Apa yang kamu ketahui tentang panaiplan monaknok deprai

taz.de

taz.de

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang di München, Jerman

Christian Felber lahir di Salzburg, Austria pada 9 Desember 1972.1 Ia mendalami bahasa Spanyol dan Latin Kuno, Ilmu Politik dan Psikologi. Ia menyelesaikan pendidikannya di Wina dan kemudian di Madrid sampai mendapatkan gelar Magister Filsafat. Pada 1998, ia mendapatkan beasiswa pemerintah Austria untuk mendalami literatur di Austria. Ia kemudian menjadi penulis buku dan pembicara di berbagai seminar terkait dengan ekonomi kesejahteraan publik (Gemeinwohl-Ökonomie). Pada 2000 lalu, ia bersama teman-temannya mendirikan kelompok Attac Österreich. Ia sempat menjadi ketua organisasi ini, lalu sekarang menjabat sebagai hubungan masyarakat.

Attac adalah sebuah gerakan internasional untuk tata dunia yang lebih adil dan demokratis, terutama dalam bidang ekonomi. Tujuannya hanya satu, yakni mencapai kesejahteraan global untuk semua manusia, tanpa kecuali. Secara konkret, organisasi ini memberikan informasi kepada publik tentang kedaan ekonomi maupun politik dunia. Ia mendukung segala usaha dari beragam kelompok masyarakat untuk mendirikan tata ekonomi dan politik yang lebih adil serta demokratis, baik di level internasional, nasional-negara, maupun di tingkat yang lebih lokal, seperti desa. Ia memperoleh dukungan dana terutama dari sumbangan rutin orang-orang yang mempunyai visi yang sama, dan tidak terikat pada partai politik apapun. Konsep ekonomi kesejahteraan publik muncul sebagai salah satu program utama dari organisasi ini.

Untuk mengembangkan dan menyebarkan ide tentang ekonomi kesejahteraan publik ini, Felber juga mengajar di berbagai universitas Jerman dan Austria, seperti di Wina, Graz, Oldenburg, Erfurt, Salzburg dan Klagenfurt. Bersama beberapa rekan sevisi, ia juga mendirikan Bank untuk Kesejahteraan Publik (Bank für Gemeinwohl). Buku yang saya acu di dalam tulisan ini, yakni Die Gemeinwohl-Ökonomie, Eine demokratische Alternative wächst, adalah dasar utama dari bank ini. Buku ini sendiri telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Italia dan Spanyol. Beberapa buku lain yang telah ia tulis adalah 50 Vorschläge für eine gerechtere Welt (2006), Neue Werte für die Wirtschaft (2008), Kooperation statt Konkurrenz (2009, Retten wir den Euro (2012) dan Geld, die neuen Spiegelregeln (2014). Selain di bidang ekonomi, politik dan akademik, Felber juga aktif di bidang theater. Ia terlibat di dalam beberapa pementasan, seperti ein Tanz für Attac dan ein Tanz für die Welt. Dari semua karyanya, baik dalam bidang ekonomi, politik, akademik ataupun seni, Felber membawa satu misi, yakni menyebarkan pemahaman tentang kesejahteraan publik ke seluruh dunia, dan mendorongnya untuk menjadi kenyataan.

Tata Ekonomi Alternatif

Dunia jelas membutuhkan tata ekonomi yang baru. Inilah titik awal dari pemikiran Christian Felber, ketika ia menulis bukunya yang berjudul Die Gemeinwohl-Ökonomie, Eine demokratische Alternative wächst pada 2012 lalu.2 Di Jerman dan Austria, menurut Felber, sembilan dari sepuluh orang yang ada menyatakan dengan tegas, bahwa Eropa (dalam arti ini Uni Eropa) membutuhkan tata ekonomi yang baru. Alasannya adalah krisis finansial yang kini tidak hanya menghantam AS dan Eropa, tetapi juga memberikan pengaruh cukup besar pada negara-negara lain di dunia. “Semakin banyak orang sadar”, demikian tulis Felber, “bahwa kita sekarang ini tidak hanya mengalami krisis ekonomi yang terisolasi, melainkan krisis gelembung perumahan, pengangguran, krisis distribusi ekonomi, krisis iklim, krisis energi, krisis pangan, krisis konsumsi, krisis makna, krisis nilai, dan krisis demokrasi…”3 Semua krisis ini memiliki kaitan erat dan akar yang sama, yakni krisis sistemik yang mengakar begitu dalam di dalam ekonomi pasar kapitalis yang telah membusuk.

Namun, sebagian besar orang masih berpikir, bahwa kita tidak memiliki alternatif lain, selain hidup di dalam sistem ekonomi yang ada sekarang di dunia, yakni sistem ekonomi pasar kapitalis. Ungkapan bahwa “tidak ada alternatif” pernah keluar dari mulut mantan Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher. Ungkapan ini, menurut Felber, hanya memuaskan kepentingan orang-orang kaya semata, dan menghalangi segala upaya perubahan untuk membangun kesejahteraan publik untuk semua orang, tanpa kecuali. “Di dalam masyarakat demokratis”, demikian tegasnya, “selalu ada alternatif.”4 Ia ingin merumuskan sekaligus menawarkan alternatif tersebut kepada masyarakat luas. Ia menyebutnya sebagai “Ekonomi Kesejahteraan Publik”, atau die Gemeinwohl-Ökonomie, yang ia jelaskan secara mendalam dan detil di dalam bukunya dari 2012 lalu.

Di dalam buku tersebut, Felber mengajukan lima pertanyaan dasar. Pertama, apa tata ekonomi yang mungkin diterapkan, guna mencapai kesejahteraan publik? Dua, bagaimana membangun tata ekonomi yang sekaligus memperhatikan kelestarian alam? Tiga, bagaimana tata ekonomi semacam itu bisa diterapkan dan dipertahankan? Empat, bagaimana dengan kompetisi ekonomi, seperti yang terjadi di dalam kapitalisme, apakah masih perlu dipertahankan? Lima, dimana tempat harkat dan martabat manusia di dalam sistem ekonomi semacam ini? Lima pertanyaan ini dapat digunakan untuk memahami inti dari ekonomi kesejahteraan publik yang dirumuskan oleh Felber. Satu prinsip dasar dari ekonomi kesejahteraan publik adalah, bahwa ekonomi harus memberikan kesejahteraan bagi semua orang, tanpa kecuali, dan bukan hanya sebagian kecil orang, seperti yang terjadi sekarang ini. Konsep “kesejahteraan publik” menjadi jantung hati utama pemikiran ekonomi Felber.

Ekonomi Kesejahteraan Publik

Teori tentang ekonomi kesejahteraan publik tidaklah muncul dari ruang kosong, melainkan dari sejarah perkembangan pemikiran yang amat panjang. Di dalam Undang-undang dasar negara Jerman dinyatakan dengan jelas, bahwa hak milik (Eigentum) harus memiliki dampak publik. Artinya, setiap orang boleh mempunyai hak milik, sejauh hak milik tersebut bisa memberikan sumbangan nyata yang baik bagi kehidupan bersama. Undang-undang negara bagian Bavaria di Jerman juga memiliki pernyataan yang kurang lebih serupa, bahwa semua aktivitas ekonomi haruslah mengabdi pada kesejahteraan bersama. Aristoteles sendiri, seperti dikutip oleh Felber, menyatakan dengan tegas, bahwa ekonomi yang bertujuan untuk mengumpulkan uang tanpa batas justru bertentangan dengan tujuan dasar dari ekonomi itu sendiri, yakni mencapai “yang baik” (das Gute).5 Marcus Cicero, salah satu filsuf klasik terbesar, menyatakan, bahwa kesejahteraan bersama dari seluruh rakyat adalah hukum yang tertinggi. Filsuf Abad Pertengahan, Thomas Aquinas, juga menegaskan, bahwa tujuan tertinggi dari tata politik (dan juga ekonomi) adalah kebaikan bersama (bonum commune). Pemikiran ini mewarnai Ajaran Sosial Gereja Katolik Roma dan agama-agama lainnya.

Kata “Kesejahteraan Bersama” (Gemeinwohl) juga amat diminati oleh para politikus untuk meraih dukungan rakyat. Ia menjadi slogan yang berguna, terutama di masa kampanye dan pemilihan umum. Bahkan Hitler dan para diktator lainnya sepanjang sejarah manusia kerap menggunakan kata ini untuk membenarkan kebijakan-kebijakan politisnya. Kenyataan ini, menurut Felber, bukanlah sebuah alasan bagi kita untuk meninggalkan konsep kesejahteraan bersama. Konsep-konsep luhur lainnya, seperti kebebasan, kebenaran, dan bahkan cinta, juga mengalami nasib yang sama. Mereka digunakan oleh beberapa pihak untuk meraih dukungan, supaya mereka bisa menjalankan kebijakan-kebijakan politik yang justru kerap bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak. Hal-hal terbaik dalam hidup manusia memang seringkali mudah dipelintir dan disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang justru tidak baik. Semakin tinggi nilai sebuah ide atau konsep, semakin ia sering disalahgunakan untuk membenarkan hal-hal yang tidak baik. Inilah resiko yang mesti diterima. Ini justru membuat kita harus semakin kritis pada penggunaan konsep-konsep tersebut, dan bukan malah meninggalkannya sama sekali.

Apa arti sesungguhnya dari kesejahteraan publik, atau kesejahteraan bersama? Menurut Felber, konsep ini tidak memiliki makna yang tunggal. Satu prinsip dasar dari kesejahteraan publik adalah, bahwa semua manusia memiliki nilai yang setara. Mereka sama-sama berharga dan memiliki harkat serta martabat yang setara. Prinsip utilitarisme, yakni kebaikan terbesar untuk sebagian besar orang, sama sekali tidak memadai, karena menyangkal prinsip, bahwa semua orang memiliki harkat dan martabat yang setara, tanpa kecuali. “Makna mendasar dari konsep kesejahteraan publik adalah”, demikian tulis Felber, “bahwa kesejahteraan semua orang adalah yang terpenting.”6 Kesejahteraan publik, dengan demikian, adalah roh dari semua tata ekonomi maupun politik yang ada di dalam masyarakat demokratis. Isi konkret dari konsep ini tidak dapat ditentukan secara filosofis saja, melainkan harus melalui proses diskusi yang bebas dan setara di dalam setiap masyarakat yang ada. Kesejahteraan publik dari sebuah bangsa tidak datang dari langit atau dari Tuhan, tetapi dari kerja sama seluruh warga negaranya di dalam suasana demokratis. Dengan kata lain, politik dan ekonomi yang berpijak pada kesejahteraan publik adalah “tata kelola demokratis ekonomi yang baru” (die demokratische Neueordnung der Wirtschaft). Ia bukanlah sesuatu yang sudah selesai dan mutlak, melainkan sesuatu yang terus berkembang dan berubah, sejalan dengan perubahan masyarakat.

Kesejahteraan publik adalah roh dari demokrasi itu sendiri. Sistem politik tidak ada artinya, jika tidak berhasil menciptakan kesejahteraan publik bagi seluruh rakyatnya. Sebaliknya juga benar, bahwa kesejahteraan publik hanya bisa dicapai, jika demokrasi sungguh menjadi roh sekaligus bentuk nyata dari sistem politik yang ada. Dasar dari argumen ini adalah, menurut Felber, karena demokrasi memungkinkan kehendak dan kebutuhan seluruh rakyat didengarkan oleh pemerintah yang ada, yang bekerja keras untuk mewujudkannya ke dalam kenyataan. Di dalam demokrasi, semua rakyat, tanpa kecuali, memiliki harkat dan martabat yang setara. Tidak ada yang lebih tinggi, dan tidak ada yang lebih rendah. Demokrasi, kesejahteraan publik dan harkat-martabat manusia, menurut Felber, harus disebut dalam satu tarikan nafas yang sama, karena ketiganya saling mengandaikan satu sama lain, dan tidak pernah dapat dipisahkan. Ketiganya terwujud secara nyata di dalam sistem ekonomi kesejahteraan publik (Gemeinwohl-Ökonomie) yang dirumuskan oleh Felber.

