Harta yang diwakafkan berlaku untuk berapa lama

Wakaf dan Jenisnya Berdasarkan Batasan Waktunya

Merujuk pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (“UU Wakaf”), wakaf diartikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur-unsur berikut:[1]

  1. Wakif (orang/lembaga yang mewakafkan);

  2. Nadzir (pengelola harta wakaf);

  3. Harta benda wakaf;

  4. Ikrar wakaf;

  5. Peruntukkan harta benda wakaf;

  6. Jangka waktu wakaf.

Berdasarkan ketentuan yang kami sebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan batasan waktunya terdapat dua jenis wakaf yaitu wakaf selamanya dan wakaf dengan jangka waktu tertentu atau disebut juga wakaf sementara.

Wakaf Sementara Hak Atas Tanah

Akan tetapi, terdapat ketentuan khusus untuk wakaf sementara pada benda wakaf tidak bergerak seperti tanah.

  1. Hak milik atas tanah baik yang sudah atau belum terdaftar;

  2. Hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai di atas tanah negara;

  3. Hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan atau hak milik, wajib mendapat izin tertulis pemegang hak pengelolaan atau hak milik;

  4. Hak milik atas satuan rumah susun.

Hak atas tanah yang diwakafkan sebagaimana disebutkan di atas wajib dimiliki atau dikuasai oleh wakif secara sah dan bebas dari segala sitaan, perkara, sengketa, dan tidak dijaminkan.[2]

Selanjutnya, Pasal 18 ayat (1) PP Wakaf mengatur bahwa benda wakaf tidak bergerak berupa tanah hanya dapat diwakafkan untuk jangka waktu selama-lamanya kecuali wakaf hak atas tanah dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c, yaitu wakaf atas hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan atau hak milik.

Khusus tanah dengan hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan atau hak milik, jika hendak diwakafkan selamanya, maka diperlukan pelepasan hak dari pemegang hak tersebut.[3]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa wakaf sementara tidak berlaku bagi harta benda berupa tanah dengan hak milik atau hak guna bangunan, hak pakai, dan hak guna usaha di atas tanah negara.

Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, jika hak atas tanah yang ingin Anda wakafkan adalah hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan atau hak milik, maka dapat Anda wakafkan sementara, namun wajib mendapat izin tertulis pemegang hak pengelolaan atau hak milik.

Akan tetapi, jika hak atas tanah yang melekat adalah hak milik atau hak guna bangunan, hak pakai, dan hak guna usaha di atas tanah negara, maka tidak dapat diwakafkan untuk sementara, melainkan harus diwakafkan untuk selama-lamanya. Untuk itu, jika Anda hendak melepaskan hak atas tanah tersebut kepada seseorang atau lembaga pengelola untuk dipakai selama jangka waktu tertentu, kami sarankan agar Anda menggunakan akad lain seperti ‘Ariyah (pinjam-meminjam), Ijarah (sewa-menyewa), atau mudharabah (kerjasama bagi hasil).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

[2] Pasal 17 ayat (3) PP Wakaf

[3] Pasal 17 ayat (2) PP Wakaf

(1)

Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Oleh Sayed M. Husen/Analis Wakaf BMA

Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa Arab “waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti, menahan berhenti, diam di tempat atau tetap berdiri“. Kata waqafa yaitu “waqfan” sama artinya dengan “habasa-yahbisu-tahbisan”. Kata “waqf” dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian: menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahmilikkan.

Menurut Drs H Ahmad Djunaidi dkk dalam bukunya Fiqih Wakaf (2004: 1-4), para ahli fikih berbeda dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga berbeda pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut:

Wakaf menurut Abu Hanifah adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik wakif dalam rangka menggunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu, maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari wakif, bahkan dia dibenarkan menarik kembali dan boleh menjualnya. Jika wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan ahli warisnya. 

Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu, Mazhab Hanafi mendefinisan wakaf adalah: “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”.

Sementara Mazhab Maliki berpendapat, wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain. Wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya dan tidak boleh menarik kembali wakafnya. 

Perbuatan wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mauquf alaih (penerima manfaat wakaf), walaupun yang dimilikinya berbentuk upah atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafaz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. 

Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar, sedangkan benda itu tetap menjadi milik wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).

Syafi’i dan Ahmad bin Hambal berpendapat, wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa pun terhadap harta yang diwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. 

Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. 

Apabila wakif melarangnya, maka Qadli atau pemerintah berhak memaksanya, agar memberikannya kepada mauquf ’alaih. Karena itu, Mazhab Syafi’i mendefinisan wakaf adalah: tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah Swt, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).

Menurut mazhab lain, mengutip Wahbah Az-Zuhaili, Drs H Ahmad Djunaidi dkk menulis bahwa pandangannnya sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan, yaitu menjadi milik mauquf ’alaih (penerima manfaat wakaf), meskipun mauquf ’alaih tidak berhak melakukan suatu tidakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya.*

tirto.id - Orang yang akan melakukan wakaf disyaratkan memenuhi lima hal agar sedekah jariyah ini sah diamalkan.

