Bagaimana asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam penyusunan APBN 2022?

Harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang dapat berpengaruh pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam APBN 2022 pemerintah memperkirakan harga ICP tahun 2022 mencapai kisaran US$63 per barel, dan kenaikan harganya dapat berdampak pada keuangan negara.

Menurut asumsi sensitivitas APBN 2022, setiap kenaikan ICP sebesar US$1 per barel bisa menghasilkan Pendapatan Negara sebesar Rp3 triliun, terdiri dari Penerimaan Perpajakan Rp800 miliar, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp2,2 triliun.

Kenaikan ICP sebesar US$1 per barel juga diasumsikan dapat berdampak pada peningkatan Belanja Negara sebesar Rp2,6 triliun, terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat Rp1,9 triliun, serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Rp800 miliar.

Dengan demikian, secara kumulatif setiap kenaikan harga ICP sebesar US$1 per barel diasumsikan bisa menghasilkan Surplus Anggaran sekitar Rp400 miliar.

(Baca Juga: Tertinggi Sejak 2014, Harga Minyak Mentah Indonesia Dipatok US$ 95,72 Per Barel)

Berdasarkan data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (EDM), pada Februari 2022 harga ICP sudah berada di level US$95,72 per barel.

Harga tersebut telah bertambah sekitar US$32 per barel dari perkiraan harga ICP dalam APBN 2022, yang hanya sebesar US$63 per barel.

Jika menggunakan asumsi sensitivitas dalam APBN 2022, kenaikan ICP ini berpotensi menghasilkan Pendapatan Negara sekitar Rp96 triliun, mendorong Belanja Negara senilai Rp83 triliun, serta menyisakan Surplus Anggaran sekitar Rp12 triliun.

Namun, angka-angka tersebut masih bersifat asumsi. Pasalnya, di samping ICP masih ada beberapa indikator ekonomi makro lain yang dapat mempengaruhi APBN, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah, Surat Utang Negara (SUN), serta kapasitas lifting migas.

"Dalam kenyataannya, perubahan asumsi dasar ekonomi makro tertentu akan memiliki pengaruh dan berinteraksi dengan perubahan asumsi dasar ekonomi makro lainnya, sehingga secara hasil akhir dampaknya terhadap APBN tahun anggaran 2022 belum dapat ditentukan secara pasti," seperti dikutip dari Buku II Nota Keuangan beserta APBN TA 2022.

(Baca Juga: Penerimaan Pajak Moncer, Realisasi Pendapatan Negara Capai Rp302,4 Triliun)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah telah menyepakati kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM PPKF) 2022. Pertumbuhan ekonomi dipatok pada rentang 5,2-5,8%.

Hal ini ditandai dengan ketuk palu Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku Pimpinan Sidang Paripurna yang digelar siang tadi di gedung DPR RI, Selasa (6/7/2021).

Hasil KEM PPKF dibacakan oleh Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) Muhidin Moh Said. Ada beberapa perubahan dari yang sudah diajukan oleh pemerintah sebelumnya. DPR berharap KEM PPKF menjadi acuan dalam penyusunan RAPBN 2022.


"Untuk pertumbuhan ekonomi tahun ini diharapkan bisa tumbuh minimal 4%, sebab pemerintah akan sulit mengejar target pertumbuhan ekonomi 5% tahun depan jika di tahun ini masih di bawah 3%," ujar Muhidin.

Selanjutnya pemerintah akan mengajukan RAPBN 2022 secara resmi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 16 Agustus mendatang.


Berikut rincian asumsi makro dalam RAPBN 2022 yang telah disepakati:

- Pertumbuhan ekonomi tetap 5,2-5,8%- Inflasi 2 - 4%, kesepakatan 3 plus minus 1%- Tingkat bunga SUN 10 tahun tetap 6,32 - 7,27%- Nilai tukar rupiah Rp 13.900 - Rp 15.000/US$, kesepakatan Rp 13.900 - Rp 14.800/US$- ICP US$ 55 - US$ 65 per barel, kesepakatan US$ 55 - US$ 70 per barel- Lifting minyak bumi 686.000-726.000 barel per hari, kesepakatan 686.000-750.000 barel per hari

- Lifting gas bumi dari 1.031-1.103 juta barel minyak ekuivalen per hari (BOEPD), kesepakatan 1.031-1.200 juta BOEPD

Target Indikator Pembangunan 2022:

- Nilai tukar petani dari 102-105, kesepakatan 103-105- Nilai tukar nelayan dari 102-105, kesepakatan 104-106- Pembangunan tingkat pengangguran terbuka tetap 5,5-6,3%.- Tingkat kemiskinan tetap 8,5-9%

- Gini ratio indeks tetap 0,36-0,378%


[Gambas:Video CNBC]

(mij/mij)

Bagaimana asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam penyusunan APBN 2022?

Bagaimana asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam penyusunan APBN 2022?
Lihat Foto

TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

Ilustrasi DPR

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui asumsi dasar ekonomi makro pada RAPBN tahun 2022, Senin (30/8/2021).

Untuk mencapai kata sepakat ini, pemerintah dan DPR melalui pembicaraan yang cukup panjang.

Berikut asumsi makro ekonomi yang disepakati pemerintah dan DPR yang akan menjadi dasar penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022:

Baca juga: Naik Tipis 0,2 Persen, Pemerintah Anggarkan Rp 541 Triliun untuk Sektor Pendidikan di RAPBN 2022

Pertama, pertumbuhan ekonomi disepakati berada di kisaran 5,2 persen hingga 5,5 persen. Ini meningkat dari target awal pertumbuhan ekonomi yang kisaran 5,0 persen hingga 5,5 persen dalam nota keuangan yang dibacakan Presiden RI Joko Widodo.

Kedua, laju inflasi ditetapkan 3 persen, alias tidak berubah dari usulan pemerintah.

Ketiga, nilai tukar rupiah juga dipatok Rp 14.350 per dollar Amerika Serikat (AS), alias tidak berubah dari usulan awal.

Keempat, tingkat suku bunga Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun 2022 ditetapkan sebesar 6,8 persen, tak berubah dari usul pemerintah.

Meski pada awalnya sejumlah fraksi meminta pemerintah kembali menurunkan suku bunga SUN 10 tahun menjadi 6,7 persen.

Baca juga: Jokowi Tetapkan Anggaran Belanja Pemerintah Rp 2.708,7 Triliun di RAPBN 2022, Ini Rinciannya

Pemerintah dan DPR juga menyepakati tiga target ekonomi tahun depan, yakni:

1. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) ditetapkan 5,5 persen hingga 6,3 persen.

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menyepakati asumsi makro dalam penyusunan Rancangan APBN 2022. Hal itu disepakati dalam Rapat Paripurna DPR ke-22 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021, Selasa (6/7).

Ketua DPR Puan Maharani mengatakan RAPBN 2022 harus dirancang untuk responsif, fleksibel, dan adaptif karena ketidakpasitan akibat pandemi covid-19 masih membayangi. "Pemerintah bisa menindaklanjuti hasil dan mengantisipasi ketidakpastian covid. Dengan demikian tahun 2022 memiliki antisipasi yang baik," ujarnya.

Adapun asumsi makro yang disepakati yakni pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 5,2%-5,8%; laju inflasi 3% plus minus 1%; nilai tukar rupiah 13.900-14.800 per dolar AS; tingkat bunga SUN tenor 10 tahun 6,32%-7,27%; harga minyak mentah Indonesia per barel US$55-US$670; lifting minyak bumi 686-750 ribu barel per hari; lifiting gas bumi 1.031-1.200 barel setara minyak per hari.

Di kesempatan yang sama Wakil Ketua Badan Anggaran Muhidin Mohamad Said mengatakan, kerangka ekonomi makro dan asumsi yang disusun pemerintah dan DPR tersebut juga memperhitungkan dinamika pandemi saat ini dan perkiraan di tahun depan. Kendati penanganan covid-19 mengalami perbaikan di triwulan I dan II, tetapi eskalasi peningkatan kasus beberapa waktu terakhir menjadi atensi utama.

