Bagaimana kondisi Indonesia saat mengalami krisis ekonomi

Jakarta--Sejumlah negara di Asia diguncang masalah hebat di sektor keuangan. Mereka juga menghadapi membengkaknya kredit yang berpotensi macet. Inikah awal krisis keuangan?

&ldquoPertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia mulai meredup, kata Iwan Jaya Azis, Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional ADB. Dalam catatan saya, tiga bulan terakhir ini, terjadi penurunan sampai 50%. Asia sudah bukan lagi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.

Iwan betul. China, India, Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan yang selama satu dekade ini menjadi pemimpin pertumbuhan, belakangan ekonominya berjalan lambat. Tahun ini perekonomian China diperkirakan hanya tumbuh 7,7%. Padahal, sebelumnya bisa mencapai 8,4%-8,8%. India pun demikian. Kalau sebelumnya rata-rata mampu tumbuh 6,5%-7% setiap tahun, tapi tahun ini diproyeksikan hanya 5,7%.

Begitu pula dengan Indonesia. Data yang dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, ekonomi Indonesia pada kuartal II-2013 hanya tumbuh 5,81%. Ini merupakan performa terburuk sejak tahun 2010.

Itulah kenapa, Menteri Keuangan Chatib Basri begitu pesimistis target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3% pada akhir tahun 2013 bisa tercapai. "Dari kondisi ini kita harus realistis. Kelihatannya 6,3% juga agak susah dicapai, ada risiko bahwa pertumbuhan ekonomi di bawah 6,3%," katanya.

Sebaliknya negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Eropa yang dulu dilanda krisis keuangan, kini perlahan-lahan ekonominya mulai membaik. Bahkan, Untuk pertama kali sejak pertengahan tahun 2007, sejumlah negara maju seperti AS, Jepang, dan Eropa menyumbang sebesar US$ 74 triliun bagi perekonomian dunia, demikian laporan Bridgewater Associates LP.

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memprediksi, tahun ini ekonomi AS bisa tumbuh 1,9% dan tahun 2014 bisa mencapai 2,8%. Perekonomian Eropa bakal tumbuh 0,6% dan tahun depan 1,1%, kata Angel Gurria, Sekjen OECD.

Efek The Fed

Itulah sebabnya, Gubernur The Fed (bank sentral) AS, Ben Bernanke, berencana mengurangi pembelian obligasi atau pengurangan kebijakan memperlonggar likuiditas (quantitative easing). The Fed berniat mengurangi pembelian obligasi dari US$ 85 miliar per bulan menjadi US$ 60 miliar mulai September sampai Desember 2013.

Celakanya, rencana The Fed ini membuat investor di seluruh dunia panik. Maklum, selama periode 2009 hingga 2012 stimulus moneter tahap I, II, dan III di AS banyak dananya yang mengalir ke negara-negera berkembang, termasuk Indonesia. Akibatnya, pasar modal dan pasar utang negara (SUN) menjadi begitu aktif.

Kini, setelah The Fed akan mengeluarkan kebijakan itu, para pemilik modal mulai waswas. Mereka berpikir harus mengamankan kekayaannya. Para investor pun beramai-ramai melepas asetnya di berbagai instrumen investasi yang dianggap berisiko tinggi. Mereka lebih aman dan nyaman dengan menggenggam dolar AS.

Aksi lepas barang yang dilakukan investor terlihat jelas pada perdagangan saham di hampir seluruh bursa dunia, tak terkecuali di Bursa Efek Indonesia. Sejak dua bulan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus tergerus. Dan, sejak itu pula, asing selalu mencatatkan net sell.

Aksi lepas barang yang dilakukan investor terlihat jelas pada perdagangan saham di hampir seluruh bursa dunia, tak terkecuali di Bursa Efek Indonesia. Sejak dua bulan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus tergerus. Dan, sejak itu pula, asing selalu mencatatkan net sell.

Lihat saja pada Juni 2013. Sepanjang bulan itu, ada Rp 20,7 triliun dana asing yang keluar (net sell) dari pasar modal. Lalu, selama dua minggu di bulan Juli, tercatat net sell asing sebesar Rp 4,5 triliun.

Puncaknya terjadi pada transaksi sesi II, Selasa pekan lalu, dana asing yang hengkang dari pasar saham sekunder menyentuh rekor tertinggi, yakni sebesar Rp 2,26 triliun. Ini adalah rekor tertinggi sejak awal 2013.

Sudah bisa ditebak apa yang terjadi pada kondisi seperti ini. Kini, IHSG berkubang di level 4.100-an. Padahal sebelumnya, selama 6 bulan, IHSG anteng di atas 5.000.

Aksi jual oleh investor itulah, yang membuat nilai tukar rupiah ikut jeblok. Bahkan, sejak tanggal 19 hingga 23 Agustus 2013, rupiah sudah di atas Rp 10.500 per dolar AS. Hari Kamis pekan lalu, rupiah akhirnya menembus Rp 11 ribu per dolar AS. Ini merupakan level tertinggi sejak 8 September 2009. Beruntung sehari kemudian, rupiah ditutup Rp 10.850 per dolar AS.

Tak hanya pasar uang dan pasar modal Indonesia yang terguncang. Kebijakan The Fed itu juga membuat mata uang regional anjlok. Nilai rupee India turun dari 64,72 rupee menjadi 65,15 rupee per dolar AS. Bahkan, rupee sempat menyentuh rekor terendah 65,27 rupee per dolar AS.

Baht Thailand juga melemah dari 31,77 baht menjadi 32,12 baht per dolar AS. Sejumlah mata uang di negara-negara Asia juga mengalami nasib sama.

India memang yang paling parah dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Seiring pelemahan rupee, Sensex Index&mdashindeks acuan saham India--sampai anjlok 1,5% menjadi 17.979,06. Ini merupakan level terendah sejak 11 September 2012.

Selain itu, dana panas yang keluar dari pasar saham dan obligasi India juga kian meningkat, dengan nilai mencapai US$ 12 miliar.

Malaysia tak ketinggalan kena getahnya. Dana asing eksodus dari negeri jiran itu seiring dengan suku bunga di AS yang melambung. &ldquoDi Malaysia, risiko utama arus modal berasal dari besarnya obligasi yang dimiliki asing, demikian tulis Credit Suisse.

Obligasi pemerintah berdenominasi ringgit sebagian besar dimiliki asing. Juni lalu pemodal asing melepas obligasi pemerintah senilai 6,6 miliar ringgit, atau US$ 2,04 miliar. Ini adalah jumlah terbesar modal keluar yang dibukukan Malaysia dalam waktu satu bulan.

Digerogoti Defisit

Apakah ini pertanda Asia sedang terancam krisis keuangan? Bisa jadi. Lihat saja masalah yang sedang dihadapi Korea Selatan. Negeri Ginseng yang selama ini perekonomiannya adem ayem, kini sedang dililit masalah kredit rumah tangga yang sangat besar. Volumenya jauh lebih besar dibandingkan utang Yunani, ujar Iwan Jaya Azis (lihat: Bisa Saja Krisis Moneter Terulang). Sekadar mengingatkan, Yunani mengalami krisis ekonomi terparah di Uni Eropa.

Indonesia tak kalah mengkhawatirkan. Saat ini, ekonomi Indonesia sedang digerogoti empat defisit sekaligus, yakni defisit neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan, defisit neraca pembayaran, dan defisit primer APBN. Kondisi ini belum pernah dialami Indonesia sebelumnya. Kondisi inilah yang menggerus kepercayaan investor pasar modal dan pasar uang, sehingga mereka membawa dananya keluar.

Itulah kenapa, banyak kalangan mengatakan anjloknya nilai rupiah dan IHSG bukan semata-mata faktor The Fed yang akan mengurangi pembelian obligasi. Soal defisit perdagangan, misalnya. Selama semester I-2013, neraca perdagangan defisit sampai US$ 3,31 miliar, atau ekspor US$ 91,05 miliar, sedangkan impor mencapai US$ 94,36 miliar. Artinya, selama enam bulan itu dolar AS banyak dibeli untuk keperluan impor.

Celakanya, Indonesia mulai digelayuti inflasi yang tinggi. Pada Juli 2013, menurut BPS, inflasi mencapai 3,29%. Ini merupakan angka inflasi bulanan tertinggi sejak Oktober 2005 atau dalam 80 bulan terakhir.

Bahkan, Menteri Keuangan Chatib Basri memprediksi, inflasi tahun 2013 bisa menembus 8%. Bila benar, angka tersebut jauh di atas target pemerintah dalam APBN-P 2013 yang dipatok 7,2%. Rasanya sulit mencapai 7,2%, ujar Chatib.

Tingginya inflasi, lantaran sejak Juni lalu pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, yang langsung mendongkrak harga barang dan transportasi. Akibatnya, daya beli masyarakat merosot cukup tajam.

Asal tahu saja, sertiap satu persen kenaikan inflasi akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Kalau pertumbuhan ekonomi tergerus inflasi, akibatnya banyak angkatan kerja yang tidak bisa diserap.

Lantaran itulah, Jumat pekan lalu pemerintah mengeluarkan 13 paket kebijakan untuk menyelamatkan ekonomi nasional. Paket kebijakan ini meliputi kebijakan fiskal, moneter, pasar modal hingga industri.

"Harapannya, paket kebijakan ini mampu menurunkan defisit transaksi berjalan di kuartal III dan kuartal IV. Ini juga akan menjaga iklim dunia usaha dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi dijaga pada level yang realistis," ujar Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. (inc-PR)

Jakarta -

Beberapa bulan belakangan ini, masyarakat ramai memperbincangkan keadaan ekonomi di beberapa negara karena adanya pandemi COVID-19. Beberapa negara di dunia rentan mengalami krisis ekonomi akibat pandemi.

Pandemi yang terjadi secara global menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi menjadi macet, sehingga mudah terkena krisis ekonomi.

Apa itu krisis ekonomi, penyebab, dan dampaknya bagi negara?

Krisis ekonomi adalah istilah yang digunakan pada bidang ekonomi, mengacu pada penurunan drastis di dalam perekonomian suatu negara.

Menurut BusinessDictionary, definisi krisis ekonomi adalah "A situation in which the economy of a country experiences a sudden downturn brought on by a financial crisis." Artinya yaitu situasi di mana perekonomian suatu negara mengalami penurunan mendadak yang diakibatkan oleh krisis keuangan.

Perubahan ekonomi yang terjadi secara cepat ini mengarah pada turunnya nilai tukar mata uang dan harga kebutuhan pokok yang semakin tinggi. Fundamental ekonomi yang rapuh, juga tercermin dari laju inflasi yang tinggi.

Secara umum, negara yang menghadapi keadaan ini akan mengalami beberapa gejala.

Di antaranya mengalami penurunan kemampuan belanja pemerintah, jumlah pengangguran melebihi 50% dari jumlah tenaga kerja, penurunan konsumsi, kenaikan harga bahan pokok yang tidak terbendung, penurunan nilai tukar yang tajam dan tidak terkontrol, penurunan PDB (Produk Domestik Bruto), harga properti, dan saham anjlok, dan lain sebagainya.

Kejadian ini dapat dikategorikan sebagai krisis ekonomi jika berlangsung dalam waktu yang lama. Bisa dalam hitungan tahun, bahkan hingga beberapa dekade.

Fenomena ini sangat mengerikan. Pasalnya, banyak sekali pihak yang dirugikan jika terjadi krisis ekonomi di suatu negara.

Dalam jangka panjang, masyarakat bisa mengalami keresahan dan kekacauan sosial. Bahkan kondisi paling buruknya, negara bisa mengalami kejatuhan di bidang penegakan hukum dan ketertiban.

Penyebab Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi dapat disebabkan karena berbagai hal. Merangkum dari berbagai sumber, berikut beberapa di antara penyebabnya:

1. Hiperinflasi

Saat negara mengalami inflasi, sudah seharusnya pemerintah berusaha mengatasinya dengan baik. Jika tidak, inflasi yang berlangsung terlalu lama akan merugikan rakyat serta negara.

Bila sudah terlalu lama, keadaan ini akan berlanjut menjadi hiperinflasi. Biasanya ini terjadi saat pemerintah mencetak uang secara berlebihan.

Akibatnya, harga komoditas dan jasa akan naik secara bertahap. Lalu, pemerintah bisa kehilangan kendali atas kenaikan harga. Ketika pemerintah menaikkan suku bunga untuk mengelola percepatan inflasi, kondisi ini akhirnya mengarah pada hiperinflasi.

2. Utang negara yang berlebihan

Penyebab selanjutnya adalah karena terlalu banyak beban utang negara sehingga kesulitan membayarnya. Sama seperti perusahaan, ketika memiliki terlalu banyak utang dan tidak mampu membayar, maka dipastikan akan segera bangkrut.

3. Jatuhnya Pasar Saham

Pasar saham bisa mengalami kejatuhan yang disebabkan karena hilangnya kepercayaan investor di pasar. Akibatnya, harga saham pun mengalami penurunan yang dramatis.

Jika kehancuran pasar saham terjadi, maka akan tercipta pasar beruang. Ini terjadi jika harga turun hingga 20% atau lebih dari titik tertinggi untuk mencapai titik terendah baru.

Hal ini dapat menguras modal bisnis.
Bila kenaikan harga saham terjadi secara berkepanjangan, maka akan terjadi crash atau rasio perolehan harga melebihi rata-rata jangka panjang.

Selain itu, dapat terjadi penggunaan utang margin dalam jumlah berlebihan oleh para pelaku pasar.

4. Stagflasi

Stagflasi akan dirasakan suatu negara jika sudah mengalami tingkat inflasi yang tinggi sekaligus perekonomiannya tumbuh dengan lambat.

Situasi ini akan membuat para pembuat kebijakan mengalami dilema untuk menetapkan langkah yang tepat. Namun, pemerintah tentu tidak tinggal diam.

Masalahnya, kebijakan yang diambil untuk menekan angka inflasi bisa meninggikan tingkat pengangguran. Hal ini tentu akan menambah masalah baru secara ekonomi, sosial, maupun hukum.

Saat negara mengalami stagflasi, pengaruhnya bisa berlangsung hingga beberapa tahun hingga sekian dekade.

Klik halaman berikutnya

Simak Video "Dunia Alami Krisis Energi-Finansial, Jokowi Bersyukur RI Masih Terjaga"


[Gambas:Video 20detik]