Bagaimana penggunaan bait pada puisi Hujan Bulan Juni

Bagi sebagian orang mungkin sudah tidak asing lagi saat mendengar kata puisi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Puisi juga diartikan sebagai gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat.

Puisi merupakan rekamandan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan (Pradopo, 2009:7). Puisi sebagai karya sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspek, seperti struktur dan unsur-unsurnya, bahwa puisi ini merupakan struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan (Pradopo, 2009:3).

Puisi sendiri memiliki makna yang mendalam, mulai dari tentang kehidupan, cinta, alam, lingkungan, dan lain sebagainya. Puisi adalah karangan yang penyajiannya sangat mengutamakan keindahan bahasa dan kepadatan makna. Oleh karena itu, puisi sangat populer di berbagai kalangan.

Puisi "Hujan Bulan Juni" adalah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang lahir pada tanggal 20 Maret 1940 dan wafat pada tanggal 19 Juli 2020 pada usia 80 tahun. Puisi ini memiliki makna yang dalam. penggunaan kata-kata yang sederhana, tidak terlalu mendayu-dayu, penggambaran alam, dan kebebasan untuk tidak ama atau seragam dengan yang lain, memang merupakan ciri khas penyais Sapardi Djoko Damono.

Suasana yang digunakan dalam puisi "Hujan Bulan Juni" ialah lirih dengan emosi yang tenang. Hal itu nampak pada kata tabah, bijak, dan arif. Setiap puisi pasti mengandung pesan serta makna yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca atau pendengar. Puisi legendaris ini, ternyata juga puisi tercepat yang ditulis oleh Sapardi. Dalam tempo yang singkat, tak sampai sehari, puisi ini berhasil digarapnya.

"Hujan Bulan Juni"

Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

Dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

Pada bait pertama larik satu dan dua "Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni" memiliki makna seseorang yang memiliki ketabahan atau kesabaran dari hujan yang tak turun ke bumi pada bulan Juni.

Pada bait pertama larik ketiga dan keempat "Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu" memiliki makna bahwa ia sedang merahasiakan rasa rindunya dan disimpannya erat-erat padahal rindu itu sangat lebat kepada seseorang yang dicintainya.

Pada bait kedua larik satu dan dua "Tidak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni" memiliki makna menggambarkan bahwa dia mampu dengan ketabahannya menahan tidak menyampaikan sayan dan rasa rindunya.

Pada bait kedua larik ketiga dan keempat "Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu di jalan itu" memiliki makna bahwa dia ingin menghapus keraguan dengan prasangka-prasangka jelek dalam sebuah penantian di jalan itu dan mencoba untuk melangkah maju. Namun, ia kembali dan memutuskan untuk melupakan usahanya itu.

Pada bait ketiga larik satu dan dua "Tidak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni" memiliki makna dia pintar dalam hal menyembunyikan, menyimpan rasa sayang dan rindunya kepada yang dia cintai.

Pada bait ketiga larik ketiga dan keempat "Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu" memiliki makna bahwa dia sadar sebenarnya rindu itu harus diucapkan, namun ia tak cukup memiliki keberanian untuk menyatakan rindunya. Akhirnya ia memilih merahasiakan dan mengikhlaskan rindu itu kepada Tuhan dan alam.

Kita dapat mencintai seseorang dengan penuh kasih sayang dan ketulusan tanpa harus memilikinya, karena cinta tidak dapat dipaksakan namun dapat dirasakan. Bukan sebuah kesalahan jika mencintai seseorang namun tidak diungkapkan. Tetapi, jangan sampai rasa cinta itu berubah menjadi rasa sedih karena terlambat mengungkapkannya.

Sumber:

Winarti, W. (2019). "Analisis Makna Gaya Bahasa Peronifikasi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono". Kumpulan Jurnal Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 4-6.

Ikuti tulisan menarik Sofiana Mita lainnya di sini.

Kali ini kita akan mencoba ke luar dari zona nyaman. Kita tidak akan menganalisis puisi Hujan Bulan Juni karya Pak Sapardi dengan menggunakan pendekatan mimetik, ekspresif, pragmatik, ataupun obyektif, melainkan menggunakan pendekatan SOAR untuk mengupasnya.

Pak Sapardi Djoko Damono memang selalu membawa ciri khas tersendiri dalam sebuah puisinya. Penggunaan kata yang sederhana dan penggambaran alam merupakan salah satu ciri khas dari berbagai karya yang dibuatnya, termasuk puisi “Hujan Bulan Juni.” Meski penggunaan kata dalam puisi ciptaannya cukup sederhana, namun mengandung makna yang sangat kuat dan mendalam.

Hujan Bulan Juni, puisi legendaris ini, ternyata juga puisi tercepat yang diramu oleh Pak Sapardi. Dalam tempo sangat singkat, tak sampai sehari, puisi termasyhur ini berhasil digarap olehnya. Tak hanya sampai disitu saja, puisi ini juga sempat bertransformasi menjadi sebuah karya prosa atau novel dengan judul yang sama.

Berikut ini puisi “Hujan Bulan Juni” yang diciptakan oleh Pak Sapardi pada tahun 1989.

