Apakah maksud dari QS Al Ikhlas ayat 2 tentang sifat Ash Shomad Allah?

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Lafal As-Shamad hanya datang dalam satu ayat, Allah ﷻ berfirman,

اللَّهُ الصَّمَدُ

“Allah tempat meminta segala sesuatu.” (QS. Al-Ikhlas: 2)

Para ulama mengatakan ayat-ayat setelah قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ merupakan penjelasan dari ayat pertama ini.

Makna Ash-Shamad secara bahasa (etimologi):

  • القَصْدُ (tujuan). Sehingga Ash-Shamad dalam bahasa Arab artinya المَصْمُوْدُ إِلَيْهِ (yang dituju).([1])
  • الاِجْتِمَاعُ (perkumpulan). Tidak dikatakan Ash-Shamad kecuali berkumpul padanya sifat-sifat yang mulia. Oleh karenanya orang-orang Arab terdahulu mereka menyebut pemimpin mereka yang hebat yang memiliki sifat-sifat mulia dengan السَّيِّدُ الصَّمَدُ.([2])
  • الصَّلَابَةُ (kokoh/kuat). Ini disebutkan oleh Ibnu Farisi dalam Mukjam Maqayis Al-Lughah. ([3])

Ini semua adalah makna ash-shamad secara bahasa dan tentunya dia memiliki kaitan dengan makna secara istilah.

Makna Ash-Shamad secara istilah (terminologi)

Banyak ungkapan para salaf (sahabat dan tabiin) mengenai makna Ash-Shamad:

  1. الَّذِي يَصْمِدُ إِلَيْهِ النَّاسُ حَوَائِجَهُمْ yang seluruh manusia bersandar kepada-Nya tentang hajat-hajat mereka.([4])
  2. Ibnu ‘Abbas berkata :

السَّيِّدُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي سُؤْدَدِهِ، وَالشَّرِيفُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي شَرَفِهِ، وَالْعَظِيمُ الَّذِي قَدْ عَظُمَ فِي عَظَمَتِهِ، وَالْحَلِيمُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي حِلْمِهِ، وَالْغَنِيُّ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي غِنَاهُ، وَالْجَبَّارُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي جَبَرُوتِهِ، وَالْعَالِمُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي عِلْمِهِ، وَالْحَكِيمُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي حِكْمَتِهِ، وَهُوَ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي أَنْوَاعِ الشَّرَفِ وَالسُّؤْدَدِ، وَهُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ هَذِهِ صِفَتُهُ، لَا تَنْبَغِي إِلَّا لَهُ

“As-Sayyid (pemimpin) yang sempurna dalam kepemimpinannya, Asy-Syariif (yang maha mulia) yang sempurna dalam kemuliaannya, al-‘Adziim (yang maha agung) yang sempurna dalam keagungannya, al-Haliim (yang maha santun) yang sempurna dalam kesantunannya, al-Ghoniy (yang maha kaya) yang sempurna dalam kekayaannya, al-Jabbaar (yang maha kuasa) yang sempurna dalam kekuasan-Nya, al-‘Aalim (maha berilmu) yang sempurna dalam ilmunya, al-Hakiim (yang maha bijak) yang sempurna dalam kebijakannya. Dan Dialah Allah yang sempurna dalam berbagai macam kemuliaan dan kepemimpinan. Dialah Allah yang demikianlah sifat-Nya, tidak boleh kecuali hanya untuk-Nya.” ([5])

Makna ini sesuai dengan makna bahasa الاِجْتِمَاعُ (perkumpulan). Karena seluruh sifat-sifat di atas terkumpul pada diri Allah ﷻ.

Faedah:

Para salaf terdahulu mazhab mereka dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ bukanlah tafwidh. Tafwidh adalah tidak mengerti makna sesuatu. Contohnya ketika membahas tentang nama dan sifat Allah ﷻ maka Ahli Bidah mengatakan bahwa mereka tidak tahu maknanya dan mereka menyerahkan maknanya kepada Allah ﷻ. Kita lihat para salah justru mereka menafsirkan makna Ash-Shamad, ini menunjukkan bahwasanya mereka memahaminya. Yang mereka tidak ketahui adalah kaifiatnya. Sehingga tidak benar jika mengatakan bahwa mazhab salaf adalah tafwidh.

  1. الَّذِي لَا يَأْكُلُ وَلَا يَشْرَبُ “Yang tidak ada rongganya dan tidak makan dan tidak minum” ([6])

Allah ﷻ maha kaya, tidak membutuhkan makan dan minum. Ketika Allah ﷻ membantah tentang Nabi Isa ‘alaihissalam dan ibunya yang dijadikan sebagai tuhan Allah ﷻ hanya mengatakan,

مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ انْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْآيَاتِ ثُمَّ انْظُرْ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).” (QS. Al-Maidah: 75)

Nabi Isa ‘alaihissalam dan ibunya memakan makanan oleh karenanya keduanya tidap pantas menjadi Tuhan. Ini adalah bantahan yang sangat telak, yaitu Tuhan tidak mungkin makan.

  1. الْمُسْتَغْنِي عَنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَالْمُحْتَاجُ إِلَيْهِ كُلُّ أَحَدٍ “Yang tidak membutuhkan kepada segala sesuatu dan yang segala sesuatu membutuhkannya”. Ini adalah penjelasan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. ([7])
  2. الَّذِي لَا جَوْفَ لَهُ yaitu yang tidak berongga([8]).

Ini menunjukkan tentang dzat Allah ﷻ seperti itu, adapun bagaimana kaifiatnya  tidak ada yang tahu.

Ar-Razi dalam kitabnya Asas At-Taqdis mengatakan lafal الَّذِي لَا جَوْفَ لَهُ tidak pantas diucapkan untuk Allah ﷻ. Karena ini berkonsekuensi Allah ﷻ adalah jisim([9]). Namun semua itu dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalamkitabnya Bayan Talbis Al-Jahmiyah. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa memang dzat Allah ﷻ seperti itu, karena dzat Allah ﷻ tidak ada rongganya melazimkan Allah ﷻ tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan Allah ﷻ tidak makan juga minum([10]). Adapun bagaimana kaifiat dzat tersebut tidak ada yang tahu.

Makna ini sesuai dengan makna bahasanya الصَّلَابَةُ (kokoh/kuat). Dzat Allah ﷻ kuat dan Allah ﷻ disifati demikian, Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 58)

Inilah di antara makna-makna, dan semua tafsiran ini datang dari para salaf yang dinukilkan dalam buku-buku tafsir seperti Tafsir Ibnu Katsir, Ath-Thabari, dan lainnya. Perbedaan tafsiran ini disebut dengan ikhtilaf tanawwu’ yang artinya perbedaan yang sekedar variasi dan tidak kontradiksi. Semua tafsiran ini benar, masing-masing menafsirkan dari sisi pandangan yang berbeda. Contohnya ketika Allah ﷻ berfirman,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)

Para salaf berbeda pendapat dalam masalah makna الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. Ada yang mengatakan maknanya adalah Islam. Ada yang mengatakan maknanya adalah Al-Qur’an. Ada yang mengatakan maksudnya adalah sunah Nabi Muhammad ﷺ. Ada yang mengatakan maknanya adalah Nabi Muhammad ﷺ. Ada yang mengatakan maksudnya adalah Abu Bakar dan ‘Umar. Ini semua contoh tafsir  yang tidak bertentangan, karena ini hanya perbedaan dari sisi pandangan yang berbeda.([11])

Semua makna Ash-Shamad secara istilah sesuai dengan makna bahasanya. Seperti tafsiran asha-shamad dengan الَّذِي يَصْمِدُ إِلَيْهِ النَّاسُ حَوَائِجَهُمْ sesuai dengan makna bahasanya المَصْمُوْدُ إِلَيْهِ (yang dituju). Jadi Ash-Shamad adalah dzat yang dituju, ketika makhluk memiliki kebutuhan maka mereka semua menuju kepada Allah ﷻ.

