Bagaimanakah perlakuan kaum Nabi Ibrahim terhadap dirinya

 Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa bukan hanya Ayahnya yang memusuhinya, melainkan juga seluruh kaumnya. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendapati dua kaum yang melakukan kesyirikan dengan model yang berbeda satu sama lain. Kaum Nabi Ibrahim ‘alaihissalam di Babil menyembah patung-patung (makhluk di bumi), sedangkan di Harran beliau mendapati kaum yang menyembah benda-benda langit seperti bintang, rembulan dan matahari([1]).

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam Alquran yang menyebutkan tentang dialog antara Nabi Ibrahim dan kaumnya penyembah berhala di dalam surah Al-Anbiya’. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ، إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ؟

“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui keadaannya. (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada Bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” (QS. Al-Anbiya’ : 51-52)

Yaitu Ibrahim menegur mereka sambil mengejek, yaitu seakan-akan Ibarahim berkata kepada mereka, “Ngapain kalian berlama-lama di patung-patung yang kalian pahat dengan tangan kalian sendiri?. Kalau berdiam lama untuk menyembahnya. Apakah ini perbuatan orang yang berakal?” Hal ini sama dengan yang disebutkan oleh Allah dalam ayat yang lain :

قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ، وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?,  Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS As-Shooffaat : 95-96)

Artinya bagaimana kalian menyembah hasil karya kalian sendiri, harusnya kalau mau pakai logika patung itulah yang harus menyembah kalian. Sementara yang menciptakan kalian dan patung tersebut adalah Allah.

Tentu mereka tidak bisa menjawab sama sekali dengan jawaban yang logis, maka tidak ada dalil bagi mereka kecuali hanya mengikuti tradisi nenek moyang,

قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءَنَا لَهَا عَابِدِينَ

Mereka menjawab: “Kami mendapati Bapak-Bapak (nenek moyang) kami menyembahnya“. (QS. Al-Anbiya’ : 53)

Kata Ibnu Qayyim bahwa di antara perkara yang menyulitkan seseorang mendapatkan hidayah adalah berpegang pada tradisi([2]). Lihatlah kaumnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, mereka tahu bahwa yang mereka sembah adalah patung, akan tetapi mereka tidak punya alasan lain selain karena mengikuti tradisi nenek moyang mereka. Sering saya sampaikan bahwa di tanah air kita ini banyak kota-kota yang dikenal banyak ulama dan tokoh-tokoh lahir dari tempat tersebut, akan tetapi tradisi tidak dapat ditinggalkan, bahkan mereka tidak mau meninggalkannya. Di tanah air ada sebuah daerah yang lahir banyak ulama dari daerah tersebut, akan tetapi tradisi wanita yang membayar mahar masih ada di daerah tersebut, padahal tradisi tersebut menyelisihi syariat. Maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengalami perkara yang berat yaitu umatnya tidak mau meninggalkan penyembahan berhala karena mengikuti tradisi nenek moyang mereka. Hal yang dialami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga dialami oleh Nabi Muhammad ﷺ ketika beliau mendakwahi kaumnya, sehingga kaumnya mengatakan,

إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ

“Sesungguhnya kami mendapati Bapak-Bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka“. (QS. Az-Zukhruf : 22)

Dalam ayat yang lain Allah berfirman :

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ، إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ، قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ، قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ، أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ، قَالُوا بَلْ وَجَدْنَا آبَاءَنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ

“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim, ketika ia berkata kepada Bapaknya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah?”. Mereka menjawab: “Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya”. Berkata Ibrahim: “Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)?, atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?”. Mereka menjawab: “(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian” (QS Asy-Syuároo : 69-74)

Mereka menyangka bahwa Ibrahim akan tunduk dengan dalil nenek moyang, karena apa yang dilakukan oleh nenek moyang seakan-akan merupakan kebenaran yang absolut. Apalagi nenek moyang mereka juga merupakan nenek moyang Ibrahim.

Akan tetapi Ibrahim dengan lantangnya berkata,

قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kamu dan Bapak-Bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata“. (QS. Al-Anbiya’ : 54)

Ternyata Ibrahim tidak sekedar menyalahkan mereka, bahkan beliau tidak ragu-ragu untuk menyalahkan nenek moyang mereka juga. Bahkan menyatakan bahwa nenek moyang mereka dalam kesesatan yang nyata dan sangat jelas. Beliau menegaskan bahwa tidak ada udzur bagi kalian mengikuti nenek moyang kalian, karena nenek moyang kalian sesat([3]).

