Academia.edu no longer supports Internet Explorer. To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
Kementerian Pertanian telah menetapkan sebelas arah Kebijakan Pembangunan Pertanian tahun 2015 – 2019 dengan tujuan utama untuk mencapai kemandirian pangan yang kuat dan berkelanjutan sekaligus ramah lingkungan. Untuk mendukung tercapainya kemandirian pangan tersebut, telah dilakukan berbagai upaya, antara lain melalui pemberdayaan sumber daya manusia pertanian pada kawasan sentra produksi sub sektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan yang meliputi 8 (delapan) komoditas strategis nasional yaitu padi, jagung, kedelai, tebu, kakao, cabai, bawang merah dan sapi potong. Berkaitan dengan hal tersebut peningkatan produksi hasil pertanian dengan memperhartikan kaidah-kaidah atau norma ramah lingkungan yang dikenal dengan GAP (Good Agriculture Practice). GAP merupakan satu ketentuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang ditujukan untuk memperoleh produk berkualitas yang aman konsumsi, dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan sumber daya lahan, keselamatan pekerja, dan kesejahteraan petani sebagai pelaku usaha. Kendala saat ini adalah semakin semaraknya penggunaan pestisida kimia yang banyak digunakan oleh petani yang tentunya memiliki dampak negative bagi lingkungan (tanah dan tanaman) dan kesehatan manusia pada umunya (pekerja dan konsumen). Oleh karena salah satu dari beberapa budidaya pertanian melalui teknologi GAP adalah bagaimana menggunakan bahan pestisida nabati dalam menggantikan penggunaan pestisida kimiawi, dengan pertimbangan bahwa pestisida nabati diperoleh dari bahan organic yang ada dan tidak mengandung residu. Pestisida Nabati diartikan sebagai pestisida yang bahan aktifnya dieksplorasi /diambil dari tumbuhan yang digunakan untuk mengendalikan OPT Oleh karena kandungan bioaktifnya, tumbuhan tersebut dapat digunakan untuk pengendalian OPT. Pestisida nabati merupakan salah satu alternative, pengendalian yang ramah lingkungan dengan membangun kembali jiwa petani yang akrab dengan lingkungannya (M. Syakir, 2011). Beberapa keunggulan dari Pestisida Nabati adalah 1) Sifatnya mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak karena residunya mudah hilang, 2) Bahan baku pestisida nabati banyak tersedia dialam terutama di daerah tropis, 3) Secara ekonomi relatif murah, 4) Mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, 5) Apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan residunya cepat hilang di alam sehingga tanaman terbebas dari residu dan aman untuk dikonsumsi (Anonim, 2015). Jenis Tanaman Yang Berpotensi Jadi Bahan Pestisida adalah :
Menurut Abd Gaffar (2016) bahwa ada beberapa ramuan pestisida nabati yang dapat diaplikasikan untuk mengendalikan OPT pada tanaman padi diantaranya adalah: a). Pestisida Nabati untuk mengendalikan hama secara umum : Bahan : Daun mimba 8 kg, Lengkuas 6 kg, Serai 6 kg, Deterjen/sabun colek 20 g, Air 20 l. Cara membuat Daun mimba, lengkuas, dan serai ditumbuk atau dihaluskan. Seluruh bahan diaduk merata dalam 20 l air lalu direndam sehari semalam (24 jam). Keesokan harinya larutan disaring dengan kain halus. Larutan hasil penyaringan diencerkan kembali dengan 60 l air. Larutan sebanyak itu digunakan untuk lahan seluas 1 ha. Cara pengaplikasian: Semprotkan cairan tersebut pada tanaman yang akan dilindungi. b). Pestisida Nabati untuk mengendalikan hama Tikus: Bahan : Umbi gadung racun, atau gadung KB 1 kg, Dedak (padi atau jagung) 10 kg, Tepung ikan 1 ons, Kemiri (sebagai bahan penarik) sedikit, Air sedikit, Cara membuat : Umbi gadung dikupas lalu dihaluskan. Semua bahan dicampur, diaduk rata, dan dibuat dalam bentuk pelet kering. Perbandingan umbi gadung dan campuran bahan lain adalah 1 : 10. Cara pengaplikasian: Pelet-pelet umbi gadung ditebarkan di pematang, di sarang tikus, atau di jalan-jalan yang dilewati tikus. c). Pestisida Nabati untuk mengendalikan hama keong mas: Bahan : Akar tuba 5-10 g, atau Daun sembung 10-20 g, Deterjen/sabun colek 1 g, Air 1 l. Cara membuat : Akar tuba atau daun sembung dihaluskan diaduk mereta dalam 1 l air dan ditambahkan sekitar 1 cc deterjen cair/sabun colek. Larutan diendapkan semalam lalu disaring. Cara pengaplikasian : Semprotkan atau siramkan larutan pada lahan atau sawah yang dihuni keong mas. d). Pestisida Nabati untuk mengendalikan hama wereng coklat, walang sangit dan penggerek batang: Bahan : Biji mimba 50 g, Alkohol 10 cc, Air 1 l. Cara membuat : Biji mimba ditumbuk halus dan diaduk dengan 10 cc alkohol lalu diencerkan dengan 1 l air. Larutan diendapkan semalam. Keesokan harinya larutan disaring. Cara pengaplikasian : Semprotkan cairan pada tanaman yang terserang, atau langsung pada hamanya. Hama tidak langsung mati segera setelah disemprot, tetapi memerlukan