Berikut adalah upaya nyata yang dilakukan kesultanan Gowa dalam melakukan perlawanan terhadap VOC

tirto.id - Perjanjian Bongaya adalah perjanjian yang berisi pembagian kekuasaan wilayah Sulawesi Selatan antara Kerajaan Gowa-Tallo dengan VOC. Perjanjian yang disepakati pada tanggal 18 November tahun 1667 ini dibuat sebagai bukti berakhirnya perang Makassar dari tahun 1666-1667.

Setelah Perjanjian Bongaya diterapkan, Kerajaan Gowa-Tallo sadar kalau kebanyakan isi perjanjian merugikan kerajaannya. Karena tidak terima atas perjanjian yang tidak adil ini, Kerajaan Gowa-Tallo terus melakukan perlawanan melalui perang.

Perang dimulai pada 1968 dan berakhir pada 28 Juli 1669 dengan kemenangan yang diperoleh VOC. Sebagai pihak yang kalah, Kerajaan Gowa-Tallo terpaksa sepakat dengan Perjanjian Bongaya yang dibuktikan dengan penandatanganan ulang.

Latar Belakang Perjanjian Bongaya

Masuknya Raja Mangarangi Daeng atau Sultan Alauddin dalam agama Islam menyebabkan penyebaran Islam menjadi visi utama Kerajaan Gowa-Tallo. Hal itu ditandai dengan adanya Dekrit Sultan Alauddin pada 9 November 1607, "Kerajaan Gowa-Tallo menjadikan Islam sebagai agama kerajaan dan seluruh rakyat yang bernaung di bawah kerajaan harus menerima Islam sebagai agamanya."

Sejak saat itu, terjadi proses Islamisasi besar-besaran yang dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo ke kerajaan di dekatnya yakni kerajaan-kerajaan Bugis yang tergabung dalam persekutuan Tellumpoccoe, yang terdiri atas Bone, Wajo, dan Soppeng.

Proses Islamisasi dalam bahasa Sulawesi disebut sebagai Musu Selleng (Perang Pengislaman). “Musu Selleng itu sendiri dapat dimaknai sebagai bentuk Islamisasi sekaligus strategi ekspansi kekuasaan kerajaan ini terhadap kerajaan-kerajaan Bugis yang berada di wilayah pedalaman Sulawesi Selatan," tulis Sianipar, Prakosajaya, & Widiyastuti dalam artikel yang terbit dalam Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah (Volume 5 No. 4, 2020).

Sejak melakukan Musu Selleng, Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan penguasa wilayah Sulawesi Selatan. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan Belanda pencari rempah-rempah di Indonesia telah membuat sebuah kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada 1602.

VOC menjadikan Batavia sebagai pusat pemerintahan dan Maluku sebagai tempat penghasil rempah-rempah. Akibat jarak antara dua tempat tersebut terlalu jauh dan memakan waktu lama dalam perjalanan, maka VOC memilih pelabuhan Makassar sebagai persinggahan karena ramainya lalu lintas perdagangan di daerah tersebut.

Pada tahun 1601, VOC mulai mengadakan kontak dengan Raja Gowa-Tallo, Sultan Alauddin. Mereka menjalin hubungan harmonis yang ditandai dengan pendirian kantor dagang VOC di kerajaan Gowa-Tallo.

Sewang dalam Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII (2005, hal 62) menulis, hubungan antara VOC dan Kerajaan Gowa-Tallo mulai mengalami konflik pada 1615. Kejadian itu terjadi saat De Vries, nahkoda kapal VOC dan Abraham Sterck, kepala dagang VOC di Makassar melakukan balas dendam akibat kesulitan dagang mereka di Makassar lantaran adanya gangguan dari pedagang Spanyol dan Portugis tidak dibantu oleh Kerajaan Gowa-Tallo.

VOC mengundang Kerajaan Gowa-Tallo di kapal VOC dan mereka melucuti senjata perwakilan Kerajaan Gowa-Tallo. Setelahnya, terjadi perlawanan yang menimbulkan korban jiwa di kedua belah pihak.

Keadaan semakin memburuk saat VOC meminta pedagang Makassar berhenti berdagang di Maluku dan Banda karena kedua tempat tersebut adalah milik Belanda. Sultan Alauddin tidak setuju dengan monopoli yang dilakukan VOC dan menolak permintaan tersebut.

Pada 10 Desember 1616, terjadi bentrok antar awak kapal antara VOC dan Makassar yang menyebabkan 16 orang VOC tewas. Peristiwa ini dimaknai oleh VOC sebagai isyarat untuk memulai perang, sedangkan Sultan Alauddin memperkuat pertahanan dan keamanan. Ia terus menambah daerah kekuasaan dengan menginvasi Kutai dan Bima.

Musu Selleng yang dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo menciptakan rasa iri pada Kerajaan Bugis. VOC memanfaatkan kebencian Bugis untuk melakukan persekutuan dengan Kerajaan Bugis yang dipimpin oleh Arung Palakka untuk menaklukan Gowa-Tallo.