Merekapun heran heran apakah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam serius dengan perkataannya. Mereka berkata,

قَالُوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنْتَ مِنَ اللَّاعِبِينَ

“Mereka menjawab: “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?” (QS. Al-Anbiya’ : 55)

Mereka heran Ibrahim mengucapkan demikian karena mereka tidak pernah mendengar sebelumnya seorangpun yang berkata seperti perkataan Ibrahim ([4]). Mereka heran apakah Ibrahim benar-benar mencela nenek moyangnya juga?. Selain itu mereka begitu yakin bahwa nenek moyang mereka dalam kebenaran, lantas kok bisa Ibrahim mengatakan demikian?, apakah Ibrahim serius apa bercanda?

قَالَ بَلْ رَبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا عَلَى ذَلِكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ

“Ibrahim berkata: “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya: dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu“. (QS. Al-Anbiya’ : 56)

Ibrahim membantah mereka dengan jawaban yang sangat logis, yaitu hakikat Tuhan yang sebenarnya adalah Tuhan yang menciptakan kalian, yang menciptakan langit dan bumi. Tuhan bukanlah patung-patung tersebut. Semua orang berakal (termasuk mereka) sepakat bahwa patung-patung tersebut tidaklah menciptakan langit dan bumi, bahkan dibuat oleh tangan-tangan mereka. Maka jawaban ini menunjukan beliau serius sekaligus disertai dalil akan keseriusan beliau.

Adapun perkataan beliau,  “dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu”’ yaitu beliau mengumumkan bahwa beliau diutus oleh Pencipta alam semesta , yaitu beliau adalah salah satu dari sekian banyak manusia dari berbagai zaman dan berbagai tempat yang mempersaksikan ke-tauhid-an Allah, karena ketika itu yang bertauhid di Babil hanyalah beliau([5]).

Kemudian Nabi Ibrahim berkata dalam hatinya,

وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ

“Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.” (QS. Al-Anbiya’ : 57) ([6])

Setelah Ibrahim bernahi mungkar kepada mereka dengan lisan, maka beliau bertekad untuk bernahi mungkar dengan tangan beliau. Akan tetapi tentu tidak mungkin beliau lakukan hal tersebut jika para penyembah berhala masih ada di dekat sesembahan-sesembahan tersebut, nahi mungkar beliau tentu akan gagal. Oleh karenanya beliau menunda sampai waktu yang memungkinkan, yaitu ketika mereka sedang pergi meninggalkan berhala-berhala mereka.

Ternyata kaumnya Nabi Ibrahim memiliki acara rutinitas tahunan yang dianggap seperti hari raya. Akan tetapi acara tersebut dilakukan di luar kota Babil. Sedangkan berhala-berhala mereka terletak di tengah kota Babil. Maka ketika tiba waktu acara tersebut, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diajak oleh kaumnya, akan tetapi beliau tidak ingin pergi dengan alasan sakit sebagaimana Allah sebutkan di dalam Alquran,

فَقَالَ إِنِّي سَقِيمٌ

“Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya aku sakit“. (QS. Ash-Shaffat : 89) ([7])

Padahal Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak sakit, akan tetapi yang sakit adalah hatinya yang melihat kondisi mereka yang menyembah berhala.

Inilah kedustaan pertama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang merupakan salah satu dari tiga kedustaan beliau.

Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :

لَمْ يَكْذِبْ إِبْرَاهِيمُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلَامُ، قَطُّ إِلَّا ثَلَاثَ كَذَبَاتٍ، ثِنْتَيْنِ فِي ذَاتِ اللهِ، قَوْلُهُ: إِنِّي سَقِيمٌ، وَقَوْلُهُ: بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا، وَوَاحِدَةٌ فِي شَأْنِ سَارَةَ

“Tidak pernah sama sekali Nabi Ibrahim álaihis salam berdusta kecuali hanya tiga kali, dua kali karena membela Allah, yaitu perkataan beliau, “Aku sakit”, dan perkataan beliau, “Akan tetapi yang menghancurkan adalah patung yang besar ini”, dan yang ketiga berkaitan dengan istrinya Sarah” ([8])

Adapun 2 kedusataan lainnya akan datang penjelasannya.

Kedustaan pertama yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah dia mengatakan kalau dirinya sakit.

