Contoh pemanfaatan sda yang tidak terkendali dan dampaknya

INIRUMAHPINTAR - Inilah Masalah dan Dampak Pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang perlu diketahui. Jika SDA terus menerus dikuras tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan berbagai masalah dan dampak negatif terjadi di masyarakat. Penjelasan berikut ini akan memberikan pencerahan sekaligus menjawab pertanyaan, apa masalah pemanfaatan sumber daya alam dan apa dampak pemanfaatan sumber daya alam. Mari kita lihat pembahasan lengkapnya di bawah ini:

Pembangunan  yang tidak terencana dan tidak memperhatikan lingkungan hidup dapat menimbulkan dampak kerusakan pada kemampuan dan fungsi sumber alam dan lingkungan hidup. Dampak tersebut dapat berupa:

  1. Rusaknya  berbagai sistem pendukung perikehidupan yang penting bagi manusia, baik sistem biofisik maupun sosial;
  2. Munculnya bahaya-bahaya baru akibat ciptaan manusia, seperti bahan berbahaya dan beracun;
  3. Pengalihan beban dan resiko kepada generasi berikutnya atau kepada daerah lain.

Dampak-dampak itu terutama merupakan hasil interaksi ( hubungan timbal balik ) dari tiga faktor utama:

  1. Pertumbuhan penduduk,
  2. Pertumbuhan produksi untuk memenuhi kebutuhan penduduk, dan
  3. Lembaga-lembaga masyarakat, termasuk teknologi yang dikembangkan untuk meningkatkan produksi.

Hubungan timbal balik antara pertumbuhan penduduk dan lingkungan hidup yang menimbulkan masalah kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup meliputi:

  1. Meningkatnya pemakaian sumber daya alam untuk menghasilkan bahan pangan, obat-obatan, dan bahan baku industri;
  2. Meningkatnya pemakaian ruangan untuk mempermukiman dan prasarana kehidupan;
  3. Meningkatkannya beban pencemaran pada lingkungan hidup.
Contoh pemanfaatan sda yang tidak terkendali dan dampaknya
sumber ilustrasi : Flickr

Meningkatkan pemakaian tersebut berkaitan erat dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tidak sesuai daya dukungan alam dan persebaran penduduk yang kurang merata serta tuntutan akan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.

Salah satu gejala dari tidak keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan kemampuan dan fungsi ekosistem adalah meluasnya tanah kritis (tanah yang sangat tandus yang tidak dapat digunakan untuk pertanian) dan menurunnya produktifitasi tanah. 

Menurunnya produktifitas tanah terutama disebabkan oleh erosi dan kerusakan hutan alam tropika. Kerusakan hutan alam tropika terutama disebabkan oleh pertumbuhan jumlah petani peladang berpindah dan menciutnya areal yang dapat dijadikan ladang berpindah. Di samping itu, daerah yang kepadatan penduduknya tinggi mengalami kerusakan lingkungan hidup yang memprihatinkan, seperti pencemaran air, penurunan produktifitas tanah pertanian, dan masalah-masalah sosial.

Referensi: Kuswanto, dkk. 1997. IPS Geografi untuk Kelas 2 SLTP. Jakarta:Tiga Serangkai. 

Related Posts :

Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia secara berlebihan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih luas. Kondisi ini semakin pelik, mengingat pelanggaran peruntukan tata ruang di berbagai daerah di Indonesia pun kian masif.

Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (LEM UII) terpantik menggelar kajian keilmuan bertemakan SDA Indonesia: Eksploitasi dan Nasib ke Depannya. Diskusi yang digelar secara daring ini, Jum’at (2/10), menghadirkan narasumber Annisa Nur Lathifah, S.Si., M.Biotech., M.Agr., Ph.D., yang merupakan Dosen Program Studi Teknik Lingkungan UII.

Annisa mengemukakan Indonesia disebut sebagai salah satu negara Mega Biodiversity yang dikaruniai dengan keanekaragaman hayati. Mempunyai 47 jenis ekosistem dimana 17 persen spesises flora fauna dari seluruh dunia Tidak hanya itu, Indonesia juga memiliki lebih dari 10 persen jasad renik dari seluruh dunia serta 940 jenis tanaman obat tradisional.

“Indonesia sangatlah kaya akan ekosistem, seperti ekosistem hutan hujan tropis yang sebagaian besar terletak di Kalimantan, Sumatera, dan Papua, hutan hujan tropis juga sebagai tempat berlindung flora dan fauna yang beraneka ragam,” terang Annisa.

Annisa menyebut, ekosistem laut Indonesia memiliki sejumlah keindahan biota laut yang tersembunyi, susunan biota ini terdiri dari beberapa macam organisme yang memiliki kalsium karbonat pada kulitnya. Terumbu karang juga merupakan rumah bagi hewan laut, dan Indonesia memiliki terumbu karang terbanyak di dunia, yakni 15 persen dari seluruh lautan di bumi.

Ekosistem mangrove menurut Annisa memiliki peran sebagai habitat dari spesies laut dan darat. Selain menjadi habitat bagi burung, serangga dan mamalia, hutan mangrove juga merupakan tempat sumber makanan dan tempat asuhan berbagai biota seperti ikan, udang dan kepiting. “Ekosistem sungai menjadi wadah serta jaringan yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik juga sebagai tempat dimana ikan dapat hidup dan dipanen secara inklusif,” jelasnya.

Lebih lanjut Annisa memaparkan beberapa manfaat dari Biodiversitas. Dinataranya sebagai sumber pangan yang terdiri dari 4000 jenis tanaman dan hewan yang dijadikan makanan, obat, dan produk lain yaitu 250 buah. Tempat berlangsungnya proses ekologis antar makhluk hidup, seperti soil formation, nutrient cycling, water purification. Selain itu, ekosistem juga dijadikanan sebagai tempat rekreasi yang digunakan dengan berbagai aktivitas seperti hiking, fishing, dan camping.

Meskipun Indonesia merupakan negara dengan kawasan hutan terluas ke 8 di dunia dengan kawasan hutan seluas 120,6 juta hektare, atau sekitar 63 persen dari luas semua daratan Indonesia, deforestasi hutan Indonesia menduduki peringkat tertinggi ketiga di dunia pada tahun 2018. Sejak tahun 2015 sekitar 30 persen hutan konservasi rusak akibat perambahan hutan oleh masyarakat.

“Para peneliti mencatat bahwa tingkat kehilangan tutupan pohon di Indonesia telah menurun sebesar 60 persen, selain itu hilangnya hutannya primer di lahan gambut yang terlindungi juga telah turun hingga 88 persen antara tahun 2016 dan 2017,” imbuhnya.

Annisa menyebutkan bahwa luasan padang lamun di kawasan perlindungan laut Indonesia masih terancam, rata rata dari 58 persen menjadi 48 persen pada tahun 2016, dan 61 persen menjadi 55 persen pada tahun 2017. Hal ini dikarenakan faktor dari aktivitas manusia yaitu reklamasi pantai, polusi minyak, penambangan pasir dan karang, kualitas air yang buruk serta pencemaran sampah.

Dengan melakukan restoration merupakan suatu upaya cerdas, melakukan pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau bagiannya bisa berfungsi kembali. “Perubahan-perubahan yang dilakukan meskipun kecil, tatapi bisa memperbaiki kerusakan-kerusakan yang sudah mulai berdampak dan kita rasakan, mulailah dari habit kita dengan mengurangi penggunaan kantong plastik dan meminimalisir penggunaan kertas maupun tissue, serta menghemat penggunaan energi dan air,” tuturnya. (HA/RS)

Contoh pemanfaatan sda yang tidak terkendali dan dampaknya

Pemanfaatan sumber daya alam (SDA) senantiasa berimplikasi pada kualitas lingkungan dan kelestarian hutan.  Standar menjadi pemandu tata kelolanya. Tanpa standar, maka usaha-usaha pemanfaatan SDA akan bergulir liar, bisa jadi tidak terkendali menguras SDA tanpa bisa balik. Standar di satu sisi memastikan ekonomi tumbuh, di sisi lain pun memastikan kelestarian lingkungan dan kecukupan luasan hutan. Tidak cukup dengan pendekatan komando dan kontrol, namun juga harus dibarengi dengan insentif atau disinsentif.

