Hadits tentang larangan menjual kulit dari binatang kurban diriwayatkan oleh

Pertanyaan:

Assalamu alaikum,
Apa hukum menjual kulit hewan qurban, kemudian uangnya dimanfaatkan utk membeli daging atau dibelikan kambing?
Mohon dipaparkan berdasarkan dalil?
Nuwun

Jawaban:

Wa alaikumus salam

Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan qurban sedikitpun. Baik daging, kulit, kepala, tengkleng, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu mengatakan,

أن نبي الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يقوم على بدنة وأمره أن يقسم بدنه كلها لحومها وجلودها وجلالها في المساكين ولا يعطي في جزارتها منها شيئا

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan-ku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bahkan terdapat ancaman keras memperjual-belikan bagian dari hewan qurban, sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من باع جلد أضحيته فلا أضحية له

“Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan).

Catatan:

Pertama, termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing atau daging. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.

Kedua, transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli.

Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas). (Fiqh Syafi’i 2/311).

Ketiga, jika kulit sudah diberikan kepada orang lain, bagi orang yang menerima kulit, dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits

PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.

Informasi

  • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
  • DONASI hubungi: 087 882 888 727
  • Donasi dapat disalurkan ke rekening: 4564807232 (BCA) / 7051601496 (Syariah Mandiri) / 1370006372474 (Mandiri). a.n. Hendri Syahrial

Hadits tentang larangan menjual kulit dari binatang kurban diriwayatkan oleh

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28

Oleh : Nur Khoirin YD

BEBERAPA hari lagi umat Islam kembali merayakan Idul Qurban 1443 H. Dinamakan hari raya Qurban, karena setelah sholat Id dan pada hari tasyrik, umat Islam baik secara pribadi maupun secara berkelompok menyelenggarakan penyembelihan binatang qurban, berupa kambing, sapi, kerbau, atau onta yang sehat, gemuk dan tidak cacat, untuk tujuan mendekatkan diri (taqarrban) kepada Allah swt. Daging qurban kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat yang berhak, terutama fakir miskin. Qurban juga sebagai bukti syukur atas berbagai nikmat, serta untuk mempererat tali persaudaraan antar umat.

Setiap menjelang penyelenggaraan qurban masih banyak pertanyaan mengenai hukum menjual kulit atau kepala hewab qurban, apakah diperbolehkan atau dilarang? Ada yang berpendapat, bahwa semua bagian qurban, termasuk kulit dan kepala, harus dibagi habis kepada yang berhak.

Tetapi dalam praktiknya, banyak panitia qurban, dengan berbagai pertimbangan, menjual kulit dan kepala hewan qurban dan memasukkan uang hasil penjualannya untuk biaya operasional atau dimasukkan ke kas masjid/musholla. Pro dan kontra ini bahkan tidak jarang membuat panitia terpecah, tidak kompak, dan bahkan ragu-ragu untuk melangkah. Meskipun sudah sering dibahas dan ditulis, tetapi perlu diurai kembali, untuk mengingatkan kembali dan agar tumbuh pengertian jika terjadi perbedaan.

Ulama yang melarang

Imam Syafi’i, Malik dan Jumhur ulama (mayorits), termasuk Ulama NU dalam Muktamar ke27 di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984, berpendapat tidak boleh menjual kulit hewan kurban (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, hal.438). Larangan ini didasarkan atas beberapa Hadits, natara lain diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari Abu Sa’id, bahwa Nabi SAW berdiri seraya bersabda : “Dulu saya memerintahkan kepada kamu sekalian agar tidak makan daging kurban lebih dari tiga hari, untuk memberi kelonggaran kepadamu.

Tetapi sekarang saya membolehkan kepada kamu sekalian. Maka makanlah sekehendakmu, jangan kalian jual daging, darah dan daging kurban. Makanlah dan sedekahkanlah serta gunakanlah kulitnya dan jangan kalian menjualnya. Sekalipun sebagian daging itu kamu berikan untuk dimakan orang lain, namun makanlah apa yang kalian sukai”. : Hadits senada juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi saw bersabda :”Barang siapa yang menjual kulit binatang kurban, maka ia tak memperoleh kurban apa pun”.

Dalil-dalil inilah yang dijadikan dasar larangan menjual kulit atau bagian-bagian qurban, baik uangnya untuk upah dan operasional penyelenggaraan, maupun masuk kas masjid atau lembaga-lembaga sosial lainnya. Daging qurban dan bagian-bagiannya, seperti kulit, kaki, kepala, dan jerohan, harus dibagi habis kepada orang-orang yang berhak. Para penerima daging qurban juga tidak diperbolehkan menjual kepada orang lain, kecuali ia sangat miskin.

Ulama yang memperbolehkan

Ulama Hanafi dan Hambali memperbolehkan menjual kulit qurban dan mensedekahkan uangnya. Dalam Kitab Tabyinul Haqaiq (juz VI, hal. 9) disebutkan, “Boleh menjual kulit hewan qurban dan mensedekahkan uangnya. Karena perbuatan demikian juga qurbah (perbuatan mendekatkan diri kepada Allah), seperti ketika bersedekah dengan daging dan kulitnya”. Ibnul Qayyim dalam kitabnya Mawdud Bi ahkamil Maulud (h. 89) mengutip riwayat dari Imam Ahmad berkata : “Dan boleh menjual kulitnya, sawaqithnya (hati, paru, jantung, otak, dan limpa), kepalanya dan menyedekahkan uangnya”.

Riwayat senada juga disebutkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (5/153) berkata : “Para ulama bersepakat bahwa daging qurban tidak dijual. Begitu pula kulitnya. Tetapi Al Auzai, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur, boleh dijual kulitnya dan dibelanjakan harganya, sebagaimana hewan qurban dibelanjakan”.

Di Indoensia pendapat ini diikuti oleh Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah. Dalam fatwanya disebutkan, “Kami sepakat tidak boleh menjual daging kurban, karena memang tujuan disyariatkan penyembelihan hewan kurban, antara lain, untuk dimakan dagingnya, terutama untuk disedekahkan kepada fakir miskin.

Demikian pula terhadap penjualan kulitnya, pada dasarnya kami sepakat untuk tidak dijual sepanjang dengan membagikan kulit itu dapat mewujudkan kemaslahatan. Tetapi menyedekahkan kulit hewan kurban dengan cara membagi-bagikannya, kadang-kadang menimbulkan kesulitan untuk memanfaatkannya, bahkan bisa-bisa kulit hewan kurban itu tidak termanfaatkan, yang berarti justru memubazirkan harta, dan itu dilarang oleh agama. Dalam keadaan seperti ini, maka menjual kulit hewan kurban adalah boleh, kemudian hasil penjualannya itu yang disedekahkan. Kecenderungan ini didasarkan pada prinsip raf’ul-haraj (menghilangkan kesulitan). Karena dalam agama tidak ada yang sulit.

Pilih yang mudah

Dua pendapat di atas sebenarnya tidak perlu dipertentangkan. Tetapi justru menjadi pilihan yang sesuai dengan kondisi setempat dan yang mudah. Di tempat-tempat tertentu dimana hewan qurbannya sedikit tetapi jumlah masyarakatnya banyak, maka pendapat pertama lebih tepat. Seluruh bagian hewan qurban, termasuk kulit, kaki, dan kepalanya, bisa dicacah dan dibagikan habis.

Tetapi di daerah-daerah dimana hewan qurban melimpah, sedangkan orang-orang yang menerima sudah cukup dengan bagian dagingnya, maka bisa mengambil pendapat kedua. Lebih bermanfaat jika bagian-bagian yang sulit diolah kecuali oleh ahlinya, seperti kulit, kepala dan kaki, dijual dan uangnya masuk kas masjid atau lembaga-lembaga sosial keagamaan. Bisa juga uangnya dibagikan kepada fakir miskin yang sangat membutuhkan.

Dalil-dalil yang melarang menjual bagian-bagian qurban di atas sebenarnya ditujukan kepada kepada mudhahhi (orang yang berkorban secara pribadi). Mudhahhi harus dengan penuh ikhlas, tidak boleh ada pamrih lagi terhadap hewan qurbannya itu. Apalagi berfikir untuk mendapatkan keuntungan dari qurbannya. Sedangkan kecenderungan sekarang ini, mudhahhi menyerahkan hewan qurbannya secara utuh kepada panitia. Panitia atau amil lah yang mengelola qurban sebaik-baiknya, termasuk memutuskan apakah kulit dan kepala dibagi-bagikan atau dijual, dengan mempertimbangkan aspek manfaat yang lebih besar.

DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo/Advokat Syari’ah/Mediator/Arbiter Basyarnas/Anggota Komisi Hukum dan HAM MUI Jawa Tengah, Tinggal di Tambakaji H-40 Ngaliyan Kota Semarang, Telp. 08122843498. Jatengdaily.com-st