Bagaimana pendapat kalian mengenai dampak covid-19 terhadap PERDAGANGAN internasional

Humas (09/06) | Pandemi Covid-19 yang telah terjadi selama satu tahun terakhir berdampak secara langsung pada berbagai lini kehidupan di seluruh dunia. Bencana tersebut tentunya menimbulkan beberapa permasalahan seperti pada bidang perekonomian. Terpuruknya perekonomian, tak lain dan tak bukan, salah satunya disebabkan oleh perlambatan arus perdagangan internasional. Hal ini dikarenakan beberapa negara menunda ekspor produk penting seperti, bahan makanan untuk mengamankan pasokan kebutuhan dalam negerinya atau menunda impor produk yang dianggap dapat menularkan virus SARS–CoV–2. Penundaan tersebut secara nyata mengakibatkan perdagangan barang menurun di tahun 2020 sebesar 5,3% dibandingkan tahun 2019. Akan tetapi, perdagangan internasional di tahun 2021 mengalami peningkatan akibat dari berbagai kebijakan berbagai negara yang memberikan “doping” kepada perekonomian seperti insentif dan subsidi. Dalam hukum perdagangan internasional, kebijakan tersebut dapat dilakukan oleh negara-negara, namun dengan pengaturan yang sangat ketat sebagaimana termuat dalam berbagai perjanjian di World Trade Organization (WTO).

Pembahasan tersebut menjadi topik utama dalam perkuliahan yang disampaikan oleh  Prof. Vincenzo Zeno-Zencovich bertajuk “International Trade After The Covid-19 Pandemic”. Profesor dari Roma Tre University, Italia tersebut menyampaikan perkuliahannya pada Selasa, 08 Juni 2021 sebagai bagian dari Guest Lecturer Series yang diselenggarakan oleh Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dalam merespons isu tersebut, Prof. Vincenzo beranggapan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh negara-negara untuk memberikan stimulus dalam kegiatan perdagangan internasional dapat dikategorikan sebagai subsidi. Menurutnya dalam beberapa tahun ke depan, perekonomian pada berbagai negara hanya akan dapat bertahan dengan ditopang oleh kebijakan tersebut. Hukum perdagangan internasional sejatinya telah mendisiplinkan secara tegas pemberian subsidi sebagaimana diatur dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures. Tetapi, juga memberikan sedikit kelonggaran sebagaimana diatur dalam General Exception (Article 20 GATT). Negara anggota WTO juga tidak boleh melupakan kewajibannya seperti, memberikan notifikasi atas subsidi, menghapus pembatasan kuota, dan tidak melakukan diskriminasi.

Selain itu, beliau juga menyoroti isu perdagangan internasional lain yang terjadi selama pandemi yaitu, perdagangan vaksin. Hukum perdagangan internasional melalui The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) telah memberikan jaminan pelindungan atas hak kekayaan intelektual bagi industri farmasi yang berhasil menciptakan suatu obat selama 20 tahun. Hal ini membuat banyak produsen vaksin bertindak secara restriktif untuk melakukan ekspor bahkan tidak mau memberikan kelonggaran memproduksi vaksin secara lokal pada negara-negara tertentu karena dianggap tidak dapat melindungi hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh industrinya. Sejatinya, situasi pandemi seperti sekarang, kebutuhan akan vaksin sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan kesehatan kepada seluruh umat manusia, baik pada negara maju atau negara berkembang. Banyak perusahaan farmasi yang mampu memproduksi vaksin bertindak secara tidak etis karena mengutamakan negara yang mampu bukannya negara yang membutuhkan dengan dalih untuk menutupi mahalnya biaya riset. Prof. Vincenzo berpendapat bahwa berdasarkan WTO (Doha) Public Health Declaration 2001, negara anggota berhak untuk menentukan aturan sendiri dengan pertimbangan “exhaustion of rights” yang mana ketika suatu produk telah dijual pada suatu negara, maka dapat dijual kembali di mana saja tanpa memerlukan lisensi.

Penulis : Dean Rizqullah Risdaryanto

Bagaimana pendapat kalian mengenai dampak covid-19 terhadap PERDAGANGAN internasional

Oleh: Riki Ridwan Margana
Dosen Program Studi Teknik Industri | Universitas Widyatama

Virus Corona (COVID-19) dua bulan terakhir ini menjadi topik permasalahan di dunia internasional sehingga sangat berpengaruh terhadap perekonomian dunia termasuk Indonesia.

Permasalahan tersebut terjadi pada sektor pariwisata yang mengalami penurunan sangat drastis akibat pelarangan penerbangan sementara oleh Pemerintah Indonesia dari dan ke Tiongkok serta perdagangan ekspor dan impor Indonesia-China terutama pada komoditas buah-buahan dan hewan.

Menurut  Ketua Umum Asosiasi Eksportir Sayur dan Buah Indonesia (AESBI), Hasan Johnny Widjaja, sejak ada kabar tentang Virus Corona, para pembeli di China langsung menghentikan pembelian. Para eksportir buah yang paling ‘menangis’ adalah mereka yang melakukan penjualan atau pengiriman barang dengan skema CNF (Cost and Freight/CFR) atau pembayaran yang dilakukan setelah barang tiba di pelabuhan tujuan ekspor. Bahkan ada yang sudah mengirim barang di kapal, namun di tengah perjalanan terjadi pembatalan[1].

Tak hanya impor, beberapa produk ekspor Indonesia ke China juga berpotensi melemah. Secara otomatis, Negeri Tirai Bambu tersebut akan mengurangi jumlah permintaannya. Terlebih lagi secara global banyak pabrik di China yang mengurangi produksi karena penduduk tidak bisa bekerja akibat Virus COVID-19 ini[2].

Pada kenyataannya, tidak semua produk impor mengalami penghentian. Impor elektronik sampai saat ini masih berjalan kecuali hewan hidup dan buah-buahan.

Larangan impor ini diambil untuk mengantisipasi penyebaran Virus Corona dari hewan. Pasalnya, penyebaran virus yang menewaskan ribuan orang di China itu diduga tak hanya melalui manusia saja melainkan juga hewan[3].

Pemerintah harus benar-benar memperhatikan dampak dari Virus Corona ini karena China merupakan mitra dagang Indonesia.

Virus Corona yang semakin menyebar memberikan dampak perlahan tapi pasti, terutama pada perekonomian Indonesia. Sadar bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi sebagian besar oleh sektor konsumsi, pemerintah akan terus melakukan percepatan belanja kementerian dan lembaga di kuartal I 2020.

Hal ini juga sejalan dengan perintah Presiden Joko Widodo untuk membelanjakan anggaran dalam mengantisipasi Virus Corona yang mungkin akan menggerus konsumsi awal tahun ini.

Menurut Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Edi Prio Pambudi, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat didukung oleh konsumsi yakni sebanyak 56% porsinya dan sebenarnya konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh makanan dan minuman saja, tetapi juga pakaian, transportasi, komunikasi, dan lainnya.

Selain fokus pada belanja kementerian dan lembaga, pemerintah juga akan fokus dalam menyalurkan bantuan sosial agar seluruh masyarakat bisa segera menikmati bantuan tanpa terhambat dampak Virus Corona.

Pemerintah juga akan terus menghidupkan kembali destinasi wisata yang ada dengan membuat bundling paket-paket wisata dan memberikan harga khusus agar masyarakat mau melakukan perjalanan.

Selain mendorong belanja pemerintah, nantinya belanja padat karya untuk kegiatan produktif juga akan terus didorong, serta akan dilakukan percepatan penyerapan Kredit Usaha Rakya (KUR) seperti meningkatkan plafon penerimaan KUR.

Terkait dengan dampak perdagangan yang disebabkan oleh penyebaran Virus Corona, menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto, belum ada dampak signifikan Virus Corona terhadap kinerja perdagangan Januari 2020[4].

Pihaknya belum dapat mengungkapkan secara detail terkait angka ataupun realisasi ekspor dan impor antara Indonesia dan China pada Februari 2020 karena masih berjalan hingga saat ini.

Sementara itu, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 860 juta per Januari 2020. Defisit tersebut disebabkan posisi neraca ekspor sebesar US$ 13,41 miliar, lebih rendah dari neraca impor yang mencapai US$ 14,28 miliar. Berdasarkan nilai impor, tercatat total nilai impor non migas dari tiga belas negara sela%ma Januari 2020 adalah sebesar US$9,67 miliar. Angka tersebut turun 3,14% dibanding Desember 2019.

Kondisi ini disebabkan oleh turunnya nilai impor pada beberapa negara utama, salah satunya adalah China sebesar 3,08% menjadi US$ 125,2 juta. Sementara untuk negara lainnya, Thailand dari 14,14% menjadi US$ 104,5 juta dan Australia dari 26,36% menjadi US$ 86,9 juta. 

Sebelumnya, Virus Corona menjadi isu utama yang menyorot perhatian global beberapa pekan terakhir karena telah menjatuhkan banyak korban, serta penyebaran virus yang mengglobal. Walaupun Indonesia masih berstatus bebas dari virus tersebut, dampak virus tersebut sudah dirasakan dari sisi perekonomian negeri.

Semoga kejadian luar biasa ini tidak berlangsung lama agar perekonomian dunia khususnya Indonesia kembali normal sehingga ekspor impor berjalan seperti biasa.

[1] https://www.cnbcindonesia.com/news/20200210142122-4-136667/virus-corona-ganggu-perdagangan-eksportir-sampai-menangis

[2]https://www.liputan6.com/bisnis/read/4169426/impor-barang-dari-china-turun-akibat-virus-corona

[3]https://www.liputan6.com/bisnis/read/4173044/dampak-virus-corona-bagaimana-kondisi-ekspor-impor-dengan-china-usai-penghentian

[4]https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200217155055-532-475408/bps-dampak-virus-corona-ke-ekonomi-terasa-pada-februari-2020

*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.

Download artikel ini:

Bagaimana pendapat kalian mengenai dampak covid-19 terhadap PERDAGANGAN internasional
  SCI - Artikel Dampak Virus Corona terhadap Perdagangan Ekspor-Impor V3- (728.2 KiB, 10,509 hits)

Komentar

comments