Surah Al-Ikhlas ditutup dengan firman-Nya,

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”.” (QS. Al-Ikhlas: 4)

Ini sebagai penguat bahwasanya Allah ﷻ Maha Esa dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Sebagai penguat dari kata Ash-Shamad, tidak ada yang setara dengan Allah ﷻ. Oleh karenanya sebagian ulama mengatakan bahwasanya surah Al-Ikhlas adalah surah yang menjelaskan syarat0syarat menjadi Tuhan. Jika diterapkan kepada tuhan-tuhan selain Allah ﷻ maka semuanya tidak bisa memenuhi persyaratan ini. Tuhan-tuhan selain Allah ﷻ ada saja kekurangannya, baik itu karena tidak Esa, butuh makan, diciptakan, dan lainnya. Yang memenuhi syarat untuk menjadi tuhan hanyalah Allah ﷻ yang Allah ﷻ jelaskan dalam surah Al-Ikhlas bahwasanya Allah ﷻ adalah Al-Ahad  Ash-Shamad. Oleh karenanya Bilal ketika disiksa oleh majikannya Umayah bin Khalaf dam diperintahkan untuk mengatakan kesyirikan maka dia mengatakan أَحَدٌ، أَحَدٌ. Dia tidak menyebut nama Allah ﷻ yang lain padahal sifat Allah ﷻ banyak. dia hanya memilih أَحَدٌ agar Umayyah bin Khalaf semakin jengkel.

Apakah maksud dari QS Al Ikhlas ayat 2 tentang sifat Ash Shomad Allah?
Apakah maksud dari QS Al Ikhlas ayat 2 tentang sifat Ash Shomad Allah?

Footnote:

_______

([1]) Lihat: Maqaayiis Al-Lughah (3/309).

([2]) Lihat: Majmu’ Al-Fatawa (17/229).

([3]) Lihat: Maqaayiis Al-Lughah (3/309).

([4]) Lihat: Al-Jaami’ Ash-Shahiih Li As-Sunan Wa Al-Masaaniid (22/279).

([5]) Tafsir At-Thabari 24/736

([6]) Lihat: Tanwir Al-Miqbaas Min Tafsiir Ibn ‘Abbaas 522.

([7]) Tafsir al-Qurthubi 20/245

([8]) Tafsir Mujahid (1/760).

([9]) Lihat: Asaas At-Taqdiis 125.

([10]) Lihat: Bayaan Talbiis Al-Jahmiyah (4/340).

([11]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 1/147).

“Ash-Shamad” adalah salah satu nama Allah Ta’ala yang agung, yang terdapat di dalam surat Al-Ikhlas. Surat Al-Ikhlas diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan sebagian orang-orang musyrik yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengatakan, 

انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ

“Sebutkan nasab Tuhanmu.” Maka Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

“Katakanlah, “Dia-lah Allah, Tuhan Yang maha esa.” (QS. Al-Ikhlas [112]: 1) (HR. Tirmidzi no. 3363, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Terdapat beberapa riwayat dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum tentang tafsir dari nama Allah “Ash-Shamad”. 

Tafsir pertama

Yang dimaksud dengan Ash-Shamad adalah,

الصمد الذي لا جوف له

“Yang tidak memiliki al-jauf (rongga perut untuk menampung makanan).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 1/299/665 dan Ath-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir, 2/22/1162)

Baca Juga: Mengenal Nama Allah “Al-Awwal”, “Al-Akhir”, “Azh-Zhahir” dan “Al-Bathin”

Tafsir kedua

Yang dimaksud dengan Ash-Shamad adalah,

الصمد الذي يصمد إليه في الحوائج

“Yang menjadi tujuan (tempat bergantung) agar semua kebutuhan terpenuhi.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dalam At-Tauhiid, 2/62; Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 1/303/687; dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Shifat, 1/159/104)

Artinya, Allah Ta’ala adalah Dzat yang menjadi tempat bergantung semua makhluk, sehingga apa yang mereka butuhkan itu bisa terpenuhi. Dengan kata lain, semua makhluk membutuhkan Allah Ta’ala.

Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan (20: 245),

إنه المستغني عن كل أحد، والمحتاج إليه كل أحد.

