Bagaimana kebijakan pemerintah pada orde lama tentang keluarga berencana

Pemerintah Orde Lama menerapkan kebijakan Keluarga Berencana untuk mengatur laju pertumbuhan penduduk di Indonesia. Kebijakan Keluarga Berencana diperkenalkan kepada masyarakat melalui banyak cara, seperti iklan, sosialisasi dari petugas medis, dan artikel-artikel di koran. Kebijakan Keluarga Berencana adalah salah satu bentuk dari perubahan sosial, yaitu ….

  1. perubahan sosial dikehendaki

  2. perubahan sosial tidak dikehendaki

Program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dirintis oleh para ahli kandungan sejak tahun 1950-an. Yuk, ketahui lebih dalam tentang program KB nasional indonesia bersama dr. Fiona Amelia, MPH di sini.

Bagaimana kebijakan pemerintah pada orde lama tentang keluarga berencana

null Sejarah singkat Program Keluarga Berencana (KB) Nasional

Program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dirintis oleh para ahli kandungan sejak tahun 1950-an dengan maksud untuk mencegah angka kematian ibu dan bayi yang tinggi pada waktu itu.

Pada tahun 1957, terbentuklah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang merupakan organisasi sosial yang bergerak dalam bidang KB. Namun, aktivitasnya banyak mendapat hambatan, terutama dengan adanya KUHP nomor 283 yang melarang penyebarluasan gagasan mengenai keluarga berencana.

Pada tahun 1967, akhirnya PKBI diakui sebagai badan hukum oleh Departemen Kehakiman. Dalam Kongres Nasional I PKBI di Jakarta, diambil keputusan bahwa dalam usahanya mengembangkan dan memperluas program KB, PKBI akan bekerjasama dengan instansi pemerintah. Pada tahun itu juga, Presiden Soeharto menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia yang berisi kesadaran pentingnya merencanakan jumlah anak dan menjarangkan kelahiran sebagai hak asasi manusia

Setelah urun rembuk dengan para menteri serta tokoh masyarakat yang terlibat dalam usaha KB, pada tanggal 17 Oktober 1968 dibentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) dengan status sebagai Lembaga Semi Pemerintah. Kemudian pada tahun 1970, ditetapkanlah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan dr. Suwardjo Suryaningrat sebagai kepalanya. Pada tahun 1972, lembaga ini resmi menjadi Lembaga Pemerintah Non-departemen yang berkedudukan langsung di bawah Presiden.

Kejayaan di masa Orde Baru

Di era Orde Baru, program KB sangat berjaya karena mendapat dukungan langsung dari Presiden Soeharto. Pada waktu itu, seluruh jajaran Departemen/Kementerian hingga Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan Lurah, serta TNI sangat berkomitmen dalam melaksanakan program keluarga berencana.

Tak hanya dukungan dari dalam negeri, dukungan dana dari luar negeri dan Bank Dunia sangat besar. Selama masa itu, promosi program KB berhasil menggugah seluruh masyarakat hingga ke pelosok-pelosok Indonesia.

Pada tahun 1970 hingga 1980, penyelenggaraan program KB Nasional dikenal dengan sebutan “Management for the People”. Pada periode ini, pemerintah lebih banyak berinisiatif dan partisipasi masyarakat sangat rendah. Pasalnya, program ini sangat berorientasi target dan implementasinya sehingga terkesan kurang demokratis dengan hadirnya TNI dan Polisi pada pelaksanaan kegiatan seperti KB massal.

Seiring berjalannya waktu, implementasi program yang bersifat “top-down approach” ini berubah menjadi Gerakan Keluarga Berencana di tahun 1980-an. Pola kebijakan program KB Nasional berubah menjadi “Management with the People”. Unsur pemaksaan dikurangi dan masyarakat dibebaskan untuk memilih kontrasepsi yang ingin dipakainya.

