Bagaimana cara menyikapi teman baru yang berbeda agama dengan kita

Om Swastyastu. Om Awighnamastu Nammo Sidham. Umat Sedharma yang berbahagia. Mimbar Hindu kali ini mengangkat tema “Memahami dan Menyikapi  Perbedaan”. 

Ayam nijah paro veti ganana laghucetasam. Udaracaritanam tu vasudhaiva kutumbakam. Pikiran tentang ia milikku atau dia milik orang lain hanya muncul dalam orang-orang yang berpikiran sempit. Bagi orang berpikiran luas, seluruh dunia adalah keluarga mereka. (mantra Subhasita)

Mantra Subhasita ini  mengandung pesan agar umat Hindu memiliki wawasan yang luas. Sesungguhnya siapapun dia atau mereka, baik yang kenal maupun tidak kenal, adalah keluarga kita. Keluarga kita tidak dibatasi oleh asal ataupun tempat, seperti dari kampung mana, dari kota mana ataupun dari negara mana, mereka adalah saudara kita. 

Kenapa demikian? Mari kita berpikir dengan jernih. Siapa yang menciptakan manusia yang ada di desa, manusia yang ada di kota, bahkan yang ada di negeri lain? Tentu saja Ida Sanghyang Widdhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa karya agung dari Tuhan, maka dunia beserta seluruh mahluk hidup tidak ada. Itu berarti manusia yang ada di seluruh dunia berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Mah Esa. Karena berasal dari sumber yang sama, maka seluruh dunia adalah keluarga kita. 

Umat sedharma yang budiman. Tuhan menciptakan keanekaragaman mahluk hidup di dunia ini, supaya dunia ini menjadi indah. Pergilah kita ke sebuah taman, di sana kita akan melihat beraneka warna bunga. Bayangkan jika di taman tersebut hanya ada satu jenis bunga, putih saja atau merah saja, maka taman tersebut kurang indah. Sejatinya kita adalah sama dalam perbedaan dan berbeda dalam kesamaan. 

Misalnya, kita memiliki teman yang berbeda, cara sembahyang atau berbeda keyakinan. Jelas hal ini sangat berbeda. Tetapi di balik itu, kita semua memiliki persamaan, meskipun berbeda keyakinan. Kalau kita sakit atau teman kita sakit, kita atau teman kita merasakan hal yang sama, yaitu penderitaan. Siapapun di dunia ini ingin terhindar dari penyakit atau penderitaan.  Demikian pula sebaliknya kalau kita sendiri atau orang lain yang berbeda dengan kita sehat, pikiran tenang, lingkungan aman, keluarga harmonis pasti mereka sama dengan kita, yakni  merasakan kebahagiaan.  

Umat sedharma yang kami banggakan. Di dunia ini tidak ada individu yang sama persis. Walaupun orang itu kembar atau lahir di hari yang sama, pasti ada perbedaan. Bagaikan daun dalam satu pohon. Petiklah beberapa lembar daun dari satu pohon, dan cocokkan antara daun yang satu dengan daun yang lainnya. Pasti ada perbedaan, buktikanlah! Dengan mengetahui bahwa setiap individu berbeda, maka kita hendaknya maklum bahwa setiap manusia memiliki perbedaan. Hendaknya, kita bertoleransi terhadap perbedaan tersebut. Jangan pernah memaksakan kehendak, atau ingin mengubah orang lain sama dengan diri kita. 

Jangan mengukur orang lain dengan ukuran kita sendiri. Ibarat makan buah durian, orang yang hobi akan mengatakan bahwa durian itu enak. Bahkan, saking sukanya makan durian, di mana pun ada durian, dia berusaha untuk mendapatkannya. Namun, bagi mereka yang tidak suka durian, dikasih secara gratis pun tidak mau makan, mencium baunya saja sudah mual, apalagi menyentuh dan memakannya. 

Tuhan atau Ida Sanghyang Widdhi Wasa pun menyediakan beraneka ragam jalan untuk memuja-Nya dan kembali kepada-Nya. Ingat ajaran Catur Marga Yoga, empat jalan untuk menghubungkan diri kepada-Nya. Meskipun keempat jalan tersebut saling berhubungan atau saling berkaitan, namun setiap orang akan melaksanakan salah satu yang lebih dominan yang dia sukai daripada yang lainnya. 

Mereka yang  suka dengan jalan Karma Marga, dia akan selalu berbuat atau bertingkah laku demi dan untuk dharma. Mereka berbuat untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia dan untuk Tuhan, tanpa merasa lelah dan tanpa pamerih. 

Mereka yang menempuh jalan Bhakti, akan mencintai dan mengasihi Tuhan dengan sepenuh hatinya. Setiap perayaan keagamaan pasti mereka hadir di Tempat Suci. Cuaca hujan ataupun panas, bukan halangan baginya untuk melakukan pemujaan kepada Tuhan. 

Mereka yang menyukai Jnana Marga, tidak henti-hentinya belajar. Setiap kitab suci dibaca, senang ber-Dharma Tula. Di mana ada pertemuan yang membahas kitab suci, dia berusaha untuk hadir dan berpartisipasi. Dia juga berusaha untuk menyebarkan ilmu yang dia peroleh kepada sanak saudaranya dan kepada masyarakat luas. 

Sedangkan mereka yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tapa brata yoga dan samadi (Raja Marga Yoga), dia taat sekali melaksanakan sadhana (latihan-latihan kerohanian), seperti: gemar berpuasa, suka berjapa, taat berpantang (brata), misalnya berpantang makan daging, berpantang melakukan hubungan suami istri, berpantang main judi dan mabuk-mabukan, serta lain sebagainya. Sering melakukan samadi, menyatukan jiwa dan raganya kepada Yang Maha Kuasa, mereka berserah diri dan memasrahkan segalanya, apapun yang menjadi kehendak Tuhan atas dirinya.

Umat sedharma yang terkasih. Betapa indah dan damainya dunia ini ketika kita mampu menyadari bahwa Tuhan menciptakan dunia ini penuh warna. Lihatlah ketika pelangi muncul di cakrawala, betapa kita kagum dan terpesona melihat keindahannya karena pelangi itu beraneka warna. Marilah kita sikapi perbedaan itu dengan berlapang dada, bertenggang rasa, bertoleransi, saling harga menghargai, niscaya rasa iri, dengki, kemarahan dan kebencian akan sirna menuju kedamaian dan kebahagiaan. Terima kasih

Om Santih, Santih, Santih Om

Putu Sariati (Rohaniwan Hindu)
 

Isu mengenai keragaman bukan lagi hal yang asing bagi masyarakat Indonesia saat ini. Dengan adanya media sosial seperti WhatsApp, Instagram, Facebook, Twitter, Youtube dan Tiktok, banjirnya informasi tidak dapat dihindari setiap orang, berapa pun usianya, baik orang dewasa yang telah mengerti banyak hal, maupun anak-anak yang masih berproses menangkap segala informasi di sekitarnya, salah satunya dari gawai di rumah mereka.

Dengan maraknya informasi yang beragam, anak-anak jadi menyerap banyak hal, mulai ragam jenis manusia, sikap, gaya, isu kekinian, hingga persoalan agama. Bagi anak-anak, informasi yang baru mereka dapatkan melalui indra akan menjadi sesuatu unik yang baru, sehingga terkadang dengan mudah memori mereka menyerap apa yang dilihat, bahkan ada usaha untuk menirunya. Di sinilah perlunya orang tua untuk membatasi anak dalam penggunaan gawai sehari-hari.

Terkait banjirnya informasi yang tak dapat dibendung, isu kerenggangan antarpenganut agama merupakan hal yang perlu diwaspadai. Dewasa ini banyak kita lihat isu-isu relasi antaragama ramai muncul di media sosial. Kita perlu mendidik anak sejak dini, agar dapat menghormati semua orang, apa pun agama, suku dan rasnya.

Mendidik anak untuk menghormati perbedaan agama dapat kita contohkan, sebagai orang tua, dengan berbuat baik dan santun kepada tetangga yang nonmuslim. Misalnya, dengan berolahraga dengan mereka, mengobrol santai, bertukar pengalaman keseharian di sekolah, membincangkan hobi dan hal-hal ringan lainnya yang sekiranya anak dapat diajak dan dilibatkan. Semisal kita sedang membicarakan perihal hobi anak kita dengan anak tetangga yang nonmuslim, kita libatkan dialog di antara keduanya.

“Nak, kamu kan juga suka menggambar, besok menggambarnya bareng sama dia ya...” (sambil mengisyaratkan kepada anak tetangga yang nonmuslim)

“Okay, Mah. Eh, kamu mau kan menggambar bareng besok di rumahku... banyak peralatan menggambar, lho…”

“Wih, boleh...” jawab anak tetangga kita yang nonmuslim tersebut.

Di atas adalah salah satu misal percakapan yang merekatkan hubungan antarpenganut agama yang bisa dimulai sejak dini, agar tidak ada kerenggangan dan stereotip yang terjadi di antara anak-anak. Tujuan utamanya adalah menghilangkan dalam diri si anak akan kecanggungan yang memungkinkan terjadi akibat perbedaan.

Hal ini kita praktikkan di luar rumah. Adapun di dalam rumah, kita kenalkan dan ajarkan anak-anak kita pada akidah yang benar, agar mereka mengenal Allah dan Rasul-Nya sejak dini, sehingga fondasi keimanan tumbuh dan menguat dalam diri si anak.

Apabila, misalnya, terjadi perkelahian dan saling ejek satu sama lain antara anak-anak kita dengan anak-anak tetangga yang berbeda agama, sehingga hal tersebut berimplikasi kepada mengejek dan mengolok-olok agama temannya, maka sudah semestinya orang tua melerai dan mendamaikan keduanya. Ajaklah mereka berdialog dengan baik dan lembut.

“Nak, kamu kenapa berantem sama dia?”

“Itu mah, mainan aku diambil..”

“Oh.. Itu cuma dipinjam sebentar doang kok, nanti dibalikin lagi. Pinjamkan dulu ya sebentar, nanti di rumah kamu bisa main sepuasnya pakai mainan itu.. Sekarang saling bermaafan ya...”

Di sini, jangan sampai orang tua memihak kepada siapa pun, baik kepada anak sendiri ataupun tetangga, sebab hal tersebut menghilangkan kemandirian anak untuk menyelesaikan konflik kecil yang ada di sekitarnya.

Sesampainya di rumah, ajarkan anak untuk lebih menghormati dan tidak mengolok-olok agama lain seperti kejadian tadi. Tentunya dengan bahasa yang halus dan perumpamaan yang mudah ditangkap oleh anak seusianya. Biasanya mereka mengolok-olok tidak dengan serius sebagaimana konflik dan perdebatan yang terjadi antara orang dewasa. Hal tersebut terjadi karena ketidaktahuan si anak dan informasi yang baru ia tangkap hanyalah soal perbedaan saja, sehingga hal tersebut dapat dijadikan dalih untuk menyebut temannya ketika sedang berkonflik bahkan mengolok-olok sisi perbedaan tersebut.

“Nak, jangan mengejek teman kamu lagi ya, dia kan yang tiap hari main sama kamu. Nanti, kalau dia nggak mau main lagi sama kamu, kamu nggak ada teman main dong... Apalagi mengejek agama orang, jangan ya, nanti kalau kamu mengejek agama lain, maka mereka juga akan mengejek agama kamu, Nak.”

Ajaklah anak berdialog. Jangan mudah menghakimi mereka. Akan tetapi, ajarkan dan bimbing mereka, bahwa setiap sesuatu yang mereka lakukan pasti memiliki konsekuensi yang didapat. Konsekuensi dari mengejek adalah permusuhan dan hilangnya pertemanan, juga konsekuensi dari mengejek agama lain adalah akan mendapat ejekan yang sama.

Dibandingkan dengan hukuman, lebih baik kita kenalkan anak tentang konsekuensi perbuatan. Sebab, sesuatu yang diwarisi dan ditangkap anak dari sebuah hukuman adalah ketakutan serta kepatuhan sementara. Sementara pengetahuan akan membentuk kepekaan mereka terhadap berbagai manfaat dan risiko dari pilihan sikap mereka sendiri.

Mengenai larangan mengejek agama lain, Allah subhânahu wa ta’âla berfirman dalam surah Al-An'am Ayat 108:

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

Amien Nurhakim, Alumnus UIN Jakarta dan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, Ciputat.

Konten ini hasil kerja sama NU Online dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI

Bagaimana cara menyikapi teman baru yang berbeda agama dengan kita