“Yang tidak membutuhkan segala sesuatu dan segala sesuatu membutuhkan-Nya.” Ini adalah penjelasan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Tafsir kedua ini tidak bertentangan dengan tafsir yang pertama, bahkan selaras dan merupakan konsekuensi dari tafsir pertama. Hal ini jika Dzat Allah Ta’ala itu tidak membutuhkan yang lainnya (termasuk tidak membutuhkan makanan dan minuman), maka hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang sempurna sehingga layak menjadi tempat bergantung semua makhluk. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Pemaknaan Ash-Shamad sebagai Dzat yang menjadi tempat bergantung semua hajat kebutuhan adalah pemaknaan yang benar. Pemaknaan ini juga menguatkan dan menunjukkan pemaknaan yang pertama. Pemaknaan ini tidaklah menafikan pernyataan bahwa Allah tidak memiliki rongga. Bahwa Allah Ta’ala tidak memiliki rongga (untuk menampung makanan dan minuman) adalah sebuah keniscayaan, karena Allah Ta’ala dibutuhkan oleh semua manusia. Hal ini karena kebutuhan terhadap sesuatu didasari atas sifat yang ada pada sesuatu tersebut.” (Bayaan Talbiis Jahmiyyah, 7/556)

Baca Juga: Saatnya Kita Mengenal Nama Allah “asy-Syaafiy”

Tafsir ketiga

Yang dimaksud dengan Ash-Shamad adalah,

الصمد : السيد الذي قد انتهى سؤدده

“Pemimpin yang mencapai puncak kesempurnaan dalam kepemimpinannya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 1/299/666 dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Shifat, 1/157/99)

Ada juga yang menafsirkan Ash-Shamad dengan,

الذي لا يأكل الطعام

“Dzat yang tidak makan (tidak butuh makanan).” 

Ada juga yang menafsirkan dengan,

Apakah maksud dari QS Al Ikhlas ayat 2 tentang sifat Ash Shomad Allah?
Apakah maksud dari QS Al Ikhlas ayat 2 tentang sifat Ash Shomad Allah?

الباقي بعد خلقه الدائم

“Yang tetap ada, meskipun semua makhluk tiada.“ (Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dalam At-Tauhid, 2/62)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Kami telah menegaskan di pembahasan yang lain bahwa mayoritas tafsir ulama salaf tidaklah berbeda (bertentangan satu sama lain). Akan tetapi, terkadang mereka menjelaskan satu sifat dengan sifat (penjelasan) yang bermacam-macam. Terkadang, setiap ahli tafsir menyebutkan satu jenis atau person tertentu hanya sebagai contoh saja (bukan sebagai pembatasan). Hal ini untuk memberikan penjelasan kepada penanya, seperti seorang penerjemah yang ditanyakan kepadanya, apa itu roti? Lalu dia menyebutkan roti jenis tertentu sebagai contoh (bukan untuk membatasi bahwa roti hanya itu saja, pent.).” (Bayaan Talbiis Jahmiyyah, 7/535)

Kesimpulan

Kesimpulan, semua tafsir atau penjelasan ulama di atas adalah benar, karena intinya kembali bahwa Allah Ta’ala Maha sempurna dalam segala hal. Dia tidak membutuhkan makhluk lainnya, siapa dan apa pun makhluk tersebut. Bahkan sebaliknya, seluruh makhluk membutuhkan Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana perkataan Muqatil,

إنه: الكامل الذي لا عيب فيه

“Sesungguhnya Ash-Shamad adalah Dzat yang maha sempurna, yang tidak memiliki cacat (aib) sedikit pun.” (Tafsir Al-Qurthubi, 20/245)

Baca Juga:

[Selesai]

***

@Kantor YPIA, 29 Syawal 1441/ 21 Juni 2020

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.ida

Referensi:

Taqyiidusy Syawaarid minal Qawaa’id wal Fawaaid, karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Ar-Rajihi, hal. 32-34. Disertai penjelasan dari referensi yang lainnya dan telah kami sebutkan di atas.

🔍 Tulisan Masya Allah, Ya Bunayya La Tusyrik Billah, Muzah, Aku Orang Miskin, Ilmu Kalam Adalah