Apa saja yang harus diperhatikan jika upacara larung Sesaji dilaksanakan pada masa pandemi covid 19

Om awighnamastu namo siddham. Om swastyastu. Saudara-saudara pemirsa, khususnya umat Hindu di seluruh Indonesia. Sebagaimana kita maklumi, bangsa Indonesia, bahkan dunia, saat ini masih berjuang mengentaskan wabah pandemi Coronavirus Disease (Covid-19). Kondisi ini mendorong kita untuk selalu berusaha mengendalikan diri, beradaptasi dalam kehidupan baru. Kita juga dituntut membiasakan diri berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), menjalankan protokol kesehatan dengan cara disiplin menggunakan masker, rajin mencuci tangan pakai sabun, menjaga jarak, bekerja dari rumah, belajar di rumah, bersembahyang di rumah, dan menghindari kerumunan masa.

Namun, belakangan kita menyaksikan juga di media sosial, masih banyak anggota masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan, baik dalam kegiatan sehari-hari maupun saat beribadat, terutama terkait upacara Yajna. Kelalaian seperti ini akan dapat mengakibatkan adanya klaster baru, yang tidak hanya membahayakan diri sendiri, namun juga orang lain.

Saudara-saudara sedharma. Melakukan kegiatan Yajna memang merupakan perintah agama dan merupakan wujud pengamalan sraddha atau dasar keyakinan. Yajna juga wujud bhakti umat Hindu kepada Sang Maha Pencipta. Kegiatan Ritual Yajna sangat beragam sesuai tradisi atau budaya keagamaan yang berkembang dan dianut komunitas masyarakat. Karena itu, tradisi tersebut bukan harga mati. Ia boleh berubah sesuai tuntutan aktual yang di hadapinya. 

Umat Hindu mengenal adagium "desa, kala, patra, dan desa mawa acara". Hal ini dibenarkan menurut susastra Veda, seperti dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII. 10 yang berbunyi: "Karyam so'weksya saktinca. Desa kalanca tattwatah. Kurute dharmasiddhyar tham. Wiswarupam punah-punah."

Artinya: Setelah mempertimbangkan aspek: Iksa, Sakti, Desa, Kala, dan Tattva, ia wujudkan/tetapkan berbagai kebijakan untuk mencapai tujuan yang sempurna.

Iksa adalah hakikat tujuan melakukan kegiatan. Hal ini dikaitkan dengan tujuan pelaksanaan Yajna. Sakti, adalah kemampuan fisik/finansial dan jarang dikaitkan dengan seremonial dan ritualnya. Desa, adalah lokasi tempat kegiatan. Ini dikaitkan dengan kemungkinan tata cara yang paling sesuai dengan keadaan lingkungan. Sementara Kala adalah waktu/era/zaman. Ini dikaitkan dengan budaya yang berkembang di masyarakat. Adapun Tattva, adalah hakikat ajaran atau nilai filosofis yang dijadikan dasar utama untuk menguji, apakah tata cara atau tradisi yang berjalan selama ini tidak menyimpang dari ajaran Veda? 

Pengkajian atas lima hal di atas hendaknya berpedoman kepada ajaran Tri Pramana, yaitu: agama pramana (ketentuan susastra agama), anumana pramana (menganalisis dengan logika), dan pratyaksa pramana (melihat secara langsung kenyataan di lapangan).

Kini, di tengah merebaknya wabah pandemik Covid-19 tentu umat Hindu harus menyesuaikan diri dan tidak hanya mengedepankan pemenuhan keinginan melakukan ritual Yajna seperti masa normal. Marilah kita pahami bahwa nilai Yajna itu bukan hanya ditentukan oleh besar kecilnya upakara atau persembahan ritual. Nilai Yajna sangat ditentukan oleh tingkat keyakinan/sraddha pelaku (sang Yajamana), kekuatan spiritual Pandita/Pinandita yang memimpin upacara (Manggala Upacara), dan kejernihan hati pembuat sesaji/upakara (Sarati Banten). Kemudian, kunci keberhasilan Yajna lainnya adalah sifat ketulusikhlasan (sifat lascarya) dari para manggala yajna, dan jauh dari sikap pamer atau jor-joran (nasmita).

