Apa yang dimaksud dengan pembaharuan dan modernisasi dunia Islam?

tolong dibantu kak pliss mau dikerjakan soalnya​

4-10pliss yang bisa bantu jawab​

1.bantu Jawab plissbahasa arapkls 9Mtssemester 2​

10. (1) berusaha menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain (2) tidak menunda-nunda pekerjaan terutama belajar (3) berlomba-lomba untuk mencari am … al kebaikan (4) meyakini bahwa harta benda itu tidak kekal dari pernyataan diatas perilaku yang menunjukkan mengimani Asmaul Husna al-muqaddim adalahtolong cepat dong bantu jawab soalnya pertanyaan nyaa ngejebaktolong jangan jawab asal² lan y cuma buat dapet poin sekali lagi tolong bantu​

tolong jawab soal pada gambar​

tolong jawab soal pada gambar​

tolong jawab soal pada gambar​

tolong jawab soal pada gambar​

tolong jawab soal pada gambar​

1. Pernyataan berikut yang merupakan contoh Qodha adalah... A Nurul Sebagai Juara 1 taliwah karena giat berlatih . B. Salwa menjadi orang kaya kerena … rajin berkerja c. Siti terkenal sampai kemanca negara karena ratu kecantikan D. Allah menetapkan matahari muncul di Siang hari ​

Pada abad modern ini terus berkembang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dunia sudah berubah maju memberikan penemuan-penemuan yang mengefisiensikan kebutuhan manusia. Masa modern ini memberikan kita prinsip-prinsip modern yang selalu menguatamakan rasionalitas. Namun dunia islam masih terpaku pada masa-masa gemilang dan berpegang teguh dengan tradisi-tradisi. Banyak kaum muslim pada masa ini masih ingin untuk berbalik ke masa lalu dan menginginkan segala sikap dan pengaruh saat itu teraplikasi ke dalam dunia modern ini. Tetapi hal itu tidak mungkin terjadi ketika keadaan sudah berubah total. Kaum muslim seharusnya bangkit dengan kemajuan dan ilmu pengetahuan tetapi tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Orang-orang Islam cenderung memandang negatif terhadap modernisasi. Modernisasi dianggap sebagai produk barat. Kaum muslim memandang dengan mengikuti peradaban di barat akan menimbulkan sekulerisasi atau yang mengenyampingkan agamanya. Modernisasi di barat memang memiliki keunggulan-keunggulan di bidang pengetahuan dan teknologi. Tapi tidak semua konsep modernisasi barat tersebut dapat diterima dan diserap seluruhnya oleh kaum muslimin. Tetapi modernisasi itu tetap dapat kita disesuaikan dengan pemikiran dan ajaran-ajaran islam. Konsep mondernitas di barat pun tidak sepenuh baik. Barat pun seakan-seakan melakukan imprealisme budaya terhadap budaya masyarakat lainnya. Menurut keyakinan mereka bahwa yang tidak mengikuti peradaban di barat merupakan masyarakat yang terbelakang dan tradisional. Kaum muslim sendiri lebih suka untuk menyebut prinsip-prinsip modern yang masuk sebagai pembaharuan Islam dibandingkan dengan modernisasi Islam.

Sejarah islam mencatat permulaan periode modern dimulai pada penghujung ke 18. Timbul sebuah kultur moderenitas di dalam Islam. Di mesir muncul tokoh pemikir awal pembaharuan Islam yaitu Jamaluddin Al-Afghani. Ia memiliki pandangan bahwa pentingnya bertindak secara rasional dan menerima gagasan yang dihasilkan oleh akal. Ia juga merupakan tokoh pendukung pan-islamisme. Kaum muslim akan bergerak maju ketika mempunyai persatuan dan pemikiran yang mendalam terhadap pengetahuan.

Gagasan pembaharuan juga terjadi di India. Melalui karya-karyanya, Sir Sayyid Ahmad Khan telah berupaya menunjukan bahwa ilmu pengetahuan alam dan temuan-temuannya sebenarnya sesuai dengan iman Islam, tetapi ia juga berbependapat sains dan agama sebenernya berhubungan dengan wilayah-wilayah yang berbeda sehingga ilmu dan agama tidak bertentangan maupun bertikai satu sama lain (Khan 1984: vol.3 hlm.281-2) . Ia merupakan pemikir yang menyerukan saintifikasi masyarakat muslim. Seperti Al-Afgani, ia menyerukan kaum muslim untuk meraih ilmu pengetahuan modern. Ia melihat adanya kekuatan yang membebaskan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kekuatan pembebas itu antara lain, penjelasan mengenai suatu peristiwa dengan sebab-sebab yang bersifat rasional.

Semangat kaum muslim untuk menempuh pendidikan dan perkembangan teknologi akan memberikan sumbangan peradaban di masa modern ini. Pembaharuan dimaksudkan untuk memunculkan pengetahuan baru demi kemajuan masyarakat muslim. Kaum muslim juga harus tetap menerapkan prinsip-prinsip Al-qur’an dalam menerima modernitas yang ada. Jika hal tersebut terjadi, maka di masa depan akan hadir kaum intelektual yang tetap berpegang teguh pada ajaran Islam. (GY)

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan.Jakarta: Bulan Bintang. 1975.

John Cooper, Ronald L.Nettler dan Mohamed Mahmoud, Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, Jakarta: Erlangga, 2002.

Ramadan, Thariq. Menjadi Modern Bersama Islam. Jakarta: Teraju. 2003.

MODERNISASI DAN PEMBARUAN DI DUNIA ISLAM

(UPAYA PEMBARUAN DI DALAM BIDANG KEAGAMAAN)

     A.    PENDAHULUAN

Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Keduanya diyakini sebagai kebenaran tunggal ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan berubah-ubah sebagai watak dan ciri khas adanya dinamika intelektual dalam Islam. Di dalamnya dimuat postulat-postulat yang mendorong umat Islam untuk terus mengkaji dan meneliti tentang prinsip dasar universalitas ajaran Islam yang sempurna namun tidak semuanya disampaikan dengan bahasa yang jelas dan terinci. Oleh karena itu, interpretasi diperlukan untuk memahami maksud dan makna bunyi ayat dan mengamalkannya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Apalagi yang berkaitan dengan persoalan sosial kemasyarakatan, Islam memberikan pedoman yang masih bersifat umum.

            Selama dua setengah abad sepeninggal Nabi SAW. dalam kaitannya pengalaman Al-Qur’an dan Al-Sunnah, Ortodoksi Sunni mengalami kristalisasi setelah bergulat  dengan aliran Mu’tazilah (rasionalisme dalam Islam), aliran Syi’ah, dan kelompok-kelompok Khawarij. Pergulatan ini sesungguhnya masih terus berlangsung sampai abad ke-13. Pada abad ini sufisme berkembang di Dunia Islam dalam bentuk pelbagai kelompok persaudaraan (thariqah), yang sedikit banyak berbau mistik karena tidak jarang gerakan-gerakan sufi mengalami pembauran dengan budaya-budaya lokal yang sudah ada. Jadi tidak aneh bila praktek-praktek sufi kadang kala bertentangan dengan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah karena mengarah pada bid’ah dan khurafat.[1][1]

            





Dalam situasi  umat  yang seperti itu, tampillah seorang pembaru Islam pada peralihan abad ke-13 dan ke-14 yaitu Ibnu Taimiyah di Damaskus. Pembaruan yang dilakukan oleh  tokoh yang sering dianggap sebagai bapak tajdid (reformasi Islam) ditujukan pada tiga sasaran utama yaitu  sufisme, filsuf yang mendewakan rasionalisme dan teologi Asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik. Ketiganya dipandang menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam memberikan kritik selalu diserta seruan kepada umat Islam agar kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah[2][2] dan memahami kembali kedua sumber Islam itu dengan landasan ijtihad. Pintu ijtihad yang seolah-olah sudah ditutup pada waktu itu didobrak oleh Ibnu Taimiyah sambil menandaskan bahwa rekonstruksi Islam hanya dapat dilakukan dengan menghidupkan semangat ijtihad. Menurutnya bahwa manusia harus dapat memahami kehendak Allah sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Pada masa-masa selanjutnya bermunculanlah tokoh-tokoh pembaru lainnya yang pada awalnya bertujuan sama untuk memperbaiki kondisi umat Islam yang pada waktu itu mengalami degenerasi dan dekadensi akidah hanya saja tekanan dari masing-masing pembaharuan berbeda, dari satu generasi kepada generasi yang lain, dan juga dari satu tempat ke tempat yang lainnya.  Dalam pada itu yang diperbaharui oleh para pembaharu itu hanyalah penafsiran dan interpretasi dari ajaran yang bersifat  tidak muntlak.             Fazlur  Rahman salah seorang pemikir Islam terkemuka  menilai bahwa gerakan-gerakan reformasi Islam yang muncul pada abad ke-17 sampai ke-19 pada dasarnya menunjukkan karakteristik yang sama seperti gagasan pokok Ibnu Taimiyah yaitu mengedepankan rekonstruksi sosio-moral masyarakat Islam dan sekaligus mengoreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan mengabaikan masyarakat.[3][3]

Kebangkitan di dunia Barat  pada masa antara akhir abad ke-16 dan akhir abad ke-18 telah terjadi transformasi budaya yang membawa masyarakat Barat menuju modernitas. Secara Historis , Galileo Galilei  (1564-1642) dianggap sebagai pahlawan modernitas yang hidup pada masa Renaissans, masa ketika para pemikir mendapatkan diri dalam kebebasan pribadi dan dengan akal sehat mereka mendobrak dogma gereja, sehingga mereka mampu menemukan pelbagai pemecahan dan penemuan baru di bidang ilmiah.[4][4] Pada masa ini merupakan masa pencerahan terhadap akal pemikiran  atau masa pencerahan  (  Aufklarung) terutama tahun 1650 – 1800 M.[5][5], yang selanjutnya diikuti oleh Revolusi Industri di Inggris dan  Revolusi Perancis (1789 – 1799) yang telah membangun norma-norma baru dalam hubungan sosial umat manusia. Sejak saat itulah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern melaju dengan pesat.

 Ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan anak kandung modernitas pada abad ke-19 menyerbu dunia Islam dengan pintu masuk pendudukan Napoleon Bonaparte di Mesir yang dalam sejarah Islam disebut sebagai permulaan Periode Modern. Kontak dengan dunia Barat modern ini selanjutnya menimbulkan pelbagai ide baru di dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, sekularisme dan sebagainya yang kelak menimbulkan pelbagai persoalan baru[6][6], juga sekaligus menumbuhkan kembali dinamika intelektual kaum muslimin dengan cara membersihkan agama dari subversi syirk, khurafat, dan bid’ah serta mengadopsi pemahaman dan metodologi baru yang dikembangkan oleh orang-orang Barat.[7][7] Dalam keadaan demikian inilah. Dunia  Islam bangkit dan muncul kesadaran  bahwa mereka telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Karena itu muncullah ulama dan para pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan mengejar ketinggalan dari Barat   sehingga dunia Islam pun memasuki periode modern.

     B.     DEFINISI MODERNISASI DAN PEMBARUAN  DI DUNIA ISLAM

             “Modernisasi” secara etimologis berasal  dari kata modern yang telah baku menjadi bahasa Indonesia dengan arti pembaruan. Dalam masyarakat Barat “modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan lain  sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern[8][8]. Modernisasi atau pembaruan dapat diartikan apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh penerima pembaruan, meskipun bukan hal baru bagi orang lain. Dengan demikian modernisasi merupakan proses perubahan untuk memperbaiki keadaan, baik dari segi cara, konsep dan serangkaian metode yang bisa diterapkan dalam rangka mengantarkan keadaan yang lebih baik.

Sedangkan dalam kosakata Islam term “pembaruan” digunakan kata tajdid, kemudian muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaruan, yaitu modernisme, reformisme, puritanisme, revivalisme dan fundamentalisme. Disamping kata tajdid, ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata “ishlah”. Kata “tajdid” biasa diterjemahkan sebagai “pembaruan” dan  “ishlah” sebagai “perubahan”. Kedua kata  tersebut  secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktik-praktiknya dalam komunitas kaum muslim.[9][9]

Berkaitan dengan hal tersebut, pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi ataupun merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam supaya sesuai dengan selera zaman,[10][10] melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan serta semangat zaman.[11][11]

Adapun penggunaan istilah “modernisasi”  atau “pembaruan” di dunia Islam oleh para ahli masih terdapat perbedaan pendapat, demikian pula dalam pemaknaan  dan isi pembaruan itu sendiri. Harun Nasution  menyebut pergulatan modernitas dan tradisi dalam dunia Islam melahirkan upaya-upaya pembaruan terhadap tradisi yang ada sebagai “Gerakan Pembaruan Islam”, bukan “Gerakan Modernisme Islam”. Menurutnya, modernisme memiliki konteks  sebagai gerakan yang berawal dari dunia Barat untuk menggantikan ajaran agama Katholik dengan sains dan filsafat modern yang berpuncak pada proses sekularisasi dunia Barat.[12][12] Sedangkan Azyumardi Azra lebih suka memakai istilah modern dari pada pembauran degan alasan bahwa penggunaan istilah pembaruan tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah. Pembaruan dalam dunia Islam  modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam kehidupan Muslim, sebaliknya yang sering terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi. Dengan demikian harus kita pahami bahwa pembaharuan dalam tradisi Islam yang disebut konsep tajdid tidak sama dengan modernisasi dalam Islam.Yang diperlukan sekarang adalah usaha penggalian kembali konsep-konsep dalam Islam yang telah terkaburkan karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Qur’an dan al-Sunnah dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat.  Kesenjangan ini terjadi di antaranya disebabkan oleh ketidakmampuan menangkap semangat ajaran Al-Qur’an dan Sunnah dalam menghadapi  gerak dan perkembangan hidup manusia yang mengakibatkan pengamalannya menjadi padam dan ketiadaan ilmu yang cukup dapat berakibat pengamalan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah menyimpang dari semangatnya.[13][13]Dengan demikian antara tajdid (pembaruan)  dan  modernisasi di dunia Islam berbeda secara etimologis maupun konseptual, namun dalam praktiknya keduanya tidak terpisahkan. Perbedaan ini dapat kita telusuri dari segi historis lahirnya kedua istilah tersebut.       

 Ada beberapa komponen yang menjadi ciri suatu aktivitas dikatakan sebagai aktivitas pembaruan, antara lain: pertama,  baik pembaruan maupun modernisasi akan selalu mengarah kepada upaya perbaikan secara simultan, kedua, dalam upaya melakukan suatu pembaruan niscaya akan ada pengaruh yang kuat antara ilmu pengetahuan dan teknologi, ketiga, upaya pembaruan dilakukan juga dilakukan secara dinamis, inovatif, dan progresif sejalan dengan perubahan cara berpikir seseorang.[14][14]Ketiga komponen ini dalam pelaksanaannya selalu terkait tidak dapat dipisahkan.

     

    C.                 LATAR  BELAKANG DAN DASAR PEMBARUAN DAN        MODERNISASI DI DUNIA ISLAM

Pembaruan  dan Modernisasi di  dunia Islam dilatarbelakangi
oleh beberapa factor berikut ini:

a.       Faktor Internal; faktor dari dalam Islam itu sendiri di antaranya :

Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan – kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat , pemujaan terhadap orang-orang yang dianggap suci, dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.Kedua, sifat jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad, maka tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaruan yang berusaha memberantas kejumudan. Ketiga, umat Islam selalu berpecah belah, maka umat Islam tidak akan mengalami kemajuan. Umat Islam maju karena  adanya persatuan dan kesatuan atau persaudaraan yang diikat oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan kembali umat Islam bangkitlah suatu gerakan pembaruan.

b.      Faktor Eksternal yaitu  hasil kontak yang terjalin antara dunia Islam dengan dunia Barat. Dengan adanya kontak ini umat Islam sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat.

Pembaruan dan Modernisasi di Dunia Islam dilandasi oleh tiga hal berikut:

a.       Landasan  Teologis

Menurut Achmad Jainuri – landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu :

Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (universalisme Islam).[15][15]Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada  setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia dengan tidak membatasi diri pada suatu  bahasa, tempat, masa,  atau kelompok tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa nilai universalisme  itu tidak bisa dibatasi oleh formalism dalam bentuk apapun.[16][16]Kedua,keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah SWT yang memuat semua prinsip moral dan agama untuk semua manusia atau finalitas fungsi kenabian Muhammad SAW. sebagai Rasul Allah.[17][17] Sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Hamid,   Maulana Muhammad Ali  dalam buku The Religion of Islam menyatakan bahwa dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin  bahwa Islam adalah agama akhir yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang berarti bahwa pasca Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula bahwa sebagai agama yang terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama yang diturunkan sebelumnya.[18][18]

b.    Landasan Normatif

                        Yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang diperoleh dari tek-teks nash, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadis. Dasar-dasar dari Al-Qur’an tentang modernisasi menurut Nurcholish Madjid sebagai berikut:[19][19]

   Ø  Allah menciptakan seluruh alam  ini dengan haq (benar) bukan bathil (palsu) (QS. Al-Nahl [16]:3, Shad [38]:27).

   Ø  Dia mengaturnya dengan peraturan Ilahi (Sunnatullah) yang menguasai dan pasti (QS. Al-A’raf [7]:54, al-Furqan [25]:2).

 Ø  Sebagai buatan Tuhan Maha Pencipta, alam ini adalah baik, menyenangkan (mendatangkan kebahagiaan duniawi) dan harmonis    (QS. Al-Anbiya [21]:27, Al-Mulk [67]:3).

  Ø  Manusia diperintahkan Allah untuk mengamati dan menelaah hukum-hukum yang ada dalam ciptaan-Nya (Qs. Yunus [10]:101).

   Ø  Allah menciptakan seluruh alam raya untuk kepentingan manusia, kesejahteraan hidup dan kebahagiaannya,sebagai rahmat dari-Nya. Akan tetapi hanya golongan manusia yang berpikir atau rasional yang mengerti dan kemudian memanfaatkan karunia itu (QS.Al-Jatsiyah [45]:13.

   Ø  Karena adanya perintah untuk menggunakan akal pikiran (rasio) itu, Allah melarang segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, yaitu terutama berupa pewarisan membuta tradisi-tradisi lama, yang merupakan cara berpikir dan tata cara generasi sebelumnya (QS. Al-Baqarah [2]:170, al-Zukhruf [43]:22-25.


c.     Landasan Historisnya adalah sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.

            Gerakan pembaruan Islam telah melewati sejarah panjang. Menurut Fazlur Rahman secara historis, perkembangan pembaruan Islam paling sedikit telah melewati empat tahap. Keempatnya menyajikan model gerakan yang berbeda. Meski demikian, antara satu dengan lainnya dapat dikatakan sebuah keberlangsungan (continuity) daripada pergeseran dan perubahan yang terputus-putus. Hal ini karena gerakan pembaruan Islam muncul bersamaan dengan fase-fase kemodernan yang telah cukup lama melanda dunia, yaitu sejak pencerahan pada abad ke-18 dan terus berekspansi hingga sekarang. Tahap-tahap gerakan pembaruan Islam itu, dapat dideskripsikan sebagai berikut:[20][20]

            





Tahap pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish).  Golongan Revivalis (Pra-Modernis), mulai muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, Fulaniyah di Afrika Barat.[21][21] Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kakum muslim. Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri pertama yang menandai gerakan yang bercorak revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih mendalam dan seksama untuk melakukan transformasi secara mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam. Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan gerakan adalah “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw”.Reorientasi semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk melakukan purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus ditinjau kembali. Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum intelektual muslim, tetapi juga mengharuskan adanya ijtihad. Tak heran jika seruan untuk membuka kembali pintu ijtihad yang selama ini diasumsikan tertutup diserukan dengan gegap gempita oleh kaum pembaru. Ciri lain gerakan ini, adalah digunakannya konsep jihad dengan sangat bergairah..

            Tahap kedua, dikenal dengan istilah modernisme klasik. Gerakan Modernis ini dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (w.1897) di seluruh Timur Tengah, Sayyid Ahmad Khan (w.1898) di India, dan Muhammad Abduh (w.1905) di Mesir. Di sini pembaruan Islam termanifestasikan dalam pembaruan lembaga-lembaga pendidikan. Pilihan ini tampaknya didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media yang paling efektif untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan baru. Pendidikan juga merupakan media untuk “mencetak” generasi baru yang berwawasan luas dan rasional dalam memahami agama sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Model gerakan ini muncul bersamaan dengan penyebaran kolonialisme dan imperialisme Barat yang melanda hampir seluruh dunia Islam. Implikasinya, kaum pembaru pada tahap ini mempergunakan ide-ide Barat sebagai ukuran kemajuan. Meskipun demikian, bukan berarti pembaru mengabaikan sumber-sumber Islam dalam bentuk seruan yang makin santer untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Pada tahap ini juga populer ungkapan yang mengatakan bahwa Barat maju karena mengambil kekayaan yang dipancarkan oleh al-Qur’an, sedangkan kaum muslim mundur karena meninggalkan ajaran-ajarannya sendiri. Dalam hubungan ini, model gerakan melancarkan reformasi sosial melalui pendidikan, mempersoalkan kembali peran wanita dalam masyarakat, dan melakukan pembaruan politik melalui bentuk pemerintahan konstitusional dan perwakilan. Jelas pada tahap kedua ini, terjadi kombinasi-kombinasi yang coba dibuat antara tradisi Islam dengan corak lembaga-lembaga Barat seperti demokrasi, pendidikan wanita dan sebagainya. Meski kombinasi yang dilakukan itu tidak sepenuhnya berhasil, terutama oleh hambatan kolonialisme dan imprealisme yang tidak sepenuhnya menghendaki kebebasan gerakan pembaruan. Mereka ingin mempertahankan status quo masyarakat Islam pada masa itu agar tetap dengan mudah dapat dikendalikan.

