Dua keluarga besar yang menjadi sasaran pemboikotan kaum kafir Quraisy adalah

Berbagai upaya sudah ditempuh kaum musyrikin untuk menghalangi dakwah Rasulullah. Bahkan, mereka pernah bersekongkol untuk membunuhnya. Tapi semua itu selalu gagal. Di belakang Rasulullah ada Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang membela mati-matian, apapun risikonya. Akhirnya, sampailah puncak kepanikan kaum musyrikin.


Puncak kegeraman orang Qurasiy itu berujung pada upaya untuk memakzulkan Rasulullah, berikut para pengikutnya, dan semua dari kalangan Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang melindunginya. Orang Quraisy membuat kebijakan sepihak agar para pembela Rasulullah dirugikan.


Kebijakan ‘curang’ itu berisi tentang larangan menikahi kedua suku Bani Hasyim dan Bani Muthalib, melakukan transaksi dengan mereka, membuka jalan nafkah untuk mereka, berdamai dengan mereka, dan membantu mereka, sampai pihak Bani Muthalib bersedia menyerahkan Rasululllah saw untuk dibunuh.


Kebijakan-kebijakan kejam itu mereka tulis di atas sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah, “Bahwa mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka, kecuali jika mereka bersedia menyerahkannya (Rasulullah saw, pent.) untuk dibunuh.” (lihat Al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, hal. 106)


Perjanjian itu dilaksanakan dan digantungkan di dalam Ka’bah. Bani Hasyim dan Bani Muthalib, baik yang sudah beriman atau yang masih kafir, tetap bersikukuh untuk membela Rasulullah saw. Mereka pun terisolasi di celah bukit milik Abu Thalib pada malam pertama bulan Muharram tahun ke-7 kenabian, ada pula yang menyebutkan selain tanggal tersebut (lihat Al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, hal. 106)


Orang-orang yang sudah beriman dikucilkan di bukit itu lantaran keyakinan yang mereka anut. Sementara mereka yang belum beriman dan tetap mendapat pengucilan itu karena dianggap melindungi Rasulullah. Artinya, seluruh anggota Bani Hasyim dan Bani Muthalib diboikot, kecuali hanya satu orang, Abu Lahab.


Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun. Dari bulan Muharram tahun ke-7 kenabian sampai bulan Muharram tahun ke-10 kenabian. Selama tiga tahun itu, Bani Hasyim dan Bani Muthallib sangat menderita. Tidak ada makanan yang bisa mereka makan. Bahkan, sampai mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit. Tidak hanya itu, jeritan kaum wanita dan bayi-bayi mengerang di balik kelaparan yang mencekam.


Setiap ada sahabat Rasulullah saw datang untuk membeli makanan dari kafilah yang datang ke Makkah, Abu Lahab berseru pada kafilah itu agar melipatgandakan harganya, sehingga sahabat tadi tidak mampu membelinya. “Wahai pedagang, naikkan harga kalian untuk para sahabat Muhammad, supaya mereka tidak dapat membeli apapun!” Seru Abu Lahab. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 86)


Setelah tiga tahun dalam masa pemboikotan. Tindakan itu dikecam oleh beberapa orang dari kalangan Bani Qushay. Mereka bersepakat untuk membatalkan perjanjian itu. Sementara di waktu yang bersamaan, Allah telah mengutus pasukan rayap untuk memakan lembar perjanjian yang digantungkan di Ka’bah. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 86)


Allah memberitahu kepada Rasulullah bahwa kini lembaran berisi perjanjian itu telah dimakan rayap. Akhirnya, Nabi memberitahukan kabar itu pada pamannya, Abu Thalib. Lantas, Abu Thalib menghampiri orang Quraisy dan menyampaikan apa yang baru saja didengar dari ponakannya. Abu Thalib kemudian menuntut mereka untuk membukanya.


Singkat cerita, orang Quraisy menyetujui permintaan Abu Thalib. Mereka menurunkan lembaran dari Ka’bah dan perlahan membuka lembaran yang masih tergulung itu. Semua mata tertuju. Benar saja, setelah dibuka, lembaran itu telah rusak dimakan rayap dan hanya menyisakan lafal Allah. Namun, orang Quraisy mengelak, dan menganggap itu hanya sihir Muhammad saja. “Ah, ini semua adalah sihir keponakanmu itu.” Kekufuran mereka semakin menjadi. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 87)


Tidak lama kemudian, lima pemuka Quraisy tampil untuk mencabut embargo yang telah mereka lakukan. Kelima orang itu adalah Hisyam bin Amr bin Harits, Zuhair bin Umayyah, Muth’im bin ‘Adi, Abul Bakhtari bin Hisyam, dan Zam’ah bin Aswad.


Dari kelima orang itu, yang pertama kali maju secara terang-terangan untuk mencabut embargo adalah Zuhair bin Umayyah. Disusul keempat tokoh yang lain. Muth’im bin ‘Adi kemduian merobek lembar perjanjian itu. Berikutnya, kelima orang tadi menemui Bani Hasyim, Bani Muthalib, dan orang-orang yang diboikot di Syi’b Bani Muthalib. Mereka pun bebas dan kembali ke rumah masing-masing.


Hikmah dan Pelajaran


Meneladani Ketabahan Rasulullah


Orang-orang yang beriman dan memilih untuk membela Rasulullah hingga merasakan penderitaan itu, sesungguhnya mereka telah berhasil meneladani kepribadian Rasulullah saw. Ketabahan mereka untuk membantu satu sama lain adalah karena Allah. Tidak peduli mereka menderita di dunia, asalkan tetap berada di jalan yang benar dan mendapat ridha Allah swt. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 87)


Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak beriman tetapi tetap membela Rasulullah? Untuk mereka yang tidak beriman dan tetap membela Rasulullah, sikap mereka merupakan budaya yang sudah terbentuk sejak zaman jahiliyyah (al-hamiyyah al-jahiliyyah). Sebuah sikap pembelaan setia (fanatisme) untuk membela golongan sendiri, tidak peduli yang dibela itu berada dalam jalan yang benar atau salah. Jadi, perlindungan mereka bukan karena misi kerasulan, tapi karena hubungan kekerabatan. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 88)


Masuk Islam Bukan Karena Tujuan Duniawi


Pembelaan orang-orang Muslim terhadap Rasulullah sampai harus merasakan kelaparan, kemiskinan, segala bentuk penderitaan lainnya, merupakan bukti bahwa tujuan masuk Islam mereka bukan karena alasan ekonomi. Bahkan, dalam peristiwa hijrah, banyak para sahabat yang meninggalkan seluruh harta yang mereka miliki. Setelah hijrah itu, tidak sedikit para sahabat konglomerat yang tiba-tiba menjadi miskin papa.


Menurut Syekh Said Ramadhan al-Buthi (w. 2013 M), fakta di atas menjadi bukti atas niat orang-orang yang masuk Islam memang murni karena Allah. Bukan tujuan duniawi. Persoalan nasib ekonomi mereka membaik setelah masuk Islam dibanding sebelum masuk Islam, itu adalah kehendak Allah. Bukan menjadi motif mereka masuk Islam.


Pasalnya, pada masa-masa awal dakwah di Makkah, mereka yang memeluk Islam banyak dari kalangan fakir miskin, budak, dan orang-orang lemah. Setelah mereka masuk Islam, Allah mengangkat nasib ekonomi mereka dan hidup berkecukupan. Begitu pun setelah Islam berhasil menaklukkan beberapa wilayah, kehidupan para sahabat menjadi lebih mapan.


Tapi, sekali lagi, fakta ini tidak menunjukkan watak hedonisme mereka, yang mau masuk Islam demi kepentingan dunia. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 90)


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Mahasantri Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta

Jakarta -

Nabi Muhammad SAW menerima wahyu kerasulan pertama kali saat menjelang usia 40 tahun. Wahyu datang melalui Malaikat Jibril di Gua Hira pada suatu malam. Ada yang menyebut peristiwa itu terjadi pada 17 Ramadhan 13 tahun sebelum hijriyah.

Setelah peristiwa malam tersebu, Muhammad suami Khadijjah binti Khuwailid itu sempat mengalami pergulatan batin selama beberapa hari. Hingga kemudian setelah tenang, putra Abdullah bin Abdul Muthalib pergi ke Kakbah.

Dalam perjalanan ke Kakbah Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Waraqah bin Naufal, sepupu Siti Khadijjah. Kepada Waraqah, Muhammad menceritakan semua peristiwa yang dia alami di Gua Hira.

Waraqah sebelumnya juga mendengar cerita senada dari Khadijjah. Waraqah meyakinkan bahwa Muhammad adalah Nabi yang diutus Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak umat.

Kepada Muhammad, Waraqah mengingatkan agar berhati-hati. Sebab saat menyampaikan wahyu Allah SWT, nantinya Muhammad bisa saja mendapat penolakan dari kaum kafir Quraisy. "Pastilah kau (Muhammad) akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahui-Nya pula," kata Waraqah kepada Nabi Muhammad SAW seperti dikutip Tim Hikmah detikcom dari buku Sejarah Hidup Nabi Muhammad karya Muhammad Husain Haekal.

Nabi Muhammad SAW, sang Penghulu Rasul itu pun terbayang akan perjuangan menyampaikan wahyu Allah SWT kepada kaum Quraisy. Mengajak kaum kafir Quraisy beriman kepada Allah SWT ketika itu bukan hal yang mudah.

"Mereka kaum Quraisy sangat kuat mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia berperang dan mati untuk itu," kata Muhammad Husain Haekal dalam bukunya.


Disebutkan dalam sejumlah Sirah Nabawiyah, di awal kenabian Nabi Muhammad SAW terpaksa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi selama 3 tahun. Sampai kemudian turun wahyu Allah SWT, Surat Asy-Syua'ra ayat 214 sampai 216.


وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ . وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ . فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ


Latin-Arab : Wa anżir 'asyīratakal-aqrabīn. Wakhfiḍ janāḥaka limanittaba'aka minal-mu`minīn. Fa in 'aṣauka fa qul innī barī`um mimmā ta'malụn


Artinya: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan" (QS. Asy-Syua'ra': 214-216)

Turun juga Al Quran Surat Al-Hijr ayat 94

فَٱصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْمُشْرِكِينَ

Latin - Arab: Faṣda' bimā tu`maru wa a'riḍ 'anil-musyrikīn

Artinya: Maka sampaikanlah olehmu (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.

Nabi Muhammad SAW kemudian memulai dakwah dengan terang-terangan dimulai dari keluarga terdekat yakni kalangan Bani Hasyim. Namun di antara kelarga Bani Hasyim hanya Ali bin Abu Thalib yang mau beriman kepada Allah SWT. Sementara Abu Thalib melindungi dakwah Muhammad namun belum mau mengucap syahadat.

Setelah itu, dakwah terang-terangan Nabi Muhammad selalu mendapat pertentangan dari kaum Quraisy. Bahkan, para pemuka Quraisy menuduh Nabi Muhammad gila dan sempat melemparkan kotoran ke tubuh Nabi. Termasuk yang menentang dakwah Nabi Muhammad SAW adalah sang paman, Abu Jahal dan Abu Lahab.

Bersama kaum kafir Quraiys Abu Jahal dan Abu Lahab menentang habis-habisan dakwah Rasulullah dan mengintimidasi pengikutnya. Mereka khawatir ajaran yang dibawa Muhammad bisa merusak agama nenek moyang kaum Quraisy yakni menyembah berhala.

Mereka pun melakukan segala cara untuk menolak dakwah Rasulullah dengan mencoba membunuhnya. Kaum Quraisy membujuk Abu Talib dengan memberikan sejumlah uang tebusan untuk membiarkan Nabi Muhammad dibunuh.

Rencana pembunuhan dilakukan dengan melibatkan orang di luar suku Quraisy sehingga tidak akan memecah perang saudara. Abu Talib yang mendengar hal itu pun melihat tanda keseriusan Quraisy dalam memerangi dakwah Nabi Muhammad.

Ia pun bergegas memanggil semua keluarga Bani Hasyim dan memberi tahu rencana suku Quraisy. Mereka pun berupaya melindungi Rasulullah dari segala teror yang direncanakan.

Kesulitan yang dihadapi oleh Rasulullah ternyata juga terjadi pada keluarga Bani Hasyim. Kaum Quraisy diketahui memboikot segala jual-beli, pernikahan dan hubungan sosial dengan Bani Hasyim sehingga mengakibatkan mereka kesulitan mendapatkan bahan pangan.

Kaum Quraisy berharap dengan adanya pemboikotan tersebut bisa membuat Bani Hasyim menyerahkan Rasulullah untuk dibunuh. Untuk itu, Abu Thalib memerintahkan seorang dari Bani Hasyim tidur di ranjang Rasulullah sehingga menyerupai Nabi Muhammad.

Setelah berbagai kesulitan yang dialami Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya di Makkah, turunlah perintah hijrah. Awalnya tujuan hijrah adalah ke negeri Habasyah atau Ethiophia. Namun turun perintah agar umat Islam hijrah ke Madinah.

(pay/erd)