Taksonomi Bloom merupakan salah satu gebrakan pendidikan yang memberikan pengaruh besar terhadap bagaimana evaluasi pendidikan bahkan penyelenggaraan pendidikan secara umum dilaksanakan. Mengapa? Karena Taksonomi ini dapat mengidentifikasi kemampuan berpikir mulai dari tingkat yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Tentunya saat kita mampu membagi kemampuan berpikir, maka kita juga dapat membuat indikator, soal, dan evaluasi sesuai dengan kompetensi yang diharapkan dari tujuan pendidikan. Show Sebelum Taksonomi Bloom dikenalkan, berbagai materi, soal, dan pembelajaran yang diberikan di sekolah hanyalah berupa transfer ilmu dan hafalan semata. Isu tersebut diutarakan oleh Bloom dan kawan-kawan dalam Konferensi Asosiasi Psikolog Amerika pada awal tahun 1950. Bloom dan kawan-kawan mengemukakan bahwa dari evaluasi hasil belajar yang banyak disusun di sekolah, ternyata persentase terbanyak butir soal yang diajukan hanya meminta siswa untuk mengutarakan hafalan mereka saja. Padahal, tujuan dari pembelajaran di sekolah adalah ingin memaksimalkan potensi diri, kemampuan kognitif (berpikir), dan keterampilan siswa, bukan sekedar mampu menjawab soal dari hafalan saja. Hal ini juga urgensinya semakin besar di abad-21 di mana informasi sudah dapat disebarkan dan diakses dengan cepat tanpa harus mengingatnya. Kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan daya kreasi peserta didik menjadi yang utama, bukan pengetahuan dan hafalannya saja. Taksonomi BloomAkhirnya pada tahun 1956, Bloom, Englehart, Furst, Hill dan Krathwohl berhasil mengenalkan kerangka konsep kemampuan berpikir yang dinamakan Taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom adalah struktur hierarki yang mengidentifikasikan kemampuan kognitif mulai dari tingkat yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Dalam Taksonomi Bloom, tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu, ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Pada ranah kognitif, memuat tujuan pembelajaran dengan proses mental yang berawal dari tingkat pengetahuan ke tingkat yang lebih tinggi yakni evaluasi. Singkatnya, taksonomi Bloom membagi kemampuan tingkat berpikir atau kognitif (cognitive) menjadi 6 tingkat, menjadi:
*C merepresentasikan cognitive yang berarti kognitif. Revisi Taksonomi BloomSeiring perkembangan teori pendidikan, Krathwohl dan para ahli psikologi aliran kognitivisme lainnya merevisi taksonomi Bloom agar sesuai dengan kemajuan zaman. Hasil perbaikan tersebut dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama Revisi Taksonomi Bloom (Effendi, 2015, hlm.73). Pada Revisi Taksonomi Bloom, Tingkatan berpikir tersebut dikelompokkan lagi menjadi dua, yakni C1 hingga C3 sebagai Low Order Thinking Skill atau kemampuan berpikir tingkat rendah, dan C4 hingga C6 sebagai Higher Order Thinking Skill yang berarti kemampuan berpikir tingkat tinggi. Setiap poin tingkat kognitifnya juga mengalami sedikit penyesuaian. Menurut Tim Pusat Penilaian Pendidikan (2019, hlm.3) dalam Taksonomi Bloom yang direvisi oleh Krathwohl dan Anderson, dirumuskan 6 level proses berpikir, yaitu:
Untuk memperjelas revisi yang dilakukan oleh Krathwohl & Anderson, berikut adalah perbandingan Taksonomi Bloom sebelum dan sesudah di revisi.
Dalam revisi Taksonomi Bloom ini pula, tingkat berpikir siswa dibedakan menjadi dua yaitu berpikir tingkat rendah/dasar dan berpikir tingkat tinggi. Menurut Resnick dan Thompson (dalam Dewanti, 2020, hlm. 19) berpikir tingkat dasar (lower order thinking) hanya menggunakan proses terbatas pada hal-hal rutin dan bersifat mekanis, sedangkan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) membuat peserta didik untuk menginterpretasikan, menganalisa atau bahkan mampu memanipulasi informasi sebelumnya sehingga tidak monoton. Kini, HOTS atau Higher Order Thinking Skills menjadi fokus utama dalam menyelenggarakan evaluasi pendidikan. Hal ini tentunya karena tingkat kemampuan berpikir tersebutlah yang dibutuhkan untuk menghadapi abad-21. Dalam penerapannya, Taksonomi Bloom harus memiliki indikator yang konkret sehingga mampu memberikan gambaran yang konkret pula pada penilaian kemampuan berpikir peserta didik. Indikator-indikator tersebut disebut sebagai kata kerja operasional atau disingkat KKO. Kata Kerja Operasional (KKO)KKO atau Kata kerja operasional adalah kata kerja konkret yang merepresentasikan bahwa suatu indikator atau indikasi telah dilaksanakan, sehingga dapat diukur atau dinilai seberapa kuat indikator tersebut muncul dalam diri peserta didik. Misalnya, jika indikator yang ingin diketahui adalah kemampuan “Menganalisis” maka beberapa kata kerja operasional yang dapat mewakili indikator tersebut adalah peserta didik dapat “menguraikan”, “mengenali”, “membandingkan”, “mendeteksi”, “memeriksa”, “mengkritisi”, atau “menguji” suatu materi tertentu. Indikator “Menganalisis” dapat disampaikan sebagai berikut: “Siswa mampu mengidentifikasi pola penulisan eksplanasi”. Sementara itu, soal evaluasi yang dapat diberikan berdasarkan kriteria indikator tersebut adalah “Identifikasi beberapa teks di atas, pola penulisan eksplanasi apa yang digunakan? jelaskan buktinya” atau “Teks di atas disusun dengan pola penulisan teks eksplanasi apa? Kemukakan alasanmu!” Kata kerja operasional dibagi menjadi beberapa ranah meliputi: kognitif (kemampuan berpikir/menalar), afektif (perasaan/karakter/sikap), dan psikomotor (kemampuan fisik/campuran). Menurut Tim Kemkes (2018) Berikut adalah tabel-tabel kata kerja operasional (KKO) yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan Taksonomi Bloom yang telah direvisi menjadi indikator yang konkret. KKO Ranah Kognitif
KKO Ranah Afektif
KKO Ranah Psikomotor
Referensi
|