Cry Jailolo merupakan salah satu karya seni tari yang diciptakan oleh tokoh yang bernama

Cry Jailolo merupakan salah satu karya seni tari yang diciptakan oleh tokoh yang bernama

SOLOPOS.COM - Penari menarikan tari Cry Jailolo di pentas Teater Arena, Taman Budaya Surakarta (TBS), Solo, Jawa Tengah, Selasa (11/11/2014) malam. Tari garapan koreografer Eko Supriyanto tersebut terinspirasi kehidupan budaya Suku Sahu di Jailolo, Halmahera Barat. (Septian Ade Mahendra/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Cry Jailolo yang merupakan tari wujud keprihatinan atas rusaknya alam bawah laut karena praktik pengeboman dipentaskan di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo, Selasa (11/11/2014) malam.

Dalam hening dan gelap, terdengar suara ketukan kaki ritmis. Saat lampu utama mulai menyala, terlihat seorang penari bercelana merah darah sedang memainkan kedua kakinya. Tumit kaki sebelah kirinya diketukkan ke lantai dua kali. Setelah itu telapak kaki sebelah kanannya menyambut gerakan tersebut dengan menjejak sangat cepat.

PromosiDukung UMKM Binaan BUMN Go Online, Tokopedia Daftarkan 2.000 NIB

Gerakan derap kaki tersebut mengawali penampilan enam penari lelaki lainnya untuk tampil dengan gerakan serupa. Ketika musik digital garapan Setyawan Jayantoto diputar, mereka mulai menari dengan menggerakkan bergantian tangannya ke kiri dan ke kanan.

Begitulah penampilan pembuka dalam tari Cry Jailolo karya Eko “Pece” Supriyanto yang dipentaskan di Teater Arena TBS Solo, Selasa malam. Tujuh penari yang terdiri atas Veyndi Dangsa, Greatsia Yobel Yunga, Fernandito Wangelaha, Gerry Gerardo Bella, Noveldi Bontenan, Budiawan Saputra Riring, serta Geri Krisdianto, seolah sedang mengolah ruang budaya tersebut menjadi wahana akuarium raksasa lewat gerakan tarian mereka.

Bak gerombolan ikan yang sedang berenang, mereka bergerak menyusuri bagian kanan, depan, kiri, dan belakang panggung Teater Arena dengan gerakan tari yang liat. Sepanjang menari dalam formasi kelompok tersebut, mereka terus mempertahankan gerakan ketukan kaki yang terinspirasi dari tarian Legu Salai khas Suku Sahu, Jailolo, Halmahera Barat.

Tarian yang digarap tanpa properti tambahan ini selanjutnya berhenti setelah kurang lebih 30 menit berjalan. Ketujuh penari menghilang dalam gelap. Setelah itu satu di antara penari muncul ke tengah panggung. Enam penari lain berdiri di belakangnya. Dalam diam, mereka menatap lekat penonton yang duduk di depannya.

Setelah itu tensi gerakan tari selanjutnya dibuat lebih tinggi. Dengan sorot mata yang tajam, mereka menari lebih “bertenaga”. Kedua tangan mereka diarahkan menengadah ke atas sambil terus bergerak mempertahankan formasi. Setelah beberapa saat mempertahankan gerakan yang sama, mereka bersama-sama roboh ke lantai. Tak berapa lama mereka bangkit dan bangun bergerak lagi.

Saat tarian berdurasi kurang lebih satu jam ini berakhir, sejumlah penonton yang hadir menyambut karya terbaru Eko Pece dengan tepuk tangan berdiri. Salah satu apresiasi hadir dari empu tari Sardono W. Kusumo. Dia melihat tarian  yang dibawakan dengan penuh penjiwaan oleh enam lelaki asli Jailolo dan satu penari industri ini menjadi tonggak baru di dunia tari kontemporer.

“Tarian ini platform yang menarik. Kecerdasan tubuh penarinya kelihatan sekali. Teknik gaya berat dan keseimbangan penarinya luar biasa. Ini sebuah tonggak. Dari tubuh yang dikonstruksikan lahir sebuah kebudayaan. Eko benar-benar bekerja dengan riset. Dia mampu menjadi manusia air, itu sebabnya ia mampu menjiwai jiwa orang-orang,” katanya selepas pertunjukan.