Sehubungan dengan situasi pandemik wabah Covid-19, maka pelaksanaan ritual Yajna sebaiknya dilakukan secara sederhana, namun tetap didasarkan atas ketentuan susastra Veda baik Sruti, Smerti, maupun Nibandhasastra. Yang sangat penting diperhatikan dalam pelaksanaan ritual Yajna adalah keseimbangan antara unsur Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, yaitu antara: Tattva, Susila, dan Acara. Jadi, ritual Yajna harus memenuhi aspek Tattva (mengandung nilai filosofis), dipersembahkan secara etis, dan rasa bhakti yang tulus (aspek Susila).

Saudara-saudara sedharma. Yakinlah. bahwa Hyang Widhi Wasa tidak akan membeda-bedakan antara persembahan ritual yang mewah megah dan persembahan yang sederhana. Hyang Widhi Wasa memiliki kekuatan Cadu Sakti: Maha Karya, Maha Besar memenuhi segala tempat, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui segala yang kita pikirkan, wacanakan, dan lakukan. Sebab, Dia sesungguhnya mengisi segala ciptaan secara gaib dan menggerakkannya, menjadi raja dari sekalian makhluk, sekaligus sebagai saksi dalam setiap pikiran. 

Dalam hal ini, susastra Svetasvatara Upanisad IV.11 menyatakan: "Eko devah sarva bhutesu gudah. Sarva vyapi sarva bhutantaratma. Karmadhyaksah sarva bhutadivasah. Saksi cetta kevalo nirgunasca."

Dengan demikian, kita sebagai makhluk ciptaan-Nya tidak mungkin menyembunyikan diri dengan berpura-pura, apalagi berdusta. Sebab, Hyang Widhi Wasa adalah saksi abadi yang tak terjamah oleh noda dan pengaruh apapun yang bersifat maya. Bila demikian halnya, dan jika kita memiliki harta berlebih, patutkah kita mempersembahkan ritual yang sederhana? 

Saudara-saudaraku, mari kita pahami bahwa Yajna itu bukanlah dilakukan dalam bentuk ritual semata, melainkan harus diikuti dengan pemberian derma (danam) kepada orang-orang yang memerlukan. Derma itu pun harus disertai dengan pengedalian diri (tapah) sehingga apa yang kita persembahkan akan bermanfaat bagi kemanusiaan. 

Dalam susastra Bhagavad Gita XVII.5 dinyatakan bahwa: yajna, danam, dan tapah hendaknya jarang ditinggalkan. Sebab, ketiganya adalah sarana yang menyucikan para arif bijaksana. ("Yajna dana tapah karma na tyajyam karyam eva tat, yajno danam tapas caiva pavanani manisinam").

Saudara-saudara umat sedharma. Marilah kita melangkah tak kenal henti di tengah prahara wabah pandemi Covid-19 ini, dengan mengamalkan Yajna sebagai wujud bhakti kepada Hyang Widhi Wasa. Selain itu, berderma sebagai wujud kasih kepada sesama, dan mengendalikan diri dari nafsu keserakahan dan keangkuhan sebagai upaya mencapai kedamaian jiwa. 

Semoga kedamaian itu selalu bersemi, bukan hanya pada diri kita sendiri, tetapi bagi semua orang. Sehingga, kita semua senantiasa akan merasakan persahabatan yang sejati di bumi nusantara ini. 

Om siddhirastu tadastvastu svaha. Om santih santih santih.

Kolonel Purn. I Nengah Dana (Rohaniwan Hindu) 

(sumber: kemenag.go.id)

Blitar - Tradisi larung saji di Pantai Serang Blitar tetap digelar. Namun menyesuaikan pandemi COVID-19, jumlah yang hadir di lokasi ritual dibatasi hanya 65 orang.