Maka kemudian pergilah semua kaumnya ke kota tempat acara tahunan tersebut dilakukan. Maka karena kota Babil dalam kondisi kosong, dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak ikut karena pura-pura sakit, ia pun melancarkan rencana yang ingin lakukan terhadap patung-patung yang disembah oleh kaumnya. Maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam keluar membawa kapak, lalu menghancurkan seluruh patung-patung. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَرَاغَ إِلَى آلِهَتِهِمْ فَقَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ، مَا لَكُمْ لَا تَنْطِقُونَ، فَرَاغَ عَلَيْهِمْ ضَرْبًا بِالْيَمِينِ

“Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: “Apakah kalian tidak makan?, Kenapa kalian tidak menjawab?”. Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat)” (QS As-Shaaffat : 91-93)

Nabi Ibrahim segera dan diam-diam menuju berhala-berhala tersebut, lalu beliau mengucapkan demikian karena ternyata kaumnya telah meletakan makanan di dekat berhala-berhala tersebut([9]). Ini juga menunjukan bahwa berhala-berhala tersebut lebih hina dan rendah dari pada hewan-hewan yang masih bisa makan dan berbicara([10]). Sementara berhala-berhala tersebut sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda kehidupan, lantas kok bisa disembah?.

Ternyata sampai sekarang masih saja berlaku, betapa banyak para penyembah berhala yang meletakan makanan-makanan dan juga buah-buahan, bahkan uang-uang di berhala-berhala mereka.

فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ

“Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (QS. Al-Anbiya’ : 58)

Ibrahim mendapati patung-patung tersebut tidak satu ukuran, akan tetapi ada satu patung yang terbesar, dan sisanya kecil-kecil dengan ukuran yang bervariasi. Maka beliaupun mengambil kapak lalu menghancurkan seluruh patung-patung yang kecil dan beliau hanya menyisakan patung yang terbesar. Setelah itu beliau menggantungkan kapak tersebut di leher patung yang terbesar tersebut([11]).

Firman Allah لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ “agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya” menunjukan bahwa Ibrahim ‘alaihissalam memang melakukan demikian agar dia dipanggil oleh kaumnya, sehingga mereka bisa mendengaar hujjah beliau sehingga dia dapat berdakwah di depan banyak orang([12]).

Maka ketika kaumnya telah pulang dari perayaan mereka, mereka pun mendapati tuhan-tuhan mereka telah hancur. Maka mereka saling bertanya-tanya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ، قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ، قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ

“Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim. (Di antara) Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim([13])“. Mereka berkata: “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.” (QS. Al-Anbiya’ : 59-61)

Mereka menganggap bahwa orang yang telah menghancurkan berhala-berhala mereka adalah orang yang dzalim. Padahal apa yang telah dilakukan oleh Ibrahim adalah puncak keadilan, yaitu mentauhidkan Allah([14]). Karena ádil adalah meletakan sesuatu pada tempatnya, dan kedzaliman adalah meletakan sesuatu bukan pada tempatnya. Menjadikan berhala sebagai sesembahan adalah kedzoliman yang besar.

Tidak ada orang yang paling pantas untuk dituduh melainkan Ibrahim. Karena dialah satu-satunya dari seluruh penduduk negeri yang berani mencela berhala-berhala mereka. Maka dipanggillah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kehadapan seluruh penduduk kota Babil. Kemudian mereka bertanya kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَاإِبْرَاهِيمُ، قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ

“Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim? Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala-berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (QS. Al-Anbiya’ : 62-63)

Ibrahim seakan-akan berkata, “Tuhan kalian yang besar marah karena ia tidak mau ada yang disembah selain dia” ([15]). Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata demikian karena ingin agar kaumnya berpikir bahwa yang namanya tuhan tidak ingin ada tandingannya (tidak ingin diduakan). Kalaupun kita melihat orang-orang yang menyembah berhala, maka akan kita dapati mereka memiliki patung-patung yang kecil dan patung yang besar. Bagi mereka patung yang paling besar dianggap sebagai tuhan yang paling berkuasa atau mereka meyakini masih ada yang lebih berkuasa dari patung-patung mereka. Sehingga kita mengatakan bahwa di dalam diri mereka, masih ada sedikit fitrah tauhid, dimana mereka masih meyakini ada tuhan yang lebih besar dan lebih berkuasa dari berhala-berhala yang mereka sembah([16]).

Perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam ayat ini merupakan dusta kedua beliau. Akan tetapi para ulama mengatakan bahwa seluruh kedustaan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bukanlah murni kedustaan melainkan sebagai Tauriyah, yaitu mengucapkan makna yang benar, dengan maksud disalah pahami oleh pendengar. Seperti halnya waktu Rasulullah ﷺ berhijrah, beliau berada di depan dan Abu Bakar berada di belakangnya. Maka ketika itu, orang-orang kafir Quraisy membuat sayembara bahwa siapa yang dapat menangkap Nabi Muhammad ﷺ akan mendapatkan 100 ekor unta. Maka ada yang bertanya kepada Abu Bakar, “Siapa orang di depanmu ini?” Abu Bakar menjawab, “Dia adalah penunjuk jalan”([17]). Maka orang-orang menyangka bahwa maksud Abu Bakar adalah penunjuk jalan pada umumnya, padahal yang dimaksud oleh Abu Bakar adalah penunjuk jalan menuju surga. Karena Nabi Muhammad ﷺ sendiri tidak tahu arah perjalanan, sehingga beliau menyewa seorang penunjuk jalan bernama Abdullah bin Uraiqith([18]).

Maka perkataan yang seperti adalah benar, dan memang sengaja diucapkan untuk disalah pahami oleh orang-orang yang mendengarkannya, perkataan seperti ini dalam istilah bahasa arab disebut tauriyah. Tauriyah itu asalnya merupakan hal yang tercela kecuali dalam kondisi yang mendesak.

Maka kedustaan-kedustaan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bukanlah kedustaan murni. Perhatikanlah kedustaan pertama Nabi Ibrahim yang mengatakan إِنِّي سَقِيمٌ (saya sakit). Dalam bahasa arab, سَقِيْمُ merupakan isim fa’il yang jika digunakan sebagai kabar atau suatu berita, maka akan bermakna sedang berlangsung atau pada waktu yang akan datang. Maka perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bukanlah kebohongan, karena bisa saja maknanya adalah bahwa ia akan sakit nanti. Karena sebagaimana manusia bisa saja sakit pada suatu saat tertentu. Kalaupun maknanya adalah sakit yang sedang berlangsung, maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak memaksudkan sakit fisik, melainkan sakit hati (kesedihan) melihat perbuatan kaumnya.

Kemudian pada kedustaan yang kedua ini, maka hal ini merupakan kebohongan bersyarat, dimana Nabi Ibrahim ‘alaihissalam seakan-akan berkata, “Patung yang besar yang menghancurkan dengan syarat patung-patung kecil bisa berbicara”. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka otomatis Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menunjukkan kepada mereka bahwa dialah pelakunya.

Ibrahim mengatakan kepada mereka فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ “maka tanyakanlah kepada berhala-berhaka itu, jika mereka dapat berbicara”. Yaitu tanyalah kepada berhala-berhala yang kecil, “Kenapa kalian dihancurkan?”, dan tanyakan pula kepada berhala yang terbesar, “Kenapa engkau menghancurkan berhala-berhala yang kecil?”, sementara Ibrahim dan semua yang hadir dari kaumnya sama-sama sekapat bahwa berhala-berhala tersebut tidak bisa berbicara([19]).

Maka setelah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata demikian, maka mereka (kaumnya) sadar karena meninggalkan tuhan-tuhan mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ، ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَؤُلَاءِ يَنْطِقُونَ

“Maka mereka telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”, kemudian kepala mereka jadi terbalik([20]) (lalu berkata): “Sesungguhnya kamu (wahai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara“. (QS. Al-Anbiya’ : 64-65)

Maka pengakuan inilah yang Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ingin dengarkan dari mereka bahwa patung-patung mereka tidak dapat berbicara. Tatkala lisan-lisan mereka (para pembesar kaumnya) mengakui hal tersebut (yaitu berhala mereka tidak bisa bicara) di hadapan penduduk negeri. Maka pengakuan ini dijadikan kesempatan bagi Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk mencela tuhan-tuhan mereka.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ

“Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?” (QS. Al-Anbiya’ : 66)

Oleh karenanya dalam syariat Islam, mencela tuhan-tuhan selain Allah itu hukum asalnya adalah dianjurkan akan tetapi dengan hujjah yang jelas dan bukan mengada-ngada. Namun dalam kondisi tertentu tidak dilakukan karena mudorot yang lebih besar. Allah Subhanahu wa ta’ala banyak mencela tuhan-tuhan selain Allah tetapi dengan logika dan hujjah yang benar. Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata,

أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?” (QS. Al-Anbiya’ : 67)

Yaitu, jika kalian wahai kaumku sudah tahu kondisinya demikian -bahwa berhala tidak bisa berbicara- maka sungguh merugi, sungguh hina kalian, bagaimana kalian menjadikan berhala sebagai sesembahan, apakah kalian tidak berfikir?.

Lihatlah betapa beraninya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang waktu itu masih muda, kemudian sendirian di hadapan seluruh penduduk kota tersebut yang musyrik, lalu mencela tuhan-tuhan mereka di depan mereka secara langsung. Akan tetapi kaumnya tidak dapat membantahnya karena memang telah jelas yang mereka anggap tuhan tidak bisa berbuat apa-apa.

Dalam surat yang lain Ibrahim menjelaskan tentang Allah dihadapan mereka, dan sifat-sifat Tuhan yang seharusnya. Allah berfirman :

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ، إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ، قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ، قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ، أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ، قَالُوا بَلْ وَجَدْنَا آبَاءَنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ، قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ، أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْأَقْدَمُونَ، فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلَّا رَبَّ الْعَالَمِينَ، الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ، وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ، وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ، وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ، وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ

“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada Bapaknya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah?. Mereka menjawab: “Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya”. Berkata Ibrahim: “Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)?, atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?”. Mereka menjawab: “(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian”. Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?, karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam. (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”. (QS Asy-Syuáro : 69-82)

Tatkala mereka sudah kalah hujjah, maka tidak ada cara lain keculai dengan menggunakan otot dan kekerasan. Akhirnya mereka pun marah dan ingin agar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dibunuh. Akan tetapi mereka menginginkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dibunuh dengan cara yang tidak wajar yaitu dibakar([21]) di hadapan banyak orang. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ

“Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak“. (QS. Al-Anbiya’ : 68)

Dengan nada marah dan penuh provokasi mereka berkata, “Bakarlah Ibrahim dan tolonglah tuhan-tuhan kalian !”. Sekali lagi tanpa mereka sadari mereka mengakui dengan lisan mereka bahwa tuhan-tuhan mereka butuh pertolongan, lantas apakah pantas mereka menyembah tuhan-tuhan yang tidak bisa menolong dirinya sendiri??.

Sebelum dibakar Ibrahim ditahan/dipenjara di suatu bangunan.

Allah berfirman :

قَالُوا ابْنُوا لَهُ بُنْيَانًا فَأَلْقُوهُ فِي الْجَحِيمِ

Mereka berkata: “Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim;lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu” (QS As-Shaaffat : 97)

Yaitu mereka memenjarankannya di sebuah bangunan/rumah lalu merekapun mengumpulkan kayu bakar([22]).

Ketika Ibrahim tahu dia akan dibakar maka ia berkata :

إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ

“Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku” (QS As-Shooffaat : 99)

Sebagian ulama berkata :

قوله إِنِّي ذاهِبٌ ليس مراده به الهجرة كما في آية أخرى وإنما مراده لقاء الله بعد الاحتراق ولأنه ظن أن النار سيموت فيها، فقال هذه المقالة قبل أن يطرح في النار، فكأنه قال إني سائر بهذا العمل إلى ربي، وهو سيهديني إلى الجنة

“Perkataan Ibrahim “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku” Maksudnya bukanlah berhijrah sebagaimana pada ayat yang lain([23]), akan tetapi maksud beliau adalah bertemu dengan Allah setelah terbakar. Karena Ibrahim menyangka ia akan meninggal terbakar api, maka iapun mengucapkan perkataan ini sebelum dilemparkan ke neraka. Maka seakan-akan beliau berkata, “Aku berjalan menuju Allah dengan amalku ini kepada Rabbku, dan Rabbku akan memberi petunjuk kepadaku menuju surga” ([24]).

Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, maka mereka pun mengumpulkan kayu bakar yang sangat banyak. Mereka hendak membuat lautan api yang terbesar di alam semesta waktu itu. Saking semangatnya orang-orang ingin membakar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sampai disebutkan bahwa ada seorang wanita yang sedang sakit kemudian bernazar bahwa jika dia sembuh, maka akan dibawakan kayu bakar untuk (membakar) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam([25]).  Demikian juga disebutkan ada seorang nenek tua memikul kayu bakar di atas punggungnya, maka dikatakan kepadanya, “Kemana engkau hendak pergi?”, ia berkata, “Aku pergi kepada orang yang mencela tuhan-tuhan kita” ([26]). Demikian juga disebutkan ada seorang lelaki tua yang sudah lama tidak pernah keluar dari rumahnya, namun pada hari itu ia keluar sambil membawa kayu bakar dengan tujuan untuk bertaqorrub kepada sesembahan-sesembahan mereka([27]).

Ketika telah terkumpulkan kayu bakar yang banyak, mereka kemudian menyalakan api. Maka untuk melempar Ibrahim ke tengah lautan api merekapun menggunakan الْمَنْجَنِيْقُ manjaniiq (yaitu alat pelempar semisal ketapel besar). Maka dibukalah baju Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kemudian diletakkan di atas pelempar tersebut, dan kemudian dilemparkan ke dalam lautan api tersebut. Ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dilempar ke dalam lautan api tersebut, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih bahwa beliau hanya mengucapkan,

حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الوَكِيلُ

“Cukuplah Allah bagiku, Dia adalah sebaik-baik Pelindung.” ([28])

Ucapan ini merupakan ucapan yang luar biasa, yang bisa diucapkan oleh semua orang. Akan tetapi berbeda ketika diucapkan dalam hati yang paling dalam yaitu yakin bahwa hanya Allah yang bisa memberikan pertolongan.

