Bagaimana hubungan PENDIDIKAN dengan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat


BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

 Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan bagi setiap manusia mulai dari kecil hingga ahir hayatnya, badan usaha yang bergerak atas berlangsungnya pendidikan peserta didik dinamakan lembaga pendidikan. Secara garis besar, ada tiga badan yang bertanggungjawab atas berlangsunganya pendidikan peserta didik dan biasa dikenal dengan istilah Tri Pusat Pendidikan, yang meliputi: keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Tiga badan tersebut memiliki sifat, fungsi, serta peran masing-masing yang mana sangat berpengaruh terhadap pendidikan anak itu sendiri. Maka, saya akan mencoba menguraikan lebih lanjut tentang Tri Pusat Pendidikan baik yang formal ataupun nonformal

1. 2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana peran keluarga sebagai badan pendidikan pertama atau  utama?

2. Apa saja peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal?

3. Bagaimana peran masyarakat sebagai badan pendidikan ketiga yang mereka adalah merupakan aplikasi daripada pendidikan  ?

1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui peran keluarga sebagai badan pendidikan pertama atau utama.

2. Untuk mengetahui peran sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.

3. Untuk mengetahui peran masyarakat sebagai badan pendidikan ketiga.


BAB  II

PEMBAHASAN

A. Keluarga Sebagai Lembaga Pendidikan Pertama

Keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Setiap komponen dalam keluarga memiliki peranan penting. Dalam ajaran agama Islam, anak adalah amanat Allah. Amanat wajib dipertanggung jawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil. Secara umum inti tanggung jawab itu adalah menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak dalam rumah tangga. Ketika komponen yang ada di dalam keluarga terutama orang tua salah dalam mendidikan anak, maka sulit untuk merubah sifat anak tersebut. Karena pendidkan dari keluarga merupakan pondasi, Dan ketika pondasi tersebut tidak bagus, maka seterusnya tidak akan bagus.

Keluarga terdiri atas dua kata: kawula dan warga. Di dalam bahasa Jawa kuno, kawula berarti hamba. Maksudnya orang yang menghambakan diri. Warga artinya anggota. Maksudnya, seseorang yang dalam lingkunganya mempunyai hak dan kewajiban atas terselenggaranya segala sesuatu yang baik bagi lingkungannya. Jadi keluarga, ialah satu kesatuan, dimana anggota-anggotanya mengabdikan diri kepada kepentingan dan tujuan kelompok tersebut. (Zahara Idris, 1992:83)

Kata "Keluarga" secara etimologi menurut K.H. Dewantara adalah sebagai berikut:

"Bagi bangsa kita perkataan "Keluarga" tadi kita kenal sebagai rangkaian perkataan-perkataan "kawula" dan "warga". Sebagaimana kita ketahui, maka "kawula" itu tidak lain artinya dari pada "abdi" yakni "hamba" sedangkan "warga" berarti "anggota". Sebagai "abdi" di dalam "keluarga" wajiblah seseorang di situ menyerahkan segala kepentingan-kepentingannya kepada keluarganya. Sebalik­nya sebagai "warga" atau "anggota" berhak sepenuhnya pula untuk ikut mengurus segala kepentingan di dalam keluarganya". (Abu Ahmadi, 1991:176)

Jika ditinjau dari ilmu sosiologi, keluarga adalah bentuk masyarakat kecil yang terdiri atas beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan, yakni kesatuan antara ayah ibu dan anak yang merupakan kesatuan kecil dari bentuk-bentuk kesatuan masyarakat. (Abu Ahmadi, 1991:177)

Pendidikan keluarga adalah juga pendidikan masyarakat, karena di samping keluarga itu sendiri sebagai kesatuan kecil daribentuk kesatuan-kesatuan masyarakat, juga karena pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya sesuai dan dipersiapkan untuk kehidupan anak-anak itu di masyarakat kelak. Dengan demikian nampaklah adanya satu hubungan erat antara keluarga dengan masyarakat. Keluarga sebagai alam pendidikan pertama (Dasar). (Abu Ahmadi, 1991:177)

Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan didalam keluarga. Orang tua tanpa ada yang memerintah langsung memikul tugas sebagai pendidik, baik bersifat sebagai peme­lihara, sebagai pengasuh, sebagai pembimbing, sebagai pembina maupun sebagai guru dan pemimpin terhadap anak-anaknya. Ini adalah tugas kodrati dari tiap-tiap manusia. (Abu Ahmadi, 1991:177)

Anak mengisap norma-norma pada anggota keluarga, baik ayah maupun ibu. Maka orang tua di dalam keluarga harus dan bahkan wajib kodrati untuk memper­hatikan anak-anaknya serta mendidiknya, sejak anak itu kecil, bahkan sejak anak itu masih dalam kandungan sampai ahir hayat. Jadi tugas orang tua mendidik anak-anaknya itu terlepas dari kedudukan, keahlian atau pengalaman dalam bidang pendidikan yang legal. Bahkan menurut Imam Ghozali -."Anak adalah suatu amanat Tuhan kepada ibu bapaknya". (Abu Ahmadi, 1991:178)

Anak adalah anggota keluarga, di mana orang tua adalah pemimpin keluarga, sebagai penanggung jawab atas  keselamatan anak-anaknya di dunia dan khususnya di akhirat. (Abu Ahmadi, 1991:177)

Adapun sifat-sifat badan pendidikan keluarga, yaitu:

1. Lembaga pendidikan  tertua

2. Lembaga pendidikan informal

3. Lembaga pendidikan pertama dan utama

4. Bersifat kodrati (Suwarno, 1982:66)

Selain itu, pendidikan keluarga juga memiliki beberapa fungsi, yaitu:

1. Pengalaman pertama masa kanak-kanak

2. Menjamin kehidupan emosionil anak

3. Menanamkan dasar pendidikan moril

4. Memberikan dasar pendidikan sosial (Suwarno, 1982:67)

Dijelaskan juga bahwa keluarga memiliki beberapa peranan terhadap pendidikan anak, yaitu:

1.      Menurunkan sifat biologis atau susunan anatomi melalui hereditas, menurunkan susunan urat syaraf, kapasitas inteligensi, motor and sensory equipment

2.      Memberikan dasar-dasar pendidikan, sikap, dan ketrampilan dasar, seperti pendidikan agama, budi pekerti, sopan santun, estetia, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk mematuhi peraturan-perturan, dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan (Zahara Idris, 1992:84)

Diterangkan juga, bahwa orang tua memiliki fungsi peranan dalam lapangan pendidikan dalam lingkungan keluarga, yaitu:

1.      Pembiasaan

2.      Pendidikan intelektual, moral, emosional,

3.      Pendidikan kewarganegaraan, termasuk pendidikan politik,

4.      Pengembangan moralitas, terutama moralitas agama (M. Said, 1985:131)

B. Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan Kedua

Sekolah juga merupakan pemegang peranan yang tak kalah  penting dalam pendidikan karena pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak. Maka di sam­ping keluarga sebagai pusat pendidikan yang membentuk akhlak seorang anak, sekolahpun mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan formal (legal) untuk pembentukan pribadi anak. (Abu Ahmadi, 1991:180)

Dengan sekolah, pemerintah mendidik bangsanya untuk men­jadi seorang ahli yang sesuai.dengan bidang dan bakatnya masins-masing anak. Dengan sekolah, golongan atau partai mendidik kader-kader­nya untuk meneruskan dan memperjuangkan cita-cita dari go­longan atau partainya. Dengan sekolah, kaum beragama men­didik putra-putranya untuk menjadi orang yang melanjutkan dan memperjuangkan agama. (Abu Ahmadi, 1991:180)

Karena sekolah itu sengaja disediakan atau dibangun khusus untuk tempat pendidikan, maka dapatlah kita golongkan sebagai tempat atau lembaga pendidikan kedua sesudah keluarga, lebih­lebih mempunyai fungsi melanjutkan pendidikan keluarga dengan guru sebagai ganti orang yang harus ditaati. (Abu Ahmadi, 1991:181)

Lamanya pendidikan di sekolah  juga ikut menentukan berhasil tidaknya pem­bentukan pribadi, yaitu:

1.    Sejak anak umur 4 atau 5 tahun ada yang sudah dimasukkan ke sekolah, yaitu Sekolah Taman Kanak-Kanak atau Bustanul Atfal. Anak yang baru saja memiliki bahasa dan mulai mengakui adanya gezah, oleh guru dididik dengan diasuh, diajari tata-cara, dididik dengan kebijaksanaan.

