Apakah pencemaran nama baik termasuk pidana?

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama uji Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Kamis (7/4/2022). Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 36/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh sejumlah 29 orang pencipta konten (content creator), di antaranya Eriko Fahri Ginting, Leon Maulana Mirza Pasha, Aryadi Kristanto Simanjuntak, dan Faransiska Naomi Sitanggang. Para Pemohon menyatakan Pasal 27 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3) serta Pasal 28 ayat (2) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 27 ayat (3) berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Penjelasan Pasal 27 ayat (3) berbunyi “Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).”

Pasal 28 ayat (2) berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Para Pemohon menilai pasal-pasal yang diujikan tidak memiliki tolok ukur yang baku dan jelas terkait frasa “pencemaran nama baik” dan frasa “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan” apabila dilakukan di media sosial. Sebagai pencipta konten yang aktif mengemukakan pendapat dalam webinar dan publikasi di bidang hukum, para Pemohon merasa terancam untuk menyatakan pikiran dan sikap yang sesuai dengan hati nurani. Mengenai unsur pencemaran nama baik ini, para Pemohon berpendapat hal demikian telah diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yang pada intinya menyatakan unsur penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut hanya diucapkan secara lisan. Namun jika dilakukan dengan cara menyiarkan, menunjukkan, dan/atau menempelkan, maka rujukannya ada pada Pasal 310 ayat (2) KUHP. Sehingga, apabila pencemaran nama baik dilakukan di media sosial, para Pemohon menilai baik UU ITE maupun KUHP tidak memiliki definisi, karakteristik, atau parameter yang jelas atas hal tersebut.

Kemudian, para Pemohon juga mencermati adanya muatan pasal karet pada UU ITE tersebut dengan adanya frasa “tanpa hak”, “mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan “membuat dapat diaksesnya”. Hal ini dinilai menimbulkan multitafsir yang berpotensi melanggar hak kebebasan berpendapat para Pemohon.

“Oleh karenanya, pasal a quo secara yuridis telah melanggar tujuan awal pembentukan UU ITE sehubungan dengan jaminan kepastian hukum dan keadilan dengan mengedepankan asas legalitas. Karena hal tersebut bertendensi pada over-kriminalisasi bagi orang yang tidak bersalah atau tidak patut dihukum oleh landasan hukum yang multitafsir,“ sebut Dixon Sanjaya dalam sidang yang juga dihadiri para kuasa hukum lainnya dan prinsipal yang membacakan alasan permohonan secara bergantian, yakni Sandra Nabila, Muhammad Adirin, Nukhabah Salsabila, Sultan Fadillah Effendi, Andi Redani Suryanata, Benaya Marcel Devara Tak, dan Elizza Rizky Mauri secara daring dari kediaman masing-masing.

Untuk itu, dalam petitumnya, Menyatakan Pasal 27 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3) serta Pasal 28 ayat (2) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Petitum yang Tak Lazim

Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam nasihat Hakim Sidang Panel memberikan beberapa catatan terhadap permohonan para Pemohon, di antaranya objek permohonan yang harus memperhatikan undang-undang yang telah mengalami perubahan untuk kemudian dapat disesuaikan. Berikutnya, Wahiduddin juga mengingatkan para Pemohon atas identitasnya sebagai pencipta konten berdasarkan KTP yang terdiri atas beberapa mahasiswa dan swasta untuk perlu diperjelas kedudukan hukumnya pada perkara yang diajukan. Selain itu, sambungnya, para Pemohon juga perlu mencermati petitum dengan 13 model permintaan pada Mahkamah yang juga terdiri atas alternatif, sehingga hal ini tidak lazim dalam pengajuan permohonan perkara di MK.

“Cukup muat satu pilihan pada petitum yang diinginkan karena untuk alternatifnya dapat disampaikan pada saat sidang pembuktian yang akan menjadi bahan pertimbangan hakim,” sampai Wahiduddin dalam sidang yang dilaksanakan di Ruang Sidang Panel MK.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic. P. Foekh dalam nasihatnya mengatakan para Pemohon perlu memperhatikan kuasa hukum dari prinsipal yang berada di beberapa kota yang perlu memastikan surat kuasa ditandatangani oleh pemberi kuasa. Hal ini perlu untuk menghindari terjadi indikasi tanda tangan yang tidak dilakukan oleh yang bersangkutan sehingga berdampak persoalan pidana. Berikutnya, Daniel mengingatkan agar para Pemohon menyertakan informasi yang benar sesuai dengan berita terbaru atas beberapa keputusan pengadilan yang dicantumkan pada permohonan. Dengan demikian, diharapkan informasi yang disajikan pada permohonan yang dapat diakses semua masyarakat di Indonesia merupakan informasi yang akurat.

Selajutnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memperhatikan sistematika permohonan yang perlu diringkas dengan lebih sederhana sehingga permohonan dapat lebih mudah dimengerti, mulai dari objek permohonan yang akan diujikan, kewenangan mahkamah, hingga pertimbangan jumlah Pemohon yang banyak perlu disertakan pembuktian kerugian konstitusional yang dialami para content creator dan bukan hanya identitas berupa KTP.

“Para Pemohon 1 – 29 adalah content creator. Hal apa yang dapat membuktikan mereka sebagai content creator karena pada permohonan mereka dianggap mengalami kerugian atas keberlakuan pasal yang diujikan. Jadi, tidak bisa hanya dengan KTP saja karena perlu diperkuat konstitusionalitas para Pemohon sebagai yang pihak yang dirugikan serta memiliki kedudukan hukum dalam pengajuan perkara ini,” jelas Enny.(*)

Penulis: Sri Pujianti

Editor: Lulu Anjarsari P.

Humas : Raisa Ayuditha

Pencemaran nama baik masuk pidana apa?

Perbuatan pencemaran nama baik termasuk dalam kategori penghinaan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Adapun, pasal pencemaran nama baik diatur di dalam Pasal 310 KUHP.

Apakah pencemaran nama baik termasuk kejahatan?

Kejahatan pencemaran nama baik ini juga tidak perlu dilakukan di muka umum, cukup apabila dapat dibuktikan bahwa terdakwa mempunyai maksud untuk menyiarkan tuduhan tersebut. Pencemaran nama baik (menista) sebenarnya merupakan bagian dari bentuk penghinaan yang diatur dalam Bab XVI KUHP.

Apakah kasus pencemaran nama baik bisa ditahan?

UU ITE, Polri: Tersangka Pencemaran Nama Baik Tak Bisa Langsung Ditahan.

Apakah pencemaran nama baik bisa digugat perdata?

Pencemaran nama baik dapat dikatagorikan masuk ke dalam ranah hukum perdata apabila tindakan tersebut dianggap menggangu reputasi orang lain.