Bagaimana sebaiknya sikap kita terhadap makanan yang statusnya masih diragukan halal dan haramnya

Bagaimana sebaiknya sikap kita terhadap makanan yang statusnya masih diragukan halal dan haramnya

Ilustrasi: pinterest

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, kami sering kali mendapatkan hidangan daging hewan yang halal. Tetapi kami ragu apakah daging hewan ini diolah sesuai ketentuan agama. Apakah kami tetap dapat memakan hidangan yang meragukan? Demikian kami sampaikan, atas jawabannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Subhan/Serang)

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Kita sering kali mengonsumsi daging hewan yang halal baik ayam, sapi, kambing, maupun daging halal lainnya dengan aneka cara penghidangan. Pengalaman ini sering kita lewati. Namun semua itu sampai di atas meja makan kita atau di dapur kita tanpa kita ketahui bagaimana cara penyembelihannya.


Perihal mengonsumsi makanan yang kehalalannya diragukan karena cara penyembelihannya, ulama berbeda pendapat. Bagi ulama Syafi’i, seorang penyembelih dianjurkan untuk membaca “bismillah” berdasarkan Surat Al-An’am ayat 118. Menurut mereka, baca “bismillah” tidak wajib ketika menyembelih hewan. Jika tidak membaca bismillah secara sengaja atau lupa, daging hewan sembelihannya tetap halal. Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa daging hewan itu tidak halal jika penyembelih sengaja tidak membaca “bismillah.”


Adapun Surat Al-An’am ayat 118 berbunyi sebagai berikut:

فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ


Artinya, “Makanlah hewan-hewan (halal) yang disebut nama Allah (saat menyembelihnya), jika kamu mengimani ayat-ayat-Nya.”


Para ulama mazhab Syafi’i mencoba menjawab pandangan Imam Abu Hanifah dengan Surat Al-Maidah ayat 3, ayat 5, dan sejumlah hadits riwayat Imam Bukhari. Argumentasi mazhab Syafi’i ini disebutkan oleh Al-Khatib As-Syarbini dalam karyanya, Mughnil Muhtaj, berikut ini: 


وأجاب أئمتنا بقوله تعالى : { حرمت عليكم الميتة والدم } إلى قوله : { إلا ما ذكيتم } فأباح المذكى ولم يذكر التسمية، وبأن الله تعالى أباح ذبائح أهل الكتاب بقوله تعالى : { وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم } وهم لا يسمون غالبا ، فدل على أنها غير واجبة ، وبقول عائشة رضي الله تعالى عنها { إن قوما قالوا يا رسول الله إن قومنا حديثو عهد بالجاهلية يأتونا بلحام لا ندري أذكروا اسم الله عليها أم لم يذكروا أنأكل منها ؟ فقال : اذكروا اسم الله وكلوا } رواه البخاري ولو كان واجبا لما أجاز الأكل مع الشك 


Artinya, “Ulama kami menjawab (pandangan Hanafi) dengan firman Allah, ‘Bangkai, darah, dan …kecuali apa yang kalian sembelih,’ (Surat Al-Maidah ayat 3). Allah membolehkan (kita untuk mengonsumsi) hewan sembelihan dan tidak menyebut pembacaan bismillah; Allah juga menghalalkan hewan sembelihan ahli kitab melalui firman-Nya, ‘Makanan ahli kitab halal buat kalian,’ (Surat Al-Maidah ayat 5). Mereka umumnya tidak baca bismillah. Semua ini menunjukkan bahwa baca bismillah pada saat penyembelihan tidak wajib dan berdasarkan riwayat Sayidatina Aisyah, sekelompok orang pernah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, masyarakat kami masih dekat dengan jahiliyah. Mereka membawakan kami daging yang kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah atau tidak menyebut-Nya. Apakah kami boleh memakannya?’ ‘Sebutlah nama Allah, lalu makanlah,’ HR Bukhari. Seandainya baca bismillah saat penyembelihan itu wajib, niscaya Rasulullah tidak mengizinkan makan yang disertai keraguan,” (Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 272).


Mazhab Syafi’i juga mengutip hadits berikut dalam menguatkan argumentasinya, yaitu sabda Rasulullah, “Seorang Muslim menyembelih atas nama Allah, baik membaca ‘bismillah’ maupun tanpa ‘bismillah;’” dan riwayat “Seorang sahabat datang bertanya, ‘Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menyembelih dan lupa menyebut nama Allah?’ ‘Nama Allah sudah ada pada hati setiap Muslim’”.


Menurut Mazhab Syafi’i, kesunnahan membaca bismillah tidak hanya berlaku pada saat penyembelihan hewan. Kesunnahan membaca bismillah juga berlaku pada saat melepas hewan buruan, melesatkan anak panah saat berburu, dan menjaring ikan. Kesunnahan membaca bismillah ini jika ditinggalkan menjadi makruh.


Per Oktober 2019, UU Jaminan Produk Halal yang disahkan pada 2014 telah berlaku. Meski pelaksanaannya belum maksimal, pandangan mazhab Syafi’i cukup membantu masyarakat dalam menghadapi hidangan makanan yang kehalalannya belum jelas. Masyarakat cukup membaca bismillah sebelum mengonsumsi makanan berbahan halal yang diragukan cara pengolahannya.


Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Kumpulan Khutbah Bulan Ramadhan

Setiap perkara dalam islam pasti memiliki hukumnya masing – masing. Dengan mengetahui hukum ini, maka akan semakin mudah bagi seseorang terjaga dari melakukan perbuatan yang dilarang. Secara umum, hukum dalam islam dibagi menjadi halal dan haram. Setiap orang pasti sudah mengetahui apa saja perkara yang halal atau dibolehkan dan perkara haram atau yang tidak diperbolehkan.