Eko Supriyanto mengungkapkan karya tari terbarunya berasal dari proses riset dan berkarya selama tiga tahun di Halmahera Barat. Lakon tari ini terinspirasi dari keindahan alam bawah laut Jailolo. Namun saat menyelami keindahan tersebut, Eko juga mendapati alam bawah laut di sana terusik dengan akibat aksi pengeboman ikan yang merusak terumbu karang di sana.

“Ini hasil berproses setelah dua tahun. Saya akhirnya menyelam betul dalam kultur yang berbeda. Saya masuk dan mengobrol di Suku Sahu, Tobaru, Wayoli, dsb. Itu yang membuat saya disadarkan betapa ada hal-hal sederhana yang bisa jadi sesuatu [yang besar] buat mereka,” jelas Eko.

Selama beberapa waktu berproses di Jailolo dan tampil ke Malaysia, Jakarta, dan Bandung, Eko mengungkapkan dia menemukan pengalaman yang menarik. “Kami mengalami cultural shock. Saya shock melihat keindahan alam di sana rusak karena pengeboman terumbu karang. Para penari [asli Jailolo] juga shock saat saya ajak berkeliling dan mengikuti proses ini. Ada transfer value,” ujarnya.

Berdiri di persimpangan jalan antara industri dan seni tari murni, nyatanya tak membuat Eko “Pece” Supriyanto gamang. Ia memilih “laku sunyi” dengan menggarap karya yang mampu menyentuh masyarakat awam pada dunia seni tari kontemporer. Pertukaran budaya agaknya menjadi upah yang lebih bernilai daripada tepuk tangan berdiri.

2. Salah satu manfaat matahari bagi kehidupan di bumi adalah sebagai sumber...3.arti lafal واليل adalah...4.orang-orang yang beruntung selalu...jiwa5. … arti lafal رحمتئ adalah...6.allah mencintai orang yang berbuat dosa namun ia mau...7.sistem penanggalan Hijriyah yang di pakai umat Islam berdasarkan peredaran...8.waktu pagi hari ketika matahari naik kira-kira setombak disebut waktu...9.arti lafal قد افلح adalah...10.allah SWT. membenci orang yang...dari Rahmat-Nya...pliss jawab sekrangg,besok di kumpulinn..​

siapa yang pertama kali menciptakan internet​

Berapa jumlah pasukan Sultan Muhammad Al Fateh di perang Konstantinopel? ☪️☪️​

berikut yg tidak termasuk dalam misi dakwah nabi Muhammad yaitu.. A. menyampaikan adanya hari kiamatB. mengajarkan ketauhidan C. pemindahan ibu kotaD. … membawa kedamaian​

Spill kisi-kisi Sejarah Indonesia PTS semester 1materinya tentang "Menelusuri Peradaban Awal di Kepulauan Indonesia" kelas 10please, dong kak​

contoh hewan amfibi adalah apa jawab yang benar jangan salah​

seorang penjajah asal timur tengah yang pernah singgah di nusantara adalah a.ibnu sina b. ibnu rusyd c.ibnu batutah d.ibnu majjah ​

sejarah CD-R adalah...​

penemu CD-RW adalah...​

negara mana saja yang menyukai pembentukan asean? ​

Cry Jailolo merupakan salah satu karya seni tari yang diciptakan oleh tokoh yang bernama

Tujuh pasang kaki itu terus bergerak seluas ruang, sepanjang pergelaran. Gerak mirip orang berjinjit itu membentuk posisi diam, tapi terus bergerak. Mirip diamnya sekelompok ikan merah yang umumnya tinggal di terumbu karang, namun ekornya terus bergerak, sayapnya terus berkibasan. Gerak itu tak menimbulkan riak; seperti tak sedang menahan beban tubuh yang menggayuti.

Dalam ruang-tanpa-apa yang gelap dan hanya diterangi cahaya mirip sepotong bulan rendah di laut teduh subuh hari, kaki-kaki itu menghentakkan lantai yang menimbulkan suara lembut yang diikuti musik-latar ritmis yang menggambarkan suara sepi dunia bawah laut Jailolo.

