Buku karangan Douwes Dekker yang berisi kritikan kepada pemerintah Belanda tentang tanam paksa dimana ia menggunakan nama samara Multatuli berjudul *?

KOMPAS.com - Multatuli adalah nama samaran Eduard Douwes Dekker, seorang penulis berkebangsaan Belanda yang menyampaikan kecamannya terhadap bangsanya sendiri atas penderitaan penduduk Indonesia lewat bukunya.

Buku karya Multatuli yang menggambarkan bagaimana penderitaan rakyat Lebak Banten akibat penjajahan Belanda adalah Max Havelaar.

Berkat kritikan dalam karyanya itu, sistem tanam paksa perlahan-lahan dihapuskan.

Selain itu, Multatuli dianggap sebagai salah satu penulis terhebat Belanda yang karyanya memelopori gaya tulisan baru.

Awal kehidupan

Eduard Douwes Dekker adalah anak keempat dari pasangan Engel Douwes Dekker dan Sietske Eeltjes Klein yang lahir pada 2 Maret 1820 di Amsterdam, Belanda.

Ketika remaja, sang ayah yang berprofesi sebagai kapten kapal, menyekolahkannya di sekolah Latin.

Setelah lulus, Douwes Dekker sempat bekerja untuk sementara waktu sebagai juru tulis di sebuah perusahaan tekstil.

Namun pada 1838, ia memilih untuk pergi ke Batavia (Jakarta) dengan menumpang salah satu kapal ayahnya.

Baca juga: Tokoh-tokoh Pelopor Politik Etis

Karier di Hindia Belanda

Eduard Douwes Dekker tiba di Batavia pada 1839. Berkat relasi ayahnya, ia diterima di deparemen akuntansi di kantor Pengawasan Keuangan Batavia.

Pada 1842, ia diangkat menjadi pengawas keuangan di Kecamatan Natal yang terletak di Sumatera Utara.

Akan tetapi, Douwes Dekker mendapatkan teguran serius hingga diberhentikan sementara karena ditemukan penyimpangan dan kerugian besar dalam kas pemerintahan.

Di tengah situasinya itu, ia sempat menulis naskah drama berjudul De Oneerbare (The Dishonorable Man).

Meski Douwes Dekker kemudian ditemukan tidak sepenuhnya bersalah, ia mengaku bahwa pekerjaan administrasi tidak cocok untuknya.

Pada tahun-tahun berikutnya, ia diterima bekerja sebagai sekretaris residen di Manado dan Ambon.

Antara 1852 hingga 1855, Douwes Dekker sempat mengambil cuti dan kembali ke Belanda karena alasan kesehatan.

Namun, keuangannya semakin memburuk karena sering mengalami kekalahan di meja judi.

Douwes Dekker kembali ke Batavia pada 10 September 1855, di mana ia kemudian diangkat menjadi asisten residen Lebak, Banten.

Meski hanya menjabat asisten residen di Lebak sekitar 3 bulan (21 Januari 1856 - 4 April 1856), ia berhasil membongkar praktik eksploitasi penguasa kolonial atas rakyat bumiputera.

Douwes Dekker kemudian mengirim surat kepada atasannya, dan mengungkapkan bahwa ia menentang sikap pemerintah kolonial Belanda yang mendiamkan praktik eksploitasi di tanah jajahan.

Sayangnya, usulan untuk menindak para pejabat pelaku pemerasan ditolak oleh atasannya. Ia bahkan justru diberi peringatan keras.

Kesal dengan sikap bangsanya sendiri, Douwes Dekker memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya dan kembali ke Eropa.

Baca juga: Danudirja Setiabudi (Ernest Douwes Dekker): Kehidupan dan Perjuangan

Bertekad untuk mengungkap kekejaman yang ia saksikan di Lebak, Douwes Dekker mulai menulis artikel di perusahaan surat kabar di Brusel, Belgia.

Namun, artikel yang ia tulis belum berhasil mendapatkan perhatian dari para pembaca.

Barulah pada 1860, tulisanya yang terbit dalam bentuk novel satir antikolonialis berjudul Max Havelaar, menjadi terkenal.

Melalui Max Havelaar, Douwes Dekker membongkar praktik eksploitasi penguasa kolonial atas rakyat Indonesia dan menyerukan keadilan.

Buku tersebut segera menimbulkan kegemparan di Belanda, bahkan terkenal di lingkungan internasional.

Dalam karyanya itu, Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Nama pena itu berasal dari frasa Latin multa tuli, yang berarti "saya telah banyak menderita".

Nama ini dipilih karena merujuk pada dirinya sendiri dan para korban ketidakadilan yang dilihatnya di Lebak.

Akhir hidup

Setelah Max Havelaar, Douwes Dekker aktif menelurkan karya-karya satir lainnya.

Selain itu, ia juga menerbitkan puluhan tulisan, termasuk naskah drama yang membawanya menuju puncak karier sebagai seorang penulis.

Pada sekitar 1867, ia memutuskan untuk pindah ke Jerman dan menetap di Kota Ingelheim am Rhein.

Douwes Dekker tinggal di kota itu sampai akhir hayatnya pada 19 Februari 1887.

Referensi:

  • Makfi, Samsudar. (2019). Masa Penjajahan Kolonial. Singkawang: Maraga Borneo Tarigas.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Salah seorang pengkritik terkenal sistem Tanam Paksa adalah seorang mantan asisten residen di Lebak, Banten yang bernama Eduard Douwes Dekker. Kritiknya ditulis dalam buku yang berjudul Max Havelaar (1860) dengan menggunakan nama samaran Multatuli. Buku ini mengisahkan masyarakat petani pribumi yang menderita karena kebijakan sewenang-wenang Belanda. 

Berdasarkan penjelasan tersebut, jawaban yang tepat adalah A.

Buku karangan Douwes Dekker yang berisi kritikan kepada pemerintah Belanda tentang tanam paksa dimana ia menggunakan nama samara Multatuli berjudul *?

Eduard Douwes Dekker

Lahir(1820-03-02)2 Maret 1820
Amsterdam, BelandaMeninggal19 Februari 1887(1887-02-19) (umur 66)
Ingelheim am Rhein, JermanPekerjaan
  • Penulis
  • Dramawan
KebangsaanBelanda

Eduard Douwes Dekker (2 Maret 1820 – 19 Februari 1887), atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli "banyak yang aku sudah derita"), adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda.

Eduard memiliki saudara bernama Jan yang merupakan kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.

Masa kecil

Eduard dilahirkan di Amsterdam. Ayahnya adalah seorang kapten kapal yang cukup besar dengan penghasilan cukup sehingga keluarganya termasuk keluarga mapan dan berpendidikan.

Eduard kemudian disekolahkan di sekolah Latin yang nantinya bisa meneruskan jenjang pendidikan ke universitas. Pada awalnya Eduard menempuh pendidikan dengan lancar karena Eduard merupakan murid yang berprestasi dan cukup pandai. Namun lama kelamaan Eduard merasa bosan sehingga prestasinya merosot. Hal ini membuat ayahnya langsung mengeluarkannya dari sekolah dan ia ditempatkan di sebuah kantor dagang.

Menjadi pegawai kecil

Bagi Eduard, penempatannya di sebuah kantor dagang membuatnya merasa dijauhkan dari pergaulan dengan kawan-kawannya sesama keluarga berkecukupan; ia bahkan ditempatkan di posisi yang dianggapnya hina sebagai pembantu di sebuah kantor kecil perusahaan tekstil. Di sanalah dirinya merasa bagaimana menjadi seorang miskin dan berada di kalangan bawah masyarakat. Pekerjaan ini dilakukannya selama empat tahun dan meninggalkan kesan yang tidak terlupakan selama hidupnya. "Dari hidup di kalangan yang memiliki pengaruh kemudian hidup di kalangan bawah masyarakat membuatnya mengetahui bahwa banyak kalangan masyarakat yang tidak memiliki pengaruh dan perlindungan apa-apa", seperti yang diucapkan Paul van 't Veer dalam biografi Multatuli.

Ke Hindia Belanda

Buku karangan Douwes Dekker yang berisi kritikan kepada pemerintah Belanda tentang tanam paksa dimana ia menggunakan nama samara Multatuli berjudul *?

Rumah sakit Natal, Mandailing Natal, dulu kantor dan kediaman Douwes Dekker

Buku karangan Douwes Dekker yang berisi kritikan kepada pemerintah Belanda tentang tanam paksa dimana ia menggunakan nama samara Multatuli berjudul *?

Patung Eduard Dekker di Amsterdam, Belanda.

Ketika ayahnya pulang dari perjalanan, dilihatnya perubahan kehidupan dan keadaan dalam diri Eduard. Hal ini memunculkan niat pada ayahnya untuk membawanya dalam sebuah perjalanan. Pada saat itu, di Hindia Belanda terdapat kesempatan untuk mencari kekayaan dan jabatan, juga bagi kalangan orang-orang Belanda yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Karena itu, pada tahun 1838 Eduard pergi ke pulau Jawa dan pada 1839 tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (ambtenaar) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar pekerjaan sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatra Barat dan oleh Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels ia dikirim ke kota Natal yang saat itu terpencil sebagai seorang kontrolir.

Diberhentikan

Kehidupan di kota yang terpencil tersebut, bagi Eduard justru lebih menyenangkan. Sebagai ambtenaar pemerintahan sipil yang cukup tinggi di sana, ditambah usianya yang masih cukup muda, ia merasa memiliki kekuasaan yang tinggi. Dalam jabatannya ia mengemban tugas pemerintahan dan pengadilan, dan juga memiliki tugas keuangan dan administrasi. Namun ternyata ia tidak menyukai tugas-tugasnya sehingga kemudian ia meninggalkannya. Atasannya yang kemudian mengadakan pemeriksaan, menemukan kerugian yang besar dalam kas pemerintahannya.

Karena sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan dari atasannya, serta adanya kerugian kas pemerintahan Eduard pun diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Gubernur Sumatra Barat Jendral Michiels. Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan apa-apa. Baru pada September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia. Di sana ia direhabilitasi oleh pemerintah dan mendapatkan "uang tunggu".

Menikah

Sambil menunggu penempatan tugas, Eduard menjalin asmara dengan Everdine van Wijnbergen, gadis keturunan bangsawan yang jatuh miskin. Pada bulan April 1846, Eduard yang saat itu telah menjabat sebagai ambtenaar sementara di kantor asisten residen Purwakarta, menikah dengan Everdine.

Bekerja kembali

Belajar dari pengalamannya yang buruk saat bertugas sebelumnya di Natal, Eduard bekerja cukup baik sebagai ambtenaar pemerintah, sehingga pada 1846 ia diangkat menjadi pegawai tetap. Pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi komis di kantor residen Purworejo. Prestasinya membuatnya diangkat oleh residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt menjadi sekretaris residen menggantikan pejabat sebelumnya. Namun karena Eduard tidak memiliki diploma sebagai syarat ditempatkannya sebagai pejabat tinggi pemerintahan, Eduard tidak mendapatkan kenaikan pangkat yang sesungguhnya. Namun Gubernur Jenderal dapat memberikan pengakuan diploma dalam hal-hal yang dianggap istimewa dengan syarat mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Eduard mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal dan akhirnya berhasil memperolehnya karena prestasi kerjanya. Keputusan ini diterima dari atasannya, Residen Purworejo. Kegagalan saat bertugas di Natal dianggap sebagai kesalahan pegawai muda yang dapat dimaafkan.

Dalam perjalanan karier selanjutnya, Eduard diangkat menjadi sekretaris residen di Manado akhir April 1849 yang merupakan masa-masa karier terbaiknya. Eduard merasa cocok dengan residen Scherius yang menjadi atasannya sehingga ia mendapat perhatian para pejabat di Bogor, di antaranya karena pendapatnya yang progresif mengenai rancangan peraturan guna perubahan dalam sistem hukum kolonial. Kariernya meningkat menjadi asisten residen, yang merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda saat itu. Eduard menerima jabatan ini dan ditugaskan di Ambon pada Februari 1851.

Benturan dengan Gubernur

Namun, meskipun telah mendapatkan jabatan yang cukup tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda, Eduard merasa tidak cocok dengan Gubernur Maluku yang memiliki kekuasaan tersendiri sehingga membuat ambtenaar-ambtenaar bawahannya tidak dapat menunjukkan inisiatifnya. Eduard akhirnya mengajukan cuti dengan alasan kesehatan sehingga mendapatkan izin cuti ke Belanda. Dan pada hari Natal 1852, dia bersama istrinya tiba di pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam.

Pindah ke Lebak

Selama cuti di Belanda, Eduard ternyata tidak dapat mengatur keuangannya dengan baik; hutang menumpuk di sana-sini bahkan ia sering mengalami kekalahan di meja judi. Meskipun telah mengajukan perpanjangan cuti di Belanda, dia dan istrinya akhirnya kembali ke Batavia pada tanggal 10 September 1855. Tidak lama kemudian, Eduard diangkat menjadi asisten residen Lebak di sebelah selatan karesidenan Banten yang bertempat di Rangkasbitung pada Januari 1856. Eduard melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan bertanggung jawab. Namun ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang sesungguhnya sangat buruk bahkan lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya.

Pemerasan di Lebak

Bupati Lebak yang pada saat itu menurut sistem kolonial Hindia Belanda diangkat menjadi kepala pemerintahan bumiputra dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan selama 30 tahun. Ternyata dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari jabatannya. Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan.

Eduard Douwes Dekker menemukan fakta bahwa kerja rodi yang dibebankan pada rakyat distrik telah melampaui batas bahkan menjumpai praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya. Kalaupun membelinya, itupun dengan harga yang sangat murah.

Belum satu bulan Eduard Douwes Dekker ditempatkan di Lebak, dia menulis surat kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas kejadian-kejadian di wilayahnya. Eduard meminta agar bupati dan putra-putranya ditahan serta situasi yang tidak beres tersebut diselidiki. Dengan adanya desakan dari Eduard tersebut, timbullah desas-desus bahwa pejabat sebelumnya yang digantikannya meninggal karena diracun. Hal ini membuat Eduard merasa dirinya dan keluarganya terancam. Sebab lainnya adalah adanya berita kunjungan bupati Cianjur ke Lebak, yang ternyata masih keponakan bupati Lebak, yang kemudian membuat Eduard mengambil kesimpulan akan menimbulkan banyak pemerasan kepada rakyat.

Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita yang dikirimkan Eduard sehingga mengadakan pemeriksaan di tempat, tetapi menolak permintaan Eduard. Dengan demikian Eduard meminta agar perkara tersebut diteruskan kepada Gubernur Jendral A.J. Duymaer van Twist yang terkenal beraliran liberal. Namun, meskipun maksudnya terlaksana, Eduard justru mendapatkan peringatan yang cukup keras. Karena kecewa, Eduard mengajukan permintaan pengunduran diri dan permohonannya dikabulkan oleh atasannya.

Kembali ke Eropa

Sekali lagi, Eduard kehilangan pekerjaan akibat bentrok dengan atasannya. Usahanya untuk mencari pekerjaan yang lain menemui kegagalan. Bahkan saudaranya yang sukses berbisnis tembakau malah meminjamkan uang untuk pulang ke Eropa dan bekerja di sana. Istri dan anaknya sementara ditinggalkan di Batavia.

Di Eropa, Eduard bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Brusel, Belgia namun tidak lama kemudian dia keluar. Kemudian usahanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai juru bahasa di Konsulat Prancis di Nagasaki juga menemui kegagalan. Usahanya untuk menjadi kaya di meja judi justru membuatnya menjadi semakin melarat.

Mulai menulis

Buku karangan Douwes Dekker yang berisi kritikan kepada pemerintah Belanda tentang tanam paksa dimana ia menggunakan nama samara Multatuli berjudul *?

Sampul cetakan pertama Max Havelaar tahun 1860.

Namun cita-cita Eduard yang lain, yaitu menjadi pengarang, berhasil diwujudkannya. Ketika kembali dari Hindia Belanda, dia membawa berbagai manuskrip diantaranya sebuah tulisan naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pada bulan September 1859, ketika istrinya didesak untuk mengajukan cerai, Eduard mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan menulis buku Max Havelaar yang kemudian menjadi terkenal.

Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1860 dalam versi yang diedit oleh penerbit tanpa sepengetahuannya namun tetap menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat khususnya di kawasan negerinya sendiri. Pada tahun 1875, terbit kembali dengan teks hasil revisinya. Namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan, yang berarti lambat laun Eduard dapat mengharapkan penghasilan dari penerbitan karyanya.

Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran 'Multatuli'. Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti "'Aku sudah menderita cukup banyak'" atau "'Aku sudah banyak menderita'"; di sini, "aku" dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker diberlebih-lebihkan.

Antara tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën (Gagasan-gagasan) yang isinya berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan filsafat, karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Sandiwara yang ditulisnya, di antaranya Vorstenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan sukses.

Walaupun kualitas literatur Multatuli diperdebatkan, ia disukai oleh Carel Vosmaer, penyair terkenal Belanda. Ia terus menulis dan menerbitkan buku-buku berjudul Ideen yang terdiri dari tujuh bagian antara tahun 1862 dan 1877, dan juga mengandung novelnya Woutertje Pieterse serta Minnebrieven pada tahun 1861 yang walaupun judulnya tampak tidak berbahaya, isinya adalah satir keras.

Akhir hayat

Akhirnya Eduard Douwes Dekker merasa bosan tinggal di Belanda. Pada akhir hayatnya, dia tinggal di Jerman bersama seorang anak Jerman yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Eduard Douwes Dekker tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana ia mencoba untuk menulis naskah drama. Salah satu dramanya, Vorstenschool (diterbitkan di 1875 dalam volume Ideën keempat) menyatakan sikapnya yang tidak berpegang pada satu aliran politik, masyarakat atau agama. Selama dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidaklah mengarang melainkan hanya menulis berbagai surat-surat.

Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya meninggal 19 Februari 1887.

Pengaruh dalam sastra Hindia Belanda dan Indonesia

Multatuli telah mengilhami bukan saja karya sastra di Indonesia, misalnya kelompok Angkatan Pujangga Baru, tetapi ia telah menggubah semangat kebangsaan di Indonesia. Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme dan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (misal tanam paksa) melainkan juga kepada adat, kekuasaan dan feodalisme yang tak ada habisnya menghisap rakyat jelata. Bila Multatuli dalam Max Havelaar dapat dikatakan telah mempersonifikasikan dirinya sebagai Max yang idealis dan akhirnya frustrasi, Muhammad Yamin lebih berfokus pada si kaum terjajah, misalnya dalam puisinya yang berjudul Hikajat Saidjah dan Adinda Dalam sisi filosofis frustrasi yang dihadapi Max serta Saidjah dan Adinda adalah sama pada hakikatnya; keduanya putus asa dan terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan melalui revolusi.

Dalam budaya populer

  • Max Havelaar ISBN 0-14-044516-1 – buku ini telah diangkat menjadi film yang dibuat tahun 1976 (sumber:[[1]] ) dan baru dirilis di Indonesia pada tahun 1988 dengan judul yang sama, disutradarai oleh Alphonse Marie Rademaker dan melibatkan beberapa artis Indonesia, misalnya Rima Melati. Film ini tidak populer di Indonesia, bahkan sempat dilarang beredar oleh pemerintahan Orde Baru setelah beberapa saat diputar di gedung bioskop.

Museum Multatuli terletak di Amsterdam di Korsjespoortsteeg 20, tempat lahir Eduard Douwes Dekker. Selain di Amsterdam, Museum Multatuli juga telah dibuka pada 11 Februari 2018 di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Indonesia.[1]

Karya-karyanya

  • 1843 - De eerloze (naskah drama, kemudian diterbitkan sebagai De bruid daarboven (1864))
  • 1859 - Geloofsbelydenis (diterbitkan dalam jurnal pemikir bebas De Dageraad)
  • 1860 - Indrukken van den dag
  • 1860 - Max Havelaar of de koffiveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappy
  • 1860 - Brief aan Ds. W. Francken z.
  • 1860 - Brief aan den Gouverneur-Generaal in ruste
  • 1860 - Aan de stemgerechtigden in het kiesdistrikt Tiel
  • 1860 - Max Havelaar aan Multatuli
  • 1861 - Het gebed van den onwetende
  • 1861 - Wys my de plaats waar ik gezaaid heb
  • 1861 - Minnebrieven
  • 1862 - Over vrijen arbeid in Nederlandsch Indië en de tegenwoordige koloniale agitatie (brochure)
  • 1862 - Brief aan Quintillianus
  • 1862 - Ideën I (terdapat pula yang berupa novel De geschiedenis van Woutertje Pieterse)
  • 1862 - Japansche gesprekken
  • 1863 - De school des levens
  • 1864-1865 - Ideën II
  • 1864 - De bruid daarboven. Tooneelspel in vijf bedrijven (naskah drama)
  • 1865 - De zegen Gods door Waterloo
  • 1865 - Franse rymen
  • 1865 - Herdrukken
  • 1865 - Verspreide stukken (diambil dari Herdrukken)
  • 1866-1869 - Mainzer Beobachter
  • 1867 - Een en ander naar aanleiding van Bosscha's Pruisen en Nederland
  • 1869-1870 - Causerieën
  • 1869 - De maatschappij tot Nut van den Javaan
  • 1870-1871 - Ideën III
  • 1870-1873 - Millioenen-studiën
  • 1870 - Divagatiën over zeker soort van Liberalismus
  • 1870 - Nog eens: Vrye arbeid in Nederlandsch Indië
  • 1871 - Duizend en eenige hoofdstukken over specialiteiten (esai satir)
  • 1872 - Brief aan den koning
  • 1872 - Ideën IV (terdapat pula dalam naskah drama Vorstenschool)
  • 1873 - Ideën V
  • 1873 - Ideën VI
  • 1874-1877 - Ideën VII
  • 1887 - Onafgewerkte blaadjes
  • 1891 - Aleid. Twee fragmenten uit een onafgewerkt blyspel (naskah drama)
  • 1897 - Max Havelaar of de Koffiveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappy (editor Willem Frederik Hermans)

Referensi

  1. ^ "10 Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Museum Multatuli". Historia. 14 Februari 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 Juni 2020. Diakses tanggal 3 Februari 2022. 

Pranala luar

  • (Inggris) (Belanda) Multatuli Museum
  • (Inggris) Multatuli Archives Diarsipkan 2005-03-05 di Wayback Machine.
  • (Inggris) Foto Multatuli Diarsipkan 2009-06-20 di Wayback Machine.
  • (Belanda) Max Havelaar Foundation
  • (Belanda) 150 jaar Max Havelaar Diarsipkan 2010-04-14 di Wayback Machine.
  • (Belanda dan Jerman) 'Max Havelaar' (Project Gutenberg Library): http://www.gutenberg.org/ebooks/11024 dan http://www.gutenberg.org/ebooks/31527 (Inggris) 'Walter Pieterse: A Story of Holland' (Project Gutenberg Library): http://www.gutenberg.org/ebooks/30135 Perihal 'Multatuli' selengkapnya dari 'Project Gutenberg Library'): http://www.gutenberg.org/ebooks/search/?query=Multatuli

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Eduard_Douwes_Dekker&oldid=21218052"