KEBIJAKAN PAJAK Show Redaksi DDTCNews | Selasa, 13 September 2022 | 16:00 WIB Kring Pajak. JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak mengingatkan wajib pajak bahwa pemotong atau pemungut PPh Pasal 23 tetap harus membuat bukti potong unifikasi meskipun jumlah pajak penghasilan yang dipotong atau dipungut tercatat nihil karena adanya surat keterangan bebas. Merujuk pada Pasal 3 ayat (1) huruf a Peraturan Dirjen Pajak No. PER-24/PJ/2021, bukti potong atau pungut unifikasi tetap dibuat dalam hal jumlah PPh yang dipotong/dipungut nihil karena adanya surat keterangan bebas (SKB). “Bukti potong tetap dibuat dan dilaporkan di SPT Masa PPh unifikasi meskipun dalam hal PPh Pasal 23 nihil karena SKB. Nanti saat rekam bukti potong, jangan lupa menginput SKB pada menu fasilitas PPh,” sebut DJP dalam akun Twitter @kring_pajak, dikutip pada Selasa (13/9/2022). Seperti diketahui, pemotong/pemungut PPh yang melakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh harus membuat bukti
potong/pungut unifikasi dan menyerahkan bukti potong/pungut unifikasi kepada pihak yang dipotong dan/atau dipungut. Tak hanya itu, pemotong/pemungut PPh juga wajib melaporkan bukti potong/pungut unifikasi kepada Ditjen Pajak (DJP) menggunakan SPT Masa PPh Unifikasi. Lebih lanjut, SPT Masa Unifikasi tersebut juga meliputi beberapa jenis PPh. Jenis-jenis PPh tersebut antara lain PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Adapun bukti
potong/pungut unifikasi dan SPT Masa PPh Unifikasi berbentuk dokumen elektronik, yang dibuat dan dilaporkan melalui aplikasi e-Bupot Unifikasi. Sebelum menggunakan aplikasi e-bupot unifikasi, wajib pajak harus mengaktifkan aplikasi tersebut terlebih dahulu melalui menu Aktivasi Fitur pada DJP Online. Simak, “Cara Mengaktifkan Fitur e-Bupot Unifikasi di DJP
Online”. Tambahan informasi, pembuatan bukti potong/pungut unifikasi dan penyampaian SPT masa unifikasi sudah wajib dilaksanakan mulai masa pajak April 2022. (rig) Cek berita dan artikel yang lain di Google News. Menteri Keuangan semakin melebarkan sayap dalam rangka pemungutan PPh Pasal 22. Sayap yang dimaksud adalah menetapkan “badan-badan tertentu” yang memungut PPh Pasal 22 atas kegiatan impor atau melakukan transaksi atau kegiatan usaha. Perubahan golongan ketiga menyusul dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.010/2015. Kalau kita perhatikan, walaupun sama-sama terkait PPh Pasal 22 tetapi kode nomenklatur pembuat (pengusul) peraturan berbeda, yaitu 03 dari DJP sedangkan 010 dari BKF. Karena pemungut PPh Pasal 22 makin banyak, maka penggolongan saya kembalikan ke Pasal 22 ayat (1) huruf a dan b UU PPh, yaitu:
Menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.010/2015, bendahara wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari pembelian, yaitu:
Sedangkan badan-badan tertentu menurut penjelasan Pasal 22 ayat (1) UU PPh bisa badan pemerintah atau swasta. Badan pemerintah yang ditugaskan untuk memungut adalah Direktoran Jenderal Bea dan Cukai atau impor dan ekspor barang-barang tertentu yang ditentukan dalam Lampiran Peraturan Menteri nomor 107/PMK.010/2015. Jenis barangnya banyak banget. Bukang untuk dihapalkan. Kemudian badan-badan tertentu dari golongan BUMN. Badan usaha tertentu berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari pembelian. Badan tertentu dari golongan BUMN yang saya maksud, menurut bahasa peraturannya:
Golongan terakhir dari badan-badan tertentu adalah perusahaan swasta. Perusahaan swasta yang ditetapkan sebagai pemungut PPh Pasal 22 dibagi dua:
Perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22 saat penjualan adalah:
Perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi memungut PPh Pasal 22 sebesar:
Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,45% atas penjualan kendaraan bermotor. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar:
Badan usaha yang memproduksi emas batangan wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,45% dari harga jual emas batangan. Sedangkan perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22 saat pembelian yaitu:
Perusahaan sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25% atas pembelianbahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari harga beli dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan. Milik siapa PPh Pasal 22? PPh Pasal 22 pada dasarnya adalah cicilan PPh pada tahun berjalan. Artinya pada akhir tahun, cicilan ini akan diperhitungkan sebagai kredit pajak PPh badan atau PPh orang pribadi. PPh Pasal 22 yang dikreditkan di SPT Tahunan ada dua bentuk:
PPh Pasal 22 yang berbentuk SSP artinya PPh Pasal 22 tersebut dibayar langsung ke bank persepsi oleh wajib pajak yang bersangkutan pada saat transaksi. Transaksi yang wajib dibayar langsung oleh yang bersangkutan (artinya di SSP ditulis NPWP yang dapat mengkreditkan) adalah transaksi yang terkait dengan impor dan bendahara. Sedangkan selain impor oleh DJBC dan pembelian oleh bendahara, maka BUMN dan badan-badan tertentu dari swasta sebagai pemungut PPh Pasal 22. Dia wajib memungut PPh Pasal 22 orang lain dan wajib membuat Bukti Pungut. Kewajiban membuat Bukti Pungut tertulis dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri nomor 107/PMK.010/2015. Pemungut PPh Pasal 22 selain wajib membuat Bukti Pungut juga wajib menyetor PPh yang dipungut dengan kode pajak 411122-900 ke bank persepsi, kemudian melaporkan ke KPP terdaftar dalam SPT Masa PPh Pasal 22. Sedangkan pihak yang terpungut mendapat Bukti Pungut dan dapat dikreditkan pada akhir tahun di SPT Tahunan. Dari transaksi diatas, ada pengenaan PPh yang bersifat final yaitu penjualan bahan bakan minyak dan bahan bakar gas ke agen atau penyalur. Artinya, jika wajib pajak “semata-mata” hanya usaha tersebut, maka kewajiban PPh-nya tinggal pelaporan SPT Tahunan yang dilampiri Bukti Potong. Tulisan ini adalah salinan dari tulisan di pajaktaxes.blogspot.com Kebayoran Lama, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia Pegawai DJP sejak 1993 sampai Maret 2022. Konsultan Pajak sejak April 2022. Alumni magister administrasi dan kebijakan perpajakan angkatan VI FISIP Universitas Indonesia. Perlu konsultasi? Sila kirim email ke atau klik https://aguspajak.com/konsultasi/ atau melalui aplikasi chatting yang tersedia. Terima kasih sudah membaca tulisan saya di aguspajak.com Semoga aguspajak menjadi rujukan pengetahuan perpajakan. View all posts by Raden Agus Suparman Navigasi posSKB PPh Pasal 23 Untuk Apa?Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 23 (SKB PPh Pasal 23) merupakan suatu surat yang diberikan kepada Wajib Pajak agar dapat digunakan untuk terbebas dari potongan jenis pajak atas penghasilan tertentu yang bukan termasuk ke dalam potongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
Apakah kita bisa mengajukan surat Keterangan Bebas SKB untuk PPh 23?Agar bisa mendapatkan insentif pajak yang sudah disediakan oleh pemerintah, maka setiap wajib pajak harus bisa memenuhi syarat pengajuan, salah satunya adalah surat keterangan bebas atau SKB pajak PPh 23 untuk jenis insentif PPh 23.
Berapa tarif PPh Pasal 23?Melakukan Pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto nilai royalti dan membuat bukti potong PPh Pasal 23 melalui aplikasi e-bupot PPh pasal 23.
Berapa lama masa berlaku SKB PPh 23?Surat Keterangan ini berlaku paling lama: 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi, 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma dan 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
|