2.    Kemudian umur enam tahun (6 tahun) anak disekolahkan ke Sekolah Dasar atau Ibtidaiyah.

Mulailah anak diberi ilmu pengetahuan dasar di camping pen­didikan. Selama enam tahun, yaitu sampai dengan umur 12 tahun,anak terns menerus diberi pendidikan dan pengajaran.

3.    Sekitar umur 13 tahun anak meneruskan ke sekolah tingkat Menengah Pertama atau Tsanawiyah. Sampai dengan umur15 tahun, jadi selama tiga tahun anak mendapat didikan yang berbeda dengan pendidikan di Sekolah Dasar, karena para pendidik tahu bahwa pada anak sudah ada pengetahuan dasar dan pada masa ini anak telah kritis dan tahu akan nilai-nilai kesusilaan, keindahan, kemasyarakatan, kebangsaan dan keagamaan.

4.    Sekitar umur 16 tahun anak melanjutkan ke sekolah Mene­ngah Atas atau Aliyah selama tiga tahun lagi. Pendidikan disini bersifat pematangan dengan adanya pembagian sesuai dengan bakat si anak. Selesai di Sekolah tingkat ini anak berumur kurang lebih 1.8 tahun, yang berarti sudah mulai masuk ke periode adoliscensi(masa dewasa).

Jadi selama 14 tahun anak hidup di dalam pendidikar,sekolah.Waktu 14 tahun adalah cukup lama untuk bisa ikutmenentukan pribadi anak. Ada pula sekolah yang merang­kaikan antara waktu Sekolah Menengah Pertama denganSekolah Menengah Atas, seperti PGA 6 tahun (PendidikanGuru Agama enam tahun), Muallimin dan Muallimat.

5. Bagi anak yang masih besar minatnya untuk melanjutkan kuat fikirannya serta mampu biayanya, masih bisa melanjutkanstudinya ke Perguruan Tinggi atau Al-Jami'ah selama tiga tahun (Sarjana Muda) atau lima tahun (Sarjana Lengkap). (Abu Ahmadi, 1991:181-182)

Pada masa ini, anak telah dapat menyelesaikan pembentukan pribadi sendiri, karena telah memasuki dunia kemahasiswaan dan telah berada atau menginjak masa adoliscensi. (Abu Ahmadi, 1991:182)

Mengingat cukupnya waktu dan pentingnya fungsi sekolah dalam ikut serta pembentukan pribadi anak, maka pendidikan yang hanya bersifat intelektualitas saja adalah kurang efektif, mengkhianati amanat orang tua si anak, menyia-nyiakan kesem­patan yang baik bagi si anak yang sedang dalam pertumbuhan jas­mani dan rohaninya dan sebagai suatu kesalahan yang besar, yang harus kita perhatikan dan selanjutnya tidak boleh kita biarkan, melainkan harus kita kembalikan ke fungsi yang sebenarnya. (Abu Ahmadi, 1991:182)

Pendidikan yang hanya bersifat intellectuallistisch adalahakibat jelek dari sistim pendidikan aliran rationalisme yang dibawa Belanda ke tanah air kita tahun 1850. Sistem ini kurang mengingat bahwa manusia adalah sebagai kebulatan, akibatnya dengan warisan Belanda itu manusia menjadi terlalu individualis­tisch dan materialistisch, maka sistim ini harus kita hindari. (Abu Ahmadi, 1991:182)

Pemerintah Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan ber-Un­dang-Undang Dasar 1945 dengan sekolah-sekolah negerinya tidak hanya mengharapkan agar anak-anak dididik penuh dengan ilmu saja, tapi juga yang penting adalah membentuk anak-anak bermental menjadi Pancasilais sejati, begitu pokok pesan Jendral Soeharto pada peringatan Hari Pendidikan Nasional. Ini berarti, bahwa pertama-tama gurulah yang harus mem-Pancasila-kan dirinya. Sebab hanya guru Pancasila dapat menyebarkan Pan­casila". (Abu Ahmadi, 1991:182)

Amanat Jenderal Soeharto (sekarang Presiders) pada tanggal 2 Mei 1967 itu selanjutnya berpesan, agar guru-guru jangan menyia-nyiakan masa anak-anak didik yang berharga, sebab mereka adalah harapan bangsa. Amanat ini ditujukan kepadaguru-guru untuk mem-Pancasilakan dan meng-Orde Baru kananak-anak didik.Untuk melaksanakan ini, seorang guru sekolah segala sikap tindakannya harus sebagai contoh, baik itu dalamkelas sekolah maupun di luar sekolah, harus membantu ke arah manusia yang benar-benar Pancasilais Orde Baru. (Abu Ahmadi, 1991:183)

Pancasila, di mana sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa harus merupakan inti tujuan pendidikan, dengan agama sebagai uncut mutlaknya, sebab Pancasila merupakan dasar dan pemberi arah dalam kehidupan bangsa Indonesia. (Abu Ahmadi, 1991:183)

Menolak Pancasila berarti menolak kepribadian sendiri, mengingkari Pancasila berati mengingkari adanya Tuhan dan mengingkari agama.Maka bagi kita, Pancasila harus dilak­sanakan dan diajarkan secara murni dan konsekuen. (Abu Ahmadi, 1991:183)

Sebab itu, tugas sekolah yang penting adalah membentuk manusia Pancasilais sejati, yaitu manusia yang ber "Tauhid", ber-­Perikemanusiaan, ber-Kebangsaan, ber-Kedaulatan Rakyat dan ber- Keadilan Sosial. (Abu Ahmadi, 1991:183)

Dengan adanya amanat jenderal Soeharto pada tanggal 2 Mei1967 itu dapatlah difahami, bahwa pemerintah memandang sekolah sangat berfungsi dalam pembentukkan pribadi Pan­casilais. Suatu peristiwa yang wajib kita syukuri adalah adanya pergantian pemerintah dari Orde Lama menjadi pemerintah Orde Baru, sehingga pelajaran agama dapat dilaksanakan disekolah-sekolah negeri, bahkan menjadi mata pelajaran wajib yang ikut menentukan, baik di sekolah-sekolah rendah maupun sampai ke Perguruan Tinggi. (Abu Ahmadi, 1991:183)

Dengan demikian, ada kesempatan yang baik untuk melak­sanakan dakwah Islamiyah di sekolah-sekolah negeri.

Guru digugu ditiru berfungsi sebagai ganti orang tua. Maka, bila guru dalam mendidik benar-benar melaksanakan tugasagama dengan baik sehingga bisa membentuk kepribadian anak.(Abu Ahmadi, 1991:183)

Adapun sifat-sifat lembaga pendidikan sekolah, yaitu:

1.      Tumbuh sesudah keluarga

2.      Lembaga pendidikan formal

3.      Lembaga pendidikan yang tak bersifat kodrat (Suwarno, 1982:70)

Selain itu juga pendidikan sekolah memiliki beberapa fungsi, yaitu:

1.      Mengembangkan kecerdasan pikiran dan memberikan pengetahuan

2.      Spesialisasi

3.      Effisiensi

4.      Sosialisasi

5.      Konservatori dan transmisi kulturil

6.      Transisi dari rumah masyarakat (Suwarno, 1982:71-72)

C. Masyarakat sebagai Lembaga Pendidikan Ketiga

Masyarakat sebagai lembaga Pendidikan ketiga sesudah ke­luarga dan sekolah, mempunyai sifat dan fungsi yang berbeda de­ngan ruang lingkup dengan batasan yang tidak jelas dan keanekaragaman bentuk kehidupan sosial serta berjenis-jenis budayanya. (Abu Ahmadi, 1991:184)

Masalah pendidikan di Keluarga dan sekolah tidak bisa mele­paskan dari nilai-niali sosial budaya yang di junjung tinggi oleh semua lapisan masyarakat.

Setiap masyarakat di manapun berada, tentu mempunyai karakteristik tersendiri sebagai norma khas di bidang sosial budaya yang berbeda dengan karakteristik masyarakat lain, namun juga mempunyai norma-norma yang universal dengan masyarakat pada umumnya. (Abu Ahmadi, 1991:184)

Di masyarakat terdapat norma-norma sosial budaya yang harus diikuti oleh warganya dan norma-norma itu berpengaruh dalam pembentukan kepribadian warganya dalam bertindak dan bersikap. (Abu Ahmadi, 1991:184)

Norma-norma masyarakat yang berpengaruh tersebut sudah merupakan aturan-aturan yang ditularkan oleh generasi tuakepada generasi mudanya. Penularan-penularan yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan ini sudah merupakan proses pen­didikan masyarakat. (Abu Ahmadi, 1991:184)

Para tokoh agama atau tokoh masyarakat berperanan dalam penularan norma-norma masyarakat di samping orang tuakepada anak-anak tentang adat-istiadat atau tradisi atau sopan santun, baik dalam pertemuan-pertemuan resmi maupun dalam pergaulan sehari-hari.Umpamanya norma-norma yang boleh diperbuat, yang seharusnya diperbuat atau yang tabu diperbuat. (Abu Ahmadi, 1991:184)

Contoh tentang sopan santun orang Timur yang mengajar­kan/ menentukan cara memberi sesuatu kepada, atau menerima sesuatu dari orang lain dengan tangan kanan.

Bagi orang Timur, menerima dan memberi dengan tangan kiri dinilai tidak sopan, tidak tahu aturan, dianggap menghina atau meremehkan. Hal demikian tidak berlaku bagi Orang Barat yang membolehkan menerima dan memberi dengan tangan kiri.

Orang Timur menganjurkan untuk Baling menyapa sesamatetangga bila bertemu di jalan. Bagi Orang Barat sapaan seseorang ada yang menganggap sok ingin tahu urusan orang lain. (Abu Ahmadi, 1991:185)

Sesama Masyarakat Indonesiapun antara tempat yang satu dengan tempat yang lain, antara suku yang satu dengan suku yang lain, tidak sama dalam hat adat dan tradisi. Seperti adat suku‑suku di Jawa, adat suku-suku di Sumatra, adat-adat suku di Irian Jaya dan sebagainya dalam hat kelahiran, perkawinan dan kematian tidak sama. Masing-masing adat itu ditularkan kepada generasi berikutnya. (Abu Ahmadi, 1991:185)

Sekira ada perubahan adat dan tradisi oleh generasi berikut­nya dan perubahan itu menguat di masyarakat maka perubahanitulah yang kemudian ditularkan kepada generasi berikutnya.

Kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari dua orangatau lebih dan bekerjasama di bidang tertentu untuk mencapai tujuan tertentu adalah merupakan sumber pendidikan bagi warga masyarakat, seperti Lembaga-lembaga sosial budaya, yayasan­yayasan, organisasi-organisasi, perkumpulan-perkumpulan, yang kesemuanya itu merupakan unsur-unsur pelaksana asas pen­didikan masyarakat. (Abu Ahmadi, 1991:185)

Lembaga-lembaga yang ada dalam maysarakat seperti Lem­baga Dakwah, Lembaga Hukum, Lembaga Bahasa, Lembaga Pengabdian dan Lembaga-lembaga Sosial lainnya tidak sekedar menolong atau mencari keuntungan material, tetapi juga mela­kukan aktivitas-aktivitas dengan menyampaikan ajaran melatih ketrampilan dan menangani pengkaderan yang kesemuanya ber­peranan dalam pembentukan sikap kepribadian orang-orang itu. (Abu Ahmadi, 1991:185)

Yayasan-yayasan yang ada dalam masyarakat banyak yang bergerak langsung di bidang pendidikan, seperti mendirikan sekolah-sekolah swasta, baik sekolah umum maupun sekolah agama, mulai tingkat Taman Kanak-Kanak sampai dengan Perguruan Tinggi.(Abu Ahmadi, 1991:185)

Pendidikan masyarakat adalah bagian integral pendidikan nasional yang mempunyai tugas melaksanakan pendidikan kepada masyarakat diluar sekolah. Pendidikan yang alami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah.dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampak lebih luas. Sebagaimana yang di kemukakan bahwa masyarakat yang merupakan lembaga ketiga sebagai lembaga pendidikan, dalam konteks menyelenggarakan pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, sebagai salah satu lingkungan terjadinya kegiatan pendidikan, masyarakat mempunyai pengaruh yang sangat besar berlangsungnya segala aktivitas yang menyangkut masalah pendidikan.

Masyarakat juga memiliki peran terhadap pendidikan, yaitu:

  1. Masyarakat berperan serta dalam mendirikan dan membiayai sekolah .
  2. Masyarakat berperan dalam mengawasi pendidikan agar sekolah tetap membantu dan mendukung cita-cita dan kebutuhan masyarakat .
  3. Masyarakat ikut menyediakan berbagai sumber untuk sekolah.
  4. Masyarakat ikut menyediakan tempat pendidikan seperti gedung-gedung pembelajaran, musium, perpustakaan, panggung –panggung kesenian, dll.
  5. Masyarakat sebagai sumber pelajaran atau laboratorium tempat belajar.

Dengandemikian, jelas sekali bahwa peran masyarakat sangatlah besar terhadap pendidikan sekolah. Pendidikan selalu diarahkan untuk mengembangkan nilai-nilai kehidupan manusia. Didalam pengembangan nilai, tersirat pengertian, manfaat yang ingin dicapai oleh manusia di dalam hidupnya. Jadi, apa yang ingin dikembangkan merupakan apa yang dapat dimanfaatkan dari arah pengembangan itu sendiri.

Pendidikan tidak bisa lepas dari efek-efek luar yang saling mempengaruhi keberadaanya, terutama bagi masyarakat sekitarnya, yang mempunyai hubungan saling ketergantungan. Dalam hal ini pengaruh masyarakat pada dasarnya tergantung pada luas tidaknya kualitas out put pendidikan itu sendiri. Semakin besar out put tersebut dengan disertai kualitas yang mantap, dalam artian mampu mencetak SDM yang berkualitas maka tentu saja pengaruhnya sangat positif bagi masyarakat.

Dengan demikian, bila lembaga pendidikan dimaksudkan mampu melahirkan produk-produknya yang berkualitas tentu saja hal ini merupakan investasi bagi penyedia SDM.Investasi ini sangat penting untuk perkembangan kemajuan masyarakat sebab manusia itu sendiri adalah subjek setiap perkembangan, perubahan, dan kemajuan dalam masyarakat.

BAB II         I

KESIMPULAN

Dari beberapa pemaparan diats, dapat disimpulkan bahwa:

1.    Antara tiga komponen penyelenggara pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) masing-masing mempunyai korelasi. Artinya, ketika anak didik berada dalam posisi ketiga (masyarakat), tidaklah hilang peranan keluarga dan sekolah. Ketika anak tersebut mendapat suatu masalah yang solusinya tidak ditemukan di masyarakat maka dia harus flashback  kepada sekolah bahkan keluarga karena antara tiga badan tersebut terdapat hubungan atau kesinambungan yang sangat erat.

2.    Keluarga adalah sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama yang merupakan pondasi pendidikan anak terutama masalah akhlak untuk melanjutkan pendidikan yang selanjutnya yaitu sekolah (formal)  . Seseorang akan menjadi warga masyarakat yang baik sangat tergantung pada sfat-sifat yang tumbuh dalam kehidupan keluarga dimana anak dibesarkan dan kelak kehidupan anak tersebut jika mempengaruhi masyarakat sekitarnya sehingga pendidikan keluarga itu merupakan dasar terpenting kehidupan anak sebelum masuk sekolah dan terjun ke dalam masyarakat.

3.    Sekolah sebagai lembaga pendidikan kedua setelah keluarga, di sinilah pribadi peserta didik dibentuk tetapi tidak menafikan peranan keluarga, peran keluarga di sini  berubah menjadi pengawas atau tepat curhat bagi anak didik tentang lingkungan yang ada di sekitarnya. Dengan sekolah kaum beragama mendidik putra-putrinya untuk menjadi orang yang melanjutkan dan memperjuangkan agama. Dan karena sekolah itu sengaja disediakan atau dibangun khusus untuk tempat pendidikan, maka dapatlah digolongkan sebagai lembaga pendidikan kedua setelah keluarga, lebih-lebih mempunyai fungsi melanjutkan pendidikan keluarga dengan guru sebagai ganti orang yang harus ditaati.

4.    Masyarakat dikatakan sebagai lembaga pendidikan ketiga karena mempunyai sifat dan fungsi yang berbeda dengan ruang lingkup tanpa batasan yang  jelas dan keanekaragaman bentuk kehidupan sosial serta berjenis-jenis budayanya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991

Idris, Zahara, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT. Grasindo, 1992

Said, M., Ilmu Pendidikan, Bandung: Penerbit Alumni, 1985

Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, Surabaya: IKAPI, 1982

Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan,Surabaya: Usana Offset Printing, 1981