___

Membicarakan pengelolaan sumber daya alam atau SDA, tidak akan lepas dari kerangka pembangunan berkelanjutan. Apa yang dilakukan generasi saat ini tidak boleh mengorbankan kemampuan alam untuk dapat mencukupi kebutuhan generasi yang akan datang.

Indonesia yang dikaruniai iklim tropis telah dikenal kaya SDA. Sumber daya alam merupakan obyek menarik dan diperebutkan oleh ragam kepentingan. Oleh karena itu, magnitude tantangan mengelolanya tinggi. Menjaga kelola tersebut, pemerintah telah dan terus melakukan pengaturan-pengaturan. Di satu sisi pemerintah harus memenuhi kebutuhan ekonomi, di sisi lain harus menjaga lingkungan. Untuk memastikan ekonomi berjalan, lingkungan tetap terjaga, perlu pemandu, yaitu standar.

Pemanfaatan SDA yang belum ramah lingkungan dan memberikan kesejahteraan signifikan kepada masyarakat sekitar, masih mengemuka. Beberapa langkah koreksi dilakukan pemerintah untuk melakukan pengaturan-pengaturan optimal dalam dinamika perkembangan persoalan kehutanan dan lingkungan. Perbaikan tata kelola SDA hari demi hari dilakukan.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) semakin mempertegas kebutuhan akan standar tersebut. Penguatan ekonomi nasional melalui peningkatan ekosistem investasi dan memperluas lapangan kerja sebagai tujuan UUCK, mutlak harus dibarengi upaya-upaya terstruktur untuk memastikan kualitas lingkungan dan kelestarian hutan terjaga baik.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, menggarisbawahi bahwa kebijakan tersebut adalah tentang keharusan aktualisasi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan.  Untuk mendukung itu, dalam bidang LHK pemerintah melakukan reformasi struktural dengan membentuk Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK). Peraturan Presiden Nomor 92 tahun 2020 dan Peraturan Menteri LHK Nomor 15 tahun 2021 sebagai landasan hukumnya.

Badan baru di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini mendapat mandat untuk memastikan usaha-usaha kehutanan serta kegiatan-kegiatan pemanfaatan SDA yang berimplikasi pada kualitas lingkungan hidup dan kelestarian hutan dapat terkendali dengan baik. BSILHK tidak hanya memproduksi standar, melainkan juga harus memastikan standar yang dibangun, diimplementasikan para pelaku usaha bidang LHK.

Contoh pemanfaatan sda yang tidak terkendali dan dampaknya

Standar Apa yang Dibangun?

Tanpa standar, maka usaha-usaha pemanfaatan SDA akan bergulir liar. Bisa jadi tidak terkendali dan menguras SDA tanpa bisa kembali. Sebagai contoh, negara Nauru yang dulunya kaya raya, kini jatuh miskin karena salah mengelola SDAnya. Banyak contoh lain, kasus Minamata yang merupakan contoh konkrit betapa usaha-usaha industri yang tidak memperhatikan lingkungan akan menuai bencana. Siapa yang menanggung akibatnya? Telah terekam dalam memori kita bersama.

Standar juga berpotensi menjadi biaya transaksi dalam usaha dan investasi. Oleh karenanya standar perlu dirancang serius untuk menjamin kepastian usaha, dengan membangun orientasi insentif dan disinsentif. Catatan tapak mengekspresikan bahwa pendekatan-pendekatan komando dan kontrol tidak cukup mengendalikan dampak-dampak aktifitas ekonomi terhadap lingkungan dan kelestarian hutan.

Dalam bidang lingkungan hidup dan kehutanan (LHK), standar bukan hal baru.  Sejarah mencatat bahwa Tebang Pilih Indonesia (TPI) pada tahun 70an menjadi standar sistem silvikultur hutan alam produksi saat itu. Berbagai penyempurnaan terus dilakukan melalui sistem-sistem berikutnya.