Maka Allah Subhanahu wa ta’ala menolong Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الأخْسَرِينَ

“Kami berfirman (kepada api): “Hai api jadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim. Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al-Anbiya’ : 69-70)

Akhirnya api yang harusnya membakar menjadi dingin karena perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Dingin yang dirasakan Nabi Ibrahim tidak terlalu dingin, melainkan dingin sejuk yang membuatnya selamat ketika jatuh ke dalam api tersebut dan tidak terbakar. Inilah mukjizat yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang diperlihatkan kepada penduduk kota Babil. Akan tetapi mereka tetap tidak beriman, karena berpegang pada tradisi mereka.

Dalam hadits disebutkan cicak ikut meniup untuk membesarkan api.

عَنْ أُمِّ شَرِيكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ” أَمَرَ بِقَتْلِ الوَزَغِ، وَقَالَ: كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ “

Dari Ummu Syariik bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam memerintah untuk membunuh cicak, dan Nabi berkata, “Cicak dulu meniup (untuk membesarkan api) Ibrahim álaihis salam” ([29])

Imam Ahmad meriwayatkan

عَنْ سَائِبَةَ أَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى عَائِشَةَ، فَرَأَتْ فِي بَيْتِهَا رُمْحًا مَوْضُوعًا، فَقَالَتْ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، مَا تَصْنَعِينَ بِهَذَا الرُّمْحِ؟ قَالَتْ: ” نَقْتُلُ بِهِ الْأَوْزَاغَ، فَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَخْبَرَنَا أَنَّ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ، لَمْ تَكُنْ دَابَّةٌ إِلَّا تُطْفِئُ النَّارَ عَنْهُ، غَيْرُ الْوَزَغِ، فَإِنَّهُ كَانَ يَنْفُخُ عَلَيْهِ، فَأَمَرَ عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَامُ بِقَتْلِهِ

Dari Saibah, ia masuk ke rumah Aisyah, maka ia melihat di rumah Aisyah ada tombak yang diletakan di tempatnya. Iapun bertanya : “Wahai ibunda kaum mukminin, apa yang hendak engkau lakukan dengan tombak ini?”. Beliau menjawab, “Untuk menombak cicak-cicak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada kami bahwasanya Ibrahim ‘alaihis salam ketika dilemparkan di api maka tidak ada seekor hewanpun kecuali berusaha mematikan api, kecuali cicak, cicak meniupkan untuk memperbesar nyala api. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membunuhnya” ([30])

Karenanya kita disunnahkan untuk membunuh cicak selain karena ia adalah hewan yang membawa penyakit dan suka mengganggu ([31]), ternyata nenek moyangnya juga dulu pernah menjadi musuh tauhid yaitu ikut membantu kaum musyrikin dalam meniup untuk memperbesar nyala api yang membakar Ibrahim. Nabi mengkaitkan membunuh cicak juga dengan sebab ini agar kita selalu ingat akan pengorbanan Nabi Ibrahim álaihis salam dalam memperjuangkan tauhid, dan agar kita juga senantiasa memusuhi orang-orang yang memusuhi tauhid kepada Allah, wallahu a’lam ([32]).

Footnote:

__________

([1]) Lihat Qashas Al-Anbiya’ 1/169

([2]) Lihat Miftah Daarissa’aadah karya Ibnul Qoyyim 1/98

([3]) Lihat Tafsir Ibn Katsir 5/348

([4]) Lihat at-Tahrir wa at-Tanwir 17/95

([5]) Lihat at-Tahrir wa at-Tanwir 17/96

([6]) Sebagian ulama berpendapat bahwa Ibrahim mengucapkan perkataan ini bukan di hatinya tapi di lisannya dan sempat di dengar dari salah seorang dari mereka yang berpaling belakangan. Dialah yang kemudian mengabarkan kepada kaumnya dengan berkata

سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ

“Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim” (QS al-Anbiyaa : 60)

Yaitu kami mendengar ia mengancam akan melakukan keburukan kepada berhala-berhala kita. (Lihat Tafsir At-Thobari 16/293)

Sebagian ulama yang lain berpendapat beliau mengucapkannya dengan lisan beliau tapi setelah mereka semua berpaling. (Lihat Tafsir At-Thobari 16/293)

([7]) Al-Hasan al-Bashri berkata :

خَرَجَ قَوْمُ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلامُ إِلَى عِيدٍ لَهُمْ وَأَرَادُوا إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلامُ عَلَى الْخُرُوجِ، فَاضْطَجَعَ عَلَى ظَهْرِهِ فَقَالَ إِنِّي سَقِيمٌ لَا أَسْتَطِيعُ الْخُرُوجَ، وَجَعَلَ يَنْظُرُ إِلَى السَّمَاءِ، فَلَمَّا خَرَجُوا أَقْبَلَ عَلَى آلِهَتِهِمْ فَكَسَرَهَا

“Kaum Ibrahim álaihis salam keluar unutk acara perayaan mereka, dan mereka ingin Ibrahim juga keluar bersama mereka. Maka Ibrahim pun berbaring di atas pundaknya lalu ia berkata, “Aku sakit, aku tidak mampu untuk ikut keluar”, dan beliapun memandang ke langit. Tatkala kaumnya pada keluar maka beliau segera menuju berhala-berhala mereka lalu beliau menghancurkannya” (Tafsir Ibn Abi Hatim 10/3220)

([8])  Lihat Qashah Al-Anbiya’ 1/194

([9]) Lihat Tafsir Ibn Katsiir 7/25

([10]) Lihat Tafsir as-Sa’di hal 705

([11]) Lihat Tafsir At-Thobari 16/295

([12]) Lihat Tafsir as-Sa’di hal 526. Hal ini sama dengan Nabi Musa álaihis salam tatkala ingin duelnya melawan para penyihir dihadiri oleh seluruh masyarakat, agar kebenaran bisa tegak dihadapan orang-orang sebanyak-benyaknya. Musa berkata kepada Firáun :

مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّينَةِ وَأَنْ يُحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى

“Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik” (QS Thaha : 59)

Kaum Ibrahim inginnya Ibrahim dipermalukan dihadapan seluruh masyarakat, sebagaimana juga Firáun juga ingin Musa dipermalukan di hadapan masyarakat, akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Kebenaran ditegakan dan kebatilan dihancurkan. Hal ini sebagaimana juga kisah Ghulam (sang pemuda) dalam kisah Ashaabul Ukhduud yang ketika ingin dibunuh oleh raja maka ia mempersyaratkan agar dihadapan seluruh penduduk negeri, agar mereka beriman.

([13]) Ini menunjukan bahwa Ibrahim masyhur dan terkenal diantara mereka suka mencela tuhan-tuhan mereka.

([14]) Lihat Tafsir as-Sa’di hal 526

([15])  Lihat Tafsir as-Sa’di hal 526

([16])  Lihat Qashas Al-Anbiya’ 1/179

Subhaanallah, mereka kaum Ibrahim meskipun terjerumus dalam kesyirikan tetap masih saja tersisa fithroh naluri tauhid, bahwasanya harus ada satu tuhan yang terbaik. Sehingga mereka membuat dari sekian banyak tuhan tersebut satu berhala yang terbesar.

Dan inilah yang banyak dilakukan oleh kaum musyrikin yang ada saat ini. Kaum Hindu meskipun meyakini ada tiga dewa, namun menurut mereka dewa yang terhebat adalah dewa Brahmana. Kaum Nashrani meskipun meyakini trinitas tapi naluri mereka tetap berusaha menafsirkan trinitas tersebut dengan makna “ke-esa-an”.

([17]) Lihat Fadhoil As-Shohabah karya Ahmad bin Hanbal 1/397, Al-Mu’jam Al-Kabir karya At-Thabrani 24/106

([18]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi 8/144

([19]) Lihat Tafsir As-Sa’di hal 526

([20]) Makna firman Allah ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ “kemudian kepala mereka terbalik (yaitu berada di bawah dan kaki mereka berada di atas). Tentunya kenyataannya kapala mereka tidak menjadi terbalik ke bawah, akan tetapi maksudnya mereka kalah dalam berhujjah (berargumentasi), bahkan sebaliknya mereka ingin berhujjah untuk mengalahkan Ibrahim, justru hujjah tersebut malam membela Ibrahim dan menyerang mereka sendiri. (Lihat Tafsir At-Thobari 16/303)

([21]) Lihat at-Tahriir wa at-Tanwiir 17/105

([22]) Lihat Tafsir at-Thobari 16/306

([23]) Yaitu firman Allah :

وَقَالَ إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَى رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Dan Ibrahim berkata : Sesungguhnya aku berhijrah menuju Rabbku, sesungguhnya Dia adalah Maha Perkasa dan Maha Bijak” (QS Al-Ánkabuut : 26)

([24]) Al-Muharror al-Wajiiz 4/480, lihat tafsir at-Thobari 19/576

([25]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 5/308

([26]) Lihat Maussuah at-Tafsiir al-Ma’tsuur 14/571

([27]) Lihat Maussuah at-Tafsiir al-Ma’tsuur 14/569

([28]) HR. Bukhari 6/39 no. 4564

([29]) HR Al-Bukhari no 3359

([30]) HR Ahmad no 24780

([31]) Nabi shallallahu álaihi wasallam menamakan cicak dengan fuwasiq (yaitu pengganggu kecil).

