Berdasarkan pernyataan di bawah ini yang merupakan peranan pers yaitu

Mengenai apakah UU pers termasuk katagori lex specialis atau tidak, terdapat dua “arus utama” atau dua “mazhab” yang secara ekstrim bertentang satu dengan lain secara diametral. Arus utama pertama berpendapat dan berkeyakinan bahwa Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah undang-undang khusus yang menyingkirkan undang-undang yang bersifat umum atau sebagai lex specialis derogat legi generalis. Sedangkan arus utama yang kedua justru berpendapat dan berkeyakinan sebaliknya, Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sama sekali tidak memenuhi syarat untuk dikatagorikan sebagai undang-undang khusus yang dapat menyingkirkan undang-undang yang umum atau tidak dapat diterapkan asas lex specialis derogat legi generalis, untuk Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Adapun argumentasi yang mendukung UU Pers sebagai lex specialis dan argumentasi yang menolak adalah sebagai berikut:

A. Argumentasi pendukung

Pendukung utama mazab yang menegaskan bahwa Undangundang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan undangundang yang menyingkirkan undang-undang umum lainnya dipelopori oleh Hinca Pandjaitan dan Amir Effendi Siregar. Untuk menyakinkan bahwa undang-undang tentang pers ini benar-benar merupakan lex specialis derogat legi generalis, keduanya menulis buku “1001 Alasan mengapa UU Pers disebut lex specialis.” yang dua tahun kemudian buku tersebut direvisi dan judulnya pun diubah menjadi “Undang-undang Pers memang lex specialis.

   Dari berbagai pendapat para pendukung mazhab ini argumentasi yang mereka kemukakan antara lain:

1. Sebuah undang-undang khusus untuk dapat dikatagorikan sebagai sebuah undang-undang yang khusus yang dapat  menyingkirkan undang-undang yang bersifat umum, tidak harus selalu dinyatakan secara eksplisit atau tegas dalam undang-undang sendiri, tetapi juga harus dilihat dari proses latar belakang pemuatannya. Apabila memang sudah jelas proses latar belakang lahirnya sebuah undang-undang sejak awal dimaksudkan sebagai undang-undang khusus yang menyingkirkan undang-undang yang bersifat umum, maka walaupun di dalam undang-undang khusus itu sendiri tidak dinyatakan secara tegas atau eksplisit, tetap saja undangundang demikian harus dinilai sebagai undang-undang khusus yang harus menyingkirkan undang-undang yang bersifat umum. Dalam hal ini dari awal kelahiran Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah jelas latar belakangnya dimaksud sebagai undang-undang yang bersifat lex specialis. Menurut pendukung mazhab ini dengan membaca secara cermat dan tidak sepotongpotong makna kemerdekaan pers yang dikandung oleh undang-undang ini jelas menunjukan bahwa sebenarnya undang-undang Pers adalah undang-undang yang bersifat khusus dan menyingkirkan yang bersifat umum.

2. UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dengan tegas sejak awal sudah diperuntukan hanya terbatas dan khusus untuk “pelaksanaan kegiatan jurnalistik,” adapun “pelaksanaan kegiatan jurnalistik” yakni kegiatan 6M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan) informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, data dan grafik atau bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, televisi, radio dan segala jenis saluran lain yang tersedia. Di luar pelaksanaan kegiatan jurnalistik tidak berlaku undang-undang ini. Dengan kata lain, ruang lingkup Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers hanya mengatur salah satu dari begitu banyak aspek tentang pers. Sedangkan aspekaspek lain di luar “pelaksanaan kegiatan jurnalistik” tidak diatur lagi di dalam undang-undang karena sudah diatur dalam perundang-undangan lainnya.

3. Penjelasan pasal 12 memperkuat bahwa UU No. 40 tahun 1999 adalah lex specialis.

Banyak pihak yang menafsirkan penjelasan umum UU No. 40 tahun 1999 yang mengatakan “Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya” seakan-akan dengan penjelasan itu menunjukan undang-undang ini bukanlah lex specialis, padahal penjelasan umum itu justru sebaliknya semakin memperkuat bahwa undang-undang ini jelas lex specialis. Dengan memahami bahwa undang-undang ini hanya mengatur “pelaksanaan kegiatan jurnalistik” penjelasan itu telah memperkuat Undang-undang No. 40 Tahun 1999 adalah sebuah lex specialis. Oleh karena itu ditegaskan bahwa untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih itulah, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dalam ketentuan undang-undang lainnya.

4. Baik dari alasan teoritis maupun yuridis Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah memenuhi syarat untuk dikatagorikan sebagai lex specialis. 

Secara teoritis profesi jurnalistik yang diperankan oleh wartawan mendapat tempat yang khusus. Undang-undang tentang pers mengadopsi, mangakui dan menerima teori-teori yang berkembang secara universal dengan cara memasukan ke dalam batang tubuh Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dengan demikian, karena secara teoritis profesi wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik diatur secara khusus, maka mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul sebagai akibat pemberitaan pers harus pula didekati dan diselesaikan secara khusus pula. Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur secara khusus mekanisme penyelesaian akibat pemberitaan pers dengan bahasa yang lebih singkat, yakni kesalahan produk jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik pula. Kesalahan katakata harus diselesaikan dengan kata-kata juga. Hak jawab adalah puncak muara dari semua mekanisme ini. Kesalahan jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme hak jawab. Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers secara khusus mengakui, menerima dan mengejewantahkannya.

5. Secara filosofis dalam negara demokratis dibutuhkan kemerdekaan pers sebagai sarana untuk mempertahankan kemerdekaan pers, sebagai milik masyarakat berdaulat. Tidak ada demokrasi tanpa kemerdekaan pers. Tetapi kemerdekaan pers memerlukan suasana yang demokratis. Baik kemerdekaan pers maupun demokrasi memerlukan supremasi hukum. Oleh karena itu pengaturan dan mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers harus sebagai konsekuensi pelaksanaan kegiatan jurnalistik dalam koridor demokratis secara khusus dan kehadiran Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai aturan khusus adalah jawabannya.

6. Ada alasan historis, politis dan praktis yang menunjukkan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah lex specialis derogat legi generalis. Sesungguhnya sudah menjadi keputusan politik yang bersejarah bahwa melalui Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers dengan menjujung tinggi pelayanan atas hak jawab dan hak koreksi yang membawa hasil-hasil win-win solution. Dengan demikian secara politis dan praktis pengaturan mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers juga dengan mudah dilakoni dan diselesaikan dengan mekanisme khusus melalui pendekatan mekanisme jurnalistik sebagaimana sudah diatur dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pengingkaran atas keputusan politik ini, menurut mahzab ini, adalah pengingkaran atas sejarah itu sendiri. 7. Alasan sosiologis dan empiris mendukung bahwa Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah undang-undang khusus yang menyingkirkan undangundang umum. Pengalaman sosiologis dan empiris menerapkan mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi baik oleh Mahkamah Agung, Dewan Pers maupun lembaga ombudsman atau oleh redaksi semua berjalan dengan baik. Masyarakat mematuhinya. Dengan demikian sesungguhnya pengaturan mekanisme ini memberikan konstribusi yang paling efektif, karena mampu secara khusus menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers dengan elegan. Dengan kata lain, secara sosiologis dan empiris ada aturan khusus yang ditaati oleh masyarakat dan insan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers dengan menggunakan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

7. Alasan sosiologis dan empiris mendukung bahwa Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah undang-undang khusus yang menyingkirkan undangundang umum. Pengalaman sosiologis dan empiris menerapkan mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi baik oleh Mahkamah Agung, Dewan Pers maupun lembaga ombudsman atau oleh redaksi semua berjalan dengan baik. Masyarakat mematuhinya. Dengan demikian sesungguhnya pengaturan mekanisme ini memberikan konstribusi yang paling efektif, karena mampu secara khusus menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers dengan elegan. Dengan kata lain, secara sosiologis dan empiris ada aturan khusus yang ditaati oleh masyarakat dan insan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers dengan menggunakan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

8. Keputusan-keputusan dari Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa dalam kasus pers sebaiknya dipakai undang-undang tentang pers lebih dahulu, sudah merupakan bukti nyata bahwa Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sesungguhnya sudah memenuhi syarat sebagai undang-undang khusus yang dapat menyingkirkan undang-undang yang bersifat umum. Setidaknya ada empat keputusan Mahkamah Agung yang menunjukan bahwa UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menurut aliran ini dapat dipandang sebagai undang-undang khusus yang menyingkirkan undang-undang umum, yakni:

a. Kasus Majalah Garuda di Medan Dalam kasus Garuda pada tahun 1993 Mahkamah Agung sudah berpendapat: Jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers tetapi pihak itu tidak menggunakan hak jawab, dapat diasumsikan bahwa berita yang disiarkan dalam pers itu benar adanya. Dengan dianggap benarnya berita itu, gugatan pihak yang merasa dirugikan harus dikalahkan. Kasusnya bermula manakala Harian Garuda yang terbit di Medan digugat seorang pengusaha lokal. Pemberitaan dalam Harian Garuda tanggal 14 November 1989 dituduh oleh pengusaha tersebut tidak benar. Kemudian Harian Garuda dituntut karena telah melakukan perbuatan melawan hukum melalui pemberitaan. Pada tingkat pengadilan negeri harian Garuda dikalahkan dan dijatuhi hukuman wajib membayar ganti rugi. Di tingkat banding kembali harian Garuda tetap dikalahkan dengan asalan sama dengan PN, yaitu pengadilan tinggi memperkuat putusan pengadilan negeri. Tetapi di tingkat Mahkamah Agung pada tahun 1993 majelis yang terdiri dari M. Yahya Harahap SH; H. Yahya SH, dan Kohar Hari Soemarno balik memenangkan harian Garuda. Dalam pertimbangan Mahkamah Agung antara lain menyebut, dengan tidak menggunakan hak jawab, berarti harian Garuda yang dijadikan dasar untuk menggugat perdata benar adanya. ”Tidak digunakannya hak jawab oleh penggugat, sehingga perbuatan penggugat tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang diberitakan oleh tergugat dalam harian Garuda adalah mengandung kebenaran, paling tidak mengandung nilai estimasi.” demikian Mahakamah Agung waktu itu menegaskan. 

b. Kasus Bambang Harimurti versus Tomy Winata Dalam pertimbangan kasus majalah Tempo Vs Tomy Winata, pihak Tomy Winata menggugat majalah Tempo tanpa lebih dahulu memakai mekanisme yang disediakan oleh UU No. 40 Tahun 1999, yakni melalui hak jawab. Pada tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi Tomy Winata dimenangkan. Tetapi kemenangan itu dipatahkan pada tingkat kasasi. Majelis Agung Mahkamah Agung berpendapat, dalam rangka pelaksanaan fungsi pers, keseimbangan secara universal ditempuh melalui instrumen hak jawab dan penyelesaian melalui lembaga pers. Selanjutnya majelis yang memeriksa kasus ini yang tediri dari Bagir Manan, Harifin Atumpa dan Djoko Sarwoko menegaskan, ” hak jawab merupakan instrumen yang paling tepat dibandingkan dengan proses hukum yang selalu terdapat kemungkinan tidak dapat diketahui secara luas sebagaimana kalau menggunakan hak jawab, karena dengan menggunakan hak jawab akan ada keseimbangan antara kemestian pers bebas dan kemestian perlindungan kepentingan seseorang dari pemberitaan pers yang keliru.” 

c. Kasus majalah Tempo Versus Texmaco Duduk perkara kasus ini juga mirip dengan kasus Tempo versus Tomy Wianata. Pihak Texmaco menggugat Tempo dan sampai pada tingkat pengadilan tinggi mereka menang. Tetapi lagi-lagi di tingkat kasasi Mahakamah Agung memenangkan majalah Tempo. Alasannya juga mirip dengan dua kasus sebelumnya baik kasus Garuda maupun kasus Tempo versus Tomy Winata, karena pihak penggugat tidak mempergunakan lebih dahulu Undangundang No. 40 Tahun 1999 maka hak untuk menggugat gugur.

d. Kasus Penyanderaan wartawan Bernas dan Kedaulatan Rakyat di Yogjakarta oleh empat mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogjakarta. Kasus ini agak berbeda jauh dari tiga kasus sebelumnya. Jika dalam ketiga sebelumnya pihak pers yang digugat dalam kasus ini justru pihak pers yang dirugikan yang mencoba menerapkan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kasusnya bemula ketika pada tanggal 29 Agustus 2002. Waktu ada aksi unjuk rasa di kampus ISI dan para wartawan mencoba meliput peristiwa ini. Tetapi ada mahasiswa yang menolak kehadiran wartawan. Tak hanya itu. Dua orang mahasiswa ISI Yogjakarta menyandera empat orang wartawan, masing-masing dua dari harian Bernas dan dua dari Harian Kedaulatan Rakyat di ruang senat. Padahal kepada mereka para wartawan ini sudah menunjukan identitasnya dan juga sudah menerangkan maksud dan kedatangannya. Tetapi kedua mahasiswa itu tidak peduli dan tetap menyandera para wartawan. Kemudian para wartawan melaporkan perlakuan itu kepada polisi. Selanjutnya polisi memeriksa dan mengajukan kasus ini berdasarkan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 dengan dakwaan kedua mahasiswa tersebut menghalang-halangi tugas wartawan.Sebelumnya di Pontianak, Kalimatan Barat, Tahun 2005 pengadilan setempat sudah lebih dahulu menjatuhkan putusan berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Seorang wartawan yang diberitakan sebagai wartawan gadungan ternyata dinyatakan oleh polisi bukan sebagai wartawan gadungan. Kemudian menggugat surat kabar yang memberitakannya, tetapi pengadilan mengalahkannya karena dia mengabaikan Undangundang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pihak yang kalah meneruskan kasus, sehingga inilah yang dianggap sebagai kasus pertama yang diputuskan pengadilan berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Berdasarkan pelbagai keputusan itu kemudian dianggap keputusan itu sebagai yurisprudensi yang menegaskan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah memenuhi unsur lex specialis derogat legi generalis. Lalu disimpulkan, “baik aparat penegak hukum maupun masyarakat segoyganya menggunakan UU Pers, yaitu UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. ” 

B. Argumentasi yang menolak

Kelompok yang menolak memasukan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai sebuah undang-undang yang berlaku khusus yang dapat menyingkirkan undang-undang umum dikenal juga dengan “mazhab FH UI.” Hal ini karena sebagian besar penentangnya bukan hanya berasal dari lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), tetapi juga lembaga-lembaga di lingkungan FH UI pun banyak yang menganut pandangan ini, Sebenarnya penamaan “mazhab FH UI” tidak sepenuhnya tepat, karena banyak pula orang hukum yang bukan lulusan FH UI yang berpendapat demikian.

Dari berbagai argumentasi yang dikemukan kelompok ini antara lain:

1. Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dilihat dari segi apapun sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai undang-undang khusus yang menyingkirkan undang-undang yang umum. Kalau mau dijadikan undang-undang khusus, tidak jelas mau khusus dari induk undang-undang yang mana? Undang-undang pidana, undang-undang perdata, undang-undang administrasi negara atau undang-undang apa, tidak jelas? Begitu pula hukum acara apa yang harus dipakai kalau dikatagorikan sebagai undangundang khusus menjadi tidak jelas. Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak jelas ingin menjadi khusus dari undangundang apa dan dijalankan dengan hukum acara yang mana? Tanpa kejelasannya mana induknya maka asas-asas hukum apa yang harus dipakai juga menjadi tidak jelas, sehingga membingungkan pelaksanaan hukum. Begitu pula tanpa kejelasan hukum acara mana yang harus dipakai sebagai “Undang-undang yang khusus” yang menimbulkan kekacauan dalam pelaksanaan hukum.

2. Isi Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sama sekali tidak mandiri alias tidak self contained regimes. Begitu banyak ketentuan dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang tidak dapat dijalankan tanpa bantuan undang-undang lainnya. Bahkan lebih dari itu banyak sekali isi Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang tidak dapat dioperasionalkan atau dijalankan karena ketidaklengkapan dari undang-undang ini sendiri. Sebuah undang-undang yang ingin dikatagorikan sebagai undang-undang khusus yang dapat menyingkirkan undang-undang yang bersifat umum harus dapat dilaksanakan berdasarkan ketentuan undang-undang itu sendiri. Maka memaksakan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai undang-undang khusus justru membuat undang-undang tidak mungkin diterapkan secara keseluruhan tetapi hanya sepotongsepotong dan ini justru membuat undang-undang itu kehilangan makna dan rohnya. Menurut Nono Anwar Makarim Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sama sekali tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebuah undang-undang lex specialis dengan alasan : 

a. Tidak memenuhi syarat baik dilihat dari syarat hukum formal maupun syarat hukum material sesuai dengan ilmu hukum;

b. Tidak memenuhi syarat self contained regimes, yaitu kumpulan ketentuan primer tentang suatu hal yang dikaitkan dengan kumpulan ketentuan sekunder dan yang harus didahulukan dari kumpulan ketentuan sekunder. Untuk itu kumpulan primernya harus ada ketentuan tentang hak, kewajiban dan wewenang serta ketentuan yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaannya, termasuk juga aturan khusus tentang penanganan pelanggarannya. Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sama sekali tidak memenuhi semua syarat itu.

3. Baik isi maupun penjelasan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sendiri sudah jelas-jelas menunjukan bahwa undang-undang ini bukan sebuah undang-undang lex specialis derogat legi generalis.

Setidaknya paling sedikit ada delapan indikasi dari UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sendiri yang membantah undang-undang ini sebagai sebuah undang-undang khusus yang menyingkirkan undang-undang umum dan tidak lagi memerlukan peraturan di luar undang-undang ini:

a. Pasal 13 huruf b. Menurut pasal 13 huruf b, perusahaan pers dilarang memuat iklan “minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adaktif lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

b. Pasal 16. Dengan jelas dalam rumusan pasal 16 berbunyi, “Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

c. Penjelasan pasal 8 tentang perlindungan hukum kepada wartawan menjelaskan pelindungan terhadap wartawan dalam menjalankan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Penjelasan pasal 9 menegaskan, setiap warga negara berhak atas kesempatan yang sama dalam mendirikan perusahaan pers, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

e. Penjelasan pasal 11 tentang modal asing juga menyebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 

f. Penjelasan pasal 4 ayat 2, antara lain mengatakan”... siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan undang-undang yang berlaku.”

g. Alenia terakhir penjelasan umum juga menyebut, “Undang-undang menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”

h. Penjelasan alenia terakhir pasal 12 berisi, “Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.”

Dalam executive sumery kajian Lembaga Kajian Hukum & Teknologi, Depok 2004 terhadap pelaksanaan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. disimpulkan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers memang tidak dapat dijadikan sebuah undang-undang tunggal yang mengatur tentang pers karena ketentuan yang terdapat di dalamnya tidak mengakomodir semua aspek yang ada dalam pers. Hal ini terbukti masih banyaknya masalah sosial yang muncul, adanya peraturan yang tidak dapat dilaksanakan dan kebingungan dari aparat penegak hukum. Apalagi muncul persoalan, perundang-undangan yang berlaku yang mana yang harus dijadikan rujukan untuk melaksanakan ketentuan yang disebut dalam Undang-undang tentang pers. Hal ini semakin membuktikan bahwa bukan saja Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak mandiri, tetapi peraturan perundang-undangan yang jadi rujukannya juga tidak jelas.

4. Terhadap makna suatu undang-undang boleh ditafsirkan macam-macam, tetapi tetap harus dihubungkan dengan substansi dari undang-undang itu sendiri sehingga penafsiran sebuah Undang-undang tidak boleh membuat undangundang baru tersendiri yang terlepas dari undang-undang yang ditafsirkan.  Betul bahwa dalam pelaksanaan terhadap suatu undangundang boleh dilakukan berbagai penafsiran. Apalagi ada ketidakjelasan dalam undang-undang atau dalam aplikasinya memerlukan penafsiran. Pelaksana undang-undang memang bukanlah seratus persen dari corong undang-undang, melainkan undang-undang itu harus dapat diterapkan secara kontekstual dan menggali maksud pemuatan undang-undang secara eksplisit maupun implisit dari teks undang-undang. Kendati begitu seluruh penafsiran itu tidaklah boleh sampai menyimpang dari tujuan, maksud dan latar belakang diadakannya undang-undang itu sendiri. Dari sinilah penafsiran terhadap suatu undang-undang memiliki standar tertentu, antara lain dengan metode:

a. Penafsiran sistematik;

b. Penafsiran gramatikal;

c. Penafsiran historis;

d. Penafsiran perluasan atau menyempitan makna.

Begitu pula penafsiran terhadap Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers juga harus tetap dikaitkan dengan substansi atau isi Undang-undang itu sendiri dan tidak boleh terlepas dari isi UU itu sendiri. Tidak adanya metodologi penafsiran atau kekeliruan metodologi penafsiran akan menghasilkan kesimpulan yang keliru, bahkan bertentangan dengan makna undang-undang itu sendiri. Berdasarkan metodologi penafsiran yang sahih, tidak ada satu pun petunjuk yang memperlihatkan bahwa Undangundang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah sebuah lex specialis derogat legi generalis. Mengambil kesimpulan arti sebuah undang-undang baru kemudian mengadakan penafsiran yang sesuai dengan hasil kesimpulan adalah pemaksaan makna terhadap sebuah undangundang, bahkan “perkosaan” terhadap arti sesungguhnya serta penafsiran tersebut telah melahirkan undang-undang baru tersendiri yang berlainan makna dari undang-undang yang ditafsirkan. Pemaksaan itulah yang terjadi manakala Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers disimpulkan merupakan lex specialis derogat legi generalis.