Namun, kadang kala, kita bisa saja menemui sesuatu yang membuat kita bingung apakah hal tersebut termasuk ke dalam yang halal atau haram. Hal yang meragukan ini disebut sebagai syubhat atau perkara yang samar.

Saat bertemu dengan perkara yang syubhat, maka jalan terbaik yang diambil adalah dengan meninggalkan perkara tersebut. Karena segala sesuatu yang samar lebih cenderung kepada keharaman dibanding kehalalan dari perkara tersebut. Salah satu contohnya adalah dengan tidak melakukan transaksi atau muamalah dengan orang yang pada hartanya tercampur dengan harta hasil riba.

Namun, syubhat sendiri bukan hanya ada satu jenis ada. Ada tiga macam bentuk syubhat yang sebaiknya Anda ketahui. Dengan mengetahui apa saja perkara yang termasuk dalam perkara syubhat, maka kita bisa lebih hati – hati dan lebih waspada sehingga bisa meninggalkan hal tersebut dalam kehidupan sehari – hari kita.

Berikut ini adalah 3 macam syubhat menurut Ibnul Mundzir:

1. Sesuatu yang haram, lalu tercampur dengan yang halal sehingga menimbulkan keraguan

Dalam islam, hukum menyembelih hewan adalah jelas. Salah satunya adalah harus disembelih dengan menyebut nama Allah. Karena itu, saat seekor hewan seperti kambing disembelih oleh orang kafir tanpa menyebut nama Allah, sudah pasti kambing tersebut menjadi haram hukumnya.

Kemudian, kambing yang haram ini kemudian tercampur dengan kambing yang dipotong oleh orang muslim atau kambing yang halal. Karena tercampur, Anda menjadi bingung, mana kambing yang haram dan yang halal. Dalam hal ini, maka tidak diperbolehkan untuk memakan daging kambing tersebut. Kecuali diketahui secara pasti mana kambing yang halal dan haram.

2. Sesuatu yang halal, lalu timbul keraguan

Syubhat atau perkara samar yang kedua adalah kebalikan dari yang pertama. Dimana seseorang merasa ragu atas sesuatu yang sebelumnya halal. Misalnya, keraguan seorang istri apakah dirinya sudah dicerai atau belum. Contoh lain adalah orang yang merasa ragu apakah wudhunya sudah batal atau belum. Keraguan atau syubhat seperti ini adalah contoh keraguan yang tidak berpengaruh.

3. Sesuatu yang diragukan halal atau haramnya

Jenis syubhat yang ketiga ini adalah jenis yang paling umum. Yaitu kondisi dimana seseorang merasa ragu apakah suatu perkara itu halal atau haram. Dalam hal ini, sikap yang paling baik adalah dengan meninggalkan perkara tersebut sama sekali.

Hal ini juga pernah dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Yaitu ketika beliau menemukan kurma di atas tikarnya, kemudian beliau akhirnya tidak memakan kurma tersebut karena khawatir bahwa kurma tersebut adalah kurma sedekah.

Itulah beberapa macam syubhat yang perlu untuk diketahui. Pada dasarnya, tidak apa – apa jika seorang muslim memakan sesuatu yang tidak dia ketahui bahwa sesuatu itu haram atau syubhat. Namun, sikap yang paling baik adalah dengan meninggalkannya. Dan sikap meninggalkan hal yang syubhat adalah sikap wara’ dan mencari kebersihan bagi agama serta kehormatan dirinya.

Sikap seorang muslim terhadap syubhat bisa berasal dari empat hal. Yaitu ilmunya, pemahamannya, perjuangan dalam mentadabburi makna ayat atau hadits, serta niat atau tujuan. Seseorang yang kurang dalam empat hal tersebut cenderung lebih mudah terjebak dalam sesuatu yang syubhat. Karena itu, cara untuk terhindar dari yang syubhat adalah dengan memperdalam pemahaman agama serta meluruskan niat agar senantiasa sesuai dengan aturan Allah.

3 dari 7 halaman

Riwayat lain yang menjelaskan peristiwa serupa yaitu tercantum dalam kitab Sabilul Huda wr Rasyad yang ditulis Muhammad ibn Yusuf As Shalihi As Syami. Terdapat bab yang menjelaskan peristiwa saat Rasulullah SAW memakan keju buatan orang Nasrani.

Imam Musaddad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dalam shahihnya, serta Al Baihaqi meriwayatkan dari Ibn 'Umar RA bahwa ia berkata, " Rasulullah tatkala di perang Tabuk dibawakan sepotong keju buatan orang Nasrani. Lalu ada yang protes, " Ini makanan buatan orang Nasrani." Kemudian Nabi meminta pisau lalu menyebut nama Allah dan memotong keju tersebut.

Jiwa Group, Pemilik Kopi Kekinian Janji Jiwa, Raih Sertifikasi Halal

Imam At Thayalisi meriwayatkan dari Ibn 'Abbas RA bahwa Rasulullah SAW tatkala Fathul Makkah melihat sepotong keju. Beliau lalu bertanya, " Ini apa?" " Makanan yang dibuat di daerah non Arab," jawab orang-orang. Nabi lalu berkata, " Potong dan makanlah."

Imam Ahmad, Muhammad ibn 'Umar Al Aslami, Al Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah didatangi dengan dibawakan sepotong keju di perang Tabuk. Lalu Rasulullah SAW bersabda, " Di mana ini dibuat?" Mereka menjawab, " Di Persia. Dan kami mengira bahwa ada campuran bangkai di dalamnya." Lalu Nabi berkata, " Makanlah."