Aisyah berkata :

قَالَ لِلْوَزَغِ: «فُوَيْسِقٌ»

Rasulullah shallallahu álaihi wasallam berkata tentang cicak : “Fuwaisiq (pengganggu kecil)” (HR al-Bukhari no 1831)

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا»

Dari Ámir bin Saád dari Ayahnya (Saád bin Abi Waqqosh) bahwsanya Nabi shalllahu álaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh cicak dan Nabi menamakannya dengan Fuasiq” (HR Muslim no 2238)

Yang dimaksud dengan fuasiq (dari kata hewan fasiq) yaitu yang mengganggu dan memberikan kemudorotan. Ada beberapa hewan yang lain yang Nabi namakan dengan fasiq, Nabi bersabda :

خَمْسٌ فَوَاسِقُ، يُقْتَلْنَ فِي الحَرَمِ: الفَأْرَةُ، وَالعَقْرَبُ، وَالحُدَيَّا، وَالغُرَابُ، وَالكَلْبُ العَقُورُ

“Lima hewan fasiq dibunuh (meskipun di tanah haram), tikus, kalajengking, semacam elang, gagak, dan anjing buas” (HR Al-Bukhari 3314 dan Muslim no 1198, dalam riwayat yang lain : ular)

An-Nawawi berkata :

وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْوَزَغَ مِنَ الْحَشَرَاتِ الْمُؤْذِيَاتِ… وَأَمَّا تَسْمِيَتُهُ فُوَيْسِقًا فَنَظِيرُهُ الْفَوَاسِقُ الْخَمْسُ الَّتِي تُقْتَلُ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ وَأَصْلُ الْفِسْقِ الْخُرُوجُ وَهَذِهِ الْمَذْكُورَاتُ خَرَجَتْ عَنْ خَلْقِ مُعْظَمِ الْحَشَرَاتِ وَنَحْوِهَا بِزِيَادَةِ الضَّرَرِ وَالْأَذَى

Para ulama sepakat bahwasanya cicak termasuk serangga yang mengganggu….adapun dinamakan dengan fasiq kecil maka ia seperti lima hewan yang semisalnya yang dibunuh di tanah halal dan di tanah haram. Dan asal dari kata fasiq adalah “keluar”, dan hwan-hewan fasiq ini keluar (berbeda) dengan keumuman hewan-hewan serangga dan semisalnya dengan, yaitu berbeda dengan kelebihan memberi mudorot dan gangguan” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 14/236-237)

Riset medis modern menunjukan bahwa salah satu jenis bakteri yang bisa ditemui di dalam tubuh cicak adalah Escherichia Coli atau E.Coli. Bakteri E.Coli dikenal luas sebagai salah satu penyebab utama sakit perut atau gangguan pencernaan lainnya.

Karena alasan inilah, ada baiknya kita memastikan bahwa lauk atau makanan yang akan kita konsumsi ditutup dengan tudung saji dengan rapat sehingga tidak akan mudah dimasuki oleh cicak. Selain itu, sendok nasi juga sebaiknya tidak diletakkan dengan sembarangan agar tidak mudah disentuh oleh cicak sehingga tidak akan mudah terkontaminasi bakteri E.Coli yang berbahaya (Lihat https://doktersehat.com/bahaya-banyak-cicak-di-rumah/)

([32]) Peringatan : Jangan disalah pahami seakan-akan Nabi shallallahu álaihi wasallam mengakui adanya dosa turunan (yaitu cicak sekarang ikut menanggung dosa cicak zaman nabi Ibrahim álaihis salam), karena masalah membunuh cicak ada sebab yang lainnya, yaitu Nabi menggolongkannya sebagai hewan fasiq (yang mengganggu), karenanya seandainya cicakpun tidak pernah meniup api nabi Ibrahim tetap saja dianjurkan untuk dibunuh. Ternyata cicak juga dulu pernah meniup api nabi Ibrahim álaihis salam, maka selain diperintahkan untuk dibunuh agar terhindar dari gangguannya sekalian juga untuk mengingat perjuangan dan perngorbanan Nabi Ibrahim álaihis salam. Dalam istilah kita sekali mendayuh dua hingga tiga pulau terlampaui.