waktu 2-3 hari untuk mati. e). Pestisida Nabati Untuk Mengendalikan Penyakit Padi yang disebabkan Oleh Cendawan: Bahan: Daun tembakau 1 kg, Cabai rawit 1 kg, Bawang merah 1 kg, Kapur 100 g, Belerang 100 g, Air secukupnya. Cara pembuatan: Semua bahan ramuan digiling menjadi satu hingga lembut, lalu ditambahkan air sebanyak 1/10 bagian bahan. Setelah itu, peras airnya agar mudah disaring. Cara pengaplikasian: Dosis pengaplikasiannya adalah setiap 1ml larutan pestisida dicampur dengan 250 ml air. Untuk satu tabung sprayer, dosisnya sebanyak 60 ml dan dicampur dengan 15 liter air. Larutan ini disemprotkan pada tanaman yang terserang penyakit. Pemanfaatan pestisida nabati dalam kegiatan bertani dianggap sebagai cara pengendalian yang ramah lingkungan, sehingga diperkenankan penggunaannya dalam kegiatan pertanian organik. Namun demikian dalam pengembangannya, terdapat beberapa kendala, antara lain: (1) pestisida nabati tidak bereaksi cepat (knockdown) atau relatif lambat membunuh hama, tidak seperti pestisida kimia sintetik yang relatif cepat dan hal ini disukai petani, sehingga mereka lebih memilih pestisida kimia sintetik dalam kegiatan pengendalian OPT, (2) Membanjirnya produk pestisida ke Indonesia, salah satunya dari China, yang harganya lebih murah serta longgarnya peraturan pendaftaran dan perizinan pestisida di Indonesia kondisi ini membuat jumlah pestisida yang beredar di pasaran semakin bervariasi dan hingga saat ini tercatat sekitar 3.000 jenis pestisida yang beredar di Indonesia. Hal ini membuat para pengguna/petani mempunyai banyak pilihan dalam penggunaan pestisida kimia sintetik karena bersifat instan sehingga menghambat pengembangan penggunaan pestisida nabati, (3) Bahan baku pestisida nabati relatif masih terbatas karena kurangnya dukungan pemerintah (Political Will) dan kesadaran petani terhadap penggunaan pestisida nabati masih rendah, sehingga enggan menanam atau memperbanyak tanamannya, (4) peraturan perizinan pestisida nabati yang disamakan dengan pestisida kimia sintetik membuat pestisida nabati sulit mendapatkan izin edar dan diperjualbelikan. Akibatnya, apabila tersedia dana untuk kegiatan yang memerlukan pestisida dalam jumlah yang banyak maka pilihan jatuh kepada pestisida kimia sintetik karena salah satu persyaratan dalam pembeliannya adalah sudah terdaftar dan diizinkan penggunaannya (M. Syakir, 2011). Pestisida alami merupakan pemecahan jangka pendek untuk mengatasi masalah hama dengan cepat, penggunaan bahan-bahan alami untuk mengusir atau menghalau musuh-musuh alami yang menyerang tanaman, tanpa harus mematikannya, sehingga siklus ekosistem masih tetap terjaga, dengan menggunakan pestisida berbahan organik/ alamiah. Pestisida nabati yang akrab lingkungan, disebut demikian karena bahan kimia nabati ini dapat mudah terurai, dapat dibuat oleh petani karena bahan baku tersedia disekitar lokasi, dan harga pembuatan yang terjangkau. Strategi yang dapat ditempuh dalam Pengembangan Pestisida Nabati adalah melakukan Identifikasi dan eksplorasi tumbuhan berpotensi sebagai pestisida nabati, Pemisahan dan identifikasi senyawa aktif, Pengujian kemampuan daya bunuh, cara kerja, daya racun terhadap organisme bukan sasaran, sifat-sifat lingkungannya serta kemungkinan bentuk formulasi yang efektif untuk aplikasi. Dengan menggunakan pestisida yang ramah lingkungan (organik) merupakan suatu hal yang patut ditiru karena selain ramah lingkungan, permodalanpun dapat ditekan dan hasilnya juga sehat. “Mari kurangi penggunaan pestisida kimia dan kembali ke alami”. (Rely) (Image : Contoh Tumbuhan yang dapat dijadikan Pestisida Nabati) Page 2Bahasa Mandar dikenal dengan nama Tarreang atau Bailo, Jewawut merupakan salah satu tanaman pangan atau sejenis tanaman serealia berbiji kecil. komditas ini pernah menjadi makanan pokok di berbagai negara di dunia (termasuk beberapa daerah di Indonesia) sebelum budidaya padi dikenal. Sayangnya, Jawawut atau Jewawut mulai dilupakan dan terabaikan. Padahal tanaman pangan ini memiliki kandungan nutrisi (protein dan kalsium) yang lebih baik ketimbang beras (Anonim, 2015). Di Sulawesi Barat Jewawut dikenal masyarakat dengan nama Tarreang atau Bailo, khususnya di Majene dan Polewali Mandar. sedangkan beberapa daerah lain di Indonesia dikenal dengan berbagai nama lokal yang berbeda-beda seperti: nama ba’tan (Toraja); jawa (Palembang); jaba ikur (Batak); jaba uré (Toba); jĕlui (Riau); sĕkui (Melayu); sĕkuai, sakui, sakuih (Minangkabau); randau (Lampung); dan jawae (Dayak). Menurut Marthen P. Sirappa, dkk (2014), tanaman jewawut memiliki adaptasi yang baik pada daerah yang curah hujannya rendah sampai daerah kering. Kandungan karbohidrat mendekati beras (75%), namun kandungan proteinnya lebih tinggi (11%) dari beras (7%), terutama protein gluten. Jewawut mengandung beragam komponen penting yang berpotensi meningkatkan kesehatan tubuh, antara lain senyawa antioksidan, senyawa bioaktif, dan serat, sehingga sangat potensial sebagai salah satu bahan diversifikasi pangan. Berdasarkan hasil Survey Pengelolaan Sumber Daya Genetik yang dilakukan oleh Tim BPTP Sulawesi Barat (Marthen P. Sirappa, dkk) Tahun 2014 dan 2015, keberadaan Jewawut di Kabupaten Majene ditemukan di dusun Takapa’, desa Lombang, kecamatan Malunda, pada posisi S:0709712 dan E:9667962, pada ketinggian 283 m dpl. Sedangkan di Kabupaten Polman berada di Dusun Pambusuan, Desa Pambusuan, Kecamatan Balanipa, pada posisi S: 0731142 dan E: 9612789, pada ketinggian 14 m dpl. Jenis Jewawut/Tarreang yang ditemukan di Kabupaten Polman ada 6 jenis yaitu Tarreang lasse’, Lelamun, Bulawan, Delima, The dan Putih. Sedangkan yang ditemukan di Majene ada dua, yaitu gabah warna kuning, berbulu dan bagian ujung tidak bercabang (yang umum ditemukan di tempat lain) dan gabah warna coklat, berbulu dan bagian ujung malai bercabang banyak menyerupai tapak kaki. Menurut informasi dari petani pemilik, jewawut warna coklat tergolong jenis pulut. Di Majene, jewawut jenis coklat ini juga digunakan petani sebagai pelindung hama, terutama babi hutan sehingga banyak ditanam sebagai tanaman pinggiran di kebun petani. Umur panen sekitar 3 bulan dengan tinggi tanaman dapat mencapai 150 cm. Pemanfaatan jewawut di Sulawesi Barat masih sebatas dijadikan bubur, dodol dan diolah sebagai kue kering. Pada hal di beberapa daerah lain dapat dibuat wajik atau mie. Tanaman jewawut juga dapat diolah menjadi tepung untuk mensubtitusi tepung beras. Selain sebagai bahan makanan, Jawawut pun kerap dipergunakan sebagai pakan ternak (daunnya) dan sebagai pakan burung. Pemanfaatan seperti ini merupakan potensi bagi petani untuk terus dikembangkan. Jewawut dapat ditanam di daerah semi kering dengan curah hujan kurang dari 125 mm selama masa pertumbuhan yang pada umumnya sekitar 3-4 bulan. Tanaman ini tidak tahan terhadap genangan dan rentan terhadap periode musim kering yang lama. Di daerah tropis, tanaman ini dapat tumbuh pada daerah semi kering sampai ketinggian 2.000 m dpl. Tanaman ini menyukai lahan subur dan dapat tumbuh baik pada bebagai jenis tanah, seperti tanah berpasir hingga tanah liat yang padat, dan bahkan tetap tumbuh pada tanah miskin hara atau tanah pinggiran. Sedangkan pH yang cocok untuk tanaman ini adalah 4-8. (Grubben dan Partohardjono, 1996). Teknik budidaya tanaman jewawut dapat dilakukan dengan sistem olah tanah baik sistem olah tanah konvensional (yang menggunakan guludan/ bedengan) maupun sistem olah tanah minimum (pada tanah yang subur atau gembur) dan sistem tanpa olah tanah. Prinsip dari sistem olah tanah konvensional (guludan atau bedengan) adalah mengolah tanah secara keseluruhan, yaitu dengan cara manual dan menggunakan cangkul atau linggis kemudian membongkar dan membalik tanah lalu diratakan. Tanah yang telah bersih kemudian dibentuk guludan atau semacam bedengan. Guludan adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotong lereng. Tinggi tumpukan tanah sekitar 25–30 cm dengan lebar dasar sekitar 30–40 cm. Guludan dapat diperkuat dengan menanam rumput atau tanaman perdu (Chairani, 2010). Pengolahan tanah minimum hanya dapat dilakukan pada tanah yang gembur. Tanah gembur dapat terbentuk sebagai hasil dari penggunaan mulsa secara terus menerus dan atau pemberian pupuk (baik pupuk hijau, pupuk kandang, atau kompos) dari bahan organik yang lain secara terus menerus. Penerapan teknik pengolahan tanah minimum perlu disertai dengan pemberian mulsa. (Chairani,2010). Untuk sistem tanpa olah tanah, juga bisa diterapkan pada tanah-tanah yang subur atau gembur. Sistem tanpa olah tanah merupakan bagian dari konsep olah tanah konservasi yang mengacu kepada suatu sistem olah tanah yang melibatkan pengolahan mulsa tanaman ataupun gulma (tanaman pengganggu). Persiapan lahan cukup dilakukan dengan penyemprotan, gulma mulai mati dan mengering, lalu direbahkan selanjutnya dibenamkan dalam lumpur (Nursyamsi, 2004). Jewawut dapat ditumpangsarikan dengan tanaman lain seperti dengan padi gogo. Tanaman jewawut berumur lebih cepat sekitar satu bulan dari padi karena berumur 3 bulan, sehingga jewawut tergolong lebih hemat menggunakan air dari pada padi dan jagung. Sedangkan jewawut yang ditanam sisipan dengan tanaman jagung memiliki umur panen yang bersamaan dengan jagung. Penanamannya dapat dilakukan di lahan maupun di dalam green house. Benih jewawut tidak disemaikan tetapi dapat langsung di tanam pada suatu media tanam ataupun lahan penanaman dengan cara ditaburkan atau ditanam dalam lubang tanam. Jarak tanam yang cocok untuk tanaman jewawut pada luas areal 2 x 3 meter adalah 75 x 20 cm atau 70x 25 cm. Kebutuhan benih 8-10 kg/ha apabila jenis yang ditanam hanya juwawut.
(Jewawut “Tarreang” yang masih dibudidayakan di Balanipa, Kab. Polman, Sulbar. Foto: Religius Heryanto) Page 3
Sula wesi Barat merupakan salah satu wilayah pengembangan kopi rakyat di Indonesia. Kopi termasuk komoditas unggulan daerah kedua setelah kakao untuk Sulawesi Barat. Pada tahun 1980-an, Kopi “Arabika Mamasa” Sulawesi Barat pernah dikenal sampai di luar negari yaitu Eropa.Luas pengembangan kopi saat ini telah mencapai 23.419 ha.Sentra utama pengembangan berada di kabupaten Mamasa dengan luas 19.117 ha.Keluarga tani yang terlibat dalam usaha tani kopi sebanyak 35.460 KK. Jenis kopi yang sedang berkembang di Mamasa saat ini adalah jenis Arabika dengan luas 11.983 ha dan jenis Robusta dengan luas 7.134 ha.Produktivitas yang telah dicapai petani untuk jenis Arabika hanya sebesar 0,39 t dan Robusta 0,40 t/ha. Pengembangan kopi khususnya jenis Arabika terus dikembangkan untuk meningkatkan produksi kopi di Mamasa. Selain dukungan iklim dan topografi yang sangat sesuai, potensi luas lahan untuk perluasan areal tanam juga masih sangat terbuka. Kawasan pengembangan kopi berada pada ketinggian 800– 1.400 m.dpl.Potensi peningkatan produktivitas melalui inovasi budidaya masih sangat besar sebab produktivitas yang dicapai saat ini baru mencapai 0,39 t/ha sedangkan potensi hasil jenis kopi Arabika yang berkembang sekitar 1,5 – 2,0 t/ha. Pada tahun 2015, melalui program nasional telah dikembangkan sebanyak 2 juta pohon kopi jenis Arabika dalam upaya menjadikan Sulawesi Barat khususnya Mamasa sebagai salah satu sentra utama kopi di Indonesia. Penulis: Dr.Ir.Syamsuddin, M.Sc Page 4Ganyong (Canna edulis Kerr) merupakan tanaman herbal yang berasal dari Amerika Selatan. Di Sulawesi Barat “Mamuju dan Mamasa” diberi nama Bombang. Tanaman ini bisa ditanam di lahan darat yang kurang air, baik di dataran rendah maupun tinggi Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi keberlangsungan hidup manusia. Kebutuhan terhadap pangan akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka diperlukan peningkatan ketersediaan pangan berkelanjutan yang mampu mencukupi kebutuhan konsumsi penduduk di masa yang akan datang. Namun persentase tingkat pertumbuhan produksi pangan yang berbasis karbohidrat sangat kecil, fluktuatif dan cenderung menurun. Jika laju pertumbuhan penduduk tidak diturunkan sementara laju produksi pangan sangat lamban, maka dalam beberapa tahun yang akan datang Indonesia berpotensi mengalami rawan pangan, (Anonim, 2014). Salah satu penyebab kerawanan pangan adalah ketergantungan masyarakat pada salah satu pangan pokok saja, yaitu beras. Sekitar 95% penduduk Indonesia menggantungkan dirinya kepada beras sebagai makanan pokok (Nurmala, 2007). Sulawesi Barat memiliki potensi umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat yang dapat dijadikan sebagai pengganti beras, salah satunya adalah tanaman ganyong yang sudah lama dilupakan oleh masyarakat. Saat melakukan ekspolarasi Pengelolaan Sumber Daya Genetik (SDG) tanaman ganyong masih banyak ditemukan dihalaman-halaman rumah penduduk namun hanya dijadikan sebagai tanaman hias ataupun dikebun sebagai tumbuhan liar. Di Sulawesi Barat Tanaman Ganyong dikenal dua varietas ganyong, yaitu ganyong merah dan ganyong putih. Ganyong merah ditandai dengan warna batang, daun dan pelepahnya yang berwarna merah atau ungu, sedang yang warna batang, daun dan pelepahnya hijau dan sisik umbinya kecoklatan disebut dengan ganyong putih. Ganyong merupakan tanaman umbi-umbian yang berpotensi untuk menggantikan peran beras dan tepung terigu dalam pemenuhan kebutuhan bahan pangan pokok. Namun sampai saat ini, potensi tanaman ganyong belum dikembangkan dengan baik serta belum diusahakan secara serius dan intensif, karena kurang populer dibandingkan dengan tanaman berumbi lainnya. Selain itu kebanyakan petani menganggap ganyong kurang memiliki nilai ekonomis sehingga sedikit petani yang mau membudidayakannya. (Rukmana, 2000). Umbi ganyong dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan energi. Kandungan karbohidrat ganyong cukup tinggi, setara dengan umbi-umbi yang lain, namun lebih rendah daripada singkong, tetapi karbohidrat umbi dan tepung ganyong lebih tinggi bila dibandingkan dengan kentang, begitu juga dengan kandungan mineral kalsium, phosphor dan besi. Dengan demikian ganyong sangat tepat bila digunakan untuk keragaman makanan sebagai pengganti beras. Berikut adalah kandungan dari umbu ganyong : Setiap 100 gram umbi yang dapat dimakan, berisi kira-kira : air 75 g, protein 1 g, lemak 0,1 g, karbohidrat 22,6 g, Ca 21 miligram (mg), P 70 mg, Fe 20 mg, vitamin B 0,1 mg, vitamin C 10 mg. Karbohidrat terdiri dari lebih 90% tepung dan 10% gula (glukosa dan sukrosa). Tepung yang dihasilkan kuning cerah dengan ukuran butir yang besar (125-145 milimikron x 60 milimikron) tidak beraturan. Tepung ini sangat larut dan mudah dicerna (E. Sukarsa, 2015). Umbi ganyong dapat dikonsumsi hanya dengan cara direbus hingga matang. Biasanya umbi tanaman ini dimakan sebagai cemilan, atau menggantikan makanan pokok karena cukup mengandung karbohidrat dan mengenyangkan. Manfaat lain dari umbi ganyong adalah untuk diambil tepung patinya, dan dapat dimanfaatkan dalam pembuatan kue, bihun, serta produk makanan bayi. Selain itu beberapa literature mengatakan bahwa tanaman ganyong ini juga bermanfaat sebagai tanaman obat herbal. Deskripsi tanaman ganyong adalah merupakan tanaman berumbi, tahunan, tegak, tanaman herba yang kuat, tinggi mencapai 3,5 m, umbi bercabang horizontal, mencapai panjang 60 cm dengan diameter 10 cm, dengan segmen berdaging membentuk balon, ditutupi oleh daun tipis, dan akar tebal yang berserat. Tangkai berdaging, timbul dari umbi, biasanya tingginya 1-1,5 m, sering keungu-unguan. Daunnya teratur secara spiral dengan kuncup besar yang terbuka, kadang-kadang petiolanya pendek, daun sempit dari rata menuju elips, tulang daun nyata, bagian bawah agak keunguan. Bunganya berwarna merah kekuningan, buah berbentuk kapsul yang solid seperti telur. Bijinya banyak, bulat, diameter 0,5 cm, licin dan keras, kehitaman sampai coklat. Teknik Budidaya yaitu dapat dibiakkan dengan cara vegetatif melalui pemotongan umbi berukuran sedang dengan mata tunas 1-2. Pemotongan umbi lebih disukai untuk menjaga kemurnian genetik klon dibandingkan dengan menggunakan biji. Umbi yang digunakan adalah umbi yang masih muda bukan yang bagian coklat tua. terpisah pada jarak 50 cm, kedalaman 15 cm. Seluruh umbi dapat ditanam. Bila ditanam terlalu dekat, tanaman terlalu berdesakan, mengakibatkan penampilan jelek. Lebih baik menanam ganyong pada musim hujan, bila tidak, harus diairi. Ganyong ditanam pada bedengan yang telah diolah seluruhnya dan dicampur dengan pupuk dan kompos yang cukup. Pada tanah liat dianjurkan menggunakan jarak tanam 90 x 90 cm, dengan jarak barisan 90 cm begitu juga jarak antara barisannya. Jika yang tersedia adalah lahan yang masih banyak ditumbuhi oleh rerumputan atau alang-alang, maka sebaiknya digunakan jarak tanam yang lebih lebar lagi yaitu 135 cm x 180 cm, sedang untuk tanah liat berat di gunakan jarak tanam 120 cm x 120 cm. Di tanah-tanah pegunungan yang biasanya tanah miring dan sudah dikerjakan menjadi teras-teras, ini sangat menguntungkan, karena selain hasil lahan akan bertambah juga dapat memperkuat teras-teras tersebut. Jarak tanam yang digunakan dalam hal ini adalah 50 cm urut sepanjang tepi teras. Pemeliharaan tanaman ganyong yang sangat penting adalah sebagai berikut : (a) Penyiangan; Kebersihan bedengan atau areal tanaman dari gangguan gulma perlu sekali diperhatikan, terutama pada masa awal pertumbuhannya. Apabila banyak gulma yang tumbuh, tentu saja sejumlah unsur-unsur hara tersebut digunakan oleh gulma, sehingga pertumbuhan ganyong yang masih muda ini merana. (b) Pembumbunan; Pembumbunann adalah suatu usaha untuk menggemburkan tanah. Tanah yang gembur akan membuat umbi yang terbentuk dapat berkembang dengan leluasa. Pembumbunan dapat dimulai pada saat ganyong berumur 2 - 2,5 bulan. (c) Penyiraman; Karena pada masa ini bibit yang mulai bertunas banyak sekali memerlukan air, udara dan unsur-unsur hara serta sinar matahari yang cukup untuk menunjang pertumbuhannya terutama untuk memperbanyak akar. (d) Pemupukan; Karena ganyong menyenangi tanah yang gembur, maka pupuk yang sangat diperlukan adalah pupuk kandang atau kompos. Pupuk ini bila perlu dapat diberikan bersamaan dengan pembumbunan. (e) Penyakit dan Hama; Secara umum ganyong adalah tanaman keras dengan sedikit penyakit dan hama. Fusarium, Puccinia, dan Rhizoctonia Sp adalah kemungkinan penyakit jamurnya. Kumbang dan belalang dapat memakan daun, dan cacing menyerang umbinya. Pemanenan Umbi ganyong dapat dilakukan 4-8 bulan setelah tanam, dicabut atau digali. Ciri umbi matang adalah apabila potongan segitiga bagian terluar daun umbi berubah menjadi ungu. Panen setelah 8 bulan dapat memberikan hasil yang lebih tinggi, karena umbi ganyong telah mengembang secara maksimum. Hasil umbi bervariasi dari 23 ton per hektar pada 4 bulan menjadi 45-50 ton per hektar pada 8 bulan, atau 85 ton per hektar setelah setahun. Tepung yang dihasilkan adalah 4-10 ton per hektar. Penanganan Setelah Panen; Umbi segar yang baru dipanen harus ditangani secara hati-hati. Bila akan dikonsumsi, harus dilakukan segera setelah panen. Bila dibiarkan lebih dari 10 bulan umbi ganyong akan menjadi keras, kurang dapat dikonsumsi , dan tepung yang dihasilkannya sangat rendah. Umbi yang sudah bersih dapat disimpan beberapa minggu pada kondisi sejuk dan kering. Untuk produksi tepung komersial, umbi diproses segera setelah panen. Untuk memperoleh patinya, umbi diparut, ditambahkan air, dan bubur patinya disaring, dipisahkan melalui pengendapan dan selanjutnya dikeringkan (Anonim, 2016). Mari kita lestarikan Sumber Daya Genetik (SDG) yang ada di sekitar kita demi anak cucu kita. Penulis: Religius Heryanto, S.ST Page 5Tanaman pisang yang ada di Sulawesi Barat merupakan salah satu komoditas tanaman hortikultura yang sangat berpotensi untuk dikembangkan. Dilihat dari segi pemanfaatannya, buah pisang banyak dimanfaatkan sebagai pisang goreng, loka pere’ nisattani (diberi santan), dijadikan pisang ijo, dan dijadikan sebagai buah segar yang dikonsumsi langsung setelah matang. Salah satunya adalah pisang loka pere’ yang merupakan salah satu sumber daya genetik tanaman yang ada di Sulawesi Barat. Namun keberadaan pisang loka pere’ saat ini sangat sulit ditemukan Karena petani tidak begitu memperhatikan sistem budidayanya. Hal ini bisa terjadi karena belum ada nilai ekonomi yang membedakannya dari jenis pisang lainnya, padahal konsumen cenderung mencari pisang loka pere’. Jenis pisang loka pere’ masih ditemukan di Desa Adolang Dhua, kecamatan Pamboang dan di desa Galung, kecamatan Banggae Timur, kabupaten Majene pada posisi S: 0708896 - 0718164 & E: 9611146 - 9621353 dan ketinggian 19 – 92 m dpl. Pisang loka pere’ berdasarkan spesiesnya termasuk Musa parasidiaca yang merupakan pisang olahan (plantain), dan juga termasuk dalam Musa acuminata karena bisa dikonsumsi sebagai buah segar. Kelebihan jenis pisang ini adalah buah rasanya enak, manis, tetap keras meskipun telah masak dan tahan disimpan lama. Pisang muda