Program KB di era Orde Baru ini berhasil mencapai target nasional. Keberhasilannya juga diakui oleh dunia internasional dengan diperolehnya penghargaan United Nation (UN) Population Award oleh UNFPA pada tahun 1989.

Stagnasi target program KB Nasional

Sejak program KB Nasional diakui dunia internasional, banyak negara berkembang menjadikan Indonesia sebagai model untuk membangun program KB Nasional yang kuat. Alasannya jelas dan terukur, sebab selama bertahun-tahun, Indonesia memiliki gerakan keluarga berencana yang terkuat dan tersukses di dunia. Jumlah pengguna kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate/CPR) meningkat dua kali lipat hingga mencapai 60% antara tahun 1976 dan 2002. Angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) berkurang hingga setengahnya, dari 5.6 menjadi 2.6 anak per wanita. Prestasi ini menjadi dasar bagi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup stabil, yaitu sebesar 5% per tahun sejak tahun 1980.

Namun, kemajuan yang sangat baik ini mengalami stagnasi (kemacetan). Hasil Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) sejak tahun 2002-2012 memperlihatkan angka kelahiran total Indonesia masih 2.6 anak per wanita. Jumlah pengguna kontrasepsi hanya meningkat sedikit, yaitu 1.5% per tahun dan angka kematian ibu masih tinggi di 190 kematian per 100.000 kelahiran hidup.

Salah satu hal yang berperan besar dalam stagnasi ini adalah adanya desentralisasi program KB dari tingkat nasional ke daerah, yang sering kali mengakibatkan kebingungan peran dan tanggung jawab di antara pelaksananya hingga tidak dilaksanakan kegiatan sama sekali.

Revitalisasi program KB Nasional

Kurangnya dana dan komitmen dari pemerintah memperlambat kemajuan program selama 15 tahun terakhir. Dengan bergabungnya Indonesia di London Summit pada tanggal 11 Juli 2012, diharapkan program KB Nasional bisa bangkit kembali.

Forum ini merupakan sebuah komunitas global yang berkomitmen menyukseskan program KB Nasional. Tujuan utamanya adalah mengurangi angka kelahiran total melalui peningkatan pengguna kontrasepsi.

Pada awal 2016, Presiden Joko Widodo meresmikan kampung KB di salah satu desa di Jawa Barat. Pelayanan KB diberikan secara gratis melalui program jaminan kesehatan nasional. Fasilitas dan tenaga kesehatan juga ditingkatkan kualitasnya agar target program tercapai.

Upaya ini juga didukung oleh alokasi dana yang jauh lebih besar. Dana yang disediakan untuk program KB nasional meningkat 5 kali lipat, dari 700 M pada tahun 2006 menjadi 3,8 T Rupiah pada tahun 2016. Alokasi dana ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia untuk program keluarga berencana.

Revitalisasi ini sudah mulai terlihat hasilnya di mana survey internal BKKBN pada tahun 2015 menunjukkan penurunan angka kelahiran total Indonesia menjadi 2.3 anak per wanita dan jumlah pengguna kontrasepsi sebanyak 60.2%.  Diharapkan angka ini terus membaik hingga mencapai targetnya, yaitu 2.1 anak per wanita dan cakupan pengguna kontrasepsi menjadi 66.3%.

Untuk mencapai target, perlu adanya peningkatan akses infromasi dan promosi program KB. Namun kenyataannya saat ini, masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak menyadari bahwa program KB ini ada sekalipun mereka tinggal di daerah perkotaan. Survey internal BKKBN pun menunjukkan bahwa di antara wanita yang menggunakan kontrasepsi, hanya 29.3% yang mendapat cukup informasi.

Tantangan dan harapan

Direktur Bill & Melinda Gates Institution, Jose Oying Rimon, menyatakan bahwa jumlah anak yang lebih sedikit akan meningkatkan jumlah usia produktif dan membuat pembangunan suatu negara lebih berkelanjutan.

