Apakah hukumnya memakan darah sapi atau kambing yang sudah dimasak?

Apakah hukumnya memakan darah sapi atau kambing yang sudah dimasak?

Pertanyaan:
Ustadz bagaimana hukum darah dalam makanan daging-dagingan seperti ayam terkadang kita liat dibagian luar tulangnya itu terdapat darah yang sudah menghitam karena dimasak, namun banyak dari kita yang tidak tahu bahwa itu adalah darah lantas memakannya. Begitu pula daging sapi ketika dimasak seperti rendang atau lainnnya maka darah yang masih ada didalam daging akan tersamar lalu dikonsumsi oleh kita. Lantas bagaimana hukumnya ustadz? Barokallahu fik.

Dari: Abu Muhammad

Jawaban:
Ulama sepakat bahwa darah hukumnya haram, tidak boleh dimakan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa darah hukumnya haram tanpa ada keterangan darah yang bagaimanakah yang statusnya haram itu. Kata semacam ini dalam istilah usul fiqh disebut kata mutlak.

Keterangan lebih spesifik lagi, Allah sebutkan di surat Al-An’am:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang memancar atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am: 145)

Pada ayat kedua ini, Allah memberikan keterangan tambahan bahwa darah yang haram itu adalah darah yang memancar. Keterangan tambahan “darah yang memancar” dalam istilah usul disebut muqayyad.

Dari dua ayat ini, para ulama memahami ayat mutlak kepada ayat muqayad. Artinya darah yang diharamkan pada surat Al-Baqarah di atas, dipahami sebagai darah yang memancar dan bukan semua darah, sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-An’am.

Diriwayatkan bahwa Aisyah mengatakan,

لولا أنّ الله قال أو دماً مسفوحاً لتتبّع الناس ما في العروق

“Andai Allah tidak berfirman, ‘darah yang memancar’ tentu orang-orang akan mencari-cari darah yang menyelip di daging.” (Rawa’iul Bayan, 1:164)

Hal yang sama juga dinyatakan Ikrimah, murid Ibnu Abbas,

لولا هذه الآية لتتبع الناس ما في العُرُوق، كما تتبعه اليهود

“Andaikan bukan ayat ini, tentu kaum muslimin akan mencari-cari darah yang ada di daging, sebagaimana yang dilakukan orang Yahudi.” (Tafsir Ibn Kasir, 3:352)

Imam Qatadah juga mengatakan,

حرم من الدماء ما كان مسفوحًا، فأما لحم خالطه دم فلا بأس به

“Darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir, adapun daging yang di sela-selanya terselip darah, tidak haram.” (Tafsir Ibn Kasir, 3:352)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa para sahabat sepakat, darah yang menempel di daging tidak haram.

Catatan: Apa itu darah yang memancar?

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Darah yang memancar adalah darah yang keluar dari binatang sebelum dia mati.” (Asy-Syarhul Mumti’, 15:8)

Misalnya: hewan hidup yang ditusuk pahanya, kemudian mengeluarkan darah. Oleh sebagian orang, darah ini ditampung untuk dikonsumsi. Sementara hewannya masih dibiarkan hidup. Ini adalah kebiasaan sebagian masyarakat jahiliyah.

Hewan yang baru disembelih, darahnya keluar. Selama hewan ini belum mati total, darah yang keluar ini tergolong Ad-Dam Al-Masfuh (darah yang memancar).
Allah a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

🔍 Cara Taubat Yang Benar, Sholat Sunnah Sesudah Maghrib, Tidak Jumatan 3 Kali, Bentuk Langit Menurut Al Quran, Dzikir Setelah Shalat Rumaysho, Amalan Ketika Istri Hamil

Apakah hukumnya memakan darah sapi atau kambing yang sudah dimasak?

(Foto: @pinterest)

Sebagian orang yang setiap harinya memiliki aktivitas memasak secara rutin sering kali mengalami problem dalam hal memasak daging hewan, baik itu daging ayam, sapi, kambing serta berbagai daging halal lainnya, yaitu darah yang melakat tersisa di daging.

Darah tersisa pada daging ketika daging sudah dibasuh dengan air. Bahkan tak jarang sisa darah ini tetap wujud meskipun daging sudah di masak dan siap untuk dijadikan sebagai lauk-pauk.

Melihat realita di atas, apakah sisa darah yang melekat pada daging dihukumi sebagai najis yang tidak dima’fu sehingga tidak boleh untuk dikonsumsi?

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an bahwa salah satu  makanan yang haram untuk dimakan adalah makanan yang masih mengandung darah yang mengalir:

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَآ أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً على طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ الله بِهِ 

Artinya, “Katakanlah, ‘Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi–karena semua itu kotor–atau  hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah,’” (Surat Al-An’am ayat 145).

Namun, ayat di atas tidak berlaku pada permasalahan darah yang melekat pada daging yang memang sulit untuk dibersihkan seperti dalam kasus yang sering terjadi di atas. Sebab makanan yang diharamkan dalam Al-Qur’an adalah makanan yang mengandung darah yang mengalir. Sedangkan darah yang biasa melekat dalam daging yang sudah dibersihkan, sama sekali tidak mengalir, maka darah tersebut dihukumi najis yang dima’fu.

Salah satu ulama’ syafi’iyah yang menegaskan tentang ke-ma’fuan darah yang melekat pada daging adalah Imam Abu Ishaq At-Tsa’labi dan Al-Hulaimi. Alasan mendasar yang dijadikan dalil tentang kema’fuan darah ini adalah dikarenakan wujudnya sisa darah yang melekat pada daging adalah hal yang sulit untuk dihindari sehingga najisnya darah dalam daging adalah hal yang dimaafkan (dima’fu).

Hal ini seperti yang dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzdzab:

قوله (فرع) مما تعم به البلوى الدم الباقي على اللحم وعظامه وقل من تعرض له من اصحابنا فقد ذكره أبو إسحق الثعلبي المفسر من اصحابنا ونقل عن جماعة كثيرة من التابعين انه لا بأس به ودليله المشقة في الاحتراز منه وصرح احمد واصحابه بان ما يبقى من الدم في اللحم معفو عنه ولو غلبت حمرة الدم في القدر لعسر الاحتراز منه وحكوه عن عائشة وعكرمة والثوري وابن عيينة وأبى يوسف واحمد واسحق وغيرهم واحتجت عائشة والمذكورون بقوله تعالي (الا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا) قالوا فلم ينه عن كل دم بل عن المسفوح خاصة وهو السائل

Artinya, “Cabang Permasalahan. Sebagian hal yang umum terjadi adalah darah yang tersisa pada daging dan tulang hewan. Sedikit sekali ulama yang menjelaskan tentang hal ini dari para Ashab. Permasalahan ini dijelaskan oleh Abu Ishaq Ats-Tsa’labi, pakar tafsir dari golongan Ashabus Syafi’i, dan dinukil dari segolongan ulama tabi’in bahwa darah tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Adapun dalilnya adalah sulitnya menghindari darah ini. Imam Ahmad dan para Ashab Ahmad menjelaskan bahwa darah yang menetap pada daging dihukumi ma’fu (dimaafkan), meskipun warna merah dari darah mendominasi pada cawan (untuk mewadahi daging). Ketentuan tersebut juga diceritakan dari Sayyidah A’isyah, ‘Ikrimah, Ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Abu Yusuf, Imam Ahmad, Ishaq dan ulama-ulama yang lain. Sayyidah A’isyah RA dan para ulama tersebut mendalilkan ke-ma’fuan darah yang ada pada daging ini dengan ayat ‘Kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir’ para ulama berkata, ‘Allah tidak mencegah (mengonsumsi) semua jenis darah, tapi pada darah yang mengalir saja,’” (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzdzab, juz II, halaman 557).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sisa darah yang biasa melekat pada daging tergolong najis yang dima’fu atau dimaafkan sehingga ketika daging sudah dibersihkan dengan sungguh-sungguh namun darah ini tetap melekat dalam daging maka darah tersebut bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan dan daging tetap dapat dikonsumsi. Wallahu a’lam.

Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur

Kumpulan Kultum Ramadhan Terfavorit