dapat direbus dan digoreng. Buah pisang baik yang masih mentah maupun yang sudah masak, juga bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan ringan seperti loka pere’ nisattanni/loka njoroe (pisang rebus yang diberi santan), pisang ijo, pisang goreng, selain itu batangnya bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, daunnya sebagai pembungkus makanan dan bonggolnya bisa diolah menjadi kripik bonggol pisang. Loka Pere pernah meraih juara 1 tingkat nasional yang mewakili Makassar (Sulawesi Barat masih termasuk dalam Sulawesi Selatan) dan jenis pisang ini hanya terdapat di kabupaten Majene. Potensi pengembangan pisang loka pere’ di Kabupaten Majene sangat besar. Diperlukan kerjasama berbagai pihak agar tanaman pisang loka pere’ dapat dilestarikan baik secara in situ maupun ex situ. Penulis: Religius Heryanto, S.ST Page 6
Jepa meru pakan salah satu bahan pangan lokal berbahan baku ubi kayu yang dapat berfungsi sebagai makanan alternatif penganti beras. jepa adalah makanan khas suku Mandar (komunitas suku terbesar di Sulawesi Barat). Usaha produksi jepa di tingkat petani masih dilakukan secara tradisional, memiliki rasa tawar, warna putih, bentuk dan ukurannya besar bulat, serta daya simpan yang relatif singkat yakni sekitar 12 jam setelah proses pengolahan. sehingga mutunya masih rendah, dan pemasarannya masih lokal. Selain itu usaha pengolahan jepa belum dilakukan menurut standarisasi baku produk yang sehingga rasa, bentuk, tekstur, nilai gizi dan mutu akhir jepa belum dapat memberikan cita rasa, keamanan bagi konsumen ketika mengkonsumsi produk tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka telah dilakukan kegiatan kajian teknologi pengolahan ubi kayu sebagai bahan pangan lokal (jepa) di Sulawesi Barat.ALAT DAN BAHAN
PROSES PEMBUATAN Pembuatan tepung ubi kayu
Proses pembuatan tepung kelapa:
Pembuatan Jepa Aneka rasa:
Setelah bahan tercampur rata kemudian di cetak dengan cara dipipihkan diatas lempengan bulat ceper yang terbuat dari tanah liat (menyerupai piring yang disebut dengan nama ” panjepangang” ) dengan menggunakan bong (sendok yang terbuat dari tempurung kelapa bertangkai kayu/bambu), dimana cetakan terlebih dahulu dipanaskan/dipanggang selama 15 menit diatas tungku api. Setelah dipipihkan sebuah lempengan tanah liat dipasang lagi diatas lempengan sebelumnya sampai adonan ubi kayu matang (± 15-20 menit), proses ini dilakukan secara berulang-ulang sampai menghasilkan beberapa keping jepa. Jepa yang dihasilkan adalah jepa (semi basah dengan daya tahan ± 24 jam). Setelah jepa matang, kemudian dikemas dengan plastik. Penulis: Religius Heryanto, S.ST Page 7
Kelan gkaan benih unggul seringkali dirasakan ditingkat petani, padahal proses produksi bisa dilakukan sendiri dihamparan sawahnya namun karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam hal produksi benih sehingga kelangkaan benih masih terus dirasakan. Benih Unggul merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan budidaya tanaman dan perannya tidak dapat di gantikan oleh faktor lain, karena benih sebagai bahan tanaman dan sebagai pembawa potensi genetik terutama untuk varietas-varietas unggul. Keunggulan varietas dapat dinikmati oleh konsumen bila benih yang ditanam bermutu.Dalam pertanian modern, benih/bibit berperan sebagai paket keunggulan teknologi bagi petani dan konsumen lainnya. Paket keunggulan teknologi tersebut harus dapat terus berkembang dan dapat tersedia secara tepat (Hidayat, 2006). Keunggulan varietas dan mutu benih merupakan justifikasi utama untuk membangun sistem produksi benih bersertifikat (Tripp, 1995). Penyediaan benih unggul memegang peranan yang menonjol diantara teknologi yang dihasilkan melalui penelitian, baik dalam kontribusinya terhadap peningkatan hasil persatuan luas maupun sebagai salah satu komponen utama dalam pengendalian hama dan penyakit. Selain itu, varietas unggul dinilai mudah diadopsi petani dengan tambahan biaya yang relatif murah dan memberikan keuntungan langsung kepada petani. Salah satu pendekatan sistem produksi benih unggul yang dapat dilakukan di Sulawesi Barat saat ini adalah Pengembangan Penangkaran Benih Berbasis Masyarakat, di mana masyarakat tani secara berkelompok (poktan) didorong memproduksi sendiri kebutuhan benihnya pada hamparan kelompoknya, sehingga akan lebih menghemat waktu dan biaya, dan untuk selanjutnya dapat menjadi unit produksi benih sumber yang berorientasi agribisnis. Upaya yang diperlukan untuk mendukung hal tersebut antara lain peningkatan kemampuan para penangkar serta penguatan kelembagaan mereka melalui penyuluhan dan pendampingan. Varietas-varietas berdaya hasil tinggi yang telah diproduksi Badan Litbang Pertanian perlu ditawarkan kepada para petani untuk memperkaya pilihan mereka, baik yang sudah berkembang, maupun varietas baru yang berpeluang sebagai produk agribisnis kedepan yang dapat mendorong peningkatan pendapatan dan kesejahteraan para petani dan masyarakat pada umumnya. Kiat-kiat atau langkah-langkah yang perlu diperhatikan untuk memproduksi benih unggul adalah sebagai berikut:
Sedangkan untuk pupuk urea, takaran dan waktu pemberiannya disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dengan menggunakan teknologi Bagan Warna Daun (BWD). Pemupukan dengan menggunakan BWD adalah sebagai berikut: Apabila pengujian seperti di atas tidak memungkinkan, maka dapat digunakan anjuran umum pemupukan sebagai berikut: 120-240 kg urea, 100-120 kg SP36, dan 100-150 kg KCl per hektar. dengan waktu pemberian sebagai berikut:
Pada musim hujan, takaran pupuk dianjurkan lebih rendah daripada musim kemarau.
Untuk tujuan tersebut, pertanaman petak pembanding (pertanaman check plot) dengan menggunakan benih autentik sangat disarankan. Pertanaman ini digunakan sebagai referensi/acuan di dalam melakukan rouging dengan cara memperhatikan karakteristik tanaman dalam berbagai fase pertumbuhan sebagaimana yang tercantum dalam Tabel 4. Rouging atau seleksi tanaman atau rumpun yang menyimpang dilakukan pada beberapa tahap yaitu: (a) Stadia Vegetatif Awal (35-45 HST) (b) Stadia Vegetatif akhir/anakan maksimum (50-60 HST) (c) Stadia Generatif awal/berbunga (85-90 HST) (d) Stadia generative akhir/masak (100-115 HST). Panen dan Pengolahan Benih Saat panen yang tepat adalah pada waktu biji telah masak fisiologis, atau apabila sekitar 90-95% malai telah menguning. Benih padi ketika baru dipanen masih tercampur dengan kotoran fisik dan benih jelek. Oleh karena itu, bila pertanaman benih telah lulus dari pemeriksaan lapangan, masalah mutu benih padi setelah panen biasanya berasosiasi dengan mutu fisiologis, mutu fisik dan kesehatan benih. Salah satu variabel dari mutu fisiologis benih yang mulai menarik perhatian petani adalah status vigor benih. Vigor benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh cepat, serempak dan berkembang menjadi tanaman normal dalam kisaran kondisi lapang yang lebih luas. Untuk menjamin ini, maka tak pelak lagi cara panen yang baik, perontokan, pembersihan, dan cara pengeringan gabah untuk benih akan menentukan mutu benih. Faktor yang paling utama adalah pengeringan benih, benih harus dikeringkan sampai kadar air mencapai 10-12%. Setelah menjadi benih dan siap simpan, benih harus dikemas secara baik dan disimpan ditempat dengan kondisi khusus untuk penyimpanan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses panen dan pengolahan benih adalah sebagai berikut: a. Persiapan Panen Lahan pertanaman untuk produksi benih dapat dipanen apabila sudah dinyatakan lulus sertifikasi lapangan oleh BPSB. Sebelum panen dilakukan, semua malai dari kegiatan roguing harus dikeluarkan dari areal yang akan dipanen. Hal ini untuk menghindari tercampurnya calon benih dengan malai sisa roguing. Selain itu, perlu disiapkan peralatan yang akan digunakan panen (sabit, karung, terpal, alat perontok (threser), karung dan tempat/alat pengering) serta alat-alat yang akan digunakan untuk panen dibersihkan. b. Proses Panen Dua baris tanaman yang paling pinggir sebaiknya dipanen terpisah dan tidak digunakan sebagai calon benih. Panen dapat dilakukan dengan potong tengah jerami padi kemudian dirontok dengan threser atau potong bawah lalu digebot. Calon benih kemudian dimasukan ke dalam karung dan diberi label yang berisi : nama varietas, tanggal panen, asal pertanaman dan berat calon benih.; lalu diangkut ke ruang pengolahan benih. c. Pengeringan Benih Penurunan kadar air perlu harus segera dilakukan karena pada umumnya calon benih masih mempunyai kadar air panen yang tinggi. Pada tingkat kadar air yang tinggi, calon benih bisa diangin-anginkan terlebih dahulu sebelum dikeringkan. Pengeringan benih dapat dilakukan dengan cara penjemuran dan pastikan lantai jemur bersih dan beri jarak yang cukup antar benih dari varietas yang berbeda. Gunakan lamporan/alas di bagian bawah untuk mencegah suhu penjemuran yang terlalu tinggi di bagian bawah hamparan. Lakukan pembalikan benih secara berkala dan hati-hati. Lakukan pengukuran suhu pada hamparan benih yang dijemur dan kadar air benih setiap 2-3 jam sekali serta catat data suhu hamparan dan kadar air benih tersebut. Pengeringan dilakukan hingga mencapai kadar air yang memenuhi standar mutu benih bersertifikat (13% atau lebih rendah) d. Pengolahan Benih Pengolahan benih pada umumnya meliputi pembersihan benih, pemilahan (grading) dan perlakuan benih (jika diperlukan). Tujuan pembersihan ini selain memisahkan benih dari kotoran (tanah, jerami, maupun daun padi yang terikut) juga untuk membuang benih hampa. Pembersihan benih dalam skala kevil dapat dilakukan secadapat dilakukan secara manual dengan menggunakan nyiru (ditapi). Sedangkan pada skala produksi yang lebih besar, penggunaan mesin pembersih benih seperti air screen cleaner atau aspirator akan meningkatkan efisiensi pengolahan. e. Pengemasan Benih Pengemasan benih selain bertujuan untuk mempermudahkan di dalam penyaluran/transportasi benih, juga untuk melindungi benih selama penyimpanan terutama dalam mempertahankan mutu benih dan menghindari serangan insek. Oleh karena itu, efektifitas atau tidaknya kemasan sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam mempertahankan kadar air, viabilitas benih dan serangan insek. Pengemasan sementara selama pengolahan benih berlangsung atau setelah selesai pengolahan sampai menunggu hasil uji lab keluar dan label selesai dicetak, benih dapat dikemas dalam karung plastik yang dilapis dengan kantong plastik di bagian dalamnya. Sedangkan untuk tujuan komersial/pemasaran benih, benih sebaiknya dikemas dengan menggunakan kantong plastik tebal 0.08 mm atau lebih dan di-sealed/ dikelim rapat. Pengemasan dilakukan setelah hasil uji lab terhadap contoh benih dinyatakan lulus oleh BPSB dan label selesai dicetak. Label benih dimasukan ke dalam kemasan sebelum di-sealed. Pengemasan dan pemasangan label benih harus dilakukan sedemikian rupa, agar mampu menghindari adanya tindak pemalsuan. f. Penyimpanan Benih Kondisi penyimpanan yang baik adalah kondisi penyimpanan yang mampu mempertahankan mutu benih seperti saat sebelum simpan sepanjang mungkin selama periode simpan. Daya simpan benih dipengaruhi oleh sifat genetik benih, mutu benih awal simpan dan kondisi ruang simpan. Oleh karena itu, hanya benih yang bermutu tinggi yang layak untuk disimpan. Sedangkan kondisi ruang yang secara nyata berpengaruh terhadap daya simpan benih adalah suhu dan kelembaban ruang simpan. Penulis: Religius Heryanto, S.ST Page 8
Berasan jagung termodifikasi yaitu berasan jagung yang telah disosoh dan dipecah menjadi butiran yang lebih kecil, kemudian diproses dengan perendaman menggunakan starter mikroba. Direbus, lalu dikeringkan, dan dikemas. Dengan perendaman mikroba tersebut terjadi fermentasi yang terkendali, sehingga mutu berasan jagung konsisten. Dan dengan adanya fermentasi maka akan meningkatkan nilai cerna pati produk, dan dengan proses ini akan mempercepat waktu tanak berasan jagung tersebut. Keunggulan:
Manfaat:
Inventor:
Sumber : BB Pasca Panen Page 9
Model Agroindustri Padi Terpadu adalah strategi usaha penggilingan padi terpadu yaitu beras menjadi bentuk keuntungan dan mengoptimalkan pengolahaan hasil samping dan limbah menjadi produk bernilai komersial sebagai pendapatan tambahan. Keunggulan:
Manfaat:
Inovator : Sumber: BB Pasca Panen Page 10
Dedak padi merupakan salah satu produk samping dari penggilingan padi. Di dalam dedak terdapat minyak dedak padi dengan kandungan nutrisi berupa tocopherol, tocotrienol dan oryzanol. Nutrisi tersebut merupakan antioksidan alami yang membantu melawan radikal bebas pada tubuh, terutama penyakit kanker. Berdasarkan kandungan nutrisinya, minyak dedak padi berpeluang diproses lebih lanjut untuk meningkatkan nilai tambahnya dalam bentuk food suplement, dengan menggunakan metode ekstraksi pengadukan dengan pelarut. Keunggulan :
Hasil Penelitian Tahun 2007 :
Sumber; BB Pasca Panen Page 11
Pendahuluan Kandungan bahan organik tanah sebagian besar lahan di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir menurun drastis bahkan sangat rendah. Sebagian besar lahan sawah maupun lahan perkebunan mempunyai kandungan bahan organik yang sangat rendah (<2%) . Terabaikanya pengembalian bahan organik kedalam tanah dan intensifnya penggunaan pupuk kimia pada lahan pertanian menyebabkan mutu fisik dan kimia tanah menurun atau yang disebut kelelahan lahan (land fatigue). Kodisi tanah yang demikian menyebabkan biota tanah yang berpengaruh terhadap fiksinasi nitrogen dan kelarutan fosfat menurun, miskin hara mikro, perlindungan terhadap penyakit rendah, boros terhadap penggunaan pupuk dan air, serta tanaman peka terhadap kekeringan. Untuk mengatasi penurunan bahan organik tahan khususnya pada laha-lahan kakao rakyat Sulawesi barat, dilakukan pembuatan pupuk organik berbahan baku lokal, seperti sisa-sisa tanaman, pangkasan pohon pelindung, kulit buah kakao, daun kakao yang sudah kering dan sisa pemangkasan kakao. Untuk mempercepat proses pelapukan bahan organik tersebut digunakan beberapa jenis mikroba;
Mikroba tersebut telah dipasarkan, dalam bentuk kemasan dengan merk PROMI. Bahan-Bahan Kulit kakao, ranting, rumput-rumputan, jerami, serasahan, kotoran ternak/pupuk kandang (dapat terpisah atau sebagai campuran). Peralatan Peralatan yang digunakan antara lain sabit/parang, bak/drum untuk tempat air, ember untuk menyimpan aktivator, kayu sebagai penganduk, gembor untuk menyemprot, sekop, cangkul/garpu. Dosis Dosisnya adalah 1 kg promi untuk 1 ton bahan. Proses Pembuatan
Pengamatan setelah dinikubasi selam 21-30 hari, amati tumpukan sampah tersebut. Proses pengomposan berhasil baik jika:
Lakukan tindakan berikut jika:
Ciri-ciri kompos matang
Informasi lebih Lanjut hubungi: Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) Sulawesi Barat Kompleks Perkantoran Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat Jln. H. Abdul Malik Pattana Endeng Mamuju-Sulawesi Barat Telp /fax : 0426 - 232 1830 e-mail:This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. Page 12Inventor : Z. A. Simanulang Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Padi varietas Situ Bagendit adalah salah satu varietas padi gogo, tetapi mampu tumbuh baik pada lingkungan lahan sawah. Tanaman ini mempunyai tinggi antara 99 - 105 cm, dengan umur tanaman 110 - 120 hari setelah sebar (HSS). Varietas Situ Bagendit memiliki bentuk biji ramping, warna gabah kuning bersih, dengan bobot 1000 butir adalah 27,5 gram. Varietas ini mempunyai anakan produktif 12 - 13 batang/rumpun. Varietas ini tahan terhadap penyakit blas, agak tahan terhadap penyakit hawar daun, dan tahan terhadap penyakit tungro. Varietas ini menghasilkan tekstur nasi pulen, rata - rata produksi 4,0 ton GKP/ha pada lahan kering dan 5,5 ton GKP/ha pada lahan sawah. Dengan potensi hasil yang demikian, varietas ini dapat memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan produksi padi nasional, ketahanan pangan, dan pendapatan petani. Varietas ini sudah banyak dimanfaatkan oleh penangkar benih dan petani terutama pada lahan kering, atau lahan sawah dengan irigasi sederhana. Page 13
Limbah kulit buah kakao (KBK) merupakan pakan yang potensial karena tersedia sepanjang tahun, mudah diperoleh dan mengandung nutrisi tinggi. Buah kakao (pode) terdiri atas 70 – 80 % kulit dan plasenta yang merupakan limbah, selebihnya adalah biji. Dalam 1 hektar areal pertanaman kakao produktif dapat menghasilkan limbah kulit buah segar sebanyak 5 ton/ha/tahun, atau setara dengan 812 kg tepung limbah. Kulit buah dengan kandungan protein kasar sebesar 6 – 9 % sangat baik dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia. Pemanfaatan KBK sebagai pakan, secara otomatis menciptakan kondisi lahan pertanaman kakao menjadi bersih dan dapat menekan serangan hama dan penyakit, seperti PBK dan Busuk Buah. Pembuatan silase sangata mudah, bahan bakunya pun mudah diperoleh dari bahan lokal yang tersedia, seperti KBK, dedak padi, dan lain-lain. Silase dari KBK dapat disimpan selama 6-8 bulan dalam kondisi kedap udara. Penambahan protein hijau-hijauan seperti daun gamal dan daun kalidra dapat memperkaya nilai gizi silase KBK sehingga dapat meningkatkan produktifitas ternak. Cara Pembuatan :
Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Membuat Silase KBK :
Ciri – Ciri Silase KBK Yang Baik :
Penggunaan Silase KBK :
Tabel Komposisi Kimia Silase KBK Dan Rumput Gajah
Sumber; Leaflet LPTP Sulbar
|