Hak asuh anak jika ibu menikah lagi

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Yusuf Assidiq

Tak ada satu pasangan pun yang mengharapkan pernikahan mereka berakhir dengan perceraian. Namun, biduk rumah tangga, kerap kali berakhir dengan perceraian -- sesuatu yang halal, tetapi paling dibenci Allah SWT.  Meski begitu, angka perceraian di Tanah Air justru  menempati urutan pertama di kawasan Asia, mencapai 200 ribu kasus per tahunnya.

Perceraian kerap kali membawa konsekuensi yang sangat berat, yakni masalah anak-anak. Siapa yang berhak mengasuk anak,  ayah ataukah ibunya? Terkait masalah ini, Islam mengenal istilah hadlanah. Menurut Imam al-San'ani' hadlanah berarti memelihara seorang anak yang belum (atau tidak) bisa mandiri, mendidik dan memeliharanya untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang bisa merusak dan mendatangkan mudharat.

Para ulama bersepakat, hak mengasuh anak yang belum akhil balig harus diutamakan kepada ibunya. Ini mengingat kaum wanita dianggap lebih memiliki jiwa keibuan, dibandingkan kaum lelaki. Ketentuan ini memiliki dasar hukum yang kuat yakni hadis Nabi SAW.

''Seorang perempuan berkata kepada Rasulullah, ''Wahai Rasulullah, anakku ini, aku yang mengandungnya, air susuku yang diminumnya, dam di bilikku tempat berkumpulmya bersamaku, ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkannya dariku.''  Maka Rasulullah bersabda, ''Kamulah yang lebih berhak memeliharanya selama kamu tidak menikah.'' (HR Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim mensahihkannya)

Zaitunah Subhan dalam bukunya bertajuk Fikih Perempuan, memaknai hadis ini sebagai ketentuan hukum dalam memberikan pengasuhan anak kepada ibu. Hadis ini juga menjadi dasar ketetapan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105 menyangkut hak pemeliharaan anak.

Meski begitu, seorang ayah juga tak lepas dari kewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaannya. Tanggung jawab ayah tidak lantas hilang hanya karena terjadinya perceraian.  Zaitunah menggarisbawahi kelanjutan  hadis Rasulullah yang menekankan kalimat ''selama kamu tidak menikah.''

Sehingga, tutur Zaitunah, seandainya si ibu menikah kembali, hak pengasuhan bisa tak berlaku lagi.  Pemeliharaan anak pun dapat beralih kepada ayah. ''Alasannya, bila ibu menikah lagi, besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru, sehingga pengasuhan yang diberikan jadi kurang maksimal,'' ungakpnya.

Ibrahim Muhammad al-Jamal berpendapat, hak asuh ayah sebenarnya tidak tertutup sama sekali. Ada kalanya, ayah justru lebih arif dan lebih tahu akan kebutuhan sang anak. Jadi hal itu bisa diatur, sekalipun anak tetap berada di sisi ibunya dan tetap dalam pemeliharaannya.

Hanya saja, menurut al-Jamal, pengasuhan terhadap anak yang masih kecil, sebaiknya tetap diprioritaskan kepada ibu. ''Pada hakikatnya, wanita manapun  sama dalam cintanya kepada anak, perhatian terhadap keselamatannya serta pembelaannya terhadap bahaya yang mengancam anak,'' papar  al-Jamal dalam bukunya berjudul Fikih Wanita.

Berbeda halnya apabila sang anak sudah mumayyiz (sudah berusia 12 tahun). Penentuan pengasuhan diserahkan kepada pilihan anak sendiri, apakah ingin bersama ayah atau ibunya.

Meski begitu, sebagian ulama berpandangan agar hakim sepatutnya tak begitu saja menyerahkan pilihan kepada anak.

Hakim pengadilan agama diminta untuk melakukan penelitian lebih dulu mana yang lebih bisa membawa maslahat bagi anak tersebut.  Jika hasil penelitian menunjukkan ibu lebih dapat dipercaya dalam memelihara anak, maka sebaiknya pengasuhan diberikan kepada ibu, atau sebaliknya.

''Dan hakim bisa mengabaikan pilihan anak demi kepentingannya di masa depan,'' ungkap Imam Asy-Syaukani. Sejatinya, Islam  mengatur pemeliharaan anak sedemikian rupa, karena menginginkan yang terbaik. Anak yang terlahir ke dunia sebagai titipan Allah SWT, harus dipelihara dengan sungguh-sungguh, baik oleh orangtua maupun kerabatnya.