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

Sudah cukup banyak saya temukan analisis puisi Pak Sapardi memakai pendekatan yang dikemukakan oleh Abrams dan semua hasil analisisnya tentu tak usah diragukan lagi, sangat bagus sekali. Oleh karena itu, untuk melihat seberapa baguskah puisi Pak Sapardi kita perlu memakai kaca mata yang berbeda. Sebab kalau pakai kaca mata yang sama, mau bagaimanapun juga, ya pasti sudah bagus puisinya.

Oleh karena itu, saya akan pakai kaca mata yang berbeda. Saya tidak akan pakai teori sastra untuk menganalisis puisi Hujan Bulan Juni ini, saya akan menggunakan metode perencanaan strategi yang digunakan untuk mengevaluasi strengths (kekuatan), opportunities (peluang),  aspirations (aspirasi), dan results (hasil) alias SOAR.

Metode SOAR yang dipopulerkan oleh David Cooperrider ini normalnya digunakan untuk menganalisis situasi dan posisi yang dihadapi oleh organisasi dalam persaingan bisnis. Namun, karena puisi “Hujan Bulan Juni” Pak Sapardi Djoko Damono ini merupakai  puisi yang diciptakan olehnya dalam waktu cukup singkat dari sekian banyak puisi hasil ciptaannya. Maka analisis ini tentu akan dibuat secara singkat dan dapat dibaca dengan waktu yang cukup singkat pula.

Oke, untuk menghempas rasa penasaran kita, langsung aja kita kupas satu demi satu isi dari puisi Pak Sapardi ini.

1. strengths (kekuatan)

Salah satu kekuatan mengapa puisi “Hujan Bulan Juni” ini sangat legendaris adalah karena penciptanya yaitu Pak Sapardi. Citra Pak Sapardi mampu terwujud dalam setiap hasil karya puisinya. Pak Sapardi merupakan sosok yang sangat sederhana dalam hidupnya, hal itu juga ia terapkan di setiap karya puisinya. Ia menggunakan kata-kata sederhana, namun dengan demikian itu seketika para pembaca dapat terhipnotis oleh pilihan katanya.

Selain sosoknya yang sederhana, Pak Sapardi juga merupakan sosok penyair yang sangat romantik. Puisi “Hujan Bulan Juni” ini merupakan buktinya dan menjadi kekuatan tersendiri dari puisi ini. Dengan ketabahan sosok aku yang disimbolkan oleh hujan ia merelakan sosok perempuan yang disimbolkan oleh pohon berbunga dan ini dianggap sebagai perbuatan yang “bijak” dan “arif.” Kurang lebih inilah definisi “cinta tak harus memiliki.”

Dengan demikian, penggambaran alam yang begitu kuat dalam puisi ini juga menjadi salah satu kekuatan. Hujan yang dijadikan subjek menggantikan posisi aku, memiliki makna yang maskulin sehingga ia mewakili jenis kelamin laki-laki.

Penggambaran alam lainnya yang cukup kuat pada puisi “Hujan Bulan Juni,” yaitu penggambaran tentang ketabahan. Hal itu ditunjukkan pada sajak “dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu” si aku (hujan) merahasiakan rindu kepada si perempuan yang digambarkan oleh pohon berbunga.

Pernah tidak kita bertanya-tanya? Mengapa “Hujan Bulan Juni” tidak “Hujan Bulan Desember” saja?

Singkatnya, ketika Pak Sapardi membuat karya ini di tahun 1989, hujan tidak pernah jatuh di bulan Juni. Nah, tidak perlu diragukan penggambaran alam di puisi ini, kuat banget.

2. opportunities (peluang)

Ada banyak peluang yang berpotensi dari puisi ini. Dengan kata yang sederhana namun memiliki makna sangat mendalam, puisi ini sangat memiliki peluang tinggi untuk dijadikan lagu, novel, dan film. Peluang besar lainnya, puisi ini bisa dijadiin status wa untuk generasi muda yang ketolak cintanya nih bahwa dengan berdalih “Cinta enggak harus memiliki."

3. aspirations (aspirasi)

Aspirasi yang terdapat dalam puisi sebenarnya sangat penting dan berguna banget buat generasi muda. Untuk meminimalisir, kalau bisa sih enggak ada yang bunuh diri gara-gara cinta, berpeganglah teguh bahwa “Cinta enggak harus memiliki.” Kita harus punya sifat tabah, bijak, dan arif seperti “Hujan Bulan Juni” ini.

4. results (hasil)

Hasil dari puisi “Hujan Bulan Juni” Pak Sapardi ini merupakan wujud dari berbagai peluang di atas. Ya, puisi “Hujan Bulan Juni” ini dapat menghasilkan lagu yang berjudul sama yang dinyanyikan oleh Ghaitsa Kenang, selain itu puisi “Hujan Bulan Juni” ini juga menghasilkan sebuah novel dengan judul yang sama dan diterbitkan pada tahun 2015. Dua tahun sesudahnya puisi ini juga menghasilkan film yang disutradarai oleh Reni Nurcahyo Hestu Saputra dengan judul yang sama juga.

Terakhir, hasil paling aneh dan di luar perkiraan dari sebuah puisi legendaris “Hujan Bulan Juni” Pak Sapardi, adalah hasil analisis puisinya yang menggunakan metode SOAR, seperti tulisan ini. Terima kasih untuk kamu yang sudah setia membaca dari awal sampai akhir, enggak usah galau-galau lagi ya brodi, “Cinta tidak harus memiliki.”