Ibadah wakaf dalam Islam dikategorikan sebagai salah satu amal jariyah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Wakaf sendiri adalah sedekah harta untuk kepentingan masyarakat banyak.

Sedekah wakaf tidak berkurang nilainya, tidak boleh dijual dan tidak boleh diwariskan. Hal ini dikarenakan wakaf pada hakikatnya adalah menyerahkan kepemilikan harta manusia menjadi milik Allah atas nama umat banyak.

Keutamaan Sedekah Wakaf

Keutamaan sedekah wakaf sebagai amal jariyah tergambar dalam sabda Nabi Muhammad, “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang salih" (HR. Muslim).

Sementara itu, NU Online menulis, pada dasarnya pengertian wakaf adalah menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan tetap kekalnya zat harta itu sendiri dan mantasharrufkan kemanfaatannya di jalan kebaikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.

Konsekuensi dari hal ini adalah zat harta-benda yang diwakafkan tidak boleh ditasharrufkan. Sebab yang ditasharrufkan adalah manfaatnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh penulis kitab Kifayah al-Akhyar sebagai berikut;

وَحَدُّهُ فِي الشَّرْعِ حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ الْإِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ مَمْنُوعٌ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي عَيْنِهِ وَتَصَرُّفُ مَنَافِعِهِ فِي الْبِرِّ تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ - تقي الدين أبي بكر بن محمد الحسيني الحصني الدمشقي الشافعي، كفاية الأخيار فى حل غاية الإختصار، سورابايا-دار العلم، ج، 1، ص. 256

“Definisi wakaf menurut syara’ adalah menahan harta-benda yang memungkinkan untuk mengambil manfaatnya beserta kekalnya dzat harta-benda itu sendiri, dilarang untuk mentasaharrufkan dzatnya. Sedang mentasharrufkan kemanfaatannya itu dalam hal kebaikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah."

(Taqiyyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Hishni ad-Dimasyqi asy-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya-Dar al-‘Ilm, tt, juz, 1, h. 256).

Baca juga: Polisi: Pengancam Penggal Presiden Jokowi Kerja di Yayasan Wakaf

Pahala orang yang berwakaf akan selalu langgeng di sisi Allah. Jika harta wakaf terus dimanfaatkan umat, ganjaran orang yang melakukan wakaf akan terus mengalir, kendati ia sudah meninggal dunia.

Syarat dan Rukun Wakaf

Sebagaimana dilansir Rumah Wakaf, terdapat lima syarat dan rukun wakaf yang harus dipenuhi agar sedekah jariyah ini sah diamalkan sebagai berikut:

  1. Wakif atau orang yang mewakafkan harta
  2. Mauquf bih atau tersedia barang atau harta yang akan diwakafkan
  3. Mauquf ‘Alaih atau pihak yang diberi wakaf dan peruntukan wakaf atas harta yang tersedia
  4. Shighat atau pernyataan sebagai ikrar wakif untuk kehendak mewakafkan sebagian harta bendanya demi kepentingan orang banyak
  5. Nazhir atau orang yang akan bertanggung jawab mengelola harta wakaf tersebut.

Rukun dan syarat di atas harus dipenuhi orang yang bermaksud mewakafkan hartanya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perselisihan yang biasanya terjadi di kemudian hari, terlebih lagi jika ahli waris belum mengetahui terkait harta yang diwakafkan orang tuanya.

Selain harus sah dilakukan dari tuntunan agama, orang yang bermaksud mewakafkan hartanya sebaiknya mengurus sertifikat wakaf sebagaimana diatur undang-undang negara.

Orang yang mewakafkan hartanya atau pihak nazhir yang dibebani tanggung jawab harus melaporkan untuk mengurus harta wakaf, terutama jika yang diwakafkan itu adalah tanah, kepada pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk diakui negara sebagai tanah wakaf.

Hal ini disebabkan harta yang diwakafkan, khususnya tanah wakaf seringkali menimbulkan sengketa karena selisih paham ahli waris atas tanah orang tuanya. Padahal orang tuanya sudah melakukan ikrar tersirat atas sedekah jariyah untuk mewakafkan harta, yang dalam hal ini tanah bagi kepentingan umat banyak.

Tentunya, pihak pewakaf tidak ingin memantik masalah keduniaan. Meskipun perkara wakaf adalah hubungan antara hamba dan Allah, di sana juga terdapat kepentingan umat yang diatur pihak negara agar urusannya lancar tidak hanya kepada Tuhan, namun juga antarmanusia di lingkungan masyarakat.

Baca juga: Berdayakan Perempuan, Jokowi: Ada Mekaar, UMi dan Bank Wakaf Mikro

Baca juga artikel terkait WAKAF atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/ylk)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Yulaika Ramadhani
Kontributor: Abdul Hadi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates