Bagaimana Solusi dari kasus Permasalahan kewarganegaraan yang pernah terjadi di Indonesia

UU Kewarganegaraan dinilai belum mengakomodasi persoalan secara keseluruhan.

REPUBLIKA/Yasin Habibi

[ilustrasi] Paspor. Kerkewarganegaraan ganda anak yang lahir dari perkawinan campur antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) masih menimbulkan berbagai masalah.

Rep: Ronggo Astungkoro Red: Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerkewarganegaraan ganda anak yang lahir dari perkawinan campur antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) masih menimbulkan berbagai masalah. Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dinilai belum mengakomodasi persoalan secara keseluruhan.

Baca Juga

"Masih terdapat beberapa permasalahan yang ternyata tidak terakomodasi secara baik di dalam UU dimaksud sehingga sering menimbulkan interpretasi yang beragam dalam menangani permasalahan kewarganegaraan ini,” ujar Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, Baroto, dalam webinar, Rabu (8/7).

Dia mengatakan, UU Nomor 12 Tahun 2006 sebenarnya sudah cukup revolusioner. Peraturan tersebut telah mengatur berbagai permasalahan kewarganegaraan yang berkembang secara lebih komprehensif. 

Ada banyak perubahan dan perbaikan yang merupakan penyempurnaan dari UU sebelumnya. Namun, sejalan dengan dinamika yang berkembang di dalam masyarakat, masih terdapat beberapa permasalahan. 

Beberapa permasalahan yang ternyata tidak terakomodasi secara baik di dalam UU tersebut. Ada beberapa permasalahan yang dialami anak berkewarganegaraan ganda. 

Salah satu contohnya, ada anak dari perkawinan campur yang lahir sebelum sebelum diundangkannya UU Nomor 12 tahun 2006 yang tidak didaftarkan oleh orang tua atau walinya sebagai anak berkewarganegaraan ganda.

Berdasarkan ketentuan Pasal 41 UU tersebut, batas waktu pendaftaran tersebut berakhir empat tahun setelah UU diundangkan. UU Nomor 12 Tahun 2006 diundangkan pada 1 Agustus 2010 lalu.

Contoh berikutnya, permasalahan kerap muncul pada anak yang dilahirkan dari perkawinan antara ayah dan ibu WNI yang lahir di luar wilayah negara Indonesia. Di mana di negara tempat melahirkan terdapat ketentuan memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak tersebut. 

Kemudian, permasalahan juga muncul terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah sebelum UU tersebut diundangkan dari ayah WNA dan ibu WNI ataupun sebaliknya. Anak tersebut atau walinya terlambat untuk menyatakan memilih kewarganegaraan Indonesia. Batas waktu yang ditentukan untuk itu ialah berakhir pada usia 21 tahun.

Pakar hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie, menyampaikan, permasalahan terkait kewarganegaraan memang tidak bisa dipecahkan oleh satu pihak saja, dalam hal ini Indonesia saja. Jimly menyarankan agar Indonesia bisa membangun hubungan kerja sama bilateral dengan negara lain dalam menyelesaikan persoalaan kewarganegaraan tersebut.

“Namun dalam membangun hubungan bilateral dengan negara lain nantinya dalam masalah kewarganegaraan harus mengedepankan prinsip kepentingan Indonesia dalam status kewarganegaraan warganya," kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri, Andy Rachmianto, mengungkapkan, permasalahan anak berkewarganegaraan ganda untuk memilih kewarganegaraan Indonesia juga mengalami kendala dari negara salah satu orang tuanya yang WNA. Beberapa masalah yang ada, yakni perbedaan hukum status kewarganegaraan antara Indonesia dengan negara lain, kesadaran dan pemahaman warga Indonesia, ketersediaan data dan dokumen, dan verifikasi status kewarganegaraan.

“Hal -hal tersebut yang juga menjadi permasalahan anak berkewarganegaraan ganda dalam memilih Indonesia sebagai status kewarganegaraannya,” tuturnya.

Pada tahun 2016, publik dihebohkan dengan adanya dua kasus yang berkaitan dengan status kewarganegaraan seorang menteri dan seorang pelajar SMA. Menteri Archandra Tahar, yang dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 27 Juli 2016 dicopot dari jabatannya pada tanggal 15 Agustus 2016 karena ternyata memiliki kewarganegaraan ganda.

Sedangkan di kasus lain, seorang pelajar SMA di Depok, Jawa Barat, bernama Gloria Natapradja Hamel dinyatakan gugur hanya beberapa hari menjelang Upacara Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 2016 setelah dinyatakan lolos seleksi sebagai Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di Istana Merdeka. Hal tersebut karena ternyata Gloria memiliki paspor Prancis, seperti ayahnya, walaupun ibu Gloria adalah seorang Warga Negara Indonesia.

Kedua kasus tersebut walaupun berbeda namun keduanya terkait dengan isu kewarganegaraan ganda. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pada prinsipnya tidak mengenal adanya kewarganegaraan ganda. Namun, seiring dengan perkembangan dalam dunia modern, tuntutan diaspora Indonesia terhadap Pemerintah RI untuk memberikan status kewarganegaraan ganda bagi orang dewasa terus bergulir.

Artikel ini tidak akan secara detail memberikan membahas kedua kasus tersebut di atas, namun artikel ini akan menguraikan pengaturan mengenai kewarganegaraan ganda berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Pengaturan Mengenai Kewarganegaraan Ganda Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Warga   negara   merupakan   salah satu unsur yang esensial bagi berdirinya suatu negara. Dengan memiliki status kewarganegaran, seorang individu diakui sebagai salah satu anggota dari negara yang mengakuinya, dimana pengakuan negara tersebut merupakan sebuah hubungan hukum antara dua pihak tersebut, yaitu individu dan negara yang mengakuinya. Sehingga bisa dikatakan bahwa melalui status kewarganegaraan tersebut individu bisa menikmati banyak manfaat baik dari hukum nasional maupun internasional.

Untuk dapat menikmati apa yang disebut sebagai hak asasi manusia yang universal, seorang individu harus menikmati hak atas kewarganegaraan terlebih dahulu, yaitu status kewarganegaraan yang formal dan komplit setidaknya di satu negara. Jika seseorang  mempunyai   kewarganegaraan di suatu negara, orang tersebut mempunyai hak untuk tinggal, bekerja, memilih dan melakukan perjalanan di negara tersebut. Namun di sisi lain, adalah merupakan hak suatu negara untuk menentukan siapa saja yang menjadi warga negaranya selama tidak melanggar prinsip-prinsip umum hukum internasional.

Pengaturan mengenai kewarganegaraan menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Di Indonesia, pengaturan mengenai Kewarganegaraan Indonesia selain terdapat dalam konstitusi juga diatur di peraturan perundang-undangan di bawahnya. Pasal 28D ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.” Pasal ini merupakan hasil perubahan kedua UUD NRI Tahun 1945. Sedangkan menurut Pasal 26 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,  “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Dari pasal tersebut terlihat  bahwa  UUD NRI Tahun 1945 memberikan sebuah pengakuan bahwa status kewarganegaraan adalah merupakan hak setiap orang.

Hak atas status kewarganegaraan mengandung makna tidak hanya hak untuk memperoleh status kewarganegaraan, tetapi juga termasuk hak untuk merubah serta hak untuk mempertahankan status kewarganegaraan. UUD NRI Tahun 1945 tidak secara eksplisit menjamin apakah seseorang berhak atas satu atau dua status kewarganegaraan. Bagi UUD NRI Tahun 1945, yang penting adalah bahwa tidak boleh adanya keadaan seseorang tanpa kewarganegaraan karena UUD NRI Tahun 1945 sudah memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

Sedangkan untuk kemungkinan terjadinya kewarganegaraan ganda, UUD NRI Tahun 1945 tidak mengharuskan dan tidak juga melarang. Dalam hal ini, kebijakan lebih lanjut diberikan kepada pembentuk undang- undang untuk mengaturnya sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yaitu bahwa “Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang- undang”.

Saat ini, Undang-Undang yang mengatur tentang kewarganegaraan Indonesia adalah UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada dasarnya UU No. 12 Tahun 2006 tidak mengenal kewarganegaraan ganda dengan dianutnya asas kewarganegaraan tunggal oleh undang-undang ini. Namun, UU No. 12 Tahun 2006 juga menganut Asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, di antaranya adalah anak-anak yang memiliki orangtua dengan status kewarganegaraan berbeda dan salah satunya adalah WNI. Asas tersebut merupakan pengecualian dalam rangka perlindungan terhadap anak.

Setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Beberapa pasal yang membuktikan bahwa UU No. 12 Tahun 2006 tidak menganut kewarganegaraan ganda untuk orang dewasa adalah Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 huruf (f), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23 huruf (a,b,h), Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 42.

UUD NRI Tahun 1945 tidak secara eksplisit menjamin apakah seseorang berhak atas satu atau dua status kewarganegaraan. Bagi UUD NRI Tahun 1945, yang penting adalah bahwa tidak boleh adanya keadaan seseorang tanpa kewarganegaraan karena UUD NRI Tahun 1945 sudah memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Sedangkan untuk kemungkinan terjadinya kewarganegaraan ganda, UUD NRI Tahun 1945 tidak mengharuskan dan tidak juga melarang.

Sedangkan UU No. 12 Tahun 2006 tidak mengenal kewarganegaraan ganda dengan dianutnya asas kewarganegaraan tunggal oleh undang-undang ini. Namun, UU No. 12 Tahun 2006 juga menganut Asas kewarganegaraan ganda terbatas sebagai pengecualian dalam rangka perlindungan terhadap anak bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. (*)

Penulis: Zendy Wulan Ayu W. Prameswari

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan saya di:

https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/718/pdf