Namun, tata ekonomi kesejahteraan publik bukanlah model satu-satunya untuk mencapai kesejahteraan publik. Ia mengambil sisi baik dari beragam model yang ada, mulai dari sistem ekonomi pasar bebas (tanpa pusat) sampai dengan sistem ekonomi komunis sosialis (terpusat di tangan negara). Beberapa diantaranya adalah: aturan yang mengatur pasar, transaksi jual beli barang serta jasa, ukuran keberhasilan ekonomi, uang, sistem finansial serta hak milik pribadi. Tata ekonomi kesejahteraan publik, menurut Felber, tidak tertutup, melainkan terbuka dan bisa terus berubah. Beberapa aliran pemikiran ekonomi yang cukup dekat dengan sistem ekonomi kesejahteraan publik adalah ekonomi solidaritas (solidarische Wirtschaft), ekonomi komunitas (Gemeinschaftswirtschaft), ekonomi pasar sosial (soziale Marktwirtschaft) dan ekonomi pasca pertumbuhan (Postwachstumsökonomie). Sistem ekonomi kesejahteraan publik, menurut Felber, dapat dilihat sebagai kombinasi dari semua sistem ekonomi yang disebutkan di atas, yang kemudian diterapkan secara demokratis di dalam masyarakat demokratis.7

Prinsip Dasar Ekonomi Kesejahteraan Publik

Ada tiga prinsip dasar yang menopang tata ekonomi kesejahteraan publik. Yang pertama, sistem ekonomi kesejahteraan publik menolak adanya pertentangan antara nilai-nilai sosial masyarakat dan nilai-nilai ekonomi di dalam sistem ekonomi. Ekonomi selalu tertanam di dalam konteks sosial masyarakat yang mempunyai nilai-nilai tertentu. Maka, ekonomi pun harus bekerja sejalan dengan nilai-nilai masyarakat yang telah ada sebelumnya. Setiap masyarakat memiliki nilai-nilainya sendiri yang dianggapnya berharga. Namun, ada beberapa prinsip dasar yang kiranya cukup umum di antara beragam masyarakat, yakni kepercayaan antara warga (Bürgersvertrauen), kerjasama, solidaritas antar warga, dan saling berbagi (Verteilung). Setiap komunitas selalu terbentuk oleh nilai-nilai semacam ini, tanpa kecuali. Ekonomi pun tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai tersebut. Semua aturan maupun kebijakan ekonomi berakar pada nilai-nilai itu, sehingga tujuan dasarnya bisa tercapai, yakni pemenuhan kebutuhan setiap warga, guna mencapai kesejahteraan publik.

Yang kedua, masyarakat demokratis hidup dengan konstitusi. Konstitusi tersebut berpijak pada pengandaian dasar, bahwa negara ada untuk melayani kebutuhan warganya, dan bahwa harkat dan martabat setiap orang patut untuk mendapat perhatian tertinggi, di atas segalanya. Inilah roh normatif dari konstitusi negara demokratis yang memang tidak selalu terjadi seratus persen di dalam kenyataan politis. Tata ekonomi di dalam masyarakat demokratis pun harus juga menganut roh ini di dalam berbagai kebijakannya. Sistem ekonomi pasar bebas dan sistem ekonomi sosialis komunis secara langsung mengancam roh dari konstitusi masyarakat demokratis. Maka, ia harus segera diubah, demi kesejahteraan publik.

Yang ketiga adalah soal ukuran dari keberhasilan ekonomi suatu masyarakat. Menurut Felber, seluruh dunia sekarang ini menggunakan ukuran daya tukar (Tauschwertindikatoren) sebagai tolok ukur keberhasilan ekonomi suatu masyarakat. Inilah kesalahan cara berpikir dari seluruh tata ekonomi dunia sekarang ini. “Tujuan utama dari semua bentuk tata ekonomi”, demikian tulisnya, “bukanlah menciptakan daya tukar, melainkan daya guna.”8 Di dalam ekonomi, daya tukar hany merupakan alat, dan bukan tujuan pada dirinya sendiri. Contohnya amat sederhana. Apakah daya tukar suatu barang bisa memberikan kita makan, ketika kita haus? Apakah daya tukar bisa menghangatkan tubuh, ketika cuaca dingin? Apakah daya tukar memiliki daya guna, ketika kita haus, dan tak punya air untuk diminum? Salah satu kesalahan berpikir yang paling sering di dalam sejarah manusia adalah kesalahan membedakan antara alat (Mittel) dan tujuan (Zweck). Hal ini juga terjadi di dalam tata ekonomi dunia sekarang ini.

Pola yang muncul di balik kesalahan berpikir ini adalah dialektika antara tuan dan budak. Pada awalnya, budak bekerja untuk tuannya. Analoginya begini; uang bekerja untuk manusia, supaya ia bisa memenuhi kebutuhannya dengan baik. Namun, dalam perjalanan waktu, keadaan berbalik. Tuan akhirnya tergantung pada budaknya, dan akhirnya justru menjadi pelayan bagi keberadaan budaknya sendiri. Dialektika inilah yang terjadi di dalam hubungan antara uang dan kesejahteraan publik. Awalnya, uang adalah alat yang digunakan oleh pemerintah dan tata ekonomi untuk mencapai tujuan dasar dari ekonomi di dalam masyarakat demokratis, yakni menciptakan kesejahteraan publik. Yang terjadi kemudian adalah, orang lupa, bahwa uang adalah alat, dan mulai melihatnya sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Lalu, uang pun menjadi raja, sementara kesejahteraan publik hanya dilihat sebagai dampak sampingan, bahkan slogan tak bermakna. Inilah yang terjadi di dalam tata ekonomi dunia sekarang ini, terutama sistem ekonomi pasar bebas yang melihat uang dan keuntungan finansial melulu sebagai tujuan utama, dan mengabaikan kesejahteraan publik.

Felber menegaskan, kita tidak boleh menjadikan daya tukar sebagai tolok ukur keberhasilan suatu ekonomi. Yang harusnya menjadi tolok ukur, dengan demikian, adalah daya guna. Tujuan utama dari ekonomi adalah menciptakan daya guna yang bisa mengembangkan kehidupan masyarakat. Mengukur keberhasilan suatu ekonomi sama dengan mengukur keberhasilan seorang tukang bangunan dengan banyaknya peralatan yang ia punya, dan bukan dengan hasil kerjanya. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa ekonomi menjadi rusak bukan karena uang. Uang dan keuntungan finansial tetap merupakan alat yang penting di dalam ekonomi. Ekonomi menjadi rusak, menurut Felber, karena kita mengukur keberhasilan ekonomi dengan seberapa banyak uang yang ada, dan bukan dengan dampak ekonomi tersebut bagi mengembangkan kesejahteraan publik. Disinilah letak kesalahan berpikir, yang terlihat amat sepele, tetapi menghasilkan dampak merusak yang amat besar. “Ekonomi kesejahteraan publik”, demikian tulis Felber, “sungguh hendak mengukur, apa yang penting bagi masyarakat.”9 Dampak ekonomi adalah kesejahteraan publik, dan itu berdampak langsung pada kepuasan dan kebahagiaan hidup manusia, yang merupakan tujuan dari tata politik demokratis.

Jiwa dari Ilmu Ekonomi

Felber juga melihat keadaan ilmu ekonomi modern sekarang ini yang diajarkan di beragam universitas. Ia melihat keadaan ini sebagai “pengeringan jiwa” (Entseelung) dari ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi modern telah kehilangan jiwanya. “Ketika mahluk hidup kehilangan rohnya,” demikian tulisnya, “maka yang tinggal adalah zombie.”10 Ketika ilmu ekonomi kehilangan jiwanya, maka ia menjadi ilmu zombie yang amat berbahaya bagi kehidupan manusia. Yang diperlukan ilmu ekonomi sekarang ini adalah proses penyembuhan, yakni pengembalian jiwa ke dalam ilmu ekonomi itu sendiri. Konkretnya adalah “penanaman kembali” (Wiedereinbettung) ekonomi kembali ke dalam nilai-nilai masyarakat setempat. Artinya, ekonomi harus bergerak dengan nilai-nilai yang sama dengan nilai-nilai yang dianggap penting di dalam suatu masyarakat. Ilmu ekonomi sendiri lahir dari filsafat moral. Ketika pemisahan ini terjadi, maka ekonomi pun lepas dari jiwa yang membuatnya utuh, yakni filsafat moral. Mungkin lebih baik, tulis Felber, jika ekonomi dikembalikan ke dalam ranah filsafat serta etika, dan tidak menjadi ilmu mandiri yang tanpa jiwa (seelenlos).

Ide dasar di balik ilmu ekonomi modern adalah Darwinisme sosial. Di dalam paham ini, peradaban manusia dilihat sebagai proses seleksi antara mereka yang berhasil beradaptasi, dan mereka yang tidak. Yang berhasil akan hidup terus dan berkembang. Sementara, yang gagal beradaptasi akan tersingkir. Mereka harus mengubah dirinya sendiri, atau hilang di dalam lautan sejarah. Kemampuan beradaptasi amat tergantung dari kemampuan setiap orang untuk mengubah kemampuannya menjadi uang atau daya beli. Walaupun orang cerdas dan berbakat, namun ia tidak bisa mengubah bakat dan kecerdasannya menjadi yang, maka ia akan tersingkir. Ekonomi adalah kompetisi, dan setiap orang harus berusaha sekuatnya, supaya dapat bertahan. Akan selalu ada pemenang dan korban di dalam tata ekonomi. Ini alamiah dan baik adanya, menurut Darwinisme sosial. Seolah tidak ada alternatif dari model semacam ini. Ada orang-orang dengan kemampuan lebih tinggi yang berhak untuk menjadi pemenang sekaligus penguasa dari orang-orang yang berkemampuan yang lebih rendah, yang kalah. Kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin dianggap alamiah dan baik untuk perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Felber menganggap ide Darwinisme sosial ini sebagai salah satu penyakit terbesar dari ilmu ekonomi modern.

Di dalam pandangan ekonomi kesejahteraan publik, manusia adalah mahluk yang paradoksal. Artinya, ia memiliki sekaligus hal-hal yang bertentangan di dalam dirinya, seperti baik dan buruk, jujur dan pembohong, malas dan rajin, dan sebagainya. Felber mendasarkan pandangan ini pada berbagai penelitian ilmu sosial maupun ilmu alam tentang manusia di awal abad 21 ini. Di satu sisi, ia memiliki sisi egois di dalam dirinya, yang memacu dirinya untuk berkompetisi dengan manusia lainnya, guna mencapai apa yang ia inginkan. Di sisi lain, manusia juga adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk berempati pada manusia lainnya. Ia siap menolong manusia lain, ketika mereka berada di dalam kesulitan. Tidak hanya itu, setiap orang, menurut Felber, memilik rasa keadilan yang tertanam di dalam dirinya, yang mendorong mereka untuk berani berjuang melawan apapun yang mereka anggap tidak adil, jika perlu dengan tindakan agresif. Dua aspek ini, yakni egois sekaligus sosial, tertanam di dalam genetika setiap orang. Hubungan antar manusia, dalam arti ini juga komunitas dan masyarakat, baik nasional ataupun internasional, perlu ditata sedemikian rupa dengan memperhatikan sisi paradoksal ini.

Tata ekonomi kesejahteraan publik, menurut Felber, juga sering dianggap memangkas kebebasan manusia. Padahal, kebebasan manusia adalah nilai yang dianggap “suci” di dalam masyarakat modern, terutama di Eropa dan Amerika. Anggapan ini tidaklah tepat. Felber menegaskan, bahwa yang menjadi perhatian utama dari tata ekonomi kesejahteraan publik bukanlah manusia alamiah (natürliche Person), melainkan manusia hukum (juristische Person), atau badan hukum, seperti perusahaan. “Perusahaan”, demikian tulisnya, “adalah ciptaan dari masyarakat hukum yang demokratis, yang hanya dapat ada melalui aturan-aturan hukum tertentu.”11 Badan hukum, atau “manusia hukum”, ini haruslah diatur dengan nilai-nilai yang juga tertanam di dalam masyarakat tertentu yang telah melahirkannya. Dengan kata lain, ekonomi kesejahteraan publik tidak mau memangkas kebebasan manusia, tetapi justru memungkinkannya menjadi nyata melalui aturan yang berpijak pada nilai-nilai masyarakat setempat yang mengikat badan hukum, seperti perusahaan. Inilah yang sekarang ini, menurut Felber, tidak terjadi. Banyak perusahaan nasional maupun internasional di berbagai negara hanya memiliki satu nilai saja, yakni keuntungan. Semua hal dilakukan, guna mencapai tujuan itu, tanpa memperhatikan nilai-nilai yang dianggap penting di dalam masyarakat. Perusahaan semacam ini akhirnya tidak memberikan dampak baik bagi kehidupan bersama, melainkan justru merusaknya. Inilah yang terjadi di dalam kapitalisme pasar bebas, yang menjadi pandangan umum di dalam tata ekonomi dunia sekarang ini.

Perlu juga ditekankan, bahwa keuntungan tetaplah bagian penting dari sebuah perusahaan atau bisnis di dalam tata ekonomi kesejahteraan publik. Namun, seperti sudah saya tulis sebelumnya, keuntungan tidak dilihat sebagai tujuan utama dari perusahaan, melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan lainnya yang lebih tinggi, yakni sumbangan nyata untuk meningkatkan kesejahteraan publik masyarakat. Banyak tata ekonomi di dalam berbagai negara mengalami kesalahan berpikir ini, yakni ketidakmampuan membedakan secara jernih antara alat dan tujuan dari tata ekonomi. Mereka menciptakan tata ekonomi tidak dengan tujuan untuk mengembangkan kesejahteraan bersama, melainkan untuk meningkatkan keuntungan tanpa batas, seringkali tanpa aturan dan panduan nilai yang jelas (Profitmaximierung). Yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi tanpa batas. Walaupun, konsep itu, yakni pertumbuhan (Wachstum), hampir tidak memiliki kaitan langsung dengan terciptanya kesejahteraan publik. Pandangan semacam inilah yang ditolak oleh ekonomi kesejahteraan publik.

Paradoks Kebebasan dan Hukum

Di dalam pandangan ekonomi kesejahteraan publik, ada satu paradoks yang tertanam amat dalam, yakni paradoks antara kebebasan dan hukum. Paradoks ini berakar pada dalam di dalam filsafat Barat, bahwa kebebasan manusia hanya mungkin justru di dalam tata masyarakat yang diikat oleh hukum yang rasional. Di dalam kosa kata ekonomi kesejahteraan publik, “penciptaan ulang tujuan di dalam diri perusahaan justru akan memperbesar kebebasan manusia itu sendiri.”12 Artinya, tata ekonomi dengan berpijak pada aturan dan nilai tidak akan menghambat kebebasan manusia, tetapi sebaliknya, yakni mengembangkan kebebasan manusia. Bahkan dapat dikatakan, bahwa aturan-aturan yang lahir secara demokratis inilah yang memungkinkan kebebasan manusia untuk dapat ada dan kemudian berkembang. Paradoks ini tertanam amat dalam di dalam tata ekonomi kesejahateraan publik yang dirumuskan Felber. Ada beberapa argumen yang dirumuskannya, guna menopang paradoks ini.

Pertama, bahaya terbesar dari setiap bentuk kekuasaan politik adalah kekuasaan yang terpusat dan tidak dapat diatur oleh masyarakat, yakni kekuasaan yang semena-mena, yang paling nyata di dalam politik totaliter. Aturan dan hukum yang ada bisa menjamin, bahwa kekuasaan semacam ini akan dipecah, sehingga kekuasaan politik yang ada akan saling mengontrol satu sama lain, dan, dengan demikian, menciptakan tata politik demokratis yang mengabdi pada kesejahteraan publik. Kedua, aturan dan hukum bisa juga memastikan, bahwa bidang-bidang kehidupan yang menyentuh makna dan identitas hidup manusia tidak diserbu oleh daya rakus uang. Dengan kata lain, proses “ekonomisasi dunia kehidupan manusia” (Ökonomisierung der menschlichen Lebenswelt) bisa dicegah. Tiga, sebagai dampaknya, orang memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga dan hobinya. Ini membuatnya hidupnya lebih bermakna. Ini hanya mungkin, jika tata ekonomi diatur dengan hukum yang dibuat secara demokratis. Empat, hukum yang demokratis bisa mengubah tujuan utama ekonomi, yakni bukan untuk mencari keuntungan, tetapi untuk ikut ambil bagian di dalam mewujudkan kesejahteraan publik.

Lima, masyarakat juga tidak lagi terfokus pada pola hidup konsumtif yang mengabaikan nilai-nilai luhur kehidupan lainnya, seperti kesederhanaan dan solidaritas. Anak-anak juga sedari kecil tidak dibiasakan hidup konsumtif, namun belajar untuk mengembangkan nilai solidaritas dan kesederhanaan. Enam, dan ini merupakan bagian yang amat penting, lingkungan tidak hancur, karena ulah perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan bakar secara berlebihan dan membuang limbah tanpa aturan, demi meraih keuntungan sebanyak mungkin. Tujuh, dengan adanya hukum yang melindungi masyarakat dari sepak terjang neoliberalisme, yakni paham yang menjadikan ekonomi sebagai tolok ukur dari semua bidang kehidupan, mulai dari budaya sampai dengan pendidikan, orang tidak lagi hidup hanya untuk berkompetisi demi kemenangannya sendiri, tetapi belajar untuk bekerja sama demi kebaikan bersama, yakni demi mencapai kesejahteraan publik. Pemahaman ini amat penting untuk membangun masyarakat demokratis yang bertujuan untuk membangun kesejahteraan keadilan bagi semua.

Delapan, aturan yang diterapkan secara konsisten dan lahir dari proses demokratis juga akan memastikan, bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme tidak menjadi bagian dari politik pemerintahan. Sembilan, demokrasi lalu bisa dibangun di dalam masyarakat. Dalam konteks ini, demokrasi dapat dilihat sebagai tujuan dan sekaligus sarana dalam kaitan untuk mencapai keadilan dan kemakmuran publik. Tata ekonomi kesejahteraan publik mengambil peran yang amat penting di dalam mewujudkan masyarakat demokratis semacam ini. Sepuluh, lalu ekonomi pun akan diatur secara demokratis dengan prinsip, nilai serta hukum yang sudah tertanam di dalam masyarakat. Tata ekonomi semacam ini merupakan tata ekonomi kesejahteraan publik. Dengan sepuluh argumen ini, Felber mau menegaskan, bahwa tidak ada pertentangan antara hukum dan kebebasan pribadi di dalam masyarakat demokratis, sejauh hukum tersebut diciptakan melalui cara-cara yang demokratis, dimana warga negara dilihat sebagai pencipta hukum (Gesetzgeber), dan bukan sekedar objek hukum yang harus patuh buta pada hukum yang ada.13

Kondisi-kondisi Kemungkinan bagi Ekonomi Kesejahteraan Publik

Di dalam bukunya, Felber juga merumuskan kondisi-kondisi yang memungkinkan (Bedingungen der Möglichkeit) terciptanya ekonomi kesejahteraan publik. Ada 20 kondisi yang dirumuskannya. Pertama, ekonomi kesejahteraan publik berpijak pada beberapa nilai dasar (Grundwerten), yakni kepercayaan satu sama lain, saling hormat satu sama lain, kerja sama, solidaritas dan saling berbagi. Tata ekonomi yang paling baik, menurut Felber, dibangun dari pola hubungan antar manusia yang paling membuatnya bahagia dan puas di dalam kehidupan.14 Dua, adanya kesadaran sekaligus kehendak politis dari seluruh masyarakat untuk mengarahkan ekonomi pada terciptanya kerja sama serta kesejahteraan publik (Gemeinwohlstreben und Zusammenarbeit), dan bukan hanya semata meraih keuntungan finansial. Masyarakat dan pemerintah harus mengorganisir diri, guna memastikan terciptanya arah politik semacam ini.

Tiga, adanya perubahan cara mengukur keberhasilan ekonomi (wirtschaftlicher Erfolg) suatu masyarakat. Keberhasilan ekonomi bukan lagi dilihat dalam kaca mata meningkatnya daya tukar (Tauschwertindikatoren), tetapi pada daya guna (Nutzwertindikatoren) bagi kehidupan masyarakat luas. Ukuran konkretnya adalah, semakin sebuah perusahaan atau bisnis memiliki dampak yang baik bagi lingkungan hidup, kehidupan masyarakat sekitar, dan meningkatkan solidaritas masyarakat, maka semakin tinggi nilainya. Cara kita melihat apa yang berhasil dan yang gagal di bidang ekonomi haruslah diubah. Empat, ada kebijakan nyata dari pemerintah untuk memberikan penghargaan (rechtliche Vorteile) kepada perusahaan dan bisnis yang mencapai nilai daya guna tinggi untuk masyarakat, misalnya dengan pemotongan pajak, kredit peminjaman yang ringan, dan uang dari pemerintah yang diberikan kepada perusahaan tersebut untuk penelitian lebih lanjut, atau untuk memasarkan produknya ke pasar yang lebih luas. Dampak nyatanya adalah, barang atau jasa dari perusahaan yang memiliki daya guna tinggi akan lebih murah dan mudah untuk didapatkan oleh masyarakat luas, daripada barang atau jasa dari perusahaan lainnya. Masyarakat mendapatkan barang dan jasa yang bermutu secara mudah dan murah.

Lima, tata ekonomi modern, menurut Felber, kerap dibagi ke dalam dua bagian, yakni ekonomi maya (finansial) dan ekonomi nyata (barang dan jasa yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat). Ekonomi kesejahteraan publik hanya mungkin, ketika keduanya dilihat sebagai alat bagi terciptanya kesejahteraan bersama, dan bukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Dalam konteks ekonomi maya, uang hanya boleh diputar untuk keperluan mengembangkan perusahaan baru yang berkembang di masyarakat, atau proyek-proyek untuk kesejahteraan masyarakat lainnya. Investasi uang demi uang itu sendiri, menurut Felber, harus dilarang secara keras oleh hukum yang ada. Enam, pola pikir semacam ini juga akan mendukung iklim bisnis yang sehat, dimana perusahaan tidak lagi terpaku untuk mengembangkan bisnisnya, guna meraih keuntungan yang lebih besar lagi. Perusahaan dinilai telah mencapai tujuannya, jika ia bisa bertahan dengan memenuhi kebutuhan masyarakat luas, guna mencapai kesejahteraan publik. Tidak ada lagi ketakutan akan kebangkrutan atau menurunnya profit, karena ukuran keberhasilan telah diubah. Iklim semacam ini adalah salah satu kondisi yang amat penting untuk terwujudnya ekonomi kesejahteraan publik.

Tujuh, ketika perusahaan tidak lagi bernafsu untuk mengembangkan bisnisnya demi keuntungan yang lebih besar, masyarakat akan memiliki banyak perusahaan-perusaahaan kecil yang tidak terfokus pada penumpukan uang, tetapi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat. Mereka ada di berbagai bidang kehidupan, baik dalam bentuk barang ataupun jasa. Yang menjadi nilai utama adalah kerja sama dan solidaritas antara perusahaan demi satu tujuan bersama, yakni kesejahteraan publik. Keadaan ini menunjang perdamaian di level politik. “Perusahaan-perusahaan”, demikian tulis Felber, “membangun komunitas solidaritas yang saling belajar satu sama lain, dan kehadirannya terus meningkat.”15 Ia menyebutnya sebagai tata yang memberikan kemenangan untuk semua (win-win Anordnung). Delapan, keadaan ini lalu mendorong muncul kebijakan pembatasan penghasilan per bulan warga negara, termasuk pembatasan hak milik pribadi sekaligus pendapatan dan aset perusahaan, yang kesemuanya ditentukan secara demokratis. Ini akan menjamin berkurangnya kesenjangan sosial di masyarakat, dan akan menciptakan perdamaian untuk kesejahteraan publik. Uang yang berlebihan akan ditanamkan ulang untuk mengembangkan fasilitas bersama, seperti transportasi publik yang aman dan nyaman, pelayanan kesehatan yang memadai, serta pendidikan gratis untuk semua.

Sembilan, perusahaan-perusahaan yang memegang bagian-bagian penting kehidupan bersama, seperti air dan energi, harus diatur secara demokratis oleh masyarakat. Felber melihat kehadiran parlemen ekonomi (Wirtschaftsparlament) sebagai sesuatu yang amat penting, guna melakukan tugas ini. Tugas dari parlemen ini adalah menata kehadiran perusahaan-perusahaan, terutama yang memegang sektor penting di dalam masyarakat, supaya selalu sesuai dengan tujuan dasar ekonomi, yakni mencapai kesejahteraan publik. Sepuluh, perusaahaan-perusahaan penting tersebut, menurut Felber, juga harus dilihat sebagai “komunitas-komunitas besar yang demokratis” (demokratische Allmenden). Mereka bukanlah “perusahaan biasa”, melainkan bagian penting dari komunitas yang mengelola pendidikan, kesehatan, energi dan komunikasi di dalam masyarakat secara demokratis, atau yang secara singkat bisa disebut sebagai “perawat manusia” (Daseinsvorsorge). Kinerja mereka bisa dipantau oleh masyarakat luas, dan bila jelek, maka masyarakat bisa menuntut perbaikan kinerja, atau pergantian pengelola. Semua ini haruslah dijamin oleh hukum yang dikelola dan diterapkan secara demokratis serta konsisten.

Sebelas, Felber juga menyarankan didirikannya bank demokratis (demokratische Bank). Bank ini didirikan dengan satu tujuan, yakni mengembangkan kesejahteraan publik untuk semua warga masyarakat. Bank ini tidak dimiliki pemerintah atau swasta, tetapi oleh masyarakat, dan diatur serta dipantau secara langsung oleh masyarakat luas. Bank ini mendorong setiap orang untuk mempunyai tabungan. Tidak ada biaya administrasi bulanan, dan persyaratan peminjaman uang yang mudah dan aman. Tidak boleh ada investasi liar yang jauh dari kepentingan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Tentu saja, bank ini tidak berdiri sendiri, tetapi dalam jaringan kerja sama dengan bank-bank yang sudah ada, baik bank pemerintah maupun swasta. Pada akhirnya, menurut Felber, sistem finansial, yang penuh dengan investasi liar yang hanya bermuara pada ketidakstabilan ekonomi dan penumpukan kekayaan oleh orang-orang kaya, akan menghilang. Dua belas, ekonomi kesejahteraan publik juga mengandaikan adanya kerja sama internasional di dalam perdagangan. Kerja sama ini didasarkan pada mata uang yang sama, yang digunakan secara internasional di dalam perdagangan. Mata uang lokal tetap perlu ada untuk perdagangan lokal. Namun, untuk perdagangan internasional, kita harus menciptakan mata uang yang baru yang didasarkan pada kontrak yang memberikan keadilan serta kesejahteraan untuk semua, dan bukan hanya untuk sebagian pihak saja. Felber menyebutnya sebagai mata uang “Terra”, yang artinya adalah “dunia”.

Tiga belas, ekonomi kesejahteraan publik, menurut Felber, juga mengandaikan ekonomi yang memiliki perhatian besar pada kelestarian alam. Dalam arti ini, alam dilihat sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri, dan bukan sesuatu yang bisa digunakan untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak ada habisnya. Maka, alam tidak pernah bisa menjadi milik pribadi dari perorangan. Setiap jengkal tanah adalah milik bersama, maka selalu harus digunakan untuk memenuhi kepentingan bersama. Dengam paham ini, kebijakan terkait dengan perdagangan tanah dan properti kemudian dirumuskan. Hal ini juga memastikan, menurut Felber, bahwa spekulasi harga tanah yang terus meningkat akan menghilang, dan tidak akan ada lagi pengrusakan alam, demi keuntungan segelintir kelompok saja. Empat belas, ekonomi kesejahteraan publik, menurut Felber, mengandaikan adanya perubahan paradigma yang mendasar di dalam ekonomi. Penumpukan keuntungan dan perkembangan ekonomi tidak lagi menjadi tujuan utama dari ekonomi, melainkan kesejahteraan publik yang juga melibatkan kepedulian besar di dalam perawatan lingkungan. Ukuran keberhasilan seluruh sistem ekonomi bukanlah pertumbuhan ekonomi (Wirtschaftswachstum), melainkan keberhasilan suatu sistem ekonomi di dalam memajukan kesejahteraan publik warganya (termasuk kesejahteraan psikologis dan materi) serta dalam waktu yang sama menjaga kelestarian lingkungan hidup yang ada.

Lima belas, ketika pertumbuhan tidak lagi menjadi tujuan, maka orang tidak lagi perlu bekerja terlalu keras untuk mempertahankan hidup yang bermartabat. Jam kerja lalu berkurang. Felber melihat, bahwa 30 jam seminggu adalah waktu kerja yang paling ideal di dalam ekonomi kesejahteraan publik. Lalu, orang bisa mendapatkan waktu luang untuk bersama keluarganya, mendidik anak-anaknya, menikmati seni dalam berbagai bentuknya, dan ikut ambil bagian di dalam memperhatikan dan mempengaruhi perkembangan politik di tempat tinggalnya. Enam belas, ekonomi kesejahteraan publik juga mengandaikan, bahwa setiap warga memiliki kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Konkretnya, setiap warga mendapat kesempatan untuk memperoleh cuti dengan gaji selama setahun (bedingungloses Freijahr), setelah ia bekerja selama 10 tahun sebelumnya. Dalam waktu satu tahun itu, ia bisa mengembangkan hobi dan kemampuannya, di luar pekerjaannya. Kebijakan ini bisa dipastikan akan menambah tingkat kepuasaan hidup dan kesehatan mental maupun fisik warga masyarakat. Dua hal ini merupakan bagian yang amat penting di dalam paham kesejahteraan publik (Gemeinwohl).

Tujuh belas, politik yang diperlukan untuk mendirikan ekonomi kesejahteraan publik adalah politik demokrasi, tepatnya demokrasi langsung, atau demokratis partisipatif. Rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Mereka memiliki hak sekaligus kewajiban untuk secara langsung mengatur pemerintahan, memilih wakil-wakil mereka, mengontrol dan mengubah jalannya pemerintahan. Berbagai pelayanan publik, seperti kereta api, pos, dan berbagai pelayanan publik lainnya, harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Di dalam demokrasi langsung yang menopang kesejahteraan publik, kehendak dan kepentingan rakyat identik dengan kehendak dan kepentingan para wakilnya di pemerintahan. Delapan belas, semua kebijakan yang sudah dijabarkan di atas haruslah juga diikat oleh berbagai perjanjian dan dilindungi oleh berbagai kebijakan hukum, guna menjamin pelaksanaannya. Perlu ada perjanjian dan aturan yang menata pendidikan, politik, dan ekonomi, supaya semuanya tetap pada jalur yang sama, yakni menciptakan kesejahteraan publik untuk semua. Sedapat mungkin, semua perjanjian dan kebijakan ini mencapai level internasional, sehingga tidak ada negara yang ketinggalan di dalam penciptaan kesejahteraan publik.

Sembilan belas, ekonomi kesejahteraan publik berpijak pada nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai ini harus dilestarikan, sehingga generasi berikutnya bisa tetap berpegang pada nilai-nilai ini, dan mengembangkannya lebih jauh. Maka dari itu, pendidikan di berbagai tingkat, mulai dari keluarga sampai dengan universitas, harus menjadikan nilai-nilai kesejahteraan publik sebagai isi utamanya. Nilai-nilai tersebut, menurut Felber, adalah kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain, kemampuan berbicara dan mendengarkan orang lain, kemampuan untuk berpikir tidak hanya dengan pikiran sendiri, tetapi dengan mengambil sudut pandang orang lain, serta kecintaan dan kemampuan untuk merawat alam. Dua puluh, keberadaan dan perkembangan ekonomi kesejahteraan publik amat bergantung pada para pemimpin yang ada. Di dalam masyarakat yang menganut pandangan ekonomi kesejahteraan publik, yang dibutuhkan bukanlah pemimpin yang egois dan bertujuan hanya untuk mencari uang, tetapi pemimpin yang memiliki tanggung jawab sosial dan ekologis (terhadap alam). Ia harus memiliki empati, yakni kemampuan untuk merasakan dan bertindak seturut dengan pengamatannya terhadap perasaan orang lain. Ia juga bisa menjamin, bahwa kesejahteraan publik sungguh menjadi tujuan utama yang tidak hanya dijalankan hari ini, tetapi juga berkelanjutan di masa depan (nachhaltig).

Felber menegaskan, bahwa melihat keadaan dunia sekarang ini, sistem ekonomi kesejahteraan publik adalah tata ekonomi terbaik yang bisa dijalankan oleh umat manusia. Tentu saja, ini bukanlah model mutlak yang tidak dapat salah, melainkan satu langkah kecil maju dari umat manusia untuk mengembangkan dirinya sendiri dalam hubungan dengan alam sekitarnya. “Model ini”, demikian tulis Felber, “adalah proses yang bersifat partisipatif dan terbuka pada perkembangan dan mencari kerja sama dengan model ekonomi lain yang mirip…. untuk menciptakan sesuatu yang baru dari usaha bersama umat manusia.”16 Ini semua membutuhkan motivasi yang kuat dari seluruh warga sekaligus tanggung jawab untuk bekerja sama dengan panduan aturan yang masuk akal dan demokratis, sehingga menciptakan kesadaran bersama atas pentingnya ekonomi kesejahteraan publik. Jika kesadaran bersama sudah ada, yang dibentuk melalui proses pendidikan dan teladan dari para pemimpin masyarakat, maka sisanya hanya usaha untuk menerapkan. Semua orang diundang untuk ambil bagian di dalam usaha mewujudkan kesejahteraan publik.