Bagaimana akhir dari masa pemerintahan raja Airlangga

Penggambaran Wisnu duduk di atas Garuda atau disebut Wisnu Garudanarayanamurti. Arca ini diidentifikasikan sebagai penggambaran Raja Airlangga. (Wikipedia).

Jawa seakan ditimpa pralaya, kehancuran dunia pada akhir zaman Kaliyuga. Istana Mataram Kuno di Jawa Timur terbakar tak bersisa. Serangan Haji Wurawari juga menewaskan Maharaja Dharmawangsa Tguh. Pemerintahannya berakhir pada 1016.

Menantu sekaligus keponakannya, Airlangga, melarikan diri ke hutan. Setelah hidup bersama para rsi selama beberapa tahun, dia kembali ke puing-puing kerajaan mertuanya dan dinobatkan pada 1019.

Ade Latifa Soetrisno dalam “Prasasti Baru Tahun 925 S/1030 M: Sebuah Kajian Ulang”, skripsi di jurusan arkeologi Universitas Indonesia tahun 1988, menyebutkan bahwa keadaan di Jawa ketika awal pemerintahan Airlangga masih sangat kacau. “Kerajaan Dharmawangsa telah terpecah menjadi sekian banyak kerajaan kecil yang menimbulkan kesukaran besar kepada Airlangga,” tulis Ade.

Advertising

Advertising

Baca juga: Menggali Isi Prasasti Airlangga di Museum India

Airlangga tidak langsung menundukkan musuh-musuhnya. Dia menerbitkan Prasasti Pucangan untuk melegitimasi kekuasaannya. Prasasti itu memuat silsilah keluarganya hingga Mpu Sindok, pendiri Dinasti Isana sekaligus penguasa Mataram pertama setelah pusatnya pindah ke Jawa Timur.

Airlangga juga menerbitkan beberapa prasasti berisi kemenangannya dalam peperangan melawan raja-raja daerah yang tak mau tunduk. Keterangan ini ditemukan pula dalam Prasasti Pucangan. Tersua juga bagaimana dia memberikan hadiah gelar kehormatan dan status sima kepada mereka yang berjasa memperkuat kedudukannya.

Musuh-musuh Airlangga

Upaya Airlangga memerangi musuh-musuhnya untuk menundukkan mereka agar mengakui hegemoninya.

Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, dalam laporan penelitian “Prasasti-Prasasti Sekitar Masa Pemerintahan Raja Airlangga: Suatu Kajian Analitis” tahun 1996, mencatat penyerangan-penyerangan Airlangga dalam Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta (1037 M). Operasi militernya dilakukan sejak tahun 1029 (951 Saka) hingga 1037 (959 Saka).

Airlangga menyerang wilayah Wuratan dan mengalahkan rajanya, Wisnuprabhawa, pada 1029 (951 Saka). Raja ini adalah putra dari raja yang ikut menyerang Dharmmawangsa Tguh.

Pada 1031 (953 Saka), Airlangga mengalahkan Haji Wengker yang bernama Panuda. “...yang hina seperti Rawana,” catat prasasti itu. 

Panuda sempat melarikan diri meninggalkan keratonnya di Lewa. Namun, dia dikejar ke Desa Galuh dan Barat. Pada 1031 (953 Saka), anaknya dapat dikalahkan, keratonnya dihancurkan sampai tak bersisa. 

Baca juga: Berebut Takhta Mataram Kuno

Menurut Vernika Hapri Witasari, arkeolog Universitas Indonesia dalam skripsinya “Prasasti Pucangan Sanskerta 959 Saka (Suatu Kajian Ulang)” tahun 2009, lawan Airlangga sangat kuat. Hal ini tercatat dalam Prasasti Pucangan bahwa “dengan pasukan tentara yang sangat besar jumlahnya” Raja Airlangga menyerang Raja Wengker.

Namun, tak jelas apakah Raja Wengker tewas dalam serangan itu atau hanya ditawan. Di dalam prasasti hanya ditulis “berhasil diserang dan dikalahkan”. Di kemudian hari Raja Wengker menyerang kembali.

Pada 1032 (954 Saka), Airlangga melibas Haji Wurawari. Maka, lenyaplah segala perusuh di tanah Jawa. Namun, dalam Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta disebutkan bahwa pada tahun itu Airlangga juga menyerang seorang ratu perempuan yang gagah perkasa seperti raksasa. Walaupun sulit, dia tetap menang.

Balas Jasa

Kemenangan lainnya disebutkan dalam Prasasti Baru dari tahun 1030 (952 Saka). Kali ini Raja Hasin yang harus menerima kekalahan. Atas kemenangannya, Airlangga memberi hadiah sima kepada rakyat Desa Baru yang telah memberi penginapan kepada raja dan tentaranya pada awal serangan.

Sementara Prasasti Terep (1032) mencatat berita kekalahan Airlangga pada tahun yang sama dengan serangannya ke Haji Wurawari dan kerajaan ratu perempuan perkasa. 

Kekalahan itu membuat raja terpaksa meninggalkan keratonnya di Wwatan Mas dan melarikan diri ke Patakan. Tak disebutkan siapa musuh yang menyerang kerajaan pada saat itu.

Baca juga: Raja-Raja di Singgasana Mataram Kuno

Isi Prasasti Terep menyebutkan bahwa raja telah memberi anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong berkat jasanya saat raja menyingkir dari Wwatan Mas ke Patakan.

Rakai Pangkaja Dyah Tumambong telah berdoa dan melakukan puja kepada Bhatari Durga agar Airlangga memperoleh kemenangan dalam peperangan. “Dia berjanji jika permohonannya terkabul akan mengajukan permohonan pada raja agar Desa Terep, tempat pertapaan yang digunakan untuk berdoa dan pujanya itu dijadikan sima,” tulis Ninie.

Setelah Airlangga mendapat kemenangan, dia pun meluluskan permohonan Dyah Tumambong. Pada namanya disematkan gelar Rakai Halu. Sehingga namanya menjadi Rakai Halu Dyah Tumambong.

Prasasti Pucangan masih menyebut satu serangan lagi dari Haji Wengker. Dia mungkin memberontak pada 1035 (957 Saka). Raja itu bernama Wijayawarmma.

Baca juga: Perempuan Penguasa Masa Mataram Kuno

Dalam Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta dijelaskan pada 957 Saka Airlangga berangkat ke barat dengan pasukan siap tempur dan prajurit tangguh tidak terhitung. Mereka meraih kemenangan terhadap Wijayawarmma. Tak lama setelah itu, Wijayawarmma ditangkap oleh pasukannya sendiri dan gugur. 

Namun, keterangan berbeda terbaca pada bagian Prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuno (1041). Pada 1035, Airlangga menaklukkan Wijayawarmma di Tapa. Dia berusaha melarikan diri mencari desa yang sulit dijangkau oleh pasukan Airlangga. Dia meninggalkan putra, permaisuri, kekayaan, dan berbagai jenis kendaraan.

Peperangan Airlangga belum juga berakhir. Prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuno mencatat bahwa pada 1037, Wijayawarmma melarikan diri ke Kapang dengan pasukan yang masih setia dan berhasil dikalahkan di Sarasa. “Setelah itu perang pun berakhir,” tulis Vernika.  

Vernika berpendapat penggambaran Ailangga yang menundukkan musuh-musuhnya itu, khususnya dalam Prasasti Pucangan, menunjukkan betapa raja sanggup menenteramkan negaranya. “Hal ini mengingat bahwa Prasasti Pucangan adalah upaya legitimasi sebagai raja yang memang berhak atas takhta kerajaan,” jelas Vernika.

