Mengapa di Indonesia pernah terjadi kekosongan kekuasaan

Antara tanggal 15 Agustus 1945 (tanggal penyerahan Jepang) dan pendaratan Sekutu tanggal 29 September 1945 terdapat Vacuum of power (kekosongan kekuasaan). Hal itu terjadi karena Jenderal McArthur memberitahukan perintah umum bahwa pendaratan hanya dapat dilakukan setelah diadakan penandatanganan perjanjian penyerahan Jepang kepada Sekutu. Hal itu baru dapat dilakukan setelah tanggal 2 September 1945, sebab penandatanganan penyerahan Jepang kepada Sekutu baru dilakukan tanggal tersebut di Tokyo.

Dengan menyerahnya Jepang secara tiba-tiba, Sekutu belum siap dalam hal transportasi untuk pendudukan kembali Asia Tenggara. Dengan pernyataan penyerahan Jepang tanpa syarat oleh Kaisar Hirohito pada 15 Agustus 1945 di Tokyo, Belanda memperhitungkan tentara Jepang di Indonesia akan meneruskan perlawanan. Namun hal itu tidak terjadi. Andai kata Jepang bertempur terus, Belanda akan berkesempatan bersama-sama dengan tentara Sekutu melakukan pendaratan, yang berarti penguasaan terhadap Indonesia dapat lebih cepat dilakukan.

Keterlambatan pendaratan bertambah lagi dengan rencana Komando Asia Tenggara dalam penentuan jadwal pendudukan yang dimulai di Saigon, Malaya dan kemudian baru di Indonesia. Saigon didahulukan, karena terdapat markas besar tentara Jepang yang dipimpin Laksamana Terauchi. Setelah itu menyusul Malaya (termasuk Singapura) sebagai jajahan Inggris sehingga dia berkepentingan untuk segera mendudukinya. Banyak pula kapal-kapal Belanda yang dipergunakan oleh tentara Inggris ataupun tentara Australia. Walaupun sudah sering kapal-kapal itu diminta oleh Belanda untuk pendaratan tentaranya, tetapi dipergunakan oleh Inggris.

Keterlambatan itu diprotes oleh Belanda, sebab mengakibatkan vacuum of power yang berarti pemberian kesempatan yang sangat baik bagi Republik Indonesia untuk memperkuat posisinya. Belanda selalu menganggap Inggris sebagai bangsa yang oportunitis, dan ada unsur kesengajaan dari pihak Inggris. Pendapat itu timbul karena adanya persaingan dalam bidang ekonomi dan politik di Asia Tenggara. Belanda menuduh Jenderal Christison sebagai pengecut dalam menghadapi gerakan kemerdekaan Indonesia. Maka ketika Jenderal Christison diganti oleh Letnan Jenderal Sir Mortague Stopford, Belanda merasa sangat senang.

Dengan diumumkannya penyerahan tentara Jepang oleh Kaisar Hirohito, maka tentara Jepang di Indonesia mengalami tekanan mental. Mereka tidak tahu apa yang akan diperbuat, sekalipun persenjataan masih utuh. Menjelang pendaratan Sekutu, balatentara Jepang diangkat sebagai penguasa Sekutu di Indonesia untuk menjaga keamanan dan ketenteraman, tetapi karena mereka telah kehilangan semangat, mereka tak acuh terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia. Jepang tahu adanya persiapan-persiapan dan pernyataan proklamasi bangsa Indonesia di Pegangsaan Timur, tetapi mereka enggan untuk menghalangi dan bertempur dengan bangsa Indonesia. Mereka mampu menghalang-halangi upaya proklamasi kemerdekaan itu, tetapi hal itu akan mengakibatkan pertumpahan darah di seluruh Indonesia.

