Bagi orang Asing di Indonesia yang berasal dari golongan Timur Asing berlaku hukum Perdata

Dari dahulu kala masyarakat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Kemajemukan masyarakat Indonesia inilah yang membuat Pemerintah Hindia Belanda menggolongkan penduduk dengan dibagi tiga kelas, yaitu golongan Eropa, golongan Bumiputera/Pribumi, dan golongan Timur Asing sebagai bentuk upaya menjalankan politik adu domba atau devide et impera.

Bahkan, pembagian golongan penduduk tersebut diatur dalam ketentuan pasal 163 ayat 1 Indiche Stactsregeling (I.S).

Lalu, apa itu golongan Timur Asing? Dan bagaimana pengaturan hukum perdata pada Golongan Timur Asing? Penjelasan mengenai penggolongan penduduk di era pemerintahan Hindia-Belanda dapat dilihat pada artikel di bawah ini.

Bagi orang Asing di Indonesia yang berasal dari golongan Timur Asing berlaku hukum Perdata


Penggolongan Penduduk Menurut Indische Staatsregeling (IS), dan Apa itu Golongan Timur Asing?


Berdasarkan pada pasal 163 ayat (1) I.S (Indische Staats Regeling) penduduk yang mendiami wilayah pemerintahan Hindia-Belanda pada saat itu dibagi dalam tiga golongan, yaitu:

1. Golongan Eropa

Yaitu yang termasuk golongan Eropa menurut pasal 163 ayat (2) I.S adalah:


  • Semua warga negara Belanda;
  • Semua orang yang berasal dari Eropa; 
  • Semua warga negara Jepang;
  • Semua orang yang berasal dari negara lain, yang di negaranya tunduk kepada hukum kekeluargaannya dan asas-asasnya sama dengan hukum Belanda; dan
  • Keturunan mereka yang tersebut di atas yang diakui menurut Undang-Undang.

Yaitu yang termasuk golongan Bumiputera menurut pasal 163 ayat (3) I.S adalah :

  1. Rakyat asli Hindia-Belanda (pribumi)
  2. Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu membaurkan dirinya kedalam golongan Bumiputera asli dengan cara meniru atau mengikuti kehidupan sehari-hari golongan Bumiputera dan meninggalkan hukumnya atau karena perkawinan

Yaitu yang termasuk golongan Timur Asing Menurut pasal 163 ayat (4) I.S meliputi penduduk yang tidak termasuk golongan Eropa dan golongan Bumiputera. Golongan ini dibedakan atas dua bagian, yaitu: 

  • Golongan Timur Asing Tionghoa (Cina)
  • Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, seperti Arab dan India, Pakistan, dan Mesir.

Ketiga golongan penduduk tersebut di atas tunduk pada hukum perdata yang berbeda-beda sebagaimana diatur dalam Pasal 131 I.S yang merupakan “Pedoman Politik Hukum” pemerintah Belanda dengan ketentuan-ketentuan berikut ini:

1. Ayat 1 menjelaskan bahwa hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum acara perdata, dan hukum acara pidana harus dicantumkan dalam kitab Undang-undang atau dikodifisir.

2. Ayat 2 sub A dijelaskan bawa terhadap golongan Eropa harus diperlakukan perundang-undangan sesuai dengan yang berlaku di negeri Belanda dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Dan ayat 2 sub A pasal 131 I.S ini sering disebut sebagai ayat yang memuat asas konkordansi.

3. Ayat 2 sub B dijelaskan bahwa bagi golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing, ketentuan Undang-undang Eropa dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang dapat diperlakukan apabila kebutuhan mereka menghendakinya.

4. Ayat 4 menjelaskan bahwa golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing diperbolehkan menundudukkan dirinya kepada hukum yang berlaku bagi orang Eropa, baik sebagian maupun seluruhnya.

5. Ayat 6 dijelaskan bahwa hukum adat yang masih berlaku bagi golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing tetap berlaku sepanjang belum ditulis dalam Undang-undang.

Dari pasal-pasal tersebut di atas nampak adanya upaya politik dari pemerintah Hindia-Belanda untuk memecah belah, yaitu dengan membedakan hukum yang berlaku untuk orang Eropa, Bumiputera dan Timur Asing yang berada di kawasan Hindia Belanda pada waktu itu.

Beikut ini penjelasan penggolongan hukum perdata pada ketiga golongan penduduk tersebut: 

a. Golongan Eropa

Bagi golongan Eropa diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab UndangUndang Hukum Dagang yang diselaraskan dengan Burgelijk Wetbook dan Wetbook Van Koophandel yang berlaku di negara Belanda.

b. Golongan Bumiputera

Bagi golongan Bumiputera berlaku hukum adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan masyarakat tetapi hukum ini masih berbeda-beda sesuai dengan daerahnya masing-masing. Disamping hukum adat, terdapat beberapa peraturan undang-undang yang secara khusus di buat oleh pemerintah Belanda bagi golongan Bumiputera, yaitu antara lain :

  • Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia kristen atau HOCI (Huwelijke Ordonantie Christen Indonesiers, Staatblad 1933 Nomor 74)
  • Ordonansi tentang Maskapai Andie Indonesia atau IMA (Staatblad 1939 No. 509 jo 717)
  • Ordonasi tentang perkumpulan bangsa Indonesia (Staatblad 1939 No. 570 jo 717)

c. Golongan Timur Asing

Bagi orang Asing di Indonesia yang berasal dari golongan Timur Asing berlaku hukum Perdata
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Eman Suparman, M.H., menjadi pembicara pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Seputar Hukum Waris” yang digelar Dewan Profesor Universitas Padjadjaran secara virtual, Sabtu (24/7) lalu

[unpad.ac.id] Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Eman Suparman, M.H., mengatakan, Indonesia memiliki keragaman sistem hukum waris. Setiap wilayah atau lingkungan adat di Indonesia memiliki sistem hukum waris tersendiri.

“Hukum waris erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami kematian,” ungkap Prof. Eman pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Seputar Hukum Waris” yang digelar Dewan Profesor Universitas Padjadjaran secara virtual, Sabtu (24/7) lalu.

Akar mula keragaman hukum waris Indonesia salah satunya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sejarah, yaitu ketika masa penjajahan kolonial Belanda selama 350 tahun.

Guru Besar Hukum Acara Perdata tersebut menjelaskan, di masa penjajahan Belanda, sistem konstitusi di Hindia Belanda mengacu pada Indische Staatsregeling (IS). Berlakunya Pasal 131 dan Pasal 163 pada IS merupakan salah satu faktor yang melahirkan pluralisme hukum di bidang keperdataan, khususunya hukum waris.

Dalam Pasal 163 IS, Belanda mengatur penggolongan penduduk yang ada di Hindia Belanda. Saat itu, Indonesia atau Hindia Belanda belum menjadi negara yang berdaulat, tetapi masih menjadi negara koloni Belanda. Karenanya, Hindia Belanda saat itu belum mengenal istilah warga negara.

Ada tiga golongan penduduk berdasarkan pasal tersebut. Golongan pertama adalah golongan kulit putih, atau masyarakat Eropa dan masyarakat yang dipersamakan dengan orang Eropa. Golongan kedua adalah timur asing Cina dan timur asing lainnya, serta golongan ketiga adalah kelompok Bumiputra atau pribumi asli Nusantara.

Prof. Eman menjabarkan, pembagian golongan penduduk di atas juga diikuti dengan pemberlakuan kaidah hukum sesuai dengan golongannya. Penjelasan ini termaktub pada Pasal 131 IS.

Oleh karena itu, ketentuan hukum waris juga mengikuti kaidah hukum berdasarkan golongan penduduk. Golongan Eropa dan yang dipersamakan notabene mendapatkan eksklusivitas pemerintah kolonial, ketentuan hukum warisnya mengacu pada kitab Burgerlijk Wetboek (WB).

Acuan kitab BW juga berlaku bagi golongan timur asing Cina dan timur asing lainnya. Selain itu, golongan ini juga dipersilakan untuk mengadopsi hukum adat masing-masing, seperti hukum adat dari Cina atau hukum adat dari India.

“Pemberlakuan hukum adat juga berlaku bagi golongan Bumiputra. Karena banyaknya lingkungan adat, maka diberlakukan hukum adat masing-masing,” paparnya.

Aturan peninggalan era kolonialisme tersebut menyisakan pengaturan hukum waris di Indonesia hingga saat ini. Prof. Eman menjelaskan, dewasa ini hukum waris di Indonesia masih menganut pada tiga sistem, yaitu hukum waris berdasarkan BW, hukum waris menurut hukum adat sebagai kearifan lokal, serta hukum waris menurut agama Islam.

Prof. Eman menyoroti, di era kolonialisme, hukum Islam sebenarnya sangat sedikit dibahas. Namun, hukum Islam secara diam-diam digunakan oleh masyarakat Hindia Belanda yang Muslim. Golongan tersebut meyakini bahwa hukum waris Islam merupakan perintah agama yang wajib dijalankan.

“Legitimasi ketiga sistem hukum waris ini disebutkan dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang kurang lebih menjelaskan, segala aturan dan badan yang ada masih langsung berlaku selama belum diganti,” kata Prof. Eman.

Lebih lanjut Prof. Eman mengatakan, meski beragam, hukum waris di Indonesia ternyata sulit untuk diunifikasikan atau disatukan. Bahkan, tidak mungkin pula dikodifikasikan, atau menghimpun semua bahan hukum sejenis dalam satu kitab Undang-undang yang disusun secara sistematis dan lengkap.

“Sudah dipastikan bahwa kodifikasi untuk unifikasi bidang hukum waris di Indonesia adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi,” tuturnya.*