Apakah bukti bahwa nenek moyang kita sudah menjalankan teknologi penyaringan air bersih

9 Januari 2011 Elang Nusantara

Apakah bukti bahwa nenek moyang kita sudah menjalankan teknologi penyaringan air bersih

1.  Mangsa Kasa/Sura :

Candrane : Sotya murca saking embanan. Sotya =mutiara, murca = hilang. Pindhane mutiara coplok saka embane. Akeh godhong padha rontok, wit-witan padha ngarang. Awal mangsa ketiga.

Umure : 41 dina. 22 Juni – 1 Agustus.

2. Mangsa Karo :

Candrane : Bantala rengka.Bantala = lemah, rengka = pecah. Lemah-lemah padha nela.Mangsane paceklik larang pangan.

Umure : 23 dina. 2 Agustus – 24 Agustus.

3. MangsaKatelu:

Candrane : Suta manut ing bapa. Suta = anak. Pindhane anak manut marang bapake. Pungkasane mangsa ketiga. Lung-lungan, bangsane gadung, wi, gembili padha mrambat.
Umure : 24 dina. 25 Agustus – 17 September

4. Mangsa Kapat :

Candrane : Waspa kumembeng jroning kalbu. Waspa = eluh, kumembeng = kembeng, kebak, kalbu = ati. Pindhane eluh kebak ing jerone ati. Sumber padha garing.Awal mangsa labuh.

Umure : 25 dina. 18 Sptember – 12 Oktober.

5. Mangsa Kalima:

Candrane: Pancuran mas sumawur ing jagat. Mas pindane udan. Wiwit ana udan.

Para among tani wiwit padha nggarap sawah.

Umure : 27 dina. 13 Oktober – 8 Nopember.

6. Mangsa Kanem :

Candrane : Rasa mulya kasucian. Pindhane mulya-mulya rasa kang suci. Woh-wohan bangsane pelem lsp wiwit padha awoh. Pungkasane mangsa labuh. Udan wiwit

akeh lan deres.

Umure : 43 dina. 9 Nopember – 21 Desember.

7. Mangsa Kapitu :

Candrane : Wisa kentir ing maruta. Wisa = racun, penyakit; kentir = keli, katut ; maruta = angin. Pindhane : Penyakit akeh, akeh wong lara.

Umure : 43 dina. 22 Desember – 2 Pebruari.

8. Mangsa Kawolu :

Candrane : Anjrah jroning kayun. Anjrah = sumebar, warata; kayun = karep, kapti. Pindhane akeh pangarep-arep. Para among tani padha ngarep-arep asile tanduran. Wit pari padha mbledug.

Umure: 26 dina. 3Pebruari – 28 Pebruari.

9. Mangsa Kasanga :

Candrane : Wedharing wacana mulya. Wedhar = wetu; wacana = pangandikan, swara, uni; mulya = mulia, endah. Pindhane akeh swara kang keprungu endah, kepenak. Garengpung padha muni, gangsir padha ngethir, jangkrik padha ngerik.

Umure: 25dina. 1 Maret – 25 Maret.

10.  Mangsa Kasepuluh/Kasadasa :

Candrane : Gedhong mineb jroning kalbu. Pindhane akeh kewan padha meteng. Kucing padha gandhik.Manuk padha ngendhog.

Umure : 24 dina. 26 Maret – 18 April.

11.  Mangsa Dhesta :

Candrane : Sotya sinarawedi. Sotya = mutiara; sinarawedi = banget ditresnani (?). Pindhane kaya mutyara kang banget ditresnani. Mangsane manuk ngloloh anake. Mangsa mareng.

Umure : 23 dina. 19 April – 11 Mei.

12.  Mangsa Sada :

Candrane : Tirta sah saking sasana. Tirta = banyu; sah = ilang; sasana = panggonan. Pindhane wong-wong ora kringeten jalaran mangsa bedhidhing (adhem). Akhir mangsa mareng.

Umure : 41 dina. 12 Mei – 21 Juni.

Membaca Pranata Mangsa

Posted by usthof on 2 Januari 2011

JAUH sebelum Hindu menjamah Nusantara, nenek moyang kita telah berhasil mengembangkan suatu teknik penanggalan dalam dunia pertanian. Teknik itu bernama Pranata Mangsa yang berarti Pedoman Musim. Diwariskan dari generasi ke generasi secara oral, diperkirakan teknik ini sudah berusia dua milenium. Baru

Apakah bukti bahwa nenek moyang kita sudah menjalankan teknologi penyaringan air bersih
pada 1856, Sri Susuhunan Pakubuwana VII mengodifikasikan secara rapi teknik tradisional ini dalam sebuah buku. Judulnya tegas: Pranata Mangsa.

Pranata Mangsa tergolong penemuan brilian. Kompleksitasnya tak kalah bobot dari sistem penanggalan yang ditemukan bangsa Mesir Kuno, China, Maya, dan Burma. Lebih-lebih jika dibandingkan dengan model Farming Almanac ala Amerika, Pranata Mangsa jauh lebih maju. Di dalam Pranata Mangsa, tulis Daldjoeni, terdapat pertalian yang mengagumkan antara aspek-aspeknya yang bersifat kosmografis, bioklimatologis yang mendasari kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-budaya masyarakat…Pranata Mangsa mencerminkan ontologi menurut konsepsi Jawa serta akhetip alam pikiran Jawa yang dilukiskan dalam berbagai lambang yang berupa watak-watak Mangsa dalam peristilahan kosmologis yang mencerminkan harmoni antara manusia, kosmos, dan realitas (Penanggalan Pertanian Jawa Pranata Mangsa, tanpa tahun, halaman 5-6).

Buku yang ditulis Sindhunata ini adalah refleksi yang menarasikan Pranata Mangsa sebagai sebuah kekayaan tak terpermanai dalam khazanah agrikultur Nusantara. Buku ini sangat berwarna karena digenapi dengan aneka lukisan tematik dan kisah-kisah rakyat yang hidup dalam masyarakat agraris.

Siklus Penanggalan

Dalam siklus satu tahun (365 hari), terdapat 12 mangsa dengan simbol berbeda-beda. Dua belas mangsa itu adalah: Kasa (bintang Sapigumarah), Karo (Tagih), Katelu (Lumbung), Kapat (Jarandawuk), Kalima (Banyakangkrem), Kanem (Gotongmayit), Kapitu (Bimasekti), Kawolu (Wulanjarangurum), Kasanga (Wuluh), Kasapuluh (Waluku), Dhesta (Lumbung), dan Saddha (Tagih).

Letak masing-masing mangsa bisa diketahui dengan membagi satu tahun dalam empat mangsa utama, yakni: mangsa terang (82 hari), semplah (99 hari), udan (86 hari), dan pengarep-arep (98 hari).

Terdapat pula empat mangsa utama lain yang simetris dengan pembagian ini: mangsa katiga (88 hari), labuh (95 hari), rendheng (94 hari), mareng (88 hari).

Nama tiap mangsa sesungguhnya dibuat berdasarkan watak masing-masing. Watak mangsa Kawolu, misalnya, yang berbunyi anjrah jroning kayun (sesuatu yang merebak dalam kehendak). Pada mangsa ini kondisi meteorologis sinar matahari 67%, lengas udara 80 %, dan curah hujan 371,8 mm. Kucing-kucing memasuki musim kawin. Hujan yang turun membasahi bumi menjadi tabungan pengairan kelak saat kemarau.

Sementara mangsa Saddha dengan watak tirta sah saking sasana (air lenyap dari tempatnya) menandai kedatangan musim kemarau. Bahkan, tiap mangsa juga memiliki dewa masing-masing. Nama-nama dewa seperti Wisnu, Sambu, Rudra, Yomo, Metri, hingga Gana menjadi tanda bahwa tiap mangsa memiliki pola kehidupan, kekuasaan, dan wewenang yang berbeda.

Pranata Mangsa menjadi pedoman bagi petani dalam mengolah tanaman. Mulai pilihan jenis tanaman yang sesuai, hingga patokan periode menanam, membajak sawah, sampai memanen. Misalnya saat mangsa Katiga, ketika pohon bambu, gadung, temu, dan kunyit sedang tumbuh, pada masa inilah tanaman palawija mulai dipetik. Contoh lainnya, waktu yang baik untuk menanam padi dimulai adalah pada mangsa Kapitu, bersamaan dengan turun air hujan.

Periode-periode musim itu secara teratur mengalami perulangan setiap tahun. Dengan mengamati kemunculan rasi-rasi bintang yang berubah dari waktu ke waktu, petani memiliki patokan untuk menentukan awal dan akhir dari sebuah mangsa. Panjang bayangan pada siang hari juga menjadi patokan. Petani bahkan mesti peka merasakan arah desir dan gerakan angin karena udara juga mengalami penyesuaian terhadap perjalanan matahari sepanjang tahun.

Dengan demikian, Pranata Mangsa pada dasarnya bukanlah mitos atau takhayul. Ia justru merupakan abstraksi ilmiah karena disusun berdasar pengamatan yang seksama terhadap watak dan perilaku alam (empiris).

Bukti penghitungan ilmiah itu terlihat dalam penentuan permulaan mangsa Kasa yang terjadi pada saat matahari berada di zenith garis balik utara Bumi (tropic of Cancer, 22 Juni). Sementara mangsa Kapitu dimulai pada 22 Desember saat matahari ada di zenith garis balik selatan bumi (tropic of capricorn).

Kedaulatan Agrikultur

Dengan Pranata Mangsa, dunia pertanian di Jawa pernah mengalami kemajuan pesat. Kesejahteraan meningkat sehingga dunia kesenian pun bergairah. Banyak bentuk kesenian yang sangat berkaitan dengan pertanian seperti, Wiwit, yakni upacara tradisi yang menandai dimulai panen padi hingga Merti Bumi atau bersih desa yang disertai dengan seni Gejog Lesung. Pagelaran Wayang juga banyak menampilkan legenda-legenda seperti Dewi Sri dan Saddana. Bahkan, Pranata Mangsa juga sangat menopang kebesaran kerajan Mataram Lama, Pajang, dan Mataram Islam. Tak hanya untuk bertani, Pranata Mangsa juga menjadi pedoman untuk menjalankan kegiatan perdagangan, pemerintahan, dan bahkan militer.

Pranata Mangsa pada dasarnya merefleksikan sikap hidup petani yang manyatu dengan alam (manunggal atau nyawiji). Alam bukanlah lawan yang harus ditaklukkan, bukan pula objek garapan yang diperas habis-habisan, juga bukan barang mati yang bisa diperlakukan sesuka hati. Alam tak lain adalah teman yang dicintai. Sikap hidup menyatu dengan alam itu membuat petani memahami watak dan perilaku alam. Kegembiraan alam adalah kegembiraan manusia. Kesedihannya adalah kesedihan manusia juga. Demikian pula sebaliknya.

Saya pernah belajar dari Mbah Slamet dan Mbah Murdjiyo, dua sosok petani organik yang masih menghayati Pranata Mangsa dalam aktivitas pertanian mereka. Keduanya sama-sama mengeluh bahwa Pranata Mangsa semakin ditinggalkan bukan hanya lantaran kecenderungan mekanistis di kalangan petani sekarang, namun juga pemanasan global yang membuat iklim dan cuaca jadi tak menentu.

Generasi petani sekarang barangkali sudah sangat asing dengan Pranata Mangsa. Tanpa bermaksud melakukan generalisasi, pudarnya Pranata Mangsa di kalangan petani menandakan betapa kodrat agrikultur bangsa ini sudah kian tergerogoti. Yang dimaksud agrikultur bukan sekadar bercocok-tanam, melainkan keseluruhan sikap mental, pendirian jiwa, pandangan hidup, dan tata laksana yang terpateri dalam keseharian petani.

Dalam ancaman global warming, Pranata Mangsa memang kian kehilangan relevansi. Biar bagaimanapun, Pranata Mangsa menandakan bahwa bangsa ini pernah berdaulat secara agrikultur. Agaknya kedaulatan semacam inilah yang mestinya menghidupi kembali dalam masa depan agraris bangsa ini.

Judul : Ana Dina Ana Upa, Pranata Mangsa Penulis : Sindhunata Penerbit : Bentara Budaya, Yogyakarta Cetakan : Pertama, 2008 Tebal : 162 halaman

Suara Merdeka, 05-10-2008

Apakah bukti bahwa nenek moyang kita sudah menjalankan teknologi penyaringan air bersih

Pranata Mangsa dan Petani Jawa

Pranata mangsa merupakan sebuah sistem penanggalan tentang penentuan musim yang dijadikan pedoman masyarakat tani pada zaman dulu. Pranotomongso berasal dari kata Pranoto dan Mongso. Mongso artinya musim. Pranotomongso merupakan bagian dari perhitungan Petangan Jawi yang juga menghitung baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak  suatu hari, tanggal, bulan, tahun, wuku, pranotomongso.

Dalam lintasan sejarahnya, pranatamangsa sangat akrab dengan kehidupan pertanian terutama bagi masyarakat jawa pada masa lalu, pratanamangsa telah menjadi sebuah pedoman dalam bercocok tanam jauh sebelum masuknya agama hindu. Kalender Pranotomongso ini sudah diberlakukan oleh masyarakat Jawa sebelum Hindu datang di pulau Jawa. Kemudian dibakukan oleh Sri Paku Buwono VII (raja kerajaan Surakarta) pada tahun 1855 M. Pada saat itu Raja memberi patokan bagi para petani agar mempunyai hasil panen yang baik. Ini dilakukan untuk menguatkan sistem penanggalan yang mengatur tata kerja dalam ruang dan waktu bagi masyarakat tani untuk mengikuti peredaran musim dari waktu ke waktu. Sebagaimana paparan N. Daldjoeni dalam bukunya “Penanggalan Pertanian Jawa Pratanamangsa”.

Penanggalan Pranotomongso ini didasarkan pada penanggalan Syamsiyah. Selain digunakan sebagai pedoman kaum petani, Pranotomongso juga merupakan perhitungan yang membawakan watak atau pengaruh kehidupan manusia seperti halnya perhitungan-perhitungan Jawa lain-lainnya. Dalam penanggalan masehi diketahui umur hari dalam setahun adalah sekitar 365/366 hari, dengan sistem peredaran bumi yang mengelilingi pada bidang ekliptika sebesar 23 derajat akhirnya mempengaruhi pembagian musim dalam ruang-ruang tertentu di bumi.

Kalender Pranotomongso dihitung berdasarkan perjalanan Matahari yang pada zaman dahulu digunakan oleh orang-orang di tanah Jawa sebagai patokan untuk mengetahui musim. Jumlah bulan pada kalender ini ada 12, yaitu Kaso, “Sotyo murco saking embanan” (mutiara lepas dari pengikatnya), Musim daun-daun gugur pohon-pohon jadi gundul. Karo, “Bantolo Rengko” (tanah retak), Musim tanah jadi gersang dan retak-retak. Katigo, “Suto manut ing bopo”. Musim pucuk tanaman menjalar pada rambatan. Kapat, “Waspo kumembeng jroning kalbu”. Musim sumber-sumber jadi kering. Kalimo, Pancuran emas sumawur ing jagad”. Mulai musim hujan. Kanem, “Roso mulyo kasucian”. Musim pohon-pohon mulai berbuah. Kapitu, “Wiso kenter ing maruto”. Musim bertiupnya angin yang mengandung bias (penyakit). Kawolu, “Anjrah jroning kayun”. Musim kucing kawin, padi mulai berubah, banyak uret. Kasongo,“Wedaring wono mulyo”. Musim jangkrik, gasir, gareng poung, (banyak orang bicara berlebih-lebihan). Kasepuluh, “Gedong mineb jroning kalbu”. Musim binatang-binatang hamil. Dastho, “Sotyo sinoro wedi”. Musim burung-burung menyuapi anaknya. Sodo, “Tirto sah saking sasono” (air pergi dari tempatnya). Musim dingin, orang jarang berkeringat karena teramat dingin.

Pada mulanya, Pranotomongso hanya mempunyai 10 mongso. Sesudah mongso kesepuluh tanggal 18 April, orang menunggu saat dimulainya mongso yang pertama (kasa atau kartika) yakni tanggal 22 Juni. Masa menunggu itu cukup lama, sehingga akhirnya ditetapkan sebagai mongso yang kesebelas (destha atau padawana) dan mongso yang kedua belas (sadha atau asuji). Sehingga satu tahun menjadi genap 12 mongso. Hari pertama mongso kesatu dimulai pada 22 Juni.

Dengan catatan itu dapat diketahui dalam penanggalan Pranotomongso pada bulan Desember-Januari-Pebruari adalah musim badai, hujan, banjir, dan longsor. Dan ketentuan ini mendekati dengan situasi alam zaman sekarang ini. Selanjutnya pada musim berikutnya yaitu Kawolu yang bertepatan pada tanggal 2/3 Pebruari – 1/2 Maret, adalah bulan untuk bersiap-siaga ataupun waspada menghadapi penyakit tanaman maupun wabah bagi manusia dan hewan. seperti dampak akibat terjadinya banjir, badai dan longsor. Yaitu penyakit, kelaparan dan sebagainya akan melanda di daerah tersebut. Hal itu apabila dicermati ternyata masuk akal juga. Manusia, binatang dan tanaman belum siap mempertahankan diri dari serangan hama penyakit akibat terjadinya gejala alam tersebut. Dalam keadaan lemah kuman dan penyakit sangat mudah untuk menyerang.

Sedangkan para nelayan, yang biasanya melaut sambil membaca alam dengan melihat letak bintang yang kemudian dijadikan patokan ketika mereka melaut. Masih juga diterapkan oleh nelayan di Indonesia. Mereka mengetahui pada bulan-bulan berapa saat yang baik melaut sehingga mereka bisa mendapatkan ikan banyak. Begitu pula sebaliknya, mereka juga mengetahui kapan waktu untuk tidak melaut karena berbahaya dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Dan pada saat-saat itulah mereka gunakan waktu untuk beraktivitas yang lain, seperti memperbaiki jaring, perahu, rumah dan sebagainya.

Selama ribuan tahun nenek moyang telah menghafalkan pola musim, iklim dan fenomena alam lainnya. Sehingga mereka dapat membuat kalender tahunan bukan berdasarkan kalender Syamsiah (Masehi) atau kalender Komariah (Hijrah/lslam) tetapi berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti musim penghujan, kemarau, musim berbunga, dan letak bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama terhadap pasang surutnya air laut, akan tetapi perlu diketahui bahwa pola perhitungan dan data-data yang digunakan dalan penentuan penanggalan tersebut adalah masih bersifat tradisional. Serta kondisi  alam sekarang ini pun berbeda dengan kondisi alam zaman dulu. Nenek moyang dulu mengambil rumus pranotomongso dengan cara melihat kebiasaan kejadian-kejadian alam pada masa itu. Dan untuk saat ini kejadian tersebut sudah tidak beraturan, dan sulit untuk dirumuskan kapan kejadian tersebut akan terjadi.

Kejadian alam untuk musim hujan pada bulan Desembaer-Januari-Februari itu bukan musim hujan yang selalu tetap dan bersifat statis. Apabila dilihat kejadian hujan di negara ini, maka akan merasa bahwa seolah-olah hujan itu turun dengan sendirinya dan susah untuk diprediksi musimnya. Padahal dulunya, musim hujan itu pada bulan Oktober sampai bulan Maret. Sedangkan musim kemarau itu dimulai dari bulan April sampai bulan September.

Namun sayang dalam perjalanannya dengan kondisi itu pranata mangsa semakin tergerus oleh perkembangan zaman. Masyarakat terutama para petani sudah perlahan mulai menanggalkan sistem waktu dalam bertani ini.

Apakah bukti bahwa nenek moyang kita sudah menjalankan teknologi penyaringan air bersih

56 Pranata Mangsa

Apakah bukti bahwa nenek moyang kita sudah menjalankan teknologi penyaringan air bersih
Kanggo ngadhepi kahanan apa wae, leluhur Jawa duweni petung kang cacahe akeh banget. Titikane warna-warna, ana kang  sesambungan karo wektu, neptu dina utawa pasaran, lan gumelare alam. Ana ing tlatah padesan,

Apakah bukti bahwa nenek moyang kita sudah menjalankan teknologi penyaringan air bersih
Kanggo ngadhepi kahanan apa wae, leluhur Jawa duweni petung kang cacahe akeh banget. Titikane warna-warna, ana kang  sesambungan karo wektu, neptu dina utawa pasaran, lan gumelare alam. Ana ing tlatah padesan, supaya anggone padha jejodhowan lestari, slamet, bagya, lan mulya, mapanake bab petung dadi perangan kang wigati. Petung ngenani sangat akad nikah lan ijab kobul, dipilih supaya ngedohi dina taliwangke lan sampar wangke. Ngelmu ngenani petung  ora bisa pisah tumrap  manungsa Jawa. Ngelmu petung wis nyawiji karo siklus panguripane manungsa Jawa. Petung dadi piranti kanggo ngadhepi kahanan lan prekara kang ana. Ana ing budaya Jawa, ngelmu petung malebu ana ing ranah kawaskithan Jawa. Babagan petung ana kang nembungi wis dadi kearifan lokal (local wisdom) tumrap manungsa Jawa. Karana iku, petung diugemi dadi paugeran utawa pranatan. Petung wus dadi pandam pandoming panguripan. Kalebu ana ing kene, petung utawa pranatan ngenani lumakuning dina lan gilir gumantining mangsa.

Ana ing ulah tetanen, tinemu peranganing mangsa kang sinebut mangsa rendheng, wareng, ketiga, lan mangsa labuh kanggo ngadhepi tekane udan. Pranata mangsa utawa paugeran ngenani obahing mangsa wus lumaku pirang-pirang abad. Methik saka Serat Centhini, minangka buku babon ngenani primbon Jawa, babagan pranata mangsa tinemu ana ing buku jilid VI. Isine caket lan raket karo penanggalan Jawa. Wewaton katrangan utawa cathetan kang ana, paugeran utawa pranatan ngenani mangsa banjur dibiwarakake  dening  Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (ISKS) Pakubuwono VII. Aturan ngenani pranata mangsa nganggo dhasar akehe banyu lan kali, kahanan palemahan, lumakune angin, anane watak kewan lan tetaneman, kang sinebut fenologi. Mindeng kahanan wektu iku, tebaning panguripan agraris utawa ulah tetanen jembar banget. Babagan industri lan ulah dagang durung ngrembaka.

Pranata mangsa dikepyakake ana ing tanggal 22 Juni 1856. Pangajabe, supaya bisa dadi gujengan tumrap kridhaning ulah tetanen ing wektu iku. Pranata mangsa kaperang cacah rolas, yaiku: kasa, karo, katelu, kapat, kalima, kanem, kapitu, kawolu, kasanga, kasepuluh, desta lan sada. Lumakune saben mangsa wiwit mangsa kasa tumeka mangsa dhesta ora padha, umure ana sing 41 dina, 23 dina, 24 dina, 25 dina, lan sapanunggalane. Saben mangsa ditembungi duwe ciri utawa pepindhan kang ora padha. Tuladhane, ana ing mangsa Kasa kawiwitan tanggal 22 Juni (umure 41 dina), tumapak mangsa ketiga, pepindhane kaya ‘sotya murca saka ngembanan’, amarga akeh angin lan gegodhongan padha rontog. Mangsa Karo kawiwitan tanggal 2 Agustus (umure 23 dina) duweni sesebutan ‘bantala rengka’, amarga akeh lemah kang nela-nela amarga ora ana banyu. Mangsa Kalima kawiwitan tanggal 14 Oktober (umure 27 dina), pepindhane ‘pancuran sumawur ing jagad’, amarga wiwit ana udan lan akeh sendhang utawa sumber padha lumintu banyune.

Mangsa Kawolu kawiwitan tanggal 4 Februari (umure 26 dina) duweni watak utawa pepindhan ‘anjrah jroning kayun’, amarga pari utawa tetaneman wiwit ijo, usume kucing padha kawin. Peranganing mangsa duweni ciri utawa pepindhan kang maneka warna.

Tumapak  ing jaman wektu iki, lahan kanggo pekarangan, pemukiman, pertanian, lan perkebunan, ngalami owah-owahan gedhe. Lahan pertanian akeh kang owah kadhesek anane  pabrik-pabrik lan usaha industri liyane. Bancana lan prahara alam kadhang kala nemahi lan nrajang ing saben tlatah. Kali wis ilang kedhunge, pasar wus ilang kumandhange. Bumi saya panas, swasana alam ngalami owah-owahan kang ngedab-edabi. Akeh udan salah mangsa amarga anane ‘pemanasan global’. Pranata mangsa tinggalane leluhur, kadhang kala ana kang trep karo kahanan, nanging uga ana perangan kang cengkah karo kanyatan.

Déníng : Sutadi
Pangarsa Pêrsatuan Pêdalangan Indonesia Komisariat Jawa Têngah