Bagaimana tindakan MPRS menyikapi dualisme kepemimpinan yang terjadi

Bagaimana tindakan MPRS menyikapi dualisme kepemimpinan yang terjadi

Salah satu kondisi yang menandai masa transisi 1966-1967 adalah dualisme kepemimpinan nasional. Bentuk dualisme kepemimpinan nasional tersebut dapat dilihat pada peristiwa?

  1. pembentukan kabinet Ampera
  2. pembubaran PKI dan ormas-ormasnya
  3. penetapan Soeharto sebagai pejabat presiden
  4. pemberhentian Presiden Soekarno dari kusrsi presiden
  5. penolakan pidato pertanggungjawaban Soekarno oleh MPRS

Jawaban: A. pembentukan kabinet Ampera

Dilansir dari Encyclopedia Britannica, salah satu kondisi yang menandai masa transisi 1966-1967 adalah dualisme kepemimpinan nasional. bentuk dualisme kepemimpinan nasional tersebut dapat dilihat pada peristiwa pembentukan kabinet ampera.

Kemudian, saya sangat menyarankan anda untuk membaca pertanyaan selanjutnya yaitu MPRS menolak pidato Nawaksara yang disampaikan Presiden Soekarno. Penolakan tersebut terjadi karena? beserta jawaban penjelasan dan pembahasan lengkap.

Dibawah ini akan diuraikan tentang dualisme kepemimpinan nasional, dualisme kepemimpinan, kabinet ampera, latar belakang lahirnya orde baru, nawaksara, pidato soekarno, pidato nawaksara, isi nawaksara.


Memasuki tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan. Disatu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun pamornya telah kian merosot. 

Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. 

Sementara itu Soeharto setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer. 

Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera.

Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. 

Kondisi seperti ini berakibat pada munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan. 

Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan. 

Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini akhirnya menimbulkan pertentangan politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto. Hal ini jelas membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam Sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966 memutuskan menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. 

Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara hukum Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno.

Bahkan sebaliknya secara hukum Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.

Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno selaku Presiden. Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tidak lagi mengandung kekuatan hukum. 

Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul “Nawaksara”.

Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno menyampaikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau istilah. 

Pidato itu memang berisi sembilan pokok persoalan yang dianggap penting oleh presiden Soekarno selaku mandataris MPR. 

Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. 

Pengabaian peristiwa yang mengakibatkan gugurnya sejumlah jenderal angkatan darat itu tidak memuaskan anggota MPRS. 

Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk minta kepada presiden agar melengkapi laporan pertanggung jawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa Gerakan 30 September beserta epilognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak.

Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara. 

Dalam Pelnawaksara itu presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain. Nawaksara baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela. 

Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak.

Sementara itu, sebuah kabinet baru telah terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli 1966. Kabinet ini mempunyai tugas pokok untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. 

Program kabinet tersebut antara lain adalah memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan, dan melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. XI/MPRS/1966.

Sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno adalah pemimpin Kabinet. Akan tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan tugas harian dilakukan oleh Presidium Kabinet yang diketuai oleh Letnan Jenderal Soeharto.

Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap Nawaksara” dan bertambah gawatnya keadaan politik pada 9 Februari 1967 DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa. 

Sementara itu usaha-usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia menyerahkan kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. 

Hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi Presiden Soekarno.

Salah seorang sahabat Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan memohon agar Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara, karena dualisme kepemimpinan inilah yang menjadi sumber konflik politik yang tidak kunjung berhenti. 

Mr. Hardi menyarankan agar Soekarno sebagai mandataris MPRS, menyatakan non aktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI.

Presiden Soekarno menyetujui saran Mr. Hardi. Untuk itu disusunlah “Surat Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966.

Kemudian, Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari 1967, Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. 

Pada 8 Februari 1967, Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan situasi konflik. 

Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967. Presiden menanyakan kemungkinan mana yang terbaik. 