            Tahap ketiga, gerakan pembaruan Islam disebut revivalisme, pascamodernis   (posmodernist revivalist), atau disebut juga neorevivalist (new revivalist). Gerakan ini mempunyai corak modern namun agak reaksioner, di mana A’la al-Maududi dengan Jemaat Islaminya menjadi model tipikal bagi gerakan ini. [22][22] Pada tahap itu kombinasi-kombinasi tertentu antara Islam dan Barat masih dicobakan. Bahkan ide-ide Barat, terutama di bidang sosial politik, sistem politik, maupun ekonomi, dikemas dengan istilah-istilah Islam. Gerakan –gerakan sosial dan politik yang merupakan aksentuasi utama dari tahap ini mulai dilansir dalam bentuk dan cara yang lebih terorganisir. Sekolah dan universitas yang dianggap sebagai lembaga pendidikan modern  dibedakan dengan madrasah yang tradisional juga dikembangkan. Kaum terpelajar yang mencoba mengikuti pendidikan universitas Barat juga mulai bermunculan. Tak heran jika dalam tahap ini, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran sekularistik yang agaknya akan merupakan benih bagi munculnya tahap berikutnya. Sejalan dengan itu, pada tahap ini muncul pandangan di kalangan muslim, bahwa Islam di samping merupakan agama yang bersifat total, juga mengandung wawasan-wawasan, nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit meliputi semua bidang kehidupan. Tampaknya, pandangan ini merupakan respons terhadap kuatnya arus “pembaratan” di kalangan kaum muslim. Tak heran jika salah satu corak tahap ini adalah memperlihatkan sikap apologi yang berlebihan terhadap Islam dan ajaran-ajarannya.

            Tahap keempat yang disebut neo-modernisme. Tahap ini sebenarnya masih dalam proses pencarian bentuknya. Meskipun demikian, Fazlur Rahman sebagai “pengibar bendera” neo-modernisme menegaskan bahwa  gerakan ini dilancarkan berdasarkan kritik terhadap gerakan-gerakan terdahulu. Menurutnya neo-modernisme mempunyai sintesis progresif dari rasionalitas modernis di satu sisi dengan ijtihad dan tradisi klasik di sisi yang lain. Ini merupakan prasyarat utama bagi renaissance Islam.

                
        
     E.                 TOKOH-TOKOH PEMBARUAN DAN UPAYA – UPAYA YANG TELAH DILAKSANAKAN  DI DUNIA ISLAM

             Pada perkembangan Islam abad modern,  umat Islam mulai timbul kesadaran akan pentingnya ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah setelah terjadi banyak penyimpangan dari sumber asalnya. Pada masa ini muncullah para pembaharu yang ingin melakukan pemurnian terhadap ajaran agama Islam yang sesuai dengan ajaran yang bersumber pada Al-Qur’an dan  Hadis. Berikut tokoh-tokoh  para pembaharu dan upaya-upaya yang telah dilakukan adalah :

1.      Muhammad bin Abdul Wahhab yaitu ulama besar yang produktif lahir di Nejed Arab Saudi pada tahun 1703 M. Beliau telah mempelopori gerakan pemurnian tauhid yang disebut dengan Gerakan Wahabiyah.  Secara umum tujuan gerakan Wahabi adalah mengikis habis segala bentuk takhayul, bid’ah, khurafat dan bentuk-bentuk penyimpangan pemikiran dan praktik keagamaan umat Islam yang dinilainya telah keluar dari ajaran Islam  yang  sebenarnya.[23][23]

2.      Jamaluddin al-Af-Ghani lahir di Asadabad Afganistan pada tahun 1835. Ia pendiri perkumpulan Al-Urwah Al-Wutsqa (Ikatan yang Kuat) suatu perkumpulan yang anggotanya terdiri atas orang-orang Islam dari berbagai Negara yang bertujuan untuk memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Pemikirannya selain ajakan untuk pemurnian kembali ajaran Islam,   ia juga melahirkan ide tentang adanya persamaan antara pria dan wanita dalam beberapa hal, kepemimpinan otokrasi supaya diubah menjadi demokrasi . Gerakan politisnya adalah Pan-Islamisme dan anti kolonial. Ia senantiasa berpihak pada kelompok yang menentang kolonialisme Inggris. Ide modernism dalam pembaruan politik kesatuan dunia Islam dan populisme.

3.      Muhammad Abduh dilahirkan di Mesir tahun 1849. Dalam melakukan gerakan pembaruan ia melaksanakannya dengan menulis artikel di media massa seperti di Koran Al-Ahram.Upaya dan pemikirannya dalam pembaruan Islam adalah : untuk menafsirkan kemurnian ajaran Islam harus digunakan cara dengan membuka pintu ijtihad.Setiap umat Islam agar dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern maka harus mau menghargai akal dengan jalan merasionalisasikan ajaran Islam itu sendiri. Negara Islam harus mengakui konstitusi sehingga ada pembatasan kekuasaan dari seorang pemimpin. Dia juga melakukan modernisasi sistem pendidikan di Al-Azhar.[24][24]

4.      Rasyid Ridha lahir di Qalmoun, Syam tahun 1865 M. Upaya  dan pemikirannya adalah meluruskan pemahaman agama melalui penerbitan majalah dan tafsir Al-Qur’an Al-Manar dan memperbarui system pendidikan dan pengajaran dengan metode baru dengan  menambahkan mata pelajaran umum pada kurikulum madrasah dan sekolah tradisional, di samping mata pelajaran agama. Ia juga telah mendirikan sekolah bernama Al-Madrasah Ad-Dakwah wa Al-Irsyad pada tahun 1912 di Kairo.[25][25]

5.      Muhammad Ali Jinnah lahir di Karachi pada tahun 1876 sebagai “Bapak Pendiri Pakistan” penerus  gerakan pembaruan sebelumnya Muhammad Iqbal sebagai arsitek, penggerak dan pemikir idealisme. Ia merupakan tokoh penentu tentang kebangkitan Islam India. Dengan segala kegigihan dan keberaniannya  ia terus mewujudkan suatu koloni Islam yang diikat dalam suatu pemerintahan Islam mandiri dan terbebas dari intervensi pihak manapun.[26][26]

6.      Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi India adalah seorang pembaru yang produktif dengan berbagai karya, di antaranya pemikirannya  tentang sosial politik dengan melakukan asimilasi antara kaum Muslimin dan kebudayaan Inggris dengan menulis sebuah buku yang berjudul Ahkam Ta’am Ahl Al-kitab (Hukum makanan Ahli Kitab). Dalam bidang pendidikan pada tahun 1878 ia mendirikan Muhammaden Anglo Oriental College (MAOC) yang pada tahun 1920 menjadi Universitas Islam Aligarh.Sedangkan pada tahun 1886 mendirikan Muhammaden Education Confrence yang merupakan pendidikan nasional yang seragam di India.[27][27]Adapun dalam bidang agama cara ia menelaah dan memberi intepretasi terhadap Al-Qur’an dan Hadis cenderung mengarah pada pemikiran rasional.[28][28]

            Dengan memperhatikan upaya-upaya yang dilakukan para tokoh-tokoh tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gerakan-gerakan pembaruan sebelum abad ke-20 ini memiliki beberapa kesamaan dasar yaitu (1) gerakan-gerakan itu datang dari masyarakat Islam itu sendiri, (2) gerakan-gerakan itu pada dasarnya melakukan kritik terhadap sufisme yang cenderung menjauhi tugas-tugas manusia Muslim alam pergumulan social di dunia konkret, (3) gerakan-gerakan ini menekankan mutlak perlunya rekonstruksi  sosio-moral dan sosio-etis masyarakat Islam agar sesuai, atau paling tidak mendekati Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dan Sunnah(4)  gerakan-gerakan ini mengobarkan semangat ijtihad yaitu penggunaan akal pikiran untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat Islam dengan referensi utama al-Qur’an dan Hadis.