Baca juga: Ekspedisi Mataram Kuno ke Luar Jawa

Lihat Foto

Wikimedia Commons/Gunawan Kartapranata

Arca Raja Airlangga digambarkan sebagai Wisnu menaiki Garuda, ditemukan di Candi Belahan.

KOMPAS.com - Kerajaan Kahuripan adalah salah satu kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Jawa Timur yang berkuasa pada abad ke-11.

Kerajaan ini didirikan oleh Prabu Airlangga pada 1019, sebagai kelanjutan dari Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Timur (Kerajaan Medang).

Ibu kota kerajaannya terletak di Kahuripan, dekat lembah Gunung Penanggungan, sekitar Sidoarjo.

Kerajaan ini berumur sangat pendek dan Prabu Airlangga menjadi satu-satunya raja yang pernah berkuasa.

Kendati demikian, Kerajaan Kahuripan tidak runtuh karena serangan musuh. Pada 1045, Prabu Airlangga memutuskan turun takhta dan membagi kerajaannya untuk kedua putranya.

Baca juga: Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno

Sejarah berdirinya Kerajaan Kahuripan dapat ditelusuri dari peristiwa runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Timur atau Kerajaan Medang.

Pada 1016, ibu kota Kerajaan Medang yang terletak di Watan (sekitar Madiun sekarang) diserang oleh Raja Wurawari dari Lwaram (sekutu Kerajaan Sriwijaya).

Kala itu, kerajaan diperintah oleh Raja Dharmawangsa Teguh, yang berkuasa antara 985-1017 M.

Akibat serangan tersebut, banyak pembesar Kerajaan Medang tewas dalam pertempuran, termasuk Raja Dharmawangsa Teguh.

Airlangga, yang merupakan keponakan sekaligus menantu Dharmawangsa Teguh, berhasil menyelamatkan diri ke dalam hutan.

Untuk pembahasan kali ini kami akan mengulas mengenai airlangga yang dimana dalam hal ini meliputi sejarah, masa kejayaan dan akhir hayat, nah agar lebih memahami dan mengerti kalau begitu simak pemaparannya sebagai berikut.

Airlangga (Erlangga) adalah pendiri dari Kerajaan Kahuripan yang dimana memerintah 1009-1042 dengan memiliki gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaan dibelah menjadi dua yakni Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia.

Asal Usul

Nama Airlangga berarti “Air yang melompat” ia lahir tahun 990, ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Wardewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.

Baca Juga : 22 Nama Kerajaan Di Indonesia, Sejarah Beserta Rajanya Lengkap

Airlangga memiliki dua orang adik yakni Marakata “menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka” dan Anak Wungsu “naik takhta sepeninggal Marakata” dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.

Masa Pelarian

Airlangga menikah dengan putri pamannya yakni Dharmawangsa Teguh “saudara Mahendradatta” di Watan ibu kota Kerajaan Medang “sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur”. Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Watan di serbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram “sekara desa Ngloram, Cepu Blora” yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya.

Dalam serang itu Dharmawangsa teguh tewas sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan “wanagiri” ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.

Baca Juga : Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya agar membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1008 itu, wilayah kerajaan hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.

Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukan Pulau Jawa.

Masa Peperangan

Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).

Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin dari selatan Wengker (sekarang daerah sungai Ngasinan, Kelurahan Kelutan, Trenggalek). Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga.

Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala, dan membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita pada akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.

Baca Juga : Kerajaan Buleleng

Masa Pembangunan

Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).

Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.

  • Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
  • Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
  • Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
  • Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
  • Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
  • Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.

Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.

Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.

Pembelahan Kerajaan

Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.

Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.

Baca Juga : Kerajaan Bali : Sejarah, Raja, Dan Peninggalan Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap

Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.

Kahuripan, Daha atau Panjalu

Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.

Akhir Hayat

Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal, Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka ialah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan.

Pada kolam tersebut ditemukan Arca Wisnu disertai dua dewi, berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga ialah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya yakni ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan. Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049 tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu kematian Airlangga ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Cari

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA