Bagaimana status pegawai dan pemerintahan sipil masa Hindia Belanda pada zaman pendudukan Jepang

Bagaimana status pegawai dan pemerintahan sipil masa Hindia Belanda pada zaman pendudukan Jepang

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (bahasa Belanda: Nederlandsch Indische Civiele Administratie; bahasa Inggris: Netherlands Indies Civil Administration; disingkat NICA) merupakan otoritas sipil dan militer yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda dari tahun 1944 hingga 1947 untuk wilayah yang merupakan bekas dari koloni Hindia Belanda dan diproklamasikan menjadi Republik Indonesia sejak berakhirnya masa pendudukan Jepang pada bulan Agustus 1945.

Bagaimana status pegawai dan pemerintahan sipil masa Hindia Belanda pada zaman pendudukan Jepang

NICA


Nederlandsch Indische Civiele Administratie

1944–1947[butuh rujukan]

Bendera

Bagaimana status pegawai dan pemerintahan sipil masa Hindia Belanda pada zaman pendudukan Jepang

Lambang

StatusOtoritas sipil dan militerPemerintahanPemerintahan pendudukan transisionalRatu 

• 1944-1947

Wilhelmina Pejabat Gubernur Jenderal 

• 1944-1947

Hubertus Johannes van Mook Era SejarahPerang Dunia Kedua

• Didirikan

April 1944

• Dibubarkan

1947[butuh rujukan]

Didahului oleh
Digantikan oleh
Bagaimana status pegawai dan pemerintahan sipil masa Hindia Belanda pada zaman pendudukan Jepang
Hindia Belanda
Bagaimana status pegawai dan pemerintahan sipil masa Hindia Belanda pada zaman pendudukan Jepang
Pendudukan Jepang atas Hindia Belanda
Republik Indonesia
Bagaimana status pegawai dan pemerintahan sipil masa Hindia Belanda pada zaman pendudukan Jepang

NICA dibentuk pada 3 April 1944 sebagai badan penghubung pemerintahan Belanda di pengasingan yang berkedudukan di London dengan Pasukan Sekutu di Kawasan Pasifik Barat Daya yang berkedudukan di Brisbane, Australia di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur.

NICA dibentuk di Australia pada 3 April 1944 dan awalnya bertugas menghubungkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di pengasingan dengan Komando Tertinggi Sekutu di Wilayah Pasifik Barat Daya (SWPA/South West Pacific Area). Berkedudukan di Camp Colombia, Brisbane, lembaga ini awalnya bernaung di bawah struktur komando Sekutu. Di awal 1944, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, H.J. Van Mook dan Panglima Tertinggi SWPA, Jenderal Douglas MacArthur dari AS, menyepakati bahwa wilayah Hindia Belanda yang berhasil direbut oleh pasukan Sekutu akan diserahkan kepada pemerintahan sipil NICA. Namun karena penundaan politis di Departemen Luar Negeri AS (U.S. State Department), kesepakatan berjudul Van Mook - MacArthur Civil Affairs Agreement tersebut baru ditandatangani pada 10 Desember 1944.[1]

Pada April 1944, detasemen personil NICA yang pertama mendarat di Hollandia (sekarang kota Jayapura, Indonesia), terdiri dari personil militer atau paramiliter Belanda, Indo (Eurasia) dan pribumi Hindia Belanda yang berseragam. Komando umum dijabat oleh Colonel C. Giebel yang Staff Officer NICA (SONICA). Setiap detasemen dikepalai oleh seorang Commanding Officer NICA (CONICA) yang bertanggung jawab untuk pemerintahan lokal. Sebelum kapitulasi Jepang, unit-unit NICA sudah membentuk pemerintahan sipil di New Guinea (seperti Hollandia, Biak and Manokwari, Numfor), Maluku (Morotai) dan Borneo (Tarakan dan Balikpapan).

Dukungan suplai dan logistik dari AS kepada NICA berakhir ketika komando militer dialihkan dari SWPA yang dikepalai AS kepada SEAC (South East Asia Command) pimpinan Inggris pada 15 Agustus 1945. 250 detasemen NICA yang tadinya direncanakan akan dikirim ke Pulau Jawa dihentikan aktivitasnya. Perebutan kembali Sumatra, Jawa, Bali dan Lombok menjadi tanggung jawab Inggris. Sementara wilayah selain wilayah tersebut menjadi tanggung jawab Australia. Pada 24 Agustus 1945, Belanda menandatangani perjanjian British Civil Affairs Investment Agreement dengan South East Asia Command (SEAC) pimpinan Lord Louis Mountbatten.

Pada September 1945, utusan pertama NICA mendarat di Batavia (sekarang menjadi Jakarta). Karena pemerintah Republik Indonesia bersikeras menentang kehadiran staff NICA dan penggunaan nama Hindia Belanda dalam lembaga tersebut, maka pada Januari 1946, namanya diubah menjadi AMACAB (Allied Military Administration-Civil Affairs Branch). Setelah Inggris meninggalkan Indonesia dan pembubaran SEAC pada Juni 1946, namanya diganti lagi menjadi Tijdelijke Bestuursdienst (Temporary Administrative Service).

 

Artikel bertopik sejarah Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pemerintahan_Sipil_Hindia_Belanda&oldid=18512652"

Bagaimana status pegawai dan pemerintahan sipil masa Hindia Belanda pada zaman pendudukan Jepang
Pada tanggal 8 Maret 1942 Jenderal  Ter Poorten atas nama komandan pasukan Belanda/Sekutu menandatangani penyerahan tidak bersyarat kepada Jepang yang diwakili Jenderal Imamura. Penandatanganan ini dilaksanakan di Kalijati, Subang. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Kalijati maka berakhirlah penjajahan Belanda dan kemudian Indonesia berada di bawah pendudukan Tentara Jepang. Pemerintahan Jepang di Indonesia kemudian membentuk pemerintahan Militer di seluruh kepulauan wilayah Indonesia bekas Hindia belanda itu wilayahnya di bagi menjadi 3 wilayah Pemerintahan Militer ;

  1. Pemerintahan Militer Angkatan Darat. Tentara ke 25 (Toni Shudan ) untuk Sumatera ,pusatnya di Bukit Tinggi
  2. Pemerintahan Militer Angkatan Darat. Tentara ke 16 (Asamu Shudan) untuk Jawa dan Madura ,pusatnya di Jakarta di tmbah angkatan laut (Dai Ni Nankekantai)
  3. Pemerintahan Militer Angkatan Laut Yaitu Armada Selatan kedua untuk daerah Kalimantan,Sulawesi,dan Maluku,pusatnya di Makasar .

Pulau Jawa merupakan pusat pemerintahan yang sangat penting,waktu itu masih di berlakukan pemerintahan sementara .Berdasarkan Osamu Seirei (Undang-undang yang di keluarkan oleh Panglima Tentara ke 16) yang berisi ketentuan :

  1. Jabatan Gubernur Jenderal pada masa Hindia Belanda di hapuskan dan segala kekuasaan yang dahulu di pegangnya di ambil alih oleh panglima tentara Jepang di Jawa
  2. Para penjabat pemerintah sipil beserta pegawainya di masa Hindia belanda tetap di akui kedudukannya ,asalkan memiliki kesetiaan terhadap tentara pendudukan Jepang
  3. Badan-badan pemerintah dan undang-undang di masa Belanda tetap di akui secara sah untuk sementara waktu,asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer Jepang

Adapun pemerintahan susunan militer Jepang adalah

  1. Panglima tentara (Gunshirekan), kemudian di sebut Panglima Tertinggi (Seiko Shikikan) Sebagai pucuk pimpinan. Panglima tentara pertama di jabat oleh Letjen Hitoshi Immamura.
  2. Kepala Pemerintahan Militer (Gunseikan) .Kepala staf pertama adalah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki .di Kantor Pusat di sebut Gunseikabu ,terdapat 4 Bu (semacam departemen) yaitu : Somobu (Departemen Dalam Negeri) Zaimubu (Departemen Keuangngan), Sangvobu (Departemen Perusahaan,Industri dan Kerajinan tangan atau usurusan Perekonomian), Kotsubu (Departemen Lalu Lintas), Shihobu (Departemen Kehakiman)
  3. Koordinator Pemerintah dengan tugas memulihkan ketertiban dan keamanan atau semacam gubernur(Gunseibu) ,meliputi :
  4. Jawa Barat : Pusatnya di Bandung
  5. Jawa Tengah : Pusatnya di Semarang
  6. Jawa Timur : Pusatnya di Surabaya

Di tambah dua daerah istimewa (kochi) yakni Yogyakarta dan Surakarta

Jabatan-jabatan militer yang dapat diperoleh setelah seseorang menamatkan pendidikan adalah sebagai berikut.

  1. Daidanco (komandan batalyon), dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat, seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, politikus, dan penegak hukum.
  2. Cudanco (komandan kompi), dipilih dari kalangan mereka yang telah bekerja, namun belum mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru dan juru tulis.
  3. Shodanco (komandan peleton), umumnya dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan pertama atau sekolah lanjutan atas.
  4. Budanco (komandan regu), dipilih dari kalangan pemuda yang lulus sekolah dasar.
  5. Giyuhei (prajurit sukarela), dipilih dari kalangan pemuda yang masih setingkat sekolahdasar.

Jepang membentuk Pemerintahan Sipil

Untuk mendukung kelancaran pemerintahan pendudukan Jepang yang bersifat militer ,Jepang juga mengembangkan pemerintahan sipil .Pada bulan Agustus 1942 ,pemerintahan militer berusaha meningkatkan sistem pemerintahan antara lain :

  1. Mengeluarkan UU No 27 tentang pemerintahan daerah
  2. Dimantapkan dengan UU No 28 tentang pemerintahan shu serta tokubetsushi

Menurut UU No 28 ,pemerintah daerah tertinggi adalah shu (keresidenan) .Seluruh pulau   Jawa dan Madura kecuali Kochi Jogyakarta dan Kochi Surakarta di bagi menjadi daerha-daerah shu (keresidenan) ,Shi (kotapraja),Ken (kabupaten),Gun (kawedanan),Son (kecamatan) dan ku (desa/kelurahan) . Seluruh pulau Jawa dan Madura di bagi menjadi 17 shu .

Pemerintahan shu di pimpin : Shucokan memiliki kekuasaan seperti Gubernur, pada kekuasaan Hindia Belanda meliputi legislatif dan eksekutif. Di bantu oleh : Cokan Kanbo ( Majelis Permusyawaratan Shu) memiliki 3 bagian yaitu Naisebu (bagian pemerintahan umum,kaisaibu (bagian ekonomi) ,dan keisatsubu (bagian kepolisian) Jepang membentuk sebuah kota swatantra (otonomi) disebut tokubetsushi (kota istimewa) yang posisi kewenangannya seperti shu yang berada langsung di bawah pengawasan gunseiken ,Contohnya : Kota Batavia di bawah pimpinan Tokubetu Shico.

Untuk mengatasi kekurangan jumlah pegawai, pemerintah Jepang dapat menempuh beberapa pilihan, di antaranya:

  1. Memanfaatkan orang-orang Belanda yang masih ada di Indonesia. Pilihan ini sangat tidak mungkin karena Jepang sedang menanamkan sikap anti Belanda di kalangan pen-duduk Indonesia.
  2. Menggunakan tenaga Timur Asing (Cina). Pilihan ini juga sangat berat karena Cina dianggap sebagai lawan politik Jepang yang paling berbahaya untuk mewujudkan cita-cita Jepang, yaitu membangun Asia Timur Raya.
  3. Memanfaatkan penduduk Indonesia. Pilihan ini dianggap yang paling realistik karena sesuai dengan semboyan ‘Jepang sebagai saudara tua’ yang ingin membebaskan suadara mudanya dari belenggu penjajahan bangsa Eropa. Di samping itu, pemakaian bangsa Indonesia sebagai dalih agar bangsa Indonesia benar-benar bersedia membantu untuk memenangkan perang yang sedang dilakukan Jepang.

Sumber

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Sejarah Indonesia Untuk SMA/MA/SMK/MAK Kelas XI Semester 2. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Bagaimana status pegawai dan pemerintahan sipil masa Hindia Belanda pada zaman pendudukan Jepang

Mari berlomba lomba dalam kebaikan. Semoga isi dari blog ini membawa manfaat bagi para pengunjung blog. Terimakasih