Banyak di antara tentara Jepang, khususnya dari Angkatan Lautnya, yang mempermudah pemberian senjata pada penguasa Indonesia, seperti yang terjadi di Surabaya. Mengenai hal itu Belanda memprotes keras pihak Jepang. Pihak Angkatan Darat lebih kaku dalam menghadapi perjuangan kemerdekaan Indonesia dan oleh karena itu terjadi usaha-usaha perebutan senjata yang mengakibatkan timbulnya pertempuran dengan pihak Jepang. Pertempuran dengan pihak Jepang itu membuktikan juga pada dunia internasional bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil pemberian atau hadiah dari pihak Jepang.

Di seluruh kota Jakarta bangsa Indonesia mengibarkan bendera merah-putih. Di dalam upaya menggerakan massa di Jakarta dan di seluruh Indonesia, golongan pemuda di bawah pimpinan Sudiro, Dr. Moewardi dan Chairul Saleh sangat berjasa. Golongan pemuda inilah yang membuat coretan-coretan di dinding gedung-gedung dan di gerbong-gerbong kereta api. Karena itu pula Inggris tidak berani mendaratkan tentaranya segera setelah merapat di Tanjung Priok pada 15 September 1945. Mereka baru melakukan pendaratan 14 hari kemudian yakni pada 29 September 1945.

Adanya pemogokan-pemogokan di Australia yang dilakukan oleh kaum buruh pelabuhan Australia atas desakan buruh pelabuhan Indonesia yang berada di Australia ikut memberi sumbangan positif. Pemboikotan kaum buruh terhadap kapal-kapal Belanda itu benar-benar memperlambat gerakan-gerakan membawa alat-alat persenjataan Belanda ke Indonesia. Pemogokan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya, sehingga duta besar Belanda sering memprotes pemerintah Australia.

Vacuum of power yang terjadi sebagai akibat peristiwa-peristiwa tersebut sungguh sangat menguntungkan pihak Indonesia, karena dalam masa-masa tenggang itu terbuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengadakan konsolidasi ke dalam, sehingga ketika tentara Sekutu mengadakan pendaratan di Indonesia, sudah terdapat administrasi sipil maupun militer yang telah mulai mampu menghadapi segala macam kemungkinan.

Foto Dok Ilustrasi

PDRI Mengisi Kekosongan Kekuasaan RI

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sejarah maha penting itu terjadi 69 tahun yang silam, saat PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia, 22 Des. 1948-13 Juli 1949) dibentuk di desa kecil Halaban, selatan Payakumbuh, Sumatera Barat, setelah pemimpin tertinggi RI di Yogyakarta ditawan Belanda sekitar jam 14.00 tanggal 19 Desember 1948 sebagai bagian dari Agresi Belanda kedua.

Sejak jam 06.00 pada hari itu pasukan Belanda telah menghujani Yogyakarta dengan bom dan tembakan. Tujuannya satu: menawan Soekarno-Hatta dan Jenderal Soedirman. Tetapi Belanda salah perhitungan, peta dunia telah berubah drastis pasca PD (Perang Dunia) II. Kekuatan nasionalisme di muka bumi sedang berjuang melumpuhkan imperialisme-kolonialisme dalam bentuk apa pun. PDRI adalah salah satu ujung tombak nasionalisme itu yang sudah menyatu dengan keyakinan agama yang tak tergoyahkan bahwa penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi.

Dengan ditawannya Soekarno-Hatta, kekuatan kolonial mengira bahwa riwayat republik sudah tamat dan sistem penjajahan akan dilanjutkan lagi setelah dihalau Jepang pada 1942. Sejarawan alm. Sartono Kartodirdjo memberi kesaksian tentang kejadian ini sebagai berikut: “Pemerintah RI beralih ke Sumatra Barat dan dikenal sebagai PDRI. Rasanya kita tidak menghadapi fakta historis, melainkan suatu peristiwa yang mirip dengan mitos wayang yang mengisahkan tokoh sakti yang dapat beralih tempat atau wajah. Strategi seperti itu justru membuat setrategi Belanda berantakan.” (Lih. Sartono Kartodirdjo, “Sekapur Sirih” untuk karya Mestika Zed, Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997, hlm. vi).

Sartono melanjutkan: “Terbuktilah di sini bahwa meskipun teknologi Belanda superior, mereka tidak mampu mematahkan ideologi Indonesia, nasionalisme yang berkobar di dada para pejuang pada umumnya dan pimpinan PDRI khususnya.” (Ibid.). Nasionalisme Indonesia yang sudah bersemi sejak dasa warsa pertama abad ke-20 merupakan kekuatan maha dahsyat yang dimiliki bangsa ini untuk pada akhirnya berhasil mengusir penjajahan yang menindas dan congkak. Tetapi kita juga harus merasa malu, sebuah Negeri Kincir kecil di Eropa telah menjajah wilayah Nusantara ini dalam tempo yang bervariasi. Yang terpendek dijajah adalah Aceh yang hanya berlangsung 30 tahun, 1912-1942). Maka mitos yang masih sering diulang-ulang sampai hari ini bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun harus tidak diucapkan lagi.

Sekiranya PDRI gagal dalam perjuangannya mempertahankan RI, berdasarkan mandat yang dikirim Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tertanggal 19 Desember 1948 (yang tidak pernah sampai saat itu ke tangan Sjafruddin Prawiranegara), masih ada cadangan kekuatan RI di luar negeri di tangan Dr. Soedarsono dan A.A. Maramis di India serta L.N. Palar di PBB untuk membentuk pemerintah pengasingan di luar negeri.

Semuanya sudah diperhitungkan dalam situasi politik yang tidak menentu itu. Tetapi PDRI bukan saja berhasil membentuk pemerintahan darurat yang didukung sepenuhnya oleh Jenderal Soedirman, pemimpin perang grilya di Jawa, Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI bersama tokoh-tokoh pejuang yang lain telah membuktikan bahwa mimpi Belanda untuk berkuasa lagi telah hancur sama sekali.

Inilah pidato radio heroik Sjafruddin sehari setelah PDRI terbentuk: “Negara Indonesia tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu adalah sangat berharga bagi bangsa kita. Patah tumbuh hilang berganti. Hilang pemerintah SoekarnoHatta, sementara atau untuk selama-selamanya, rakyat Indonesia akan mendirikan pemerintah yang baru, hilang pemerintah ini akan timbul yang baru lagi.” (Lih. Amrin Imran, Saleh A. Djamhari, J.R. Chaniago, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Dalam Perang Kemerdekaan. Jakarta: Citra Pendidikan, 2003, hlm. 74).

Saat pidato ini disampaikan, Sjafruddin belum tahu persis apakah Soekarno-Hatta telah ditawan atau tidak, mengingat sukarnya komunikasi di era itu. Padahal sore hari pada 19 Desember itu Soekarno-Hatta bersama beberapa meneteri yang lain telah meninggalkan Yogyakarta, dipindahkan ke luar Jawa oleh Belanda sebagai tahanan politik selama beberapa bulan.

Akhirnya, karena yang memimpin PDRI itu bukan hanya Sjafruddin Prawiranegara, tetapi banyak yang lain, maka beberapa nama besar PDRI yang berjuang di luar Jawa itu perlu saya sebutkan di sini a.l.: Mr. Teuku Mohammad Hasan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir. Mananti Sitompul, Ir. Indratjaja, Mr. A.A. Maramis, Marjono Danubroto, A. Latif, A. Karim, Kolonel Hidayat, Kolonel Laut M. Nazir, Kolonel Laut Adam, Komodor Muda Habertus Soejono, Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kapten Udara Sidik Tamimi.

Di belakang PDRI berdiri puluhan juta rakyat Indonesia, desa dan kota, sama-sama bertekad mengusir penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dengan segala kekuatan. PDRI telah berhasil mengisi kekosongan kekuasaan pemerintah pusat setelah Yogyakarta jatuh. PDRI adalah salah satu episode maha menentukan bagi kelangsungan RI, tetapi yang sering dilupakan.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 24 Tahun 2018

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA