Bagaimana hasil penelitian Darwin tentang paruh burung finch di Kepulauan Galapagos?

Teori Evolusi Charles Darwin (Foto: www.publicdomainpictures.net)

Kepulauan Galapagos terletak di Samudra Pasifik. Ia menjadi bagian dari negara Ekuador dan terletak 906 kilometer dari daratan negara yang berada di benua Amerika itu.

Pada tahun 1831, Charles Darwin melakukan perjalanan keliling dunia selama lima tahun menggunakan HMS Beagle. Selama lima tahun perjalanannya itu, Darwin menuliskan 1.383 halaman mengenai geologi dan 368 halaman mengenai tumbuhan dan hewan, serta mengumpulkan berbagai fosil serta bebatuan.

The Beagle berlabuh di Galapagos pada 15 September 1835. Selama 35 hari Darwin mengunjungi empat dari 16 pulau yang ada di Kepulauan Galapagos. Di sana, ia berhasill menulis 80 halaman mengenai keadaan geologi di Galapagos serta 25 halaman mengenai hewan-hewan di sana.

Kepulauan Galapagos. (Foto: pen_ash via Pixabay (CC0 Creative Commons))

Darwin mengamati berbagai macam burung kecil yang ada di pulau tersebut. Namun saat itu, ia sendiri belum menyadari keunikan dari burung-burung finch yang ia temukan tersebut sampai akhirnya ia pulang ke London.

Dari berbagai jenis burung finch yang ia kumpulkan, Darwin mulai mempertanyakan mengapa burung-burung tersebut bisa berkerabat meskipun terlihat berbeda.

Salah satu jenis Darwin's finch (Foto: Cayambe via Wikimedia Commons)

Awalnya Darwin sendiri tidak memperhatikan burung-burung finch yang ia bawa dari Galapagos sampai akhirnya ia diberitahu bahwa burung-burung yang ia kira berbeda, sebenarnya masih berkerabat.

Dari sanalah Darwin merumuskan teori evolusi karena adaptasi (evolution by adaptation). Burung-burung finch yang ditemukan oleh Darwin beradaptasi sesuai dengan kondisi alam di Galapagos yang terbagi-bagi atas beberapa pulau tersebut.

Saat ini, Galapagos sudah ditetapkan menjadi taman nasional sejak 1959. Kemudian pada 1978, UNESCO menetapkan Galapagos sebagai Situs Warisan Dunia, dan pada 1986, samudra seluas 70 ribu kilometer persegi yang mengelilingi Galapagos ditetapkan sebagai kawasan laut yang dilindungi.

Galapagos ditetapkan sebagai situs warisan dunia karena berbagai spesies flora dan fauna yang ditemukan di sana tidak bisa ditemukan di tempat lain.

Di antara fauna yang bisa ditemukan di sana adalah burung-burung finch Darwin, albatros, pelikan, iguana, kura-kura Galapagos, dan lain-lain.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Apa itu Evolusi? Apa Hubungannya Dengan Perubahan Iklim?

Evolusi ala Darwin? Yang langsung terbayang di benak Anda mungkin gambar kera yang berubah menjadi makhluk yang semakin mirip manusia, hingga akhirnya menjadi manusia. Akan tetapi, proses evolusi ala Darwin yang dianut dunia sains amat jauh dari bayangan tersebut! Sesungguhnya, proses evolusi yang dijelaskan oleh Charles Darwin dalam buku On the Origin of Species (terbit tahun 1859) bukanlah mengenai kera-menjadi-manusia. Yang Darwin mencoba jelaskan adalah proses yang sangat mendasar: bagaimanakah evolusi dapat terjadi?

Pertama-tama, apakah yang disebut evolusi? Evolusi adalah proses alami yang menghasilkan segala macam keragaman jenis makhluk hidup, mulai dari bakteri, jamur, lumut, dan manusia. Perbedaan antara pisang tanduk dan pisang susu hasil kerja evolusi. Semua makhluk hidup di bumi merupakan hasil kerja evolusi. Selama berabad-abad sebelum masa Darwin, sejumlah ilmuwan telah mencoba menjelaskan dari mana keragaman ini berasal, dan Darwin adalah ilmuwan pertama yang berhasil menjelaskan bagaimana evolusi dapat terjadi. Evolusi adalah proses yang senang bermain dengan memilah dan mencocokkan sifat hingga menghasilkan segala aneka keragaman hayati, layaknya anak kecil yang bermain Lego. Yang dipilah dan dicocokkan oleh evolusi adalah sifat-sifat makhluk hidup; sifat tersebut bisa berarti bentuk tubuh, jenis makanan, maupun tingkah laku dan sebagainya. Oleh karena makhluk hidup berbeda sifat satu sama lain, bahkan meski sama jenis (tidak ada dua ekor kucing yang persis sama kan?), evolusi memiliki “katalog” berisi berbagai macam sifat-sifat yang dapat dipilih. Keragaman sifat ini disebut variasi sedangkan proses pemilihan ini adalah seleksi. Kemudian, melalui perkawinan dan peranakan antara makhluk hidup, evolusi memastikan sifat yang telah dipilihnya akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Ini disebut reproduksi. Proses pemilihan yang menghasilkan perubahan sifat terwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya inilah yang disebut evolusi. Hasil pemiliihan evolusi selama jutaan tahun inilah yang melahirkan keragaman hayati yang dapat kita temukan di alam.

Darwin adalah ilmuwan pertama yang dapat menjelaskan mekanisme evolusi, atau lebih tepatnya, salah satu mekanisme utama dalam evolusi di mana evolusi memilih dan mencocokkan sifat berdasarkan keadaan lingkungan, yaitu seleksi alam. Inspirasi Darwin dalam mewujudkan teori seleksi alam berasal dari berbagai sumber, akan tetapi salah satunya merupakan koleksi burung finchdari Kepulauan Galapagos yang Darwin kunjungi pada tahun 1835. Hampir satu setengah abad semenjak kunjungan Darwin ke kepulauan tersebut, ilmuwan Peter dan Rosemary Grant memulai penelitian di kepulauan yang sama pada tahun 1973, dan selama 30 tahun penelitian mereka telah berhasil membuktikan proses seleksi alam melalui kisah burung finch.

Burung finch Galapagos (subfamili Geospizinae) adalah burung kecil (10-20 cm) yang ditemukan hanya di Kepulauan Galapagos. Salah satu pulaunya yang disebut Daphne Major memiliki 3 spesies finch, ketiganya memiliki ukuran paruh yang berbeda dan sesuai untuk memakan biji dengan ukuran yang berbeda-beda. Spesies demgan paruh terbesar (Geospiza magnirostris) dapat memecahkan biji dengan kulit luar yang besar dan keras, spesies dengan paruh medium (Geospiza fortis) lebih menyenangi biji-bijian kecil ynag lunak, sementara spesies dengan paruh kecil (Geospiza fuliginosa) juga makan biji kecil dan lunak. Meski demikian, spesies berparuh medium fortis memiliki individu-individu dengan ukuran paruh yang bervariasi, ada yang paruhnya sebesar magnirostris dan ada yang paruhnya jauh lebih kecil. Dapat dikatakan bahwa ukuran paruh pada G. fortis adalah sifat yang bervariasi. Tim Grant dengan tekun menangkap dan mengukur paruh tiap burung di pulau Daphne Major dari tahun ke tahun. (Mereka juga menghitung jumlah dan jenis serta mengukur semua biji-bijian yang dimakan burung di pulau tersebut, suatu tugas yang mereka akui sebagai tidak seromantis atau seseru menangkap burung).

Alkisah, semua burung di pulau Daphne Major hidup sejahtera saat Peter, Rosemary, dan timnya tiba di tahun 1973, di musim hujan. Biji-bijian yang kecil, lunak dan mudah dimakan amat berlimpah sehingga semua burung memilih untuk makan biji tersebut, dan semua dapat makan secukupnya. Kemudian datanglah musim kemarau: tumbuhan merontokkan dedaunannya dan tidak lagi menghasilkan biji. Oleh karena suplai biji terbatas dan tiap spesies berkompetisi dengan spesies lainnya, kini burung berparuh besar memakan hanya biji terbesar, yang berparuh medium memakan biji besar dan kecil sesuai variasi ukuran paruhnya, dan yang terkecil memakan hanya biji terkecil. Kemudian, tibalah musim kemarau yang parah pada tahun 1977, tiada hujan yang turun selama berbulan-bulan. Tidak ada kolam yang tersisa di pulau Daphne Major. Semua tumbuhan kecuali kaktus meranggas. Jumlah biji-bijian di pulau tersebut turun drastis dan hanya menyisakan biji-biji besar yang keras. Ratusan burung mati kelaparan: jumlah G. fortis turun drastis dari 1200 ekor sebelum kemarau menjadi 180 ekor setelah kemarau. Tim Grant kembali mengukur paruh burung-burung yang masih hidup. Mereka menemukan bahwa burung yang tersisa memiliki ukuran paruh yang lebih besar dibandingkan burung yang mati. Mereka juga menemukan bahwa sebagian besar burung yang masih hidup adalah burung jantan, yang cenderung memiliki paruh yang lebih besar dibandingkan betina. Mengapa hanya mereka yang berparuh besar selamat? Semakin besar paruhnya, semakin mudah untuk memecahkan kulit biji yang besar dan keras, yaitu satu-satunya jenis biji yang tersisa. Bisa dikatakan bahwa hanya burung berparuh besar saja yang dapat makan cukup dan bertahan hidup. Dan dengan demikian, dalam satu musim kemarau saja telah terbuktikan proses seleksi alam: lingkungan kemarau menyeleksi individu-individu yang memiliki paruh besar. Evolusi telah memilih individu dengan sifat paruh besar.

Tetapi evolusi tidak berhenti di sana. Kini, setelah kemarau usai, para burung finch siap kawin. Populasi burung finch sekarang memiliki paruh yang lebih besar dibandingkan sebelumnya karena burung dengan paruh kecil gagal diseleksi alam dan mati. Karena paruh besar adalah sifat yang menguntungkan di lingkungan kemarau, dan populasi burung sekarang memiliki paruh yang relatif lebih besar, Tim Grant menemukan bahwa sifat paruh besar terwariskan pada sebagian besar generasi berikutnya. Dalam lingkungan pasca-kemarau yang masih cukup kering, burung muda dengan paruh relatif besar akan lebih sukses dalam bertahan hidup dan beranak. Di antara generasi burung yang berparuh lebih besar, individu dengan paruh yang relatif lebih besar dari yang lainnyalah yang tersukses dan mewariskan lebih banyak keturunan, dan ini terus terjadi pada tiap generasi. Tahun dan tahun berikutnya, Tim Grant terus menemukan bahwa generasi burung muda memiliki paruh yang rata-ratanya kian besar, dan membuktikan bahwa seiring waktu, generasi demi generasi terus beradaptasi terhadap lingkungannya. Di sinilah motto evolusi ala Darwin, yaitu “Survival of the fittest!” masuk akal. Motto ini bukan berarti hanya mereka yang terkuatlah yang dapat bertahan hidup—kecoak saja kelihatannya makhluk yang lemah dan liliput tapi nyatanya masih bertahan hidup setelah ratusan juta tahun. Sebaliknya, menurut Darwin, yang bertahan hidup hanyalah mereka yang memiliki sifat yang paling cocok di lingkungannya dan oleh sebab itu dapat mewariskan sifat yang sukses pada keturunannya. Di Pulau Daphne Major, hanya burung finch berparuh besar yang dapat bertahan hidup dan mewariskan keturunan dengan sifat yang sama yaitu sifat paruh besar. Burung finch berparuh kecil gagal diseleksi dan mati sehingga tidak dapat mewariskan keturunan. Jadilah yang bertahan hidup dan beranak (atau mewariskan keturunann), ia yang sukses! Inilah survival of the fittest.