Bank Dunia memperkirakan bahwa antara tahun 2010 dan 2030, Indonesia akan memiliki lebih banyak warga yang berusia produktif – yang disebut dengan bonus demografi. Bonus demografi ini merupakan prestasi emas BKKBN yang sudah berkarya sejak 45 tahun lalu.

Dengan lebih sedikitnya jumlah warga yang ditanggung – anak-anak dan lansia yang tidak bisa bekerja – pemerintah berkesempatan untuk berinvestasi sebesar-besarnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan kebersihan lingkungan. Ini merupakan kesempatan besar bagi Indonesia untuk menjadi bangsa yang sehat, stabil, dan sejahtera.

Selain itu, pemerintah juga harus membuka peluang kerja yang ada sebanyak-banyaknya agar dapat menyerap kelebihan tenaga kerja. Bila serapan tidak maksimal, masalah lain akan muncul, yaitu meningkatnya jumlah penggangguran terbuka.

Baca juga:

Kebijakan kependudukan dari masa ke masa terus mengalami transisi mulai dari kebijakan keluarga berencana, dimana setiap pemimpin yang berkuasa memiliki orientasi

serta arah kebijakan keluarga berencana yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tercipta karena perbedaan sudut pandang dalam menempatkan jumlah penduduk (populasi) sebagai objek atau faktor penunjang dalam tercapainya tujuan pembangunan sosial. Pada masa orde lama, kebijakan keluarga berencana kurang diperhatikan, soekarno menganggap bahwa jumlah penduduk yang besar merupakan asset Negara yang sangat penting, sehingga ia tidak menganjurkan adanya program keluarga berencana.

Dinamika transisi perubahan kebijakan Keluarga Berencana dari rezim ke rezim merupakan suatu fenomena yang menarik dalam kajian sejarah demografi, dan terlebih apabila fenomena tersebut dihubungkan dengan kondisi lonjakan pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini yang sangat pesat. Lonjakan Penduduk Indonesia Mengkhawatirkan Keluarga Berencana atau disingkat KB merupakan program yang ada di hampir setiap Negara berkembang, termasuk Indonesia, program ini bertujuan untuk mengontrol jumlah penduduk dengan mengurangi jumlah anak yang dilahirkan oleh perempuan usia 15- 49 tahun, yang kemudian disebut dengan angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR). dengan pengaturan jumlah anak tersebut diharapkan keluarga yang mengikuti program ini dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan mereka.

Penerapan keluarga berencana biasanya dilakukan pada saat pemerintah kurang mampu untuk mengimbangi tingkat laju pertumbuhan penduduk, dengan kebutuhan serta fasilitas yang dapat menjamin kesejahteraan penduduknya. Sebenarnya jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi penggerak yang kuat jika penduduknya berkualitas. Namun potensi dari jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar kurang mampu dioptimalkan oleh pemerintah, hal ini terlihat dari daya saing Indonesia yang masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Negara lain, bahkan negara-negara Afrika. Berdasarkan data Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), indeks pembangunan manusia Indonesia pada tahun 2010 menempati posisi ke-108 dari 169 negara, dan posisi keenam dari negara-negara di ASEAN.

Selain itu banyaknya jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan serta fasilitas, menimbulkan berbagai macam persoalan sosial, mulai dari meningkatnya angka kriminalitas, pemukiman kumuh, kemacetan, kerusakan lingkungan, persaingan yang ketat dalam memperoleh lapangan pekerjaan, hingga pelayanan kesehatan yang buruk. LPP Indonesia membesar selama 10 tahun terakhir, padahal 20 tahun sebelumnya selalu mengecil. Distribusi penduduk pun kurang merata,