Sementara bagi anak yang yatim piatu dan tidak pula memiliki kerabat, pemeliharaannya menjadi tanggungan negara. Menurut al-Jamal, pemerintah akan menunjuk siapapun yang cakap untuk memeliharanya. Sesungguhnya anak adalah titipan dan amanah dari Sang Khalik yang harus dijaga dan dibesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Sebuah perceraian tak boleh merugikan anak-anak, yang akan menjadi penerus di masa depan.

Syarat-syarat Mengasuh Anak

1. Baligh dan berakal

2. Mampu mendidik

3. Terpercaya dan berbudi luhur

4. Islam. Orang non-Muslim tidak bisa diserahi memelihara anak.

5. Tidak bersuami. Wanita yang sudah menikah lagi, maka gugurlah haknya untuk memelihara anak dari suaminya yang lama. (sumber: buku Fiqih Wanita)

HAK PENGASUHAN ANAK DALAM ISLAM

Pembicaraan mengenai seluk-beluk hak asuh, biasa dikenal dalam perspektif ilmu fiqih dengan istilah ahkam al hadhonah. Islam telah mengatur sedemikian rupa, untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang timbul akibat persengketaan dalam masalah ini. Pertikaian yang berawal dari perebutan anak, dapat berpotensi menimbulkan terputusnya silaturahmi dan berdampak psikologi pada diri anak.

Makalah berikut mencoba mengangkat secara ringkas permasalahan tersebut. Kami nukil dari kitab Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, al Mulakhkhashul Fiqhi, Cetakan I, Tahun 1423H, Darul ‘Ashimah, juz 2/439-447. Semoga bermanfaat.

Hikmah Ketetapan Hukum Hak Asuh
Sudah pasti, hukum Allah berdampak positif, karena penuh keadilan, kebaikan, rahmat dan hikmah di dalamnya. Begitu juga dalam masalah pengasuhan anak. Sebagai contoh, anak yang masih kecil dan belum mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan bagi dirinya. Atau seorang yang gila dan cacat, mereka ini membutuhkan keberadaan orang lain untuk membantu menangani urusan-urusannya dan memberikan pemeliharaan bagi dirinya. Yaitu dengan mencurahkan kebaikan-kebaikan dan menghindarkannya dari bahaya-bahaya, serta mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik.

Syari’at Islam memberlakukan hak asuh ini, untuk mengasihi, memelihara dan memberikan kebaikan bagi mereka. Pasalnya, bila mereka dibiarkan tanpa penanggung jawab, niscaya akan terabaikan, terbengkalai dan terancam bahaya. Padahal dinul Islam mengajarkan kasih-sayang, gotong-royong dan solidaritas. Sehingga benar-benar melarang dari perbuatan yang bersifat menyia-nyiakan kepada orang lain secara umum, apalagi mereka yang dalam keadaan nestapa. Ini merupakan kewajiban orang-orang yang masih terikat oleh tali kekerabatan dengan si anak. Dan kewajiban mereka adalah, mengurusi tanggung jawab anggota keluarga besarnya, sebagaimana dalam hukum-hukum lainnya.

Ibu Adalah Pihak yang Paling Berhak
Ibu, adalah yang paling berhak menggenggam hak asuh anak dibandingkan pihak-pihak lainnya. Al Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah mengatakan, jika suami isteri mengalami perceraian dengan meninggalkan seorang anak (anak yang masih kecil atau anak cacat), maka ibunyalah yang paling berhak menerima hak hadhonah (mengasuh) daripada orang lain. Kami tidak mengetahui adanya seorang ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini.

Diutamakan ibu dalam mengasuh anak, lantaran ia orang yang paling terlihat sayang dan paling dekat dengannya. Tidak ada yang menyamai kedekatan dengan si anak selain bapaknya. Adapun tentang kasih-sayang, tidak ada seorang pun yang mempunyai tingkatan seperti ibunya. Suami (ayahnya) tidak boleh mencoba menanganinya sendiri, akan tetapi perlu menyerahkannya kepada ibunya (isterinya). Begitu pula ibu kandung sang isteri, ia lebih berhak dibandingkan isteri ayahnya (suaminya).

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu membuat satu ungkapan yang indah:
“Aromanya, kasurnya dan pangkuannya lebih baik daripada engkau, sampai ia menginjak remaja dan telah memilih keputusannya sendiri (untuk mengikuti ayah atau ibunya)“.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai alasan, mengapa ibu lebih berhak dalam mengasuh anaknya, dikarenakan ibu lebih baik daripada ayah si anak. Sebab, jalinan ikatan dengan si anak sangat kuat dan lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara menggendong, menidurkan dan mengasuh. Dia lebih pengalaman dan lebih sayang. Dalam konteks ini, ia lebih mampu, lebih tahu dan lebih tahan mental. Sehingga dialah orang yang mesti mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syari’at.[1]

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي

“Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku“.

Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:

أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

“Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah“.[2]

Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya ketika ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) dan menginginkan merebut hak asuhnya.

Unsur-unsur yang Dapat Menghalangi Hak Asuh Anak
Meskipun pengasuhan anak merupakan hak seorang ibu, namun terkadang ia tidak bisa mendapatkan hak pengasuhan ini. Ada beberapa faktor yang dapat menghalangi haknya. Di antaranya sebagai berikut.

Pertama : Ar-Riqqu.
Maksudnya, orang yang bersangkutan berstatus sebagai budak, walaupun masih “tersisa sedikit”. Karena hadhonah (mengasuh) merupakan salah satu jenis wilayah (tanggung jawab). Adapun seorang budak, ia tidak mempunyai hak wilayah. Karena ia akan disibukkan dengan pelayanan terhadap majikannya dan segala yang ia lakukan terbatasi hak tuannya.

Kedua : Orang Fasiq.
Orang seperti ini, ia mengerjakan maksiat sehingga keluar dari ketaatan kepada Allah. Itu berarti, ia tidak bisa dipercaya mengemban tanggung jawab pengasuhan. Sehingga, hak asuh anak terlepas darinya. Keberadaan anak bersamanya -sedikit atau banyak- ia akan mendidik anak sesuai dengan kebiasaan buruknya. Ini dikhawatirkan akan berpengaruh negatif bagi anak, yang tentunya berdampak pada pendidikan anak.

Ketiga : Orang Kafir.
Orang kafir tidak boleh diserahi hak mengasuh anak yang beragama Islam. Kondisinya lebih buruk dari orang fasik. Bahaya yang muncul darinya lebih besar. Tidak menutup kemungkinan, ia memperdaya si anak dan mengeluarkannya dari Islam melalui penanaman keyakinan agama kufurnya.

Keempat : Seorang Wanita yang Telah Menikah Lagi dengan Lelaki Lain.
Dalam masalah pengasuhan anak, ibulah yang lebih memiliki hak yang utama. Akan tetapi, hak ini, secara otomatis gugur, bila ia menikah lagi dengan laki-laki ajnabi (laki-laki lain). Maksudnya, lelaki yang bukan dari kalangan ‘ashabah (pewaris) anak yang diasuhnya. Tetapi, jika sang ibu menikah dengan seorang laki-laki yang masih memiliki hubungan tali kekerabatan dengan si anak, maka hak asuh ibu tidak hilang.

Atau misalnya, seorang wanita yang telah diceraikan suaminya, dan kemudian ia menikah dengan lelaki lain (ajnabi), maka dalam keadaan seperti ini, ia tidak memperoleh hak asuh anak dari suaminya yang pertama. Dengan demikian hak pengasuhannya menjadi gugur, berdasarkan kandungan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

“Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah“.

Demikian beberapa faktor yang dapat menghalangi seseorang tidak memperoleh hak asuh bagi anaknya. Apabila faktor-faktor penghalang ini lenyap, misalnya seorang budak telah merdeka seutuhnya, orang fasik itu bertaubat, orang kafir telah memeluk Islam, dan si ibu diceraikan kembali, maka orang-orang ini akan memperoleh haknya kembali untuk mengasuh anaknya.

Kapan Anak Menentukan Pilihan?
Pada usia yang telah ditentukan syari’at, anak berhak menentukan pilihan untuk hidup bersama dengan ibu atau ayahnya. Dalam hal ini harus terpenuhi dua syarat.

Pertama : Ayah dan ibunya harus layak mendapatkan tanggung jawab mengasuh anaknya (ahlil hadhonah). Artinya, salah satu faktor yang menghalangi seseorang boleh pengasuh anaknya tidak boleh melekat padanya.

Kedua : Si anak sudah ‘aqil (berakal). Jika ia mempunyai cacat, maka ia tetap berada di bawah pengawasan ibunya. Pasalnya, karena wanita lebih sayang, lebih bertanggung jawab, dan lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhan anak.

Perbedaan Antara Anak Laki-laki dan Perempuan
Seorang anak laki-laki, ia dihadapkan pada pilihan untuk menentukan. Yaitu, ia hidup bersama ayahnya atau ibunya, apabila ia sudah berusia tujuh tahun. Ketika telah berusia tujuh tahun, berakal, maka ia memutuskan pilihannya, dan kemudian tinggal bersama dengan orang pilihannya, ayah atau ibunya. Demikian ini keputusan yang telah diambil oleh Khalifah ‘Umar dan ‘Ali.

Dasarnya ada seorang wanita yang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengadu, “Suamiku ingin membawa pergi anakku,” maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada bocah itu, anaknya : “Wahai anak kecil. Ini adalah ayahmu, dan itu ibumu. Pilihlah siapa yang engkau inginkan!” Anak itu kemudian menggandeng tangan ibunya, dan kemudian mereka berdua berlalu.[3]

Apabila anak memilih ayahnya, maka ia berada di tempat tinggal sang ayah siang dan malam. Supaya ayahnya leluasa menjaga, mengajari dan mendidiknya. Akan tetapi, tidak boleh menghalangi keinginan anak untuk menjenguk ibunya. Sebab menghalanginya, berarti menumbuhkan sikap durhaka kepada ibunya dan menyebabkan terputusnya tali silaturahmi.

Jika ia memilih ibunya, maka si anak bersama ibunya saat malam hari. Sedangkan siang hari, ia berada bersama ayahnya, untuk menerima pendidikan dan pembinaan.

Akan tetapi, jika si anak diam, tidak menentukan keputusan dalam masalah ini, maka ditempuhlah undian. Ini berarti kedua orang tuanya tersebut tidak ada pihak yang sangat istimewa dalam pandangan anak, sehingga diputuskan dengan qur`ah (undian).

Keterangan di atas berlaku pada anak lelaki. Bagaimana jika anak tersebut perempuan?

Anak perempuan, saat ia berusia tujuh tahun, hak pengasuhannya beralih ke ayahnya, sampai ia menikah. Pasalnya, sang ayah akan lebih baik pemeliharaan dan penjagaan terhadapnya. Selain itu, seorang ayah lebih berhak menerima wilayah (tanggung jawab) anak perempuan. Namun, bukan berarti ibunya tidak boleh menjenguknya. Sang ayah bahkan dilarang menghalang-halangi ibu sang anak yang ingin menengoknya itu, kecuali jika menimbul hal-hal yang tidak baik atau perbuatan haram.

Seandainya, ternyata ayah tidak mampu menangani pemeliharaan putrinya, atau tidak peduli dengan masalah itu, lantaran kesibukan atau kedangkalan agamanya, maka sang ibu berhak mengambil alih, dan sang anak perempuan ini hidup bersama ibunya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Imam Ahmad dan para muridnya memandang diutamakannya ayah (untuk mengasuh putrinya yang sudah berusia tujuh tahun), bila tidak menimbulkan bahaya (masalah) kepada putrinya. Bila diperkirakan sang ayah tidak mampu menjaga dan melindunginya, (dan justru mengabaikannya lantaran kesibukan, maka ibunyalah yang (berhak) menangani penjagaan dan perlindungan baginya. Dalam kondisi seperti ini, sang ibu lebih diutamakan. Munculnya unsur kerusakan pada anak perempuan yang ditimbulkan oleh salah seorang dari orang tuanya, maka tidak diragukan lagi, pihak lain (yang tidak menimbulkan masalah bagi anak perempuannya itu), lebih berhak menanganinya.[4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga menambahkan, bila diperkirakan bapaknya menikah lagi dan menitipkan putrinya di pangkuan ibu tirinya itu yang enggan menangani kemasalahatannya, bahkan (ibu tirinya itu) menyakiti dan mengabaikan kebaikan bagi diri (putri) nya, sedangkan ibunya (sendiri) bisa memberikan maslahat baginya, tidakmenyakitinya, maka dalam keadaan seperti ini, secara pasti hak hadhonah menjadi milik ibu.[5]

Solusi Jika Terjadi Polemik Antara Isteri dan Mantan Suami Berkaitan Dengan Pengasuhan Anak 
Tak dipungkiri, terkadang pengasuhan anak ini juga menimbulkan problema yang disebabkan persoalan yang kadang muncul.

Sebagai contoh, bila salah seorang dari suami atau isteri ingin bepergian jauh dan tinggal sementara di tempat yang dituju, tanpa ada maksud buruk, situasinya aman, maka dalam keadaan seperti ini, hak hadhonah menjadi milik ayah, baik ayah bepergian ataupun tidak. Ayahlah yang mesti mengurusi pendidikan dan pemeliharaannya. Karena, bila si anak berada jauh dari ayah, sehingga menyebabkan ayahnya tidak bisa melaksanakan tugasnya, akan berakibat si anak tidak terurus.

Jika bepergian tersebut tidak jauh, masih berada dalam jarak qoshor sholat, dan berencana tinggal di sana, maka hak asuh ini menjadi milik ibu si anak. Sebab, ibu lebih sempurna kasih sayangnya kepada anak. Dan lagi, dalam keadaan seperti ini, si ayah masih sangat mungkin bisa melihat keadaan anaknya.

Adapun, jika bepergian itu untuk suatu tujuan, kemudian langsung kembali, atau rute perjalanan maupun kondisi negeri yang dituju mengkhawatirkan, maka hak hadhonah beralih kepada pihak yang tidak bepergian. Sebab, bepergian dalam keadaan seperti itu, akan menimbulkan mara bahaya baginya.

Ibnul Qayyim menyatakan: “Kalau menginginkan kekisruhan masalah atau merekayasa untuk menggugurkan hak asuh ibu, kemudian si ayah bapak melakukan perjalanan yang diikuti oleh anaknya, (maka) ini merupakan hilah (rekayasa) yang bertentangan dengan tujuan yang dimaksudkan syari’at. Sesungguhnya syari’at menetapkan, ibu lebih berhak dengan hak asuh anak daripada bapak jika kondisi tempat tinggal berdekatan, sehingga dimungkinkan untuk menengok setiap waktu”.[6]

Demikian kaidah-kaidah ringkas mengenai hak asuh anak. Bahwa Islam sangat menjaga dan memelihara ikatan keluarga, meskipun antara suami dan isteri, atau antara ayah dan ibu si anak tersebut melakukan perceraian, yang tentu saja akan memengaruhi psikologis anak itu sendiri. Solusi Islam ini sangat berbeda dengan yang ditawarkan hukum publik. Begitu juga sangat berbeda dengan yang dikembangkan masyarakat Barat. Di kalangan Barat, jika terjadi persengketaan antara suami isteri, perebutan anak asuh pasti terjadi dan penyelesaiannya pun berlarut-larut. Bahkan bisa jadi memutuskan tali kekerabatan di antara mereka. Oleh karena itu, tak ada pilihan lain untuk menjaga keutuhan komunitas, kecuali dengan Islam. Wallahu a’lam. (Mas)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote  
[1] Majmu’ al Fatawa (17/216-218).
[2] HR Ahmad (2/182), Abu Dawud (2276) dan al Hakim (2/247). Syaikh al Albani menilainya sebagai hadits hasan
[3] HR Abu Dawud (2277), at-Tirmidzi (1361), an-Nasa-i (3496), Ibnu Majah (2351).
[4] Fatawa Syaikhil-Islam (34/131).
[5] Fatawa Syaikhil-Islam (34/132).
[6] I’lamul-Muwaqqi’in (2/295).

  1. Home
  2. /
  3. Akhlak : Pendidikan Anak
  4. /
  5. Hak Pengasuhan Anak Dalam...

Jika ibunya sudah menikah lagi dengan laki laki lain maka hak asuh anak beralih kepada?

Pengasuhan itu bisa beralih kepada anggota keluarga terdekat atau pihak lain.

Apa yang bisa membuat seorang ibu kehilangan hak asuh anak?

Berikut beberapa sebab ibu kehilangan hak asuh anak: a. Seorang ibu berperilaku buruk. b. Seorang ibu yang masuk ke dalam penjara. c. Seorang ibu tidak bisa menjamin kesehatan jasmani dan rohani anaknya.

Mantan istri Menikah Lagi anak Tanggung Jawab Siapa?

Pertama, nafkah anak menjadi tanggung jawab si ayah, baik selama masa iddah, setelah selesai masa iddah, ataupun setelah mantan istri menikah lagi. Seluruh ulama sepakat bahwa saat ia menalak istrinya dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil, biaya (nafkah) anak-anak tersebut menjadi kewajiban si ayah.

Bisakah hak asuh anak jatuh ke tangan ayah?

Hal ini tertuang dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Mengenai Perkawinan. Ternyata hak asuh anak setelah bercerai juga bisa jatuh ke tangan ayah.