Seleksi alam memilih sifat yang paling cocok dengan lingkungan kini dan mewariskannya pada generasi depan, atau dengan kata lain, membekali generasi berikutnya dengan sifat yang terbukti menguntungkan pada masa kini. Namun apa yang terjadi jika lingkungan tiba-tiba berubah drastis? Beberapa tahun setelah kemarau panjang, Pulau Daphne Major mengalami musim hujan yang setara parahnya pada tahun 1983. Paruh besar tidak lagi merupakan sifat yang sukses. Kini, biji yang kecil dan lunak amat berlimpah sementara biji yang besar dan keras menjadi langka, hingga burung berparuh besar sulit menemukan biji yang dapat mereka makan. Sebaliknya dengan kemarau, burung berparuh besar mati sementara burung berparuh (relatif) kecil bertahan hidup. Hasil seleksi alam dari generasi sebelumnya menjadi senjata makan tuan: meski seleksi alam seharusnya menjadikan generasi berikutnya lebih sukses, seleksi alam hanya menyeleksi berdasarkan keadaan lingkungan saat tersebut, bukan lingkungan masa depan. Seleksi alam tidak dapat meramalkan masa depan. Saat keadaan lingkungan berubah, seleksi alam juga berubah. Tim Grant menemukan bahwa, dengan matinya burung berparuh besar, generasi berikutnya memiliki paruh yang kian mengecil. Paruh burung finch terus menerus diseleksi. Seleksi alam terus terjadi selama lingkungan terus berubah dan dapat terjadi dengan sangat cepat—dalam waktu satu musim, satu tahun saja. Setelah berabad-abad atau jutaan lahun lamanya, seleksi alam yang terus menerus menyeleksi suatu sifat akhirnya menjadikan sifat tersebut permanen di suatu populasi, dan sifat baru tersebut bahkan dapat melahirkan spesies baru. Proses ini telah dan terus menerus terjadi pada makhluk hidup, di manapun mereka berada, dan menghasilkan keragaman sifat hayati yang dapat kita temukan sekarang. Proses ini terus menerus terjadi, kapan saja, di mana saja. Makhluk hidup yang kita ketahui seperti apa adanya pun sebenarnya pelan-pelan sedang berubah. Kita semua adalah makhluk hasil evolusi, dan makhluk yang sedang mengalami evolusi.

Demikianlah evolusi ala Darwin, evolusi melalui seleksi alam. Inilah teori mekanisme evolusi yang dikagumi dan dianut oleh dunia ilmiah sampai sekarang. Darwin menjelaskan bagaimana lingkungan menyeleksi sifat-sifat yang sukses dan evolusi menjadikan sifat tersebut terus terwariskan di generasi berikutnya, bahkan hingga menjadi sifat permanen suatu populasi. Kini, pemikiran Darwin telah dijadikan kerangka pikiran dalam biologi: ilmuwan dapat meneliti suatu sifat dan bertanya, “Apa yang membuat sifat ini menguntungkan bagi si makhluk hidup, sehingga sifat ini terus diwariskan oleh evolusi dan seleksi alam? Mengapa sifat ini begitu menguntungkan?” Kerangka pikiran ini tidak hanya digunakan oleh ahli biologi tapi juga ahli psikologi dan antropologi dan sebagainya. Mengapa manusia adalah makhluk sosial yang senang berkelompok dan bekerja sama dengan satu sama lainnya? Apa keuntungannya bekerja sama sehingga seleksi alam memastikan manusia bersifat senang bekerja sama hingga sekarang? Mungkin di masa purba, manusia yang berkelompok dapat lebih sukses bertahan hidup karena mereka berbagi tugas: ada yang berburu, ada yang mencari buah-buahan di hutan, ada yang merawat anak-anak dan sebagainya. Daripada bertanya-tanya mengapa kera bisa menjadi manusia, ilmuwan saling mengobservasi dan menguji evolusi lewat seleksi alam di laboratorium maupun alam, mengungkap akar evolusi di balik keragaman sifat makhluk hidup, dan bertanya-tanya populasi dan sifat manakah yang mungkin diseleksi alam dan berevolusi di masa depan. Salah satu kekhawatiran ilmuwan masa kini adalah perubahan lingkungan drastis yang disebabkan oleh perubahan iklim: di lingkungan yang terus berubah, bagaimana evolusi lewat seleksi alam berdampak pada makhluk hidup? Siapa yang akan bertahan hidup? Siapa yang akan gagal diseleksi dan mati? Kita sudah cukup memahami konsep dan mekanisme evolusi ala Darwin, mekanisme seleksi alam. Tapi kita belum cukup memahami bagaimana lingkungan kita akan berubah dengan pengaruh perubahan iklim, meski kita tahu bahwa kegiatan manusia perlahan menjadikan perubahan iklim kian parah dan sulit diperkirakan. Dari Darwin kita tahu bahwa mereka yang bertahan hidup dan beranak, mereka yang sukses. Tapi siapa yang tahu siapa yang akan sukses bertahan hidup dan beranak, jika tiada yang tahu bagaimana lingkungan kita akan berubah sepuluh, lima puluh, seratus tahun ke depan?

Catatan Penting

Saya penerima beasiswa S1 dari Clark University, Amerika Serikat, dan penerima Beasiswa Unggulan, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan. Untuk info lebih lanjut mengenai Beasiswa Unggulan dapat mengunjungi website www.dikti.go.id (tersedia beasiswa untuk S1, S2, S3).