luas dari pulau Jawa dan Madura yang kurang dari 7 persen dari total luas daratan Indonesia, masih harus menampung 57,64% atau sekitar 136 juta jiwa penduduk Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat ini disebabkan program Keluarga Berencana kurang mendapat prioritas dari pemerintah, baik itu pemerintah pusat dan daerah. Hal tersebut terlihat dari pemotongan jumlah anggaran bagi program Keluarga Berencana, serta setelah orde baru runtuh kementrian yang menangani kependudukan ditiadakan, sehingga terjadi kesulitan berkoordinasi dengan kementrian lain apabila terjadi permasalahan penduduk. Selain itu sistem pergantian kepemimpinan politik setiap 5-10 tahun membuat pemimpin lebih fokus dalam program jangka pendek demi menunjang keberlangsungan kekuasaan, hal tersebut tidak sejalan dengan hasil program kependudukan yang dampaknya baru dirasakan 20-30 tahun kemudian.

1. Pengendalian Penduduk Pra Proklamasi Kemedekaan

Kebijakan mengenai kependudukan sebenarnya sudah dimulai antara tahun 1920an dan 1930an, pada masa itu mulai terjadi pembatasan jumlah kelahiran, perdebatan tersebut terjadi di benua eropa, dan Amerika. Tidak terkecuali Hindia Belanda. Berkembangnya populasi yang sangat cepat di Jawa sebenarnya sudah dipredikasi pada tahun 1930, setelah diadakan sensus pada tahun 1930. Permasalahan penduduk di pulau Jawapun mulai terjadi, dimana menurut vandenbosch jumlah lahan yang telah diekploitasi untuk keperluan pertanian telah mencapai batasnya. Upaya untuk mengurangi angka kelahiran sebenarnya sudah disuarakan oleh van Valkeburg, namun sangat disayangkan bahwa pendapatnya kurang didengar, namun ia tetap gigih untuk memperjuangkan hal tersebut.

Berkembangnya jumlah penduduk yang sangat cepat merupakan implikasi dari adanya industrialisasi yang mulai digalakkan pemerintah Hindia Belanda. Pembangunan Industrialisasi dan usaha perkebunan tersentralkan dipulau Jawa, ketimbang pulau-pulau di luar Jawa. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa distribusi penduduk terbesar dari zaman kolonial hingga pasca proklamasi kemerdekaan tetap berada di pulau Jawa. Distribusi penduduk yang tidak merata juga menimbulkan beberapa persoalan sosial dan ekonomi. Upaya untuk melakukan kontrasepsipun sebenarnya sudah dilakukan, akan tetapi pada masa kolonial upaya tersebut terhambat oleh regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Pada masa itu pemerintah kolonial melarang adanya publikasi atau periklanan ala-alat kontarsepsi. Sehingga hanya sedikit alat-alat kontrasepsi yang diketahui oleh penduduk. Selain itu harga alat-alat kontrasepsi yang mahal, serta

moralitas agama turut menghambat adanya program keluarga berencana, sehingga angka kelahiran tetap saja tinggi.

Perang dunia ke dua juga telah menggangu isu-isu keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, karena pada massa tersebut pemerintah kolonial lebih terfokus untuk menghadapi ancaman serbuan Jepang ke Hindia Belanda.

2. Orde Lama dan Baby Boom

Setelah Hindia Belanda berhasil dikuasai dengan mudah, seluruh instansi kolonial di rombak total oleh pemerintah pendudukan Jepang, termasuk adanya kerjasama pemerintah pendudukan Jepang dengan para nasionalis Indonesia Sehingga Belanda mengalami kesulitan untuk berkuasa kembali ketika Perang Dunia berakhir, karena Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannnya. Pemerintahan Soekarno yang dimulai pada tahun 1945 memunculkan pemerintahan yang baru, atau disebut dengan orde lama. Awal pemerintahan Soekarno mendapatkan suatu tantangan untuk memulihkan kembali perekonomian yang hancur, dan yang paling penting ialah usaha untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda, yang ingin kembali berkuasa dengan melakukan dua kali agresi ke Indonesia, dan memecah belah persatuan dengan mendirikan negara boneka. Selain itu pemerintahan Soekarno juga disibukkan dengan konflik internal, yang terjadi di tubuh militer, serta pemberontakan-pemberontakan separatis.