Namun regenerasi hutan alam yang diharapkan sesuai proyeksi sistem tidak sepenuhnya terjadi. Banyak faktor penyebab. Salah satunya adalah jenis standarnya, yang lebih berorientasi pada proses, sehingga dipandang kaku dan tidak menyisakan ruang gerak pengelola di lapangan untuk berkreasi menyesuaikan dengan kondisi untuk memberikan hasil yang lebih baik, yang akhirnya terjebak pada laporan-laporan administratif.

Implementasi standar LHK pada level sertifikasi juga telah diterapkan di Indonesia pada akhir 1990, yang terus berkembang dalam puluhan inisiatif sertifikasi kehutanan berkelanjutan hingga kini.  Bahkan pemerintah pun telah membangun standar wajib memperkuat sertifikasi kehutanan berkelanjutan secara signifikan melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sejak 2009 silam.

Penerapan SVLK tersebut dianggap berkontribusi pada penurunan tingkat deforestasi di Indonesia menjadi di bawah 500.000 hektar setahun pada 2020.  Berhasil menjauh dari puncaknya pada 1996-2000 yang mencapai 3,5 juta hektare.

Lantas, standar seperti apa yang kini perlu dibangun?

Mengacu pada UUCK, dalam sebuah kesempatan, Menteri Siti menjelaskan bobot utamanya pada penyederhanaan prosedur dan mengatasi hambatan birokratis. UUCK menurutnya menegaskan posisi perizinan sebagai instrumen pengawasan. UUCK juga memberikan jalan keluar pada berbagai kebuntuan dalam sengketa regulasi, penggunaan kawasan hutan, serta akibat-akibat yang terjadi dalam waktu yang panjang seperti konflik tenurial.

Orang nomor satu di KLHK ini juga menjelaskan bahwa UUCK memberikan penegasan yang nyata akan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada masyarakat. Keberpihakan tersebut baik dalam alokasi penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan, akses pemanfaatan untuk kemantapan perhutanan sosial, hingga memberikan jalan untuk penyelesaian masalah hutan adat, termasuk perubahan-perubahan dalam sistem pengelolaan hutan.

Untuk memenuhi itu, BSILHK menargetkan 2 agenda besar standardisasi. Pertama, standar terkait dengan perizinan dan persetujuan baik perizinan berusaha, persetujuan dasar, maupun persetujuan penggunaan/pemanfaatan kawasan hutan. Kedua, standar non perizinan yaitu standar produk dan standar lain seperti standar proses dan pelayanan.

Empat program prioritas segera dikerjakan BSILHK. Pertama, melakukan pemetaan pelaku usaha dan entitas yang aktivitasnya berdampak pada lingkungan hidup. Kedua, percepatan inventarisasi jenis standar untuk pengendalian lingkungan. Ketiga, pembagian peran dengan entitas standardisasi secara nasional, dan keempat adalah membangun standar instrumen untuk mengukur keberhasilan/kegagalan pengendalian dampak lingkungan dan pengendalian dampak usaha hutan dan kehutanan. Untuk sementara, BSILHK mencatat terdapat 4.396 usaha kehutanan. Data ini akan menjadi perintis kerja BSILHK di tapak.

Berkaca dari pengalaman standar pada masa lalu, maka bentuk dan sifat penerapan standar di lapangan menjadi hal yang sangat menentukan. Untuk itu, berdasarkan hasil inventarisasi jenis standar dalam program prioritas di atas, BSILHK akan memetakan kebutuhan standar.  Standar hasil atau standar proses? Bersifat pasti atau dapat menyesuaikan kondisi di lapangan, sepanjang menjamin kesesuaian hasil? Bagaimana standar mengkreasi bisnis tanpa menimbulkan biaya transaksi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi kerangka berpikir utama perumusan standar oleh BSILHK.

Di samping itu, BSILHK pun terbuka pada pelbagai dinamika yang terjadi. Berbagai faktor baik dalam dan luar negeri berpotensi mengubah standar. Kebijakan nasional, kebutuhan pasar dan industri, perkembangan standardisasi nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi SDA termasuk hutan dan lingkungan hidup, adalah beberapa faktor penentu. Untuk itu, BSILHK akan menjalankan peran strategis lintas organisasi untuk mengakomodir faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan perubahan.