     F.      PROBLEMATIKA PEMBAHARUAN DAN MODERNISASI ISLAM DI DUNIA ISLAM

             Masuknya modernitas ke dunia Islam melewati suatu proses yang disebut “serbuan” atau melalui kekerasan yang bersifat militer yakni ekspedisi Napoleon Banaparte ke Mesir (1798-1801). Semenjak itu modernitas tidak saja menimbulkan implikasi positif di dunia Islam, tetapi juga sejumlah problem dan tantangan yang makin lama makin bertambah banyak seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat.

            Ada  beberapa problem yang dihadapi dalam pembaruan dan modernisasi agama Islam, salah satu di antaranya  adalah transformasi dalam tradisi dan kehidupan social yang antara lain ditandai dengan (1) berkembangnya kemajemukan internal (internal diversity); (2) diferensiasi structural (structural differentiation);(3) agama sebagai bagian dari tradisi harus berhadapan dengan dua kekuatan utama modernisasi, yaitu pluralisme budaya (cultural pluralisme) dan kritisisme ilmu pengetahuan  (scientific criticism)[29][29] yang dapat  menimbulkan  problem dalam sosial keagamaan. 

            Di   antara problem sosial  keagamaan  yang timbul di dalam pembaruan di dunia Islam adalah :

Pertama,  fenomena munculnya berbagai aliran atau gerakan sempalan dan sesat    di belahan dunia.        Banyak sekali aliran sempalan yang bermunculan di dunia Islam antara lain gerakan sempalan di beberapa negara yaitu gerakan Darul Arqam di Malaysia didirikan oleh Syeikh Ahmad Suhaimi. Gerakan ini sangat tergantung kepada pemimpin karismatik, Ustaz Ashaari Muhammad yang dikultuskan oleh pengikutnya secara berlebihan seperti mempunyai barakah, karamah dan syafaat dan diberikan kuasa-kuasa oleh Allah (kun fayakun).[30][30] Kesesatan dari gerakan ini terkait dengann ajaran dan akidah yang menyimpang dari ajaran Islam.

 Ahmadiyah ( Agama Qadian India) didirikan oleh Nabi Mirza Ghulam Ahmad a.s (menurut orang Ahmadiyah) di India. Penyimpangan dari agama ini adalah pengakuan dari Ghulam Ahmad bahwa dirinya sebagai Nabi  yang menerima wahyu di India kemudian dibukukan menjadi kitab suci Tadzkirah yang sama sucinya dengan Al-Qur’an.[31][31] Faham Baha'i timbul dari kalangan Syi’ah di Iran pada abad XIX dicetuskan oleh Mirza Ali Muhammad yang mengangkat dirinya “Imam Mahdi”. Faham ini mengajarkan bahwa semua agama samawi (Yahudi, Islam dan Kristen) itu sama, karena berasal dari Tuhan yang sama.[32][32]  dan Gerakan  Syi'ah yang berkembang di Iran ajarannya banyak yang menyimpang dari Islam, kufur, sesat dan menyesatkan.[33][33] Ketiganya merupakan faham agama yang sudah lama berdiri di negara lain sebelum masuknya ke Indonesia. Pada masa awalnya, ketiganya mempunyai aspek messianis, namun kemudian berubah menjadi introversionis, tanpa sama sekali menghilangkan semangat awalnya. Pemimpin karismatik aslinya (Ghulam Ahmad, Baha'ullah, Duabelas Imam) tetap merupakan titik fokus penghormatan dan cinta yang luar biasa.[34][34] Dalam Syi'ah, semangat revolusioner kadang-kadang tumbuh lagi (seperti terakhir terlihat di Iran sejak 1977), dan itulah agaknya yang merupakan daya tarik utama faham Syi'ah bagi para pengagumnya di Indonesia. Sedangkan Ahmadiyah telah menampilkan diri (di India- Pakistan dan juga di Indonesia) terutama sebagai sekte reformis yang belakangan menjadi sangat introversionis dan menghindar dari kegiatan di luar kalangan mereka sendiri. Walaupun sekte Baha'i juga mempunyai beberapa penganut di Indonesia, mereka rupanya tidak berasal dari kalangan Islam, sehingga Baha'i di sini tidak dapat dianggap sebagai gerakan sempalan Islam (seperti halnya di negara aslinya, Iran).[35][35]

            Sedangkan di Indonesia sebagaimana yang telah ditetapkan oleh  MUI Pusat  dan diumumkan pada Pedoman Identifikasi Aliran Sesat pada tanggal 6 Nopember 2007  disebutkan bahwa  suatu faham atau aliran dinyatakan sesat apabila memenuhi salah satu dari  kriteria berikut:

1.      Mengingkari salah satu rukun iman yang 6 (enam) yakni beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya kepada kitab-kitab-Nya, kepada Rasul-Rasul-Nya, kepada hari Akhirat, kepada Qadla dan Qadar, dan rukun Islam yang 5 (lima) yakni mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji.

2.      Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (Al-Qur`an dan as-Sunnah),

3.      Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Quran,

4.      Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Quran,

5.      Melakukan penafsiran Al-Quran yang tidak berdasarkan kaedah-kaedah tafsir,

6.      Mengingkari kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam,

7.      Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul,

8.      Mengingkari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai Nabi dan Rasul terakhir,

9.      Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariat, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardu tidak lima waktu,

10.  Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengakafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.[36][36]

Di antara  aliran yang sesuai dengan kriteria sesat yang ditetapkan oleh MUI yang pernah tumbuh dan berkembang di Indonesia kemudian dilarang  yaitu :

1.      Syiah
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H./Maret 1984 merekomendasikan tentang faham Syi’ ah sebagai berikut Faham Syi’ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia. Perbedaan itu diantaranya: 

    1. Syi’ah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait, sedangkan ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mustalah hadis.
    2. Syi’ah memandang “Imam” itu ma ‘sum (orang suci), sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).
    3. Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ ah mengakui Ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam”.
    4. Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi da’wah dan kepentingan ummat.
    5. Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar Ibnul Khatab, dan Usman bin Affan, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui keempat Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib).
    6. Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (Pemerintahan)”, Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada ummat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah.

2.      Ahmadiyyah Qadyaniyyah : Didirikan oleh  Mirza Ghulam Ahmad Aktif : Sejak 1889 di Pakistan, masuk Indonesia 1924, menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Ditetapkan sebagai Jama’ah di luar Islam dalam Munas II 1980, Munas VII 2005

3.      Islam Jamaah : Pendiri : Nur Hasan Ubaidah , Aktif : 1970-an, dilarang pemerintah pada 1971.  Aliran ini berubah nama menjadi Lemkari dan Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII) pada 1991, menganggap musyrik umat di luar Islam Jamaah, pakaian dan tubuh yang tersentuh umat lain harus disucikan, Tidak mau shalat bersama umat di luar kelompok

  1. Darul Arqam  Fatwa MUI tahun 1994 mendukung sepenuhnya Keputusan MUI Daerah Istimewa Aceh, MUI tingkat I Sumsel, MUI tingkat I Riau diperkuat  dalam silaturrahim Nasional di Pekan Baru 1994 yang intinya Darul Arqam  adalah ajaran yang menyimpang dari aqidah Islam.
  2. Aliran Yang Menolak Sunnah/Hadits Rasul ; Fatwa tahun 1983 menyatakan aliran ini adalah sesat dan menyesatkan dan berada di luar Agama Islam.
  3. Jama’ah Khalifah Dan Baiat Fatwa 1987 menyatakan bahwa di kalangan umat Islam ada keyakinan dan pemahaman agak menyimpang, seperti wajib  hukumnya baiat kepada Imam Jamaah Muslimin Hizbullah.
  4. Pendangkalan Agama Dan Penyalahguanaan Dalil Fatwa tahun 1980, setiap usaha pendangkalan agama dan penyalahgunaan dalil-dalil adalah merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama. Oleh akrena itu MUI bertekad menanganinya secara serius dan terus menerus.
  5. Malaikat Jibril Mendampingi Manusia Fatwa tahun 1997 : memutuskan dan memfatwakan : Doa Keyakinan atau akidah tentang malaikat, termasuk malaikat Jibril, baik mengenai sifat dan tugasnya harus didasarkan pada bidang aqidah dan aliran keagamaan himpunan fatwa Majelis Ulama Indonesia, 75 keterangan atau penjelasan dari wahyu (Al-Qur’an dan Hadis). Tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik ajaran baru atau ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada. Hal ini karena ajaran Allah telah sempurna. Pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari malaiakt Jibril bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengakuan itu dipandang sesat dan menyesatkan.

9.       Al-Qiyadah Al-Islamiyah  Dipimpin oleh  Ahmad Mushaddeq , aktif ejak 2001 , Fatwa sesat MUI: 2007 karena Tidak menjalankan rukun Islam;  salat sekali sehari hanya malam hariidak wajib puasa, zakat, haji, menganggap musyrik orang di luar Al-Qiyadah, punya rasul baru Ahmad Mushaddeq bergelar Almasih Almaw’ud, Syahadat baru : Ashadu ala Illa Ha Ilallah, Wa asyhadu anna Almasih Almaw’ud Rasulullah

10.  Shalawat Wahidiyyah Fatwa MUI Kab. Tasikmalaya, Jabar 2007 menyatakan bahwa paham yang mengkultuskan secara berlebihan pendiri shalawat Wahidiyyah sehingga merusak aqidah.

  1. Tarekat Babur Ridha Fatwa MUI Sumut 2007 menfatwakan sesatnya tarekat Babur Ridho pimpinan Hirzi Nuzlan yang mengaku menerima bisikan Jibril.
  2.  Lembaga a Soul Training Fatwa MUI Sumut 2007 menilai sesat paham LST karena hanya menerima Al-Qur`an dan mencaci maki ulama sebagai penyebab kerusakan umat.
  3.  Tarekat Tajul Khalwatiyyah Wassamaniyyah ; Fatwa MUI Manggarai NTT 2007 menilai tarekat ini sesat menyesatkan karena menyimpang dari Al-Quran dan sunnah seperti umur bisa dipanjangkan oleh tuan guru, yang tidak ikut kelompok mereka kafir dan teman setan, malaikat tidak mampu mencabut nyawa mereka.
  4. Pengajian Al-Haq Fatwa MUI Pematang Siantar mengelompkkan pengajian ini ke dalam golongan inkar sunnah Rasul dan lain sebagainya.

Kedua adanya pemahaman-pemahaman menyimpang yang marak belakangan ini tentang liberalisme, pluralisme dan sekularisme sebagai dampak kesalahan memaknai tajdid dan kekeliruan dalam mengoperasionalkan ijtihad.

            Di kalangan kelompok kontemporer Islam, meskipun semuanya berbicara atas nama Islam, sebagaimana diungkapkan Endang Turmudi dkk. yang dikutip oleh M. Atho Mudzhar  masing-masing kelompok memberikan penekanan yang berbeda atas apa yang ingin mereka capai. Walupun sama-sama menginginkan kemurnian Islam, menegakkan syari’at Islam, namun mereka berbeda dalam orientasi dan tata cara merealisir harapannya.[37][37] Berikut ini beberapa contoh munculnya paham-paham baru terkait pembaruan dalam Islam yaitu :

            Liberalisme adalah suatu madzhab pemikiran yang memperhatikan kekebasan individu dan memandang kewajiban menghormati kemerdekaan individu serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah adalah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat seperti berpikir, mengungkapkan pendapat, kepemilikan pribadi dan kebebasan individu serta sejenisnya. Adapun liberalisme dalam Islam merupakan bentuk lain dari sekularisme yang dibangun di atas sikap berpaling dari syari’at Allah, kufur kepada ajaran dan petunjuk Allah dan rasul-Nya.[38][38] Kemudian sekularisme itu sendiri dapat diartikan pemisahan antara agama dan Negara atau pemisahan agama dari kehidupan. Gerakan sekuler tumbuh dan berkembang di dunia barat, dan berkembang ke seluruh penjuru dunia seiring dengan datangnya para penjajah barat ke dunia Islam. Maka berkembanglah sekulerisme di dunia Islam. Kehidupan sosial politik di negara-negara Islam jauh dari nilai-nilai ke-Islaman dan sekularisme begitu sangat kuatnya di dunia Islam. Sedangkan di Indonesia, sekularisme sangat mudah dibaca dan sangat transparan.

            Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan “klaim kebenaran” yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horizontal dan penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama, baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar. Adapun bahaya dari pluralisme adalah adanya penghapusan identitas-identitas agama dan munculnya agama-agama baru yang diramu dari berbagai agama yang ada sebagaimana dicontohkan di atas,, serta pluralisme agama tidak bisa dilepaskan dari agenda penjajahan Barat melalui isu globalisasi.

Ketiga timbulnya kelompok Tradisionalis dan Modernis karena adanya perbedaan dalam menafsiri, memaknai dan memahami  Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

            Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik, kemunculan gagasan tentang pemikiran ideologis di atas tidak terelepas dari pengaruh kondisi social, kepentingan dan kondisi social budaya bagsa yang sedang berkembang. Hal ini menandakan meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya, akan tetapi setelah terlempar dalam konteks social politik tertentu pada perkembangan sejarah tertentu pula, agama bisa memperlihatkan struktur intern yang berbeda-beda.[39][39] Maka jika dilihat dari masalah yang diperdebatkan di antara beberapa kelompok tersebut, mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran Islam itu sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam system kehidupan social, antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for reality (yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin sebagai realitas ) sehingga menciptakan setidaknya  dua komunitas beragama antara kelompok tradisionalis dan modernis.[40][40]

            Kelompok tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yang masih mempraktekkan beberapa praktek tahayyul, bid'ah, khurafat, dan beberapa budaya animisme, atau sering diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, sementara kelompok modernis adalah mereka yang sudah tidak lagi mempraktekkan beberapa hal di atas. Perbedaan tersebut pada  akhirnya membawa perbedaan dalam orientasi ideologi keagamaan, beberapa praktek ritual keagamaan dan penggunaan symbol, yang seringkali menimbulkan perselisihan atau konflik antar pengikutnya. Tidak jarang konflik fisik pun terjadi hanya karena masalah sepele..

G.    SOLUSI TERHADAP PROBLEM  PENYIMPANGAN AQIDAH DAN PEMAHAMAN YANG SALAH TERHADAP PEMBARUAN DALAM ISLAM  DI INDONESIA

Dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut di atas penulis menyampaikan beberapa solusi sebagai berikut :

Aliran-aliran sempalan sebagaimana diuraikan di muka dapat merusak Islam dan umatnya, karena itu harus dibasmi dengan bekerja sama antara ulama, pemerintah dan umat Islam itu sendiri. Terhadap aliran-aliran yang sudah resmi dilarang pemerintah kita harus terus mengawasi aktivitas gerakan mereka, jangan sampai mereka berganti nama dan bisa tumbuh dan berkembang lagi. Kewaspadaan umat Islam tetap dijaga terus.

Memberikan peringatan dan pembinaan kepada para tokoh-tokoh pendiri atau penyebar agama atau aliran sesat itu agar menyadari kekeliruannya. Dalam hal ini pemerintah harus melakukan penegakan hukum dengan  tegas supaya bukan umat yang bertindak langsung dengan kekerasan sehingga pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah justru menambah masalah baru.

Kita sebagai bagian dari umat Islam, Ulama dan Pemerintah hendaknya memperkaya pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah dan macam-macam aliran atau fenomena gerakan Islam yang marak belakangan ini sehingga dapat menginformasikan eksistensi aliran dan gerakan tersebut secara komprehensif kepada masyarakat luas agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat mengakibatkan tindakan anarkhis.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama (KEMENAG) hendaknya memfungsikan mekanisme musyawarah untuk mufakat, dialog terbuka dalam menyelesaikan perselisihan antar umat seagama maupun  lintas agama.

H.    PENGARUH PEMBARUAN  DUNIA ISLAM TERHADAP                   UMAT ISLAM DI INDONESIA

Pembaharuan  di negara-negara timur tengah tidak hanya tersebar di lingkungan mereka sendiri, namun juga meluas hingga ke Indonesia. Pengaruh-pengaruhnya antara lain sebagai berikut:

1. Gema pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaludin Al Afgani dan     Syekh Muhammad Abdul Wahab sampai juga ke Indonesia terutama terhadap     tokoh-tokoh seperti H. Muhammad Miskin (Kabupaten Agam, Sumbar), H.Abdul     Rahman (Kab Lima Puluh Kota, Sumbar),  H Salman Faris (KabTanah  Datar,     Sumbar).  Mereka  dikenal  dengan  nama  H.  Miskin,  H.Pioabang dan H.   Sumaniik. Sepulang dari tanah suci mereka terilhami oleh paham Syekh   Muhammad Abdul Wahhab. Mereka pulang dari tanah suci pada tahun 1803 M dan    sebagai pengaruh pemikiran para pembaharu Timur Tengah tersebut adalah    timbulnya gerakan Paderi. Gerakan tersebut ingin membersihkan ajaran Islam yang   telah bercampur baur dengan perbuatan-perbuatan yang bukan Islam. Hal ini    menimbulkan pertentangan antar golongan adat dan golongan Paderi.

2. Pada  tahun  1903  M,  murid-murid  dari  Syekh  Ahmad  Khatib    Al-Minangkabawy, seorang ulama besar bangsa Indonesia di Mekah yang mendapat     kedudukan mulia di kalangan masyarakat dan pemerintah Arab kembali dari tanah   suci. Murid-murid dari Syekh Ahmad inilah yang menjadi  pelopor  gerakan    pembaharuan  di Minangkabau,  dan akhirnya berkembang ke seluruh Indonesia.    Mereka antara lain sebagai berikut: Syekh H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya   Hamka), Syekh Daud Rasyidi,Syekh Jamil Jambik dan KH. Ahmad Dahlan (pendiri    Muhammadiyah).

   3. Munculnya berbagai organisasi dan kelembagaan Islam modern di Indonesia pada   abad ke-20, baik yang bersifat keagamaan, politik maupun ekonomi. Organisasi    tersebut ialah sebagai berikut : Jamiatul Khair (1905 M),  Muhammadiyah (18 November 1912),    Al Irsyad (1914 M),  Persatuan Islam (1923), Serikat Dagang Islam (1911), Jamiatul Nahdatul Ulama/NU (13 Januari 1926), Matla’ul Anwar (1905),  Pergerakan Tarbiyah / PERTI (1928),.Persatuan Muslim Indonesia / PERMI (22 Mei 1930), dan Majelis Islam Ala Indonesia (1937).[41][41]

    Dengan  demikian  dapat  disimpulkan  bahwa  gerakan  pembaharuan  yang menyebabkan lahirnya organisasi keagamaan pada mulanya bersifat keagamaan,tetapi seiring dengan kondisi masyarakat pada saat itu kemudian menjelma menjadi kegiatan politik yang menuntut kemerdekaan Indonesia. Dan hal tersebut dirasakan mendapat pengaruh yang signifikan dari pemikir-pemikir para pembaharu Islam,baik di tingkat nasional maupun internasional.

I.                   KESIMPULAN

Pembaruan dan modernisasi  dalam Islam adalah upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan demikian pembaruan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks Al-Qur’an dan Hadis, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Dari tokoh-tokoh yang muncul dan upaya-upaya yang telah dilakukan dapat simpulkan bahwa gerakan pembaruan tersebut mempunyai beberapa tujuan antara lain: (1) memurnikan ajaran al-qur’an dan Sunnah dari berbagai macam unsur luar yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajarannya terutama yang akan berakibat mengotori tauhid, (2) meluruskan pemikiran yang dirasakan menyimpang dari jiwa ajaran al-Qur’an dan Sunnah, (3) menyebarluaskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia sesuai dengan semangat Al-Qur’an dan Sunnah, (4) mengembangkan pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah seluas mungkin, agar dapat menjawab berbagai persoalan hidup seiring dengan perkembangan zaman, (5) mengembalikan posisi umat Islam dalam percaturan politik agar terlepas dari cengkeraman kekuasaan kaum lain (bangsa Barat), (6) menyajikan kreasi-kreasi dan metode-metode  baru dalam mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah dan (7) menggerakkan semangat mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah dalam bidang kemasyarakatan menuju wujudnya kesejahteraan hidup lahir bathin, dunia ukhrawi.





Kemunculan gerakan pembaruan Islam tidak bisa dipisahkan dari kondisi obyektif kaum Muslim di satu sisi dan tantangan Barat yang muncul di hadapan Islam di sisi lain. Dari sudut pandang ini Islam memang menghadapi tantangan dua arah, yaitu dari dalam dan dari luar. Selain itu kemunculan gerakan pembaruan ini juga  dilatarbelakangi oleh dua factor yaitu ; factor internal umat Islam: paham tauhid yang telah dinodai dengan praktek-praktek kekufuran, kejumudan yang menyebabkan umat islam berhenti berpikir, perpecahan di kalangan umat Islam   dan factor eksternal sebagi  hasil kontak antara dunia Islam dengan Barat.

Ada tiga landasan pembaruan dan modernisasi dalam Islam yaitu : landasan teologis ; Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (universalisme Islam) dan Kedua,keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah SWT yang memuat semua prinsip moral dan agama untuk semua manusia atau finalitas fungsi kenabian Muhammad SAW , landasan normative landasan yang diperoleh dari tek-teks nash, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadis dan  landasan historis; Sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.

Banyak tokoh-tokoh pembaru yang telah berhasil dalam upaya memperbarui Islam meliputi aspek sosial keagamaan, politik, pendidikan dan lain sebagainya yang  pemikirannya sangat berpengaruh cukup besar pada kondisi umat Islam di  Indonesia.

 Selain itu juga banyak problematika yang muncul dalam proses pembaruan Islam di antaranya; muncul aliran/sekte-sekte atau gerakan sempalan yang sesat, adanya pemahaman-pemahaman menyimpang yang marak belakangan ini tentang, liberalisme, sekularisme, dan pluralisme serta radikalisme  sebagai dampak kesalahan memaknai tajdid dan kekeliruan dalam mengoperasionalkan ijtihad, timbulnya kelompok tradisionalis dan modernis  yang mempunyai perbedaan dalam orientasi ideologi keagamaan, beberapa praktek ritual keagamaan dan penggunaan symbol,  yang seringkali menimbulkan perselisihan antar pengikutnya, bahkan   tidak jarang konflik fisik pun terjadi hanya karena masalah-masalah yang tidak prinsip.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, (Bandung : Pustaka      Setia, 2010)

Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam, (Surabaya : LPAM, 2004)

Agus Hasan Bashori, http://qiblati.com/membongkar-paham-paham-            menyimpang-dari-islam, diakses 2 Nopember

Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung : Mizan,1993)

Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan, 1992)

Amos Sukamto, Agama dan Modernitas: Spiritualis transformative Ala Nurcholish Madjid, www.gkpb.net/index.php?option=com 2&view=item,   diakses 3 Nopember 2011

Hamnis Syafaq, Tradisionalisme dan Modernisme Islam, http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com content&task=view&id=305&item id=193, diakses 31 oktober 2011

Hamzah Ya’qub, Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam, (Jakarta: Pustaka Ilmu Jaya, 1988)

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, UI Press, 1986)

______________, Islam Rasional, (Bandung  : Mizan, 1997)

______________, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),

John L. Espositi (ed.), Dinamika Kebangunan Islam : Watak, Proses, dan   Tantangan, terj. Bakri Siregar (Jakarta : Rajawali Press, 1987)

Joko Winarto, Perkembangan Islam Masa Modern, http://rulrid.woedpress.com/2010/04/20/perkembangan-islam-pembaruan/,     diakses 1 Nopember 2011

M. Amin Djamaluddin, Capita Selekta Aliran-Aliran Sempalan Di Indonesia,         (Jakarta : LPPI, 2002)

M. Atho Mudzhar, Faham-faham Keagamaan Aktual Dalam Komunitas    Masyarakat Islam, Kristen, dan Hindu di Indonesia, ( Jakarta : Puslitbang         Kehidupan Beragama, 2008)

Moh. Dawam Anwar, dkk., Mengapa Kita Menolak Syi’ah, Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang             Syi’ah, (Jakarta : LIPPI, 1998)

Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta :             Rajawali Pers, 2011)

Mukhsin Jamil, Agama-Agama Baru di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008)

Nurkholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992)

Suadi Putro, Mohammed Arkoun tentang Islam Modernitas, ( Jakarta:         Paramadina, 1998)

Sulaiman Ibrahim, Pembaharuan Dalam Islam; (Arti dan Tujuan), http://sulaimaninstitute.   wordpress.com /2010/03/24/pembaharuan-dalam-islam-         arti-dan-tujuan/, diakses 1 nopember 2011

Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, (Jakarta : LP3S, 1996)

Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam     Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali, 1998)

[1][1] M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan, 1992), 118

[2][2] Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), 70

[3][3] Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, 119

[4][4] Suadi Putro, Mohammed Arkoun tentang Islam Modernitas, ( Jakarta: Paramadina, 1998), 4.

[5][5] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, UI Press, 1986), 93.

[6][6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1992),11.

[7][7] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, 94,

[8][8] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung  : Mizan, 1997), 181

[9][9] John L. Espositi (ed.), Dinamika Kebangunan Islam : Watak, Proses, dan Tantangan, terj. Bakri Siregar (Jakarta : Rajawali Press, 1987), 21-23.

[10][10] Hamzah Ya’qub, Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam, (Jakarta: Pustaka Ilmu Jaya, 1988),7.

[11][11] M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali, 1998) 3.

[12][12] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 11

[13][13] Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung : Mizan,1993), 256.

[14][14] Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana. 2008), 162

[15][15] Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam, (Surabaya : LPAM, 2004), 5

[16][16] Nurkholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), 360-362

[17][17] Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam, 6

[18][18] Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, 67

[19][19]Amos Sukamto, Agama dan Modernitas: Spiritualis transformative Ala Nurcholish Madjid, www.gkpb.net/index.php?option=com k2&view=item, diakses 3 Nopember 2011

[20][20] Sulaiman Ibrahim, Pembaharuan Dalam Islam; (Arti dan Tujuan), http://sulaimaninstitute.   wordpress.com /2010/03/24/pembaharuan-dalam-islam-arti-dan-tujuan/, diakses 1 nopember 2011

[21][21] Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, 183

[23][23] Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, 110

[25][25] Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam,242

[26][26] Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, 220

[27][27] Harun Nasution,  Perubahan dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), 149

[28][28] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 1998), 145.

[29][29] Mukhsin Jamil, Agama-Agama Baru di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008) , 4-5

[30][30] M. Amin Djamaluddin, Capita Selekta Aliran-Aliran Sempalan Di Indonesia, ( Jakarta : LPPI, 2002), 42.

[33][33] Moh. Dawam Anwar, dkk., Mengapa Kita Menolak Syi’ah, Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syi’ah, (Jakarta : LIPPI, 1998),  162

[34][34] M. Mukhsin Jamil, Agama-Agama Baru Di Indonesia,  154

[36][36] Agus Hasan Bashori, : http://qiblati.com/membongkar-paham-paham-menyimpang-dari-islam. , diakses 2 Nopember 2011

[37][37] M. Atho Mudzhar, Faham-faham Keagamaan Aktual Dalam Komunitas Masyarakat Islam, Kristen, dan Hindu di Indonesia, ( Jakarta : Puslitbang Kehidupan Beragama, 2008),  vii

[39][39] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, (Jakarta : LP3S, 1996), 11



Apa yang dimaksud dengan pembaharuan dan modernisasi dunia Islam?
Islam and Modernism (gambar dimodifikasi dari sini)