Adanya situasi yang tidak kondusif serta kestabilan politik pada masa-masa awal pemerintahan Soekarno membuat program pemerintahan mengenai keluarga berencana menjadi tidak dapat diwujudkan, bahkan pada tahun 1950 Soekarno tidak memiliki gambaran tentang konsep keluarga berencana. Pada waktu yang sama, sejumlah negara berkembang mulai mengakui masalah tentang tingginya tingkat pertumbuhan penduduk yang mengacu pada perencanaan pembangunan, dan tingginya tingkat kesuburan yang juga mengacu pada kesehatan ibu dan anak. India dan China misalnya mengeluarkan kebijakan keluarga berencana pada tahun 1953 dengan tujuan untuk mengurangi tingkat kesuburan dan pertumbuhan. Walaupun India dan China telah mengeluarkan kebijakan program keluarga berencana, namun kondisi tersebut tidak berlaku di Indonesia. Karakteristik Soekarno yang berani, membuat ia menolak beberapa saran dari pemerintah asing khususnya negara-negara barat utuk tetap tidak melakukan program keluarga berencana.

Seperti yang dialami oleh Louis Fischer, dimana ia mengkritik kebijakan Soekarno yang tidak melakukan pengendalian tingkat kelahiran. Hal tersebut ia ungkapkan ketika mereka mengunjungi kompleks kumuh militer, lingkungan miskin, dan desa-desa di Jawa, Bali, dan Sulawesi. Setelah melihat realita tersebut Fischer menemukan kemiskinan merupakan sesuatu ancaman serius, karena tercermin dalam keletihan para ibu muda dengan lima, delapan, atau bahkan tiga belas anak. Fischer menyarankan agar Soekano mlakukan usaha pengendalian penduduk, dan melengkapi rakyatnya dengan rumah serta pendidikan yang lebih baik. Namun saran dari Fischer itu malah ditolak oleh Soekarno. Fischer tidak mampu meyakinkan Soekarno dengan menggunakan argumen pada hubungan antara pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi, tetapi justru Soekarno dapat menerima argumen untuk jarak kelahiran, sebagai upaya untuk melindungi kesehatan ibu dan mengurangi beban keluarga. “Tetapi”, presiden juga mengatakan, “jangan menulis bahwa saya mendukung pembatasan kelahiran”. Soekarno malah memiliki pendapat sebaliknya, bahwa adanya pengendalian penduduk merupakan indikasi adanya penurunan moralitas yang ia temukan dalam masyarakat barat. Soekano justru beranggapan kepada wanita yang memiliki anak banya tersebut sebagai model kekuatan, kecantikan, dan ketahanan.

Soekarno juga beranggapan bahwa Indonesia tidak perlu kebijakan mengenai pembatasan kelahiran, hal tersebut diungkapkannya berulang kali dalam pendapatnya mengenai pengendalian populasi:

“Kita tidak seharusnya memiliki kontrol kelahiran di sini, solusi saya lebih mengeksploitasi tanah, karena jika Anda mengeksploitasi seluruh tanah di Indonesia Anda dapat memberi makan 250 juta orang, dan saya tahu saya hanya punya 103 juta. itu adalah presiden Afganistan Mohammad Ayub Khan yang melihat begitu banyak anak di Indonesia, mengatakan: Soekarno, saya gemetar ketika saya melihat anak-anak. Anak-anak membuat masalah. Ya, negara Anda yang miskin, kataku. di negara saya semakin banyak semakin baik”.