Pada Desember 1666, terjadilah Perang Makassar yang melibatkan Kerajaan Gowa dan VOC. Setelah satu tahun perang berlangsung, Laksamana Cornelis Speelman selaku Gubernur Jenderal VOC memberi penawaran pada Sultan Hasanudin, raja Gowa-Tallo untuk melakukan perjanjian damai. Perjanjian damai dilakukan untuk menghentikan kerugian akibat perang dari kedua belah pihak.

Perjanjian damai tersebut ditandatangani pada 18 November tahun 1667 di Bongaya yang disebut dengan Perjanjian Bongaya atau Bongaaisch Contract. Perjanjian tersebut disetujui oleh Speelman sebagai perwakilan VOC dan Kerajaan Gowa-Tallo yang diwakili Sultan Hasanudin.

Isi perjanjian Perjanjian Bongaya

Isi dari perjanjian tersebut terdiri atas 30 pasal yang berisi tujuh hal pokok sebagai berikut:

1) VOC mendapatkan wilayah yang direbut oleh Sultan Hasanuddin selama perang Gowa dan Tallo.

2) Bima diserahkan kepada VOC.

3) Kegiatan pelayaran para pedagang Makassar dibatasi di bawah pengawasan VOC.

4) Penutupan Makassar sebagai bandar perdagangan bagi bangsa Barat, kecuali VOC.

5) Monopoli oleh VOC.

6) Alat tukar/mata uang yang digunakan di Makassar adalah mata uang Belanda.

7) Pembebasan cukai dan penyerahan 1.500 budak kepada VOC.

Setelah Perjanjian Bongaya disepakati, Kerajaan Gowa-Tallo baru menyadari bahwa perjanjian tersebut merugikan kerajaannya. Sebagai bentuk protes atas isi perjanjian tersebut, Sultan Hasanuddin masih melakukan perlawanan kembali pada 1668.

Dalam Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim (2002, hlm. 36), perjuangan yang dilakukan oleh Sultan Hasanuddin berujung pada kekalahan. Kerajaan Gowa-Tallo harus menandatangani ulang Perjanjian Bongaya pada 28 Juli 1669. Sejak saat itu, tidak ada lagi kekuatan besar yang mengancam kekuasaan VOC di Indonesia Timur.

Dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan (1985, hlm, 30) terdapat tiga dampak dari adanya perjanjian ini yakni:

a. Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari tahta dan digantikan anaknya yang berusia 13 tahun, Amir Hamzah.

b. Popularitas dan kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo hilang.

c. Perniagaan Kerajaan Gowa-Tallo Telah digantikan VOC.

d. Kehidupan rakyat Gowa-Tallo dipengaruhi Blok Barat.

e. Rakyat Gowa-Tallo dan pembesar Gowa-Tallo yang masih tidak mau tunduk tetap melanjutkan perjuangannya. Baik melalui serangan di luar maupun dalam Sulawesi, seperti dalam serangan Kalaeng Bontolangkasa.

Baca juga:

  • Sejarah Perjanjian Bongaya: Cara Belanda Lemahkan Kesultanan Gowa
  • Sejarah Awal Kerajaan Gowa-Tallo Pra Islam & Daftar Raja-Raja
  • Sejarah Kehidupan Ekonomi Kerajaan Majapahit & Faktor Pendukungnya

Baca juga artikel terkait PERJANJIAN BONGAYA atau tulisan menarik lainnya Fatimatuzzahro
(tirto.id - zhr/ale)


Penulis: Fatimatuzzahro
Editor: Alexander Haryanto
Kontributor: Fatimatuzzahro

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Hasrat VOC untuk menguasai perdagangan rempah di Nusantara selalu memicu konflik terhadap masyarakat di daerah yang dikunjunginya. Salah satu daerah yang kontra dengan kehadiran VOC adalah Gowa di Sulawesi Selatan yang diduduki oleh Kerajaan Gowa.

Kerajaan Gowa terletak di tengah-tengah lalu-lintas pelayaran dan perdagangan yang ramai antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Kerajaan ini menjadi pusat perhubungan antara Pulau Jawa, Pulau Kalimantan dengan Kepulauan Maluku yang menjadi surganya rempah-rempah. Faktor inilah yang membuat kongsi dagang Hindia-Belanda ini ingin menguasai dan memonopoli perdagangan di wilayah ini.

Namun untuk memonopoli perdagangan di Gowa pada abad 17, kongsi dagang yang memiliki nama lengkap Vereenigde Oostindische Compagnie ini sedikit tertatih-tatih. Kesulitan tersebut terjadi karena Kerajaan Gowa sedang dipimpin oleh seorang raja yang sangat menentang keras praktik monopoli perdagangan VOC.

Raja tersebut adalah Sultan Hasanuddin, raja ke-16 Kerajaan Gowa yang lahir pada 12 Januari 1631. Sebelum menjadi raja, nama asli beliau ialah I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah ia naik tahta, barulah ia bergelar Sultan Hasanuddin.

Sebelum Sultan Hasanuddin menduduki singgasana kerajaan, orang-orang Gowa sudah tidak suka dengan kehadiran bangsa Barat yang ingin menguasai rempah-rempah di perairan Sulawesi dan Maluku. Saat tampuk kerajaan dipegang olehnya, barulah perlawanan mulai terjadi.

Sultan Hasanuddin mengawali perlawanan dengan VOC pada tahun 1660. Di bawah komando Sultan Hasanuddin, pasukan Kerajaan Gowa yang terkenal dengan ketangguhan armada lautnya mulai mengumpulkan kekuatan bersama kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk menentang dan melawan VOC.

VOC yang melihat Kerajaan Gowa memperkuat pasukan tidak tinggal diam. VOC juga menjalin kerja sama dengan Kerajaan Bone yang sebelumnya memiliki hubungan kurang baik dengan Kerajaan Gowa. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh VOC untuk menghimpun kekuatan untuk menghancurkan Kerajaan Gowa. Namun, armada militer Kerajaan Gowa masih terlalu tangguh untuk dihancurkan VOC dan para sekutunya.

Pada 1663, pemimpin Kerajaan Bone yang bernama Arung Palakka melarikan diri ke Batavia untuk menghindari kejaran tentara Kerajaan Gowa. Di pusat pemerintahan Hindia-Belanda itu ia berlindung sekaligus meminta bantuan yang jauh lebih besar dari VOC untuk menghancurkan Kerajaan Gowa.

Setelah 3 tahun, pada 24 November tahun 1966 pun terjadi pergerakan besar-besaran yang dilakukan pasukan VOC di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Janszoon Speelman. Armada laut VOC meninggalkan pelabuhan Batavia menuju ke Sombaopu (ibukota Gowa).

Pada tanggal 19 Desember 1666 armada VOC yang kuat ini sampai di depan Sombaopu, ibukota dan sekaligus pelabuhan Kerajaan Gowa. Speelman mula-mula mau menggertak Sultan Hasanudin, namun karena Sultan Hasanuddin tidak gentar Speelman segera menyerukan tuntutan agar kerajaan Gowa membayar segala kerugian yang berhubungan dengan pembunuhan orang-orang Belanda oleh orang Makassar.

Karena peringatan dari VOC tidak diindahkan, Speelman mulai mengadakan tembakan meriam yang gencar terhadap kedudukan dan pertahanan orang-orang Gowa. Tembakan-tembakan meriam kapal-kapal VOC ini dibalas pula dengan dentuman-dentuman meriam yang gencar pula dilancarkan oleh pihak Kerajaan Gowa. Maka terjadilah tembak-menembak dan duel meriam yang seru antara kapal-kapal armada VOC dengan benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa.

Pertempuran hebat terus terjadi. Armada VOC diperkuat oleh pasukan Kerajaan Bone yang berada di bawah komando Arung Palakka. Akhirnya, setelah tak kuat menahan gempuran dari VOC dan pasukan Kerajaan Bone, Sultan Hasanuddin pun dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Perjanjian tersebut memukul telak Sultan Hasanuddin di mana ia harus mengakui monopoli VOC yang selama ini ia tentang. Selain itu, ia juga harus mengakui Arung Palakka menjadi Raja Bone. Wilayah Kerajaan Gowa pun dipersempit.

Akan tetapi, itu semua tidak serta-merta memadamkan semangat juang Sultan Hasanuddin beserta para pasukannya. Perlawanan-perlawanan masih terjadi pascaperjanjian, namun sayang tidak membuahkan hasil yang maksimal sehingga VOC masih mendominasi di wilayah Sulawesi Selatan.

Meski tak bisa mengusir bangsa Barat, hingga akhir hayatnya Sultan Hasanuddin masih bersikukuh tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Kegigihan tersebut dibawa sampai ia wafat pada 12 Juni 1670 di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Selama perlawanannya, Sultan Hasanuddin diberi julukan De Haantjes van Het Oosten yang berarti Ayam Jantan dari Timur karena semangat dan keberaniannya dalam menentang monopoli yang dilakukan VOC.

Pemerintah juga telah menetapkan Sultan Hasanuddin menjadi pahlawan nasional lewat Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/1973 sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan-perjuangan beliau dalam mempertahankan harga diri bangsa. Nama Sultan Hasanuddin pun digunakan menjadi nama universitas negeri (Universitas Hasanuddin) dan juga nama bandar udara di Makassar, Bandara Sultan Hasanuddin.

Baca Juga  Pentingnya Pemutakhiran Data Dapodik Untuk Pengusulan DAK

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP

Referensi: Buku Sultan Hasanuddin Menentang VOC terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1975