Soeharto mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. 

Pada awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut, namun kemudian sikap Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967, Presiden menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden. 

Ia meminta agar diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.

Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution.

Setelah setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS. 

Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu. Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru. 

Memasuki tahun 1966 mulai terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan nasional. Disatu sisi Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun pamornya semakin jatuh. Rakyat menganggap Soekarno tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak agar PKI dibubarkan. Ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggung jawaban Presiden Soekarno hingga dua kali oleh MPRS.

Sementara itu Letjen Soeharto setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno dan sehari sesudah membubarkan PKI, namanya semakin terangkat. Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera.

Meskipun Presiden Soekarno masih memimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi seperti inilah yang kemudian berakibat pada munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Presiden Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Letjen Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan.

Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto lebih banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan. Adanya Dualisme kepemimpinan nasional ini akhirnya menimbulkan pertentangan politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya para pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto. Perpecahan inilah yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Baca Juga : Aksi-Aksi Tritura

Pengukuhan Supersemar pada bulan Juni 1966 diikuti oleh Ketetapan Nomor XIV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan, kedudukannya akan digantikan oleh pemegang mandat Supersemar.

Berdasarkan ketetapan MPRS tersebut, kedudukan Supersemar sudah resmi secara hukum dan tidak dapat dicabut sewaktu-waktu oleh presiden soekarno. Selain itu, pengukuhan supersemar menyebabkan munculnya dualisme kepemimpinan di indonesia. Jika dikritisi lebih lanjut, sebenarnya Ketettapan nomor XIV/MPRS/1966 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Dualisme kepemimpinan semakin jelas terlihat ketika MPRS melalui Ketetapan Nomor XIII/MPRS/1966 memberikan tugas kepada pengembangan mandat Supersemar untuk membentuk kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet Ampera diresmikan pada tanggal 28 juli 1966.

Dalam kabinet Ampera, President Soekarno menjadi pemimpin kabinet, sedangkan Letjen Soeharto berkedudukan sebagai kepala pelaksana pemerintahan. Letjen Soeharto wajib melaporkan jalannya pemerintahan kepada Presiden Soekarno. Tugas pokok kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sekaligus mewujudkan isi Tritura.

Dalam sidang umum MPRS pada bulan juni 1966, Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggung jawabannya sebagai presiden yang kemudian dikenal dengan nama pidato Nawaksara. Dalam pidato tersebut hanya sedikit menyinggung tentang peristiwa G 30 S/PKI. Oleh karena itu, dalam sidang umum pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1966, melalui Ketetapan Nomor V/MPRS/1966, MPRSs meminta Presiden Soekarno agar melengkapi isi pidato Nawaskara. Permohonan tersebut disampaikan oleh MPRS melalui nota pimpinan 2/Pimp.MPRS/1966. Melalui surat tersebut, pimpinan MPRS meminta Presiden Soekarno menyampaikan pertanggungjawaban terkait peristiwa G 30 S/PKI, kemunduran ekonomi, dan kemrosotan moral bangsa.

Presiden soekarno menyampaikan kembali pidato pertanggungjawaban pada tanggal 10 Januari 1967 di hadapan anggota MPRS dan DPR-GR. Pidato tersebut diungkapkan dalam surat Presiden RI Nomor 1/Pres/1967  yang kemudian diberi nama Pelengkap Nawaksara (Pelnawaksara).

Dalam pidato pelnawaksara, Presiden Soekarno menyatakan bahwa MPRS Mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan garis-garis besar haluan negara atau GBHN. Presiden Soekarno juga berpendapat bahwa pidato nawaksara merupakan laporan perkembangan pemerintahan yang disampaikan secara sukarela.

Melalui pidato Pelnawaksara Presiden Soekarno juga menolak mempertanggungjawabkan peristiwa G 30 S/PKI, kemunduran ekonomi dan kemerosotan moral bangsa secara sendirian. Pidato Pelnawaksara yang disampaikan Presiden Soekarno ini pun ditolak oleh MPRS melalui keputusan pimpinan MPRS Nomor 13/B/1967.

Untuk mengatasi situasi politik yang memanas, pada tanggal 9 Februari 1967 DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar mengadakan sidang istimewa.

Sementara itu, para pemimpin ABRI berusaha mengadakan pendekatan pribadi kepada presiden soekarno. Para pimpinan ABRI tersebut berusaha membujuk Presiden Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan pada pengemban Ketetapan Nomor IX/MPRS/1966, yaitu Letjen Soeharto sebelum sidang umum MPRS dilaksanakan. Tindakan tersebut dilakukan untuk mencegah perpecahan rakyat dan menyelamatkan lembaga kepresidenan serta pribadi Presiden Soekarno.

Presiden Soekarno mengundurkan diri dari jabatannya secara resmi pada tanggal 22 Februari 1967. Pengunduran diri presiden soekarno ini berkat saran sahabatnya bernama Mr. Hardi. Presiden soekarno disarankan agar mengakhiri dualisme kepemimpinan yang menjadi akar konflik politik di indonesia. Selain itu, berakhirnya dualisme kepemimpinan dapat mengembalikan kepercayaan dan dukungan rakyat kepada pemerintah. Oleh karena itu, Presiden Soekarno harus menentukan sikap untuk menyelesaikan konflik.

Setelah menerima saran tersebut, presiden Soekarno menyusun surat penugasan pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang mandat Supersemar yaitu Jenderal Soeharto. Presiden Soekarno juga menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto yang dititipkan melalui Mr Hardi. Mr Hardi menyampaikan pesan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada tanggal Februari 1967. Selanjutnya pada tanggal 8 februari 1967 Jenderal Soeharto membahas surat tersebut bersama 4 Panglima ABRI. Menurut Jenderal Soeharto dan empat Panglima ABRI, surat penugasan yang dibuat Presiden Soekarno tersebut tidak bisa menyelesaikan konflik.

Pada tanggal 10 Februari 1967 Jenderal Soeharto mengajukan draft yang berisi pernyataan bahwa presiden berhalangan atau menyerahkan kekuasaan pada pengembangan mandat Supersemar. Awalnya draft tersebut ditolak oleh Presiden Soekarno. Akan tetapi, sikap Presiden Soekarno melunak dan bersedia menandatangani draft tersebut pada tanggal 20 Februari 1967. Pada tanggal 22 februari 1967 pukul 19.30, Presiden Soekarno resmi mengundurkan diri sebagai presiden Indonesia.

Dalam sidang istimewa MPRS yang diselenggarakan pada tanggal 7 sampai 12 Maret 1967 menghasilkan Ketetapan Nomor XXXIII/MPRS/1967. Melalui ketetapan tersebut, MPRS menarik mandat Presiden Soekarno atas segala kekuasaannya dalam pemerintahan di Indonesia. MPRS selanjutnya mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden menggantikan Presiden Soekarno. Pelantikan Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden dilakukan oleh ketua MPRS Jendral A.H. Nasution pada tanggal 12 maret 1967.

Setelah setahun menjabat sebagai presiden, Jenderal Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan Nomor XIIV/MPRS/1968. Berdasarkan ketetapan MPRS tersebut, Presiden Soeharto menjabat sebagai presiden RI hingga terpilih menjadi presiden oleh MPRS hasil pemilu. Presiden Soeharto resmi dilantik sebagai presiden RI pada tannggal 27 maret 1968. Pelantikan Presiden Soeharto ini menandai dimulainya periode orde baru.

Baca Juga : Integrasi Timor-Timur

Sekian pembahasan singkat dari Synaoo.com tentang Dualisme Kepemimpinan Nasional di Indonesia.

Semoga materi yang disampaikan dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita semua.