T: Bagaimana anda menggambarkan keadaan Indonesia 20 tahun mendatang? J: (tertawa).. ooh. Negara terkaya di dunia. (Khrisner 1964:84)

Pernyataan tersebut melihat bahwa dalam pemerintahan orde lama, Soekarno merupakan seorang yang pro-natalis dan anti terhadap keluarga berencana. Serta satu hal yang harus diketahui bahwa ternyata optimisme Soekarno terhada jumlah penduduk yang

besar dengan peningkatan pembangunan ekonomi yang akhirnya mampu mensejahterahkan rakyatnya ternyata meleset.

(Terence H. Hull dalam artikel, The Political Framework for Family Palnning in Indonesia:

Three decades of Development)

C. Kebijakan Kependudukan Pada Masa Orde Baru (Soeharto)

Kebijakan kependudukan pada masa orde lama sangat kontradiksi kebijakan itu terjadi ketika soeharto naik, dan orde baru dibawah kepemimpinannya menganjurkan bahkan mewajibkan (untuk kalangan PNS) untuk setiap keluarga mengikuti program KB. Pada masa orde baru terdapat angin perubahan kebijakan kependudukan.

Pada tahun 1965 terjadi kudeta yang disebut G 30 S dan aksi penolakan terhadap PKI. Peristiwa-peristiwa tersebut akhirnya berujung dengan turunnya Soekarno dari tampuk kepemimpinan. Selain itu muncullah Soeharto dan orde barunya yang akan membawa angin perubahan dalam kebijakan kependudukan di Indonesia.

Soeharto yang sangat pro barat memiliki kebijakan yang berbeda dengan Soekarno, dalam hal kependudukan pun Soeharto mendapat bantuan dari USAID dan UNFPA. Sehingga program kebijakan kependudukan Soeharto berasal dari saran-saran negara barat. Selain itu Soeharto juga berhasil mengatasi hambatan berupa moralitas agama, yang seperti diketahui moralitas agama merupakan salah satu hal yang mempengaruhi lancar atau tidaknya program pengendalian penduduk. Dalam hal ini MUI (Majelis Ulama Indonesia) membuat suatu fatwa atau resolusi yang intinya mengizinkan adanya kontrasepsi dan mendukung kebijakan pemerintah tentang pengendalian penduduk.

Suatu hal yang sangat fenomenal, mengingat gerakan moralis agama merupakan tantangan terbesar bagi kebijakan pengendalian penduduk. Seperti yang diketahui bahwa di Philipina moralias agama menentang keras konsep pengendalian pendudukan (Kontrasepsi) dengan kelembagaan gereja katolik sebagai garda terdepan, dimana gereja Katolik memiliki pengaruh yang sangat besar di masyarakat. Akibatnya, kebijakan pengendalian penduduk di Philipina kurang diperhatikan, hal ini terlihat dengan minimnya fasilitas layanan untuk kesehatan reproduksi.

Orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto berhasil mengatasi beberapa hambatan terbesar, dan sukses untuk merangkul kaum Moralis Agama (MUI), selain itu Soeharto menandatangani Pimimpinan Dunia 'Deklarasi Kependudukan pada tahun 1967 sebagai bukti komitmennya untuk mengurangi jumlah laju pertumbuhan penduduk. Setahun kemudian Soeharto membentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN), Pada

tahun 1970 terjadi peningkatkan status dari LKBN menjadi dewan koordinasi (BKKBN) dengan ketua yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Peran sentral Soeharto dalam pembentukan program keluarga berencana, dan dukungannya yang teguh dalam pelaksanaannya, diakui secara internasional dengan pemberian award 1989 dari Penduduk PBB. Sementara tidak ada keraguan bahwa Soeharto membuat kontribusi yang luar biasa untuk program ini, hal itu dilakukan sebagai upaya penting dalam memberikan wawasan bagi mereka yang berada dalam kesulitan nyata serta sebagai jawaban untuk mengatasi penolakan serta permusuhan terhadap keluarga berencana.

(Terence H. Hull, dalam artikel The Political Framework for Family Palnning in Indonesia:

Three decades of Development)