"Fokus penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi tetap dilakukan simultan dengan upaya memperbaiki fundamental perekonomian, antara lain, kualitas SDM, infrastruktur, produktivitas, simplikasi regulasi, dan efisiensi birokrasi," ujarnya. Dia menyampaikan tema kebijakan fiskal tahun 2022 yang diusung pemerintah konsisten dengan tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP), yakni Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural.

Baca juga: Realisasi KUR Sudah Mencapai Rp128,46 Triliun

Dari tema besar itu, disusun pokok-pokok kebijakan fiskal seperti pemanfaatan pemulihan ekonomi tetap memprioritaskan sektor kesehatan sebagai kunci pemulihan. Lalu program perlindungan sosial memperkuat pondasi kesejahteraan sosial, mengatasi kemiskinan dan kerentanan, termasuk mengungkit daya UMKM dan dunia usaha agar bangkit lebih kuat dan berdaya tahan. "Juga mendukung peningkatan daya saing dan produktivitas dengan implementasi sektoral melalui Undang Undang Cipta Kerja dan reformasi fiskal," pungkas Muhidin. (OL-14)

Oleh:

POOL Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memimpin pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral atau Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (FMCBG) di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (17/2/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah telah menetapkan asumsi makro ekonomi untuk pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2023. Sejumlah asumsi berubah karena terpengaruh oleh dinamika ekonomi global dan geopolitik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menyampaikan asumsi makro ekonomi APBN 2023 dalam Rapat Paripurna DPR RI dengan agenda Penyampaian Pemerintah terhadap Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) RAPBN Tahun Anggaran 2023. Rapat berlangsung pada Jumat (20/5/2022).

Dia menjelaskan bahwa terdapat potensi pemulihan ekonomi yang baik pada tahun tetapi, tetapi sejumlah risiko membayangi peluang itu. Sejumlah asumsi makro ekonomi pun mengalami perubahan dari posisi tahun ini.

"Dengan mempertimbangkan berbagai risiko dan potensi pemulihan ekonomi nasional di tahun depan, pemerintah mengusulkan kisaran indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai asumsi dasar penyusunan RAPBN 2023 sebagai berikut, pertumbuhan ekonomi 5,3 persen—5,9 persen," ujar Sri Mulyani pada Jumat (20/5/2022).

Dia pun menyebut bahwa asumsi inflasi pada 2023 sama dengan tahun ini, yakni 3±1 persen atau di rentang 2 persen—4 persen. Lalu, asumsi nilai tukar rupiah berada di 14.300—14.800, terdapat potensi pelemahan karena asumsinya melebar dari kondisi saat ini yang berada di rentang 14.300—14.700.

Tingkat suku bunga surat berharga negara (SBN) 10 tahun dipatok di rentang 7,34 persen—9,16 persen. Asumsi itu naik dari asumsi suku bunga saat ini di rentang 6,85 persen—8,42 persen.

"Harga minyak mentah Indonesia US$80—100 per barel, lifting minyak bumi 619.000—680.000 barel per hari, dan lifting gas 1,02 juta hingga 1,11 juta barel setara minyak per hari," ujar Sri Mulyani.

Sebelumnya, Sri Mulyani menyampaikan bahwa asumsi makro ekonomi akan mendukung konsolidasi fiskal. Pemerintah memperkirakan bahwa pendapatan negara pada 2023 ada di kisaran Rp2.255,5—2.382,6 triliun atau 11,28—11,37 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), lalu belanja negara didesain di kisaran Rp2.818,1—2.979,3 triliun atau mencakup 14,09—14,71 persen terhadap PDB.

Belanja APBN didesain untuk terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp2.017—2.152 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) berkisar Rp800—826 triliun. Prioritas belanja di antaranya untuk perlindungan sosial yang berkisar Rp332—349 triliun, anggaran kesehatan Rp255 triliun yang mencakup anggaran penanganan Covid-19 Rp116,4 triliun.

"Dengan belanja tersebut dan penerimaannya, defisit APBN tahun depan akan dirancang pada kisaran Rp562,6—Rp596,7 triliun atau ini berarti 2,81 persen—2,95 persen dari PDB. Ini artinya kita akan melaksanakan UU 2/2020 di mana defisit APBN 2023 akan kembali di bawah 3 persen," ujar Sri Mulyani pada Kamis (14/4/2022).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :