 1985 dia menjabat sebagai Kepala Submusik Tradisional RRI Nusantara I Medan. Hasil karyanya adalah “Masalah Tari Melayu di Sumatera Utara”, makalah dalam seminar yang diadakan oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Utara; “Kreasi Tari Berkesinambungan”, makalah dalam seminar yang diadakan oleh BKKNI Sumatera Utara; “Merangsang Kreativitas Tari”, makalah dalam seminar yang diadakan oleh Dewan Kesenian; dan “Perkembangan Musik Melayu di Sumatera Utara”, makalah dalam seminar yang diadakan oleh Depdikbud. Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau Page 2 |