“Cry Jailolo” adalah sebuah narasi yang berkisah lewat perantaraan tubuh. Narasi tentang kerusakan biota bawah laut di perairan dangkal yang ditumbuhi karang-karang. Ruang tanpa apa-apa adalah pesan kuat tentang rumah-karang yang tiada; dan tujuh penari bercelana merah yang terus bergerak adalah sekelompok ikan yang sedang mencari ke sana-kemari rumahnya yang hancur. Kadang mereka diam dengan kaki (ekor) yang terus berkibasan; kadang mereka merentangkan tangan serupa ikan terbang untuk melihat dunia dari atas air. Mungkin berdoa. Atau bisa pula mengadu aduh kepada burung Bidadari yang juga kian langka. Kadang pula tubuh-tubuh itu, setelah tahu tiada lagi yang tersisa, TIADA LAGI YANG TERSISA, bergerak berderak-derak seperti sedang mengekspresikan kemarahan dalam dunia bawah laut yang gelap

Terumbu karang adalah rumah bagi ikan-ikan dan Eko Supriyanto mempresentasikannya dalam narasi-gerak bernama “Cry Jailolo”. Ide penciptaan Cry Jailolo lahir ketika laki-laki kelahiran Astambul, Kalimantan Selatan, 26 November 1970 ini menyelam ke dunia bawah laut Jailolo. Ia kaget dengan panorama bawah laut, terutama terumbu karang yang rusak akibat pemboman. Meski begitu, ia masih dengan mudah menemukan keindahan kesultanan laut Jailolo. Saat dalam air yang sunyi itulah melintas di benak Eko gagasan schooling fish. Dipadu dengan tarian Legu Selai dan Soya-soya khas Halmahera Barat lahirlah koreografi “Cry Jailolo” dengan dipadu komposisi musik-ritmis yang disusun Setyawan Jayantoro.

Dipentaskan pertama kali pada Festival Teluk Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara, pada Mei 2014 dengan melibatkan penari-penari muda berbakat alam setempat. Ketujuh penari ini – Veyndi Dangsa, Gretsia Yobel Yunga, Gerry Geraldo Bela, Fernandito Wangelaha, Geri Krisdianto, Noveldi Bontenan, dan Budiawan Saputra Riring – dipilih dari 150 remaja yang setahun sebelumnya di festival yang sama memainkan drama musikal kolosal “Sasadu On the Sea”.

Sebagai koreografer yang sejak kecil dididik kakeknya di sanggar tari, Eko Supriyanto cepat mengenali tubuh-tubuh yang memiliki potensi tari meski bukan berasal dari sekolah tari. Apalagi untuk memainkan gerak dinamis tarian Halmahera Barat yang memerlukan, tidak saja kejeniusan, melainkan daya tahan tubuh yang berlimpah.

“Penari mesti memiliki gerakan-gerakan tubuh yang cerdas. Tanpa dibaluti properti, kekuatan penari berada pada gerak tubuh mereka sendiri,” kata dramaturgi Arco Renz dari Belgia yang turut terlibat dalam pementasan “Cry Jailolo”.

Eko Supriyanto adalah penari dan koreografer yang cerdas. Seperti kata Arco Renz, ketiadaan properti menjadikan gerak tubuh-tubuh penari sebagai fokus dan inti perhatian. Kepada ketujuh tubuh dengan bakal alam itulah Eko Supriyanto meniupkan narasi dan pesan.

“Cry Jailolo” adalah pesan Halmahera Barat kepada dunia. Kosagerak yang ditimba Eko Supriyanto dari tari tradisi khas Jailolo (Legu Salai dan Soya-soya) itu melesat dari tepian air Maluku Utara menjadi duta biota laut.

Mula-mula ikut pada Aswara International Dance Festival yang diinisiasi sahabat Eko asal Malaysia, Joseph Gonzales. Gonzales yang bertekad menghidupkan lagi festival tari di Malaysia yang selama 18 tahun matisuri justru sekaligus menjadi panggung awal bagaimana “Cry Jailolo” menyapa dunia. Standing applause di akhir pertunjukan membuat Eko Supriyanto menggarap ulang “Cry Jailolo”; bukan saja menambah durasi waktu yang hanya 20 menit menjadi satu jam, tapi juga menambah gerak-gerak dinamis dan rampak.