Contoh pemanfaatan sda yang tidak terkendali dan dampaknya

Membangun Standar yang Menjamin Kepastian Usaha

Bagi negara-negara maju, standar digunakan sebagai infrastruktur untuk melindungi pasar di wilayahnya. Standar juga digunakan untuk menguasai pasar dunia. Standardisasi pada berbagai sektor saat ini terus meningkat sebagai upaya menaikkan daya saing nasional dalam tataran ekonomi global. Ini juga menunjukkan bahwa standar berperan penting dalam menjamin kepastian usaha. 

Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB, Prof. Hariadi Kartodihardjo, melalui surat dari Darmaga, menyampaikan pesan pentingnya.  Menurut Hariadi, standar perlu dihubungkan dengan efisiensi pelaksanaan kebijakan, sehingga tidak menambah biaya transaksi. Kompleksitas ukuran harus dihindari agar biaya dapat ditekan sekecil mungkin. BSILHK disarankan untuk memeriksa efektivitas kebijakan melalui pendekatan insentif atau disinsentif. 

Menjawab hal tersebut, termasuk tuntutan UUCK, melalui 2 agenda besar standardisasi yang ditetapkannya, BSILHK akan fokus membangun standar yang menjamin kepastian usaha.  Menekan biaya transaksi sekecil mungkin untuk menghasilkan output tertentu, adalah strategi utamanya. Tentu dengan tetap memegang prinsip keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Memanfaatkan kemajuan teknologi adalah salah satu cara untuk mengurangi biaya transaksi. Komunikasi dan transaksi para pihak berkepentingan dilakukan dengan mudah dan cepat melalui kanal-kanal daring dan disimpan dalam basis data. Ini akan meningkatkan transparansi dan mengurangi celah KKN. Cara berikutnya adalah pembaruan kelembagaan untuk mewujudkan tata kelola (governance) yang baik, untuk tujuan mengurangi biaya administrasi dan mempercepat waktu pelayanan.

Dalam hal standar terkait pengelolaan SDA, isu-isu hak kepemilikan (poperty rights) dan penguasaan sumberdaya alam atau faktor produksi, ketidakseimbangan akses dan penguasaan informasi (asymmetric information), serta perilaku opportunistik (opportunistic behavior), juga harus dapat diminimalkan untuk mengurangi biaya transaksi.

Untuk itu, dalam setiap pengembangan standar, BSILHK akan menggunakan pendekatan pendekatan insentif atau disinsentif; memetakan perbedaan karakteristik biofisik, sosial dan budaya, serta ekonomi, maupun kapasitas lembaga pelaksananya; serta mengadopsi perkembangan iptek terkini, pengetahuan profesional, maupun pengetahuan lokal. BSILHK tidak dapat bekerja secara sendirian, karena terhubung dengan pihak lain para pemanfaat/pengguna SDA, pelaku usaha, dan regulator pemanfaatan SDA.

Dari semua standar yang telah, sedang, dan akan dikembangkan, standar pelengkap yang harus tersedia adalah standar instrumen untuk mengukur keberhasilan/kegagalan pembangunan dan penerapan standar. Melalui standar ini, akan diketahui efektivitas pengendalian dampak lingkungan dan pengendalian dampak usaha hutan dan kehutanan dari standar yang diterapkan. Ini menjadi feedback bagi perubahan standar untuk hasil yang lebih baik ke depan.

Harapannya, pengelolaan SDA lestari dapat tercapai, dan berkontribusi pada terwujudnya tujuan pembangunan berkelanjutan.  Kita tentu tidak ingin kekayaan SDA Indonesia menjadi kutukan, melainkan harus menjadi berkah bagi kemakmuran rakyat Indonesia.  Kisah pedih dari kebodohan mengelola SDA tanpa standar seperti yang terjadi di Negara Nauru, negara kaya raya yang jatuh miskin dan mengalami kerusakan ekosistem luar biasa, tidak boleh terjadi di negara kita tercinta.

Mari bekerja bersama, merumuskan standar-standar LHK terbaik untuk melindungi bangsa, sumber daya alam, dan lingkungan, serta meningkatkan daya saing Indonesia di dunia. (DP & YS)