Apakah Indonesia ikut melakukan klaim di wilayah Laut Cina Selatan

Ali Sastroamijoyo, “Pengantar Hukum Internasional”. 1971.

Asep Setiawan, Keamanan Maritim di Laut China Selatan: Tinjauan atas Analisa Barry Buzan. Jurnal Keamanan Nasional. http://ojs.ubharajaya.ac.id/index.php/kamnas/article/view/8/pdf Vol 3, No 1 tahun 2017

Antaranews, “Situasi Laut Cina Selatan Setelah Putusan PCA”, https://www.antaranews.com/berita/725837/situasi-laut-china-selatan-setelah-putusan-pca

Craig Snyder, The Journal of Conflict Studies Vol 24 No.1, 2004

Christopher Rahman, Concepts of Maritime Security: A Strategic Perspectives on Alternative Visions for Good Order and Security at Sea, with Policy Implications for New Zealand Wellington (NZ: Centre for Strategic Studies: New Zealand, Victoria University of Wellington, 2009).

Damos Dumoli Agusman, “Sengketa Laut China Selatan: A Legal Brief”. Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional Opinio Juris. Kementerian Luar Negeri. Volume 20, Mei-September 2016.

Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea, http://asean.org/?static_post=declaration-on-the-conduct-of-the-parties-in-the-south-china-sea-2

Huala Adolf, “Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional”. Jakarta, Sinar Grafika. 2004

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190110125450-106-359863/ri-sebut-kode-etik-laut-china-selatan-baru-kelar-3-tahun-lagi

https://www.liputan6.com/global/read/3805254/kemlu-negosiasi-asean-tiongkok-soal-laut-china-selatan-selesai-3-tahun-lagi

Martin Dixon and Robert McCorquodale, “Cases and Materials on International Law”. London, Blackstone. 1991

Mohamad Anthoni, “Situasi Laut China Selatan setelah putusan PCA” Antaranews. 11 Juli 2018, https://www.antaranews.com/berita/725837/situasi-laut-china-selatan-setelah-putusan-pca

Moh Nazir, “Metode Penelitian”. Ghalia Indonesia. Jakarta, 1998.

Muhar Junef, Sengketa Wilayah Maritim Di Laut Tiongkok Selatan”. Jurnal De Jure Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Vol 18 No 2, Juni 2018. Hal 219- 240. DOI: http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2018.V18.219-240

Naskah Penelitian Puslitbang Strahan Balitbang Kemhan, “Litbang Konsep Diplomasi Pertahanan Dalam Mengantisipasi Perkembangan Politik Dunia Lima Tahun Ke Depan”. Balitbang Kemhan, 2019.

Peggy Puspa Haffsari & Yandri Kurniawan, “Peran Kepemimpinan Indonesia dalam Pengelolaan Sengketa Laut Cina Selatan”.Jurnal Sospol Vol 4 No 1 (Januari-Juni 2018)

Raden Florentinus Bagus Adhi Pradana, Skripsi Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2017

Sugiyono, “Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta, Bandung.2009

Taufiq Yasin Rosyadi, Stabilitas Keamanan Regional.

https://theappledore.wordpress.com/stabilitas-keamanan-regional/

The Global Review, “Sengketa Laut China Selatan: Perlombaan di Lautan”, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=7132&type=4

Ulang Mangun Sosiawan, “Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Mekanisme Penyelesaian Konflik Antar Negara Dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan”. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI. Jakarta, 2015.


Page 2

DOI: https://doi.org/10.31599/jkn.v6i1

Apakah Indonesia ikut melakukan klaim di wilayah Laut Cina Selatan
Apakah Indonesia ikut melakukan klaim di wilayah Laut Cina Selatan
Apakah Indonesia ikut melakukan klaim di wilayah Laut Cina Selatan
Apakah Indonesia ikut melakukan klaim di wilayah Laut Cina Selatan
Apakah Indonesia ikut melakukan klaim di wilayah Laut Cina Selatan
Apakah Indonesia ikut melakukan klaim di wilayah Laut Cina Selatan

Profil Menteri

Tentang Kami

Struktur Organisasi

AKIP

Kinerja

Lembar Informasi

Perwakilan

  1. Home /
  2. Archives /
  3. Vol 9 No 4 (2021) /
  4. Articles

DOI: https://doi.org/10.55960/jlri.v9i4.251

Keywords: Diplomasi, Geopolitik, Laut China Selatan

Stabilitas Geopolitik Laut China Selatan terancam dari berbagai gangguan seperti klaim daerah atau kawasan di Laut China Selatan oleh beberapa negara ASEAN maupun Non ASEAN. Penelitian ini membahas bagaimana strategi Diplomasi Indonesia dalam menjaga stabilitas politik kawasan ASEAN, khususnya Laut China Selatan dengan menganalisa pemahaman mengenai konflik Laut China Selatan dan kekuatan Republik Rakyat Tiongkok di kawasan tersebut. Metode penelitian deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif, dengan cara mengumpulkan data, mengolah dan menganalisa. Sumber kepustakaan sebagai data primer. Ancaman Laut China Selatan ialah tindakan klaim wilayah secara sepihak oleh beberapa negara dikarenakan geografi, jalur pelayaran yang strategis dan sumber daya alam yang tekandung, hingga pihak Republik Rakyat Tiongkok melakukan unjuk diri dengan pernyataan One Belt One Road dan meningkatkan kekuatan militernya dikawasan tersebut. Diselenggarakannya Multilateral Naval Exercise Komodo sebagai Second Track Diplomacy setiap 2 tahun sekali dari tahun 2014 - 2022 mendatang diharapkan dapat meningkatkan stabilitas politik diwilayah masing masing

negara yang mengikuti kegiatan tersebut, khususnya negara ASEAN.

Situasi di Laut China Selatan kembali tegang setelah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo menyampaikan dua pernyataan sengit pekan ini. Dia mengatakan China tidak berhak mengklaim wilayah di Laut China Selatan dan Amerika akan melakukan segala upaya untuk mencegah China menguasai Laut China Selatan.

Menanggapi perkembangan tersebut, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan Indonesia sangat prihatin terhadap meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan.

"Situasi Laut China Selatan yang stabil dan damai adalah harapan dari setiap negara. Menghormati hukum internasional, termasuk Hukum Laut Internasional 1982, merupakan kunci untuk membuat keadaan di Laut China Selatan stabil dan damai," kata Retno.

Menlu RI Retno Marsudi pada pertemuan khusus Menlu ASEAN-Australia yang dilakukan secara virtual Selasa (30/6). (foto: Kemlu RI)

Retno menekankan posisi Indonesia di Laut China Selatan sangat jelas dan konsisten. Ditambahkannya bahwa hak Indonesia atas Zona Ekonomi Eksklusif ZEE) di Laut China Selatan juga sangat jelas dan konsisten, dan hal ini sejalan dengan Hukum Laut Internasional 1982. Sikap Indonesia atas ZEE itu juga didukung oleh putusan mahkamah internasional pada tahun 2016.

Indonesia menegaskan semua negara harus berkontribusi untuk memelihara kestabilan dan perdamaian di Laut China Selatan. Indonesia meminta semua pihak menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang dapat menaikkan ketegangan di kawasan Laut China Selatan.

BACA JUGA: RI Berharap Negara-Negara Besar Tak Picu Ketegangan Baru di Laut Cina Selatan

Pengamat : Indonesia Bisa Jadi Mediator dalam Konflik di Laut China Selatan

Diwawancarai melalui telpon, Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, mengatakan Indonesia perlu menyampaikan pada dunia bahwa Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih di Laut China Selatan, baik laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.

Pakar hukum internasional UI, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana (Foto: Courtesy).

“Ketegasan ini perlu disampaikan karena Indonesia tidak pernah mengakui adanya klaim sepihak dari China terkait sembilan garis putus. Klaim tersebut dinegasikan oleh Indonesia dengan melakukan penangkapan terhadap kapal-kapal nelayan berbendera China yang memasuki wilayah ZEE Indonesia,” tegas Hikmahanto.

Indonesia harus mempunyai perhatian besar agar ketegangan antara dua negara besar di Laut China Selatan tidak berubah menjadi perang antar dua negara besar, tambahnya.

Hikmahanto menegaskan China seharusnya tidak menggunakan kekerasan untuk menegaskan klaimnya karena hukum internasional tidak mengakui penggunaan kekerasan untuk perolehan wilayah. Disisi lain, ujarnya, “Amerika juga tidak sepatutnya menggunakan kekerasan karena berada di luar kawasan. Jangan sampai Laut China Selatan menjadi medan pertempuran Amerika.”

BACA JUGA: AS: Klaim China di Laut China Selatan ‘Sepenuhnya Melanggar Hukum’

Hikmahanto juga mengatakan Indonesia harus menyampaikan kesediaan untuk menjadi juru damai yang tidak memiliki kepentingan. “Indonesia pantas menjadi mediator karena Indonesia adalah negara anggota ASEAN yang besar dan tidak mempunyai konflik dengan China dan Amerika,” paparnya.

Lebih jauh Rektor Universitas Achmad Yani itu mengatakan Indonesia harus dapat menyampaikan kepada China agar tidak memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 untuk meraih keuntungan dalam klaimnya di Laut China Selatan, bahkan hingga menutup jalur pelayaran internasional.

“Bila China memanfaatkan pandemi ini,” lanjut Hikmahanto, “maka China tidak hanya berhadapan dengan negara-negara yang bersengketa dengannya, seperti Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina, tetapi berhadapan dengan Amerika dan sekutunya.”

Pesawat tempur F-16 milik TNI AU terbang melintas di atas kapal perang TNI AL dalam operasi di Natuna, di dekat Laut China Selatan, Indonesia, 10 Januari 2020. (Foto: Risyal Hidayat/Antara via Reuters)

Sedikitnya Enam Negara Saling Klaim di Laut China Selatan

Konflik di Laut China Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayah menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.

Keenam negara pengklaim itu berkepentingan untuk menguasai hak untuk stok perikanan, eksplorasi dan ekploitasi terhadap cadangan minyak dan gas, serta mengontrol jalur pelayaran di Laut China Selatan.

Peta Laut China Selatan. (Foto: VOA)

Nilai komoditas perdagangan melewati Laut China Selatan setiap tahun mencapai US$ 3,37 triliun atau sepertiga dari total perdagangan maritim dunia. Sekitar 80 persen dari impor energi China dan 39,5 persen dari total perdagangan mereka melewati Laut China Selatan.

Sejak tahun 2013 China mulai melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tindakan ini memicu kecaman internasional. Sejak tahun 2015, Amerika Serikat dan negara-negara lain, termasuk Perancis dan Inggris, melakukan apa yang disebut kebebasan operasi navigasi di Laut China Selatan. [fw/em]