Bila banyak ular di sawah dibunuh dampak negatif yang dirasakan petani adalah

Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, PEKALONGAN -- Pemerintah Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, melarang masyarakat memburu ular sebagai upaya menjaga keseimbangan ekosistem dan pengendalian hama tikus di sawah.Bupati Pekalongan Amat Antono di Pekalongan, Ahad (23/3), mengatakan pemkab segera membuat peraturan bupati untuk mencegah perburuan liar ular sebagai upaya mengendalikan hama tikus yang menyerang lahan pertanian di sawah."Kami telah minta pada instansi terkait melakukan kajian tentang populasi ular, apalagi para petani juga berharap adanya larangan memburu ular di sawah," katanya.Menurut dia, peraturan daerah tentang larangan memburu ular juga sudah ada yang diberlakukan di daerah lain sehingga pemkab juga akan melakukan hal yang sama dengan ketentuan yang lebih sederhana."Kami akan buat peraturan bupati tentang larangan perburuan ular sehingga nantinya diharapkan bisa membantu para petani terkait adanya serangan hama tikus," katanya.Ia mengatakan selama ini, pengendalian hama tikus dilakukan dengan cara "gropyokan", kompor belerang, memanfaatkan burung hantu, dan doa bersama karena populasi ular di sawah relatif sedikit."Karena itu, dengan rencana diterbitkannya peraturan bupati diharapkan populasi ular makin berkembang untuk memangsa tikus di sawah.Ketua Kelompok Tani "Sidodadi Barokah" Kecamatan Kandangserang, Daryono mengatakan selama dua tahun terakhir ini serangan hama tikus merajalela di daerah setempat sehingga banyak para petani gagal panen.

"Serangan hama tikus memang sulit dibasmi dengan menggunakan cara gropyokan dan menggunakan obat racun. Oleh karena itu, kami berharap dengan adanya larangan bebrburu ular bisa mengurangi serangan hama tikus," katanya.

  • pekalongan larang buru ular
  • ular
  • serangan hama tikus

Bila banyak ular di sawah dibunuh dampak negatif yang dirasakan petani adalah

sumber : Antara

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Museum Zoologi, Bogor, akhir pekan lalu tampak lebih ramai. Dua pemuda terlihat memegang ular sepanjang sedepa orang dewasa.  Beberapa orang lagi menunggui kotak-kotak kaca berisi aneka ular, dan beberapa reptil lain. Pengunjung melihat-lihat isi kaca, ada yang uji nyali memegang ular dan ada pula yang merasa takut bahkan jijik.

Hari itu memang digelar Festival Amfibi Reptil Kita. Beberapa komunitas pemerhati dan  pencinta reptil dan amfibi Jabodetabek meramaikan acara yang dihelat oleh Institut Pertanian Bogor (IPB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Perhimpunan Herpetologi Indonesia.

Tiga bulan lalu, masyarakat dikejutkan dengan tewasnya penyanyi bernama Irma Bule. Pedangdut asal Karawang ini, selalu ditemani seekor ular. Irma tewas setelah dipatuk king cobra (Ophiophagus hannah), yang pakai untuk atraksi di panggung saat itu.

Ular masih dipandang sebagai hewan berbahaya, menakutkan, menjijikan hingga layak dimusnahkan. Hal ini diakui oleh ahli herpetologi LIPI,  Amir Hamidy, yang menjadi pembicara temu wicara ahli herpetologi saat itu.

“Masyarakat masih seperti itu, yang paling mudah kalau ada ular, ya dibunuh. Mereka melakukannya karena tidak tahu,”  ujar Amir kepada Mongabay, di Museum Zoologi, Sabtu (23/7/2016).

Karena itulah acara ini digelar, kata Amir, yang tujuannya untuk mengenalkan kepada masyarakat tentang reptil dan amfibi di Indonesia. Acara tersebut untuk mengubahimage dan persepsi bahwa ular harus dibunuh. Alasannya, ular juga mempunyai peran penting dalam rantai makanan kehidupan dan lingkungan. Dia berfungsi untuk mengendalikan tikus atau hama.

Diakuinya, hal ini tidak mudah apalagi dalam kehidupan sehari-hari yang banyak mitos dan kepercayaan negatif tentang ular. “Kalau tak tahu, tak kenal maka tak sayang.”

Pentingnya ular

Beberapa tahun terakhir, berita petani Indonesia gagal panen yang disebabkan ganasnya hama yang menyerang padi atau tanaman pertanian lainnya seperti tikus, wereng, ulat, burung, dan sebagainya merebak.

Hal ini, kata Amir, tidak lepas dari makin hilangnya predator atau pemangsa hewan yang yang menjadi hama penyebab kegagalan panen. “Misalnya, tikus merajalela habiskan padi, karena tidak ada ular yang memangsanya.”

Keberadaan tikus dan ular atau hewan-hewan lain di sawah, menjadi hal wajar, sebuah rantai makanan yang normal. Jika salah satu rantai putus, akan mengganggu bekerjanya rantai tersebut.

Bisa (racun) pada ular di alam, menurut Amir, adalah senjata untuk bertahan dari musuh dan juga mematikan mangsanya mati dalam sekejap. Jika tikus sudah terpatuk, kena racun, maka hewan pengerat ini tak bisa bergerak, ular akan dengan mudah memangsanya.

Kini, keberadaan ular makin jarang karena diburu untuk diperdagangkan. Kulit ular dan empedunya menjadi incaran bagi mereka yang menangguk untung. “Paling tidak, 20 ribu lembar kulit kobra diekspor. Berarti, sebanyak 20 ribu individu ular terbunuh. Semakin banyak ular yang dibunuh untuk dikomersilkan, makin terganggu mata rantai dan lingkungan.”

Amir menjelaskan, ular ada di mana-mana karena dia mencari makan. Di mana ada mangsa seperti cicak, tikus, atau burung, biasanya ada ular. Dia menyukai tempat lembab, jarang terkena sinar matahari. Bisa ditumpukan kayu, ranting-ranting, semak, atau bekas lubang tikus. Jika di ruangan, ini menyukai tempat yang jarang dibuka.

Amir pun memberikan tips untuk menjauhkan rumah atau lingkungan sekitar rumah dari ular. Yakni, menjaga kebersihan lingkungan. Jangan biarkan tumpukan kayu, potongan papan, atau bambu di halaman atau pojok rumah. Rapikan pula tanaman atau semak agar tidak menjadi sarang. “Ular juga menghindari bau-bauan tajam. Dengan menyapu dan mengepel lantai dengan karbol setiap hari, ular akan menjauh.”

Amfibi spons lingkungan

Membicarakan ular atau reptil, tak lengkap jika tak menyinggung amfibi. Katak, yang langsung melekat dalam ingatan kita. Amfibi terdiri dari tiga kelompok yakni Apoda,Caudata, dan Anura. Berdasarkan pemaparan Kelompok Kerja Konservasi Amfibi dan Reptil (K3AR) Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), dapat diketahui kelompok tersebut.

Apoda adalah amfibi yang tidak memiliki kaki dan sepintas seperti cacing. Jarang muncul di permukaan tanah dan biasanya berada dalam tanah atau tumpukan serasah atau air. Banyak dijumpai di Amerika Selatan dan Tengah, tapi ditemukan pula ada di Indonesia.

Amfibi kedua adalah Caudata, atau dikenal dengan salamander,tidak dijumpai di Indonesia. Yang terakhir adalah Anura. Ditemukan hampir di seluruh belahan dunia. “Sebagian besar amfibi Indonesia umumnya masuk kelompok ini,” ujar Mirza D Kusrini, dari K3AR, IPB.

Tubuh umumnya pendek dan lebar, kakinya memiliki selaput untuk melompat atau berenang, punya pita suara, dan kawin eksternal. Telur menetas tumbuh menjadi berudu dan katak. Di Indonesia, ditemukan 450 jenis yang mewakili 11 persen Anura di seluruh dunia.

Amfibi, kata Mirza, mempunyai banyak fungsi seperti untuk bahan konsumsi, alat uji medis dan bahan obat, juga sebagai predator berbagai serangga atau larva serangga. “Katak yang di sawah diketahui memakan berbagai jenis serangga yang menjadi hama pertanian. Penting dalam rantai makanan,” ujar Mirza pada acara yang sama.

Fungsi lain yang juga penting, amfibi sebagai bio -indikator kerusakan lingkungan. Beberapa tahun terakhir, para peneliti menyadari amfibi terutama pada tahap telur dan berudu sangat sensitif terhadap kerusakan lingkungan. “Kodok itu bernapas tidak hanya dengan paru-paru tapi juga kulitnya, dia ini sangat sensitif pestisida. Seperti spons, indikator lingkungan,” ujar Mirza.

Keberadaan amfibi, khususnya katak juga makin sedikit. Hal ini tak lepas dari lingkungan yang membuat rantai makanan makin sederhana.

Mirza dan K3AR Fakultas Kehutanan sedang mengembangkan program pengenalan dan pendataan amfibi menggunakan semacam aplikasi. Juga, mengembangkan konservasinya di lingkungan perkotaan. “Masyarakat perlu mengenal berbagai amfibi dan reptil untuk menjaga keseimbangan alam dan rantai makanan.”

Selain dua ahli tersebut, hadir Dr. Tri Maharani, dokter spesialis gawat darurat yang sering menangani gigitan ular. Menurutnya, penanganan medis untuk kasus gigitan ular belum mencukupi. Karena masih jarang dan mahalnya serum anti bisa ular yang mencapai jutaan rupiah per ampul. “Banyaknya angka kematian yang tak tertangani secara medis karena tidak ada serum,” ujarnya.


Sumber : Mongabay.co.id, Jumat, 29 Juli 2016

Kunci jawaban materi IPA kelas 7 SMP tentang hal yang terjadi jika ular hilang dalam ekosistem sawah.

GridKids.id - Kids, ular berperan penting bagi ekosistem, yakni, sebagai predator dan mangsa dalam rantai makanan.

Ular merupakan predator alami tikus, serangga, dan laba-laba, sehingga dapat menjaga populasi hama tetap terkendali.

Lalu, apa yang terjadi jika ekosistem sawah tak ada ular?

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.

Ekosistem bisa dikatakan suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh.

Ekosistem akan membuat hubungan antara unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi satu dengan yang lain.

Maka dari itu, jika ular hilang dalam ekosistem sawah, hal ini tentu akan memengaruhi hewan dan makhluk hidup lainnya.

Lalu, apa yang terjadi jika ekosistem sawah tak ada ular?

Daripada penasaran, langsung simak ulasannya, yuk!

Baca Juga: Fungsi Tudung Kepala pada Ular Kobra saat Menyerang #AkuBacaAkuTahu