Saat dipertunjukkan di Indonesia Dance Festival, karya Eko ini menuai pujian; termasuk dari Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Arief Yahya. Sardono W Kusumo bahkan menganggap “Cry Jailolo” menjadi tonggak kesenimanan Eko Supriyanto sebagai seorang penari. Karya ini melebihi karya-karya sebelumnya. Bukan saja hasil akhir, melainkan proses penggalian ide, penciptaan bentuk, pencarian penari, dan usahanya menghidupkan tarian tradisi di sebuah tempat yang teramat jauh dari pusat dan membawanya menjadi perhatian dunia.

“Cry Jailolo” menyapa Australia, Jepang, New Zealand, beberapa negara Eropa, dan New York serta Washington DC di Amerika Serikat. “Cry Jailolo” juga mendapat kesempatan mewakili Indonesia di acara Frankfurt Book Fair 2014 di Jerman dan di beberapa panggung teater di Eropa seperti Belgia dan Swiss.

Salah satu cerita menarik datang dari Jepang saat Festival Tari Internasional digelar di negari sakura tersebut. Pada sesi speed meeting yang dihadiri perusahaan seni di seluruh dunia, para seniman yang memiliki karya baru dipersilahkan presentasi dalam durasi waktu tertentu. Jika ada perusahaan tertarik, karya seniman tersebut dibeli. Jika tidak tertarik, presentasi diganti seniman lainnya.

Eko awalnya mau ikut presentasi. Namun, produser melarang. Eko hanya diwajibkan untuk latihan persiapan pentas acara penutup festival. Bagi sang produser, karya Eko tak lagi untuk dipresentasikan, tetapi untuk dipertunjukkan kepada publik. Dan benar, seisi gedung pertunjukkan yang berkapasitas lima ribu penonton itu bergemuruh di ujung pementasan. Standing applause membahana untuk “Cry Jailolo”.

Sepanjang kalender tahun 2015, jadwal pertunjukan “Cry Jailolo” berderet. Di mulai dari Bali pada Maret, lalu kembali ke atas panggung apung Festival Teluk Jailolo tempat kelahiran tari ini pada Mei.

Untuk kalender internasional, di mulai dari Darwin Australia pada Agustus, disusul pentas di Humberg (Jerman), kemudian ke Zurich (Swiss), dan Groningen dan Roterdam (Belanda).

Di bulan September, “Cry Jailolo” tampil dalam Bird Festival Kobe (Jepang) dan Adelaide (Australia). Pada bulan Oktober, pementasan Cry Jailolo bisa disaksikan di Antwerpen (Belgia), Frankfurt dan Darmstadt (Jerman), dan berakhir di Esplanade (Singapura).

Dari muhibah “Cry Jailolo” di separuh bulatan bumi itu, kita menjadi tahu bahwa alam dan kreativitas adalah kekayaan kultural yang membawa pada kejayaan dan renaisans. Keduanya adalah berkah dan sekaligus metode bagaimana membagi pesan bahari secara universal.

Bermula dari gerak tubuh yang diciptakan para kamitua di Halmahera Barat yang kemudian ditafsir sedemikian rupa dalam bentuk koreografi kontemporer oleh ketujuh tubuh anak-anak Jailolo yang terus bergerak sepanjang pergelaran, Halmahera Barat menyapa dunia.

Jalan yang diambil Bupati Namto Hui Roba kini memperlihatkan hasil. Jalan kebudayaan yang dirintisnya lewat Festival Teluk Jailolo sejak 2009 merupakan jalan benar. Tidak saja jalan kebudayaan ini memulihkan luka akibat kerusakan sosial 1999-2000 di seantero Maluku, tapi juga menerbitkan kebanggaan bahwa Halmahera Barat bisa memberi sekuplet semangat terus bergerak untuk Indonesia Raya. Atas jasanya pada kesenian di daerah yang dipimpinnya itu, Bupati Namto Hui Roba menerima penghargaan dari pemerintah Australia di Darwin pada Agustus 2015.

Lewat kosagerak tari warisan tepian air Halmahera Barat, Indonesia menari.