Tak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ubo rampe dalan ritual larung saji untuk memperingati Tahun Baru Islam 1442 H tidak berubah. Ada tumpeng lanang dan wadon sebagai simbol harmonisasi alam. Kedua tumpeng ini akan dilarung ke tengah laut lepas, usai dilaksanakan doa bersama untuk keselamatan dan kesejahteraan warga.

Yang berbeda, panitia membatasi jumlah yang hadir di areal ritual hanya 65 orang. Jumlah ini, sudah termasuk dengan warga yang membawa gunungan serta yang mengemudikan perahu untuk melarung gunungan. Kegiatan ini akan juga dibuat dengan lebih sederhana. Jika di tahun sebelumnya diadakan arak-arakan untuk gunungan, tahun ini ditiadakan.

Foto: Erliana Riady

"Karena sudah tradisi sesuatu yang pakem tetap kami laksanakan. Namun karena Kecamatan Panggungrejo masih zona merah, sehingga pelaksanaannya harus ketat menegakkan protokoler kesehatan," jelas Kades Serang Dwi Handoko Pawiro kepada detikcom, Jumat (21/8/2020).

Dalam kepanitian, pihak desa juga melibatkan Satgas COVID-19 Kabupaten Blitar. Semua yang hadir di acara ini diperiksa suhu tubuhnya, wajib memakai masker, dan mencuci tangan terlebih dahulu.

Tradisi larung saji pada tahun sebelumnya dilaksanakan di Pantai Tambak Kecamatan Wonotirto. Agustus tahun 2019, ritual yang telah menjadi tradisi warga Blitar tiap tahun baru Islam ini, ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Dan tahun ini, dilaksanakan di Pantai Serang karena Pantai Tambakrejo belum dibuka untuk umum. Sedangkan Pantai Serang, telah dibuka untuk umum sejak tanggal 4 Juli lalu. Walaupun Kecamatan Panggungrejo masih zona merah penularan virus Corona, namun Satgas COVID-19 Kabupaten Blitar telah merekomendasikan destinasi wisata pantai ini kembali dibuka.

"Kami sudah mendapat rekomendasi, sudah di evaluasi ulang dan dinyatakan aman dibuka untuk umum. Termasuk pelaksanaan larung saji tahun ini. Semoga pandemi segera berlalu, semua kembali dengan kenormalan baru untuk Kabupaten Blitar yang lebih baik," pungkasnya. (iwd/iwd)

Upacara adat Larung Sesaji di Telaga Ngebel, Ponorogo, dilaksanakan secara tertutup untuk mengantisipasi kerumunan, Kamis (20/8/2020).

SURYA.CO.ID, PONOROGO - Masyarakat di sekitar Telaga Ngebel, Ponorogo, menyelenggarakan upacara adat Larung Sesaji untuk menyambut tahun baru Islam 1 Muharram 1442 H, Rabu (19/8/2020).

Upacara adat tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena dilaksanakan di tengah Pandemi Covid-19.

Tokoh masyarakat Desa Ngebel, Hartono Dwijo mengatakan upacara yang menandai 1 Suro ini sudah menjadi acara tahunan yang turun temurun dilestarikan oleh masyarakat di sekitar Telaga Ngebel.

"Karena situasinya masih pandemi Covid-19, maka peserta untuk upacara dibatasi dan tidak terbuka untuk umum seperti tahun-tahun sebelumnya," kata Hartono saat ditemui di sela-sela Larung Sesaji.

Namun begitu, walaupun dilaksanakan lebih sederhana dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, tetap tidak mengurangi kesakralan dari upacara tersebut.

"Kalau kemarin tidak ada wabah virus Corona benar-benar meriah dan pengunjung dibebaskan untuk menyaksikan, tapi tahun ini kami harus menerapkan protokol kesehatan," lanjutnya.

Jika pada tahun sebelumnya, saat upacara larung sesaji panitia menyiapkan 1000 obor yang mengelilingi telaga.

Selain itu keesokan harinya akan diadakan seremonial larung sesaji dengan lima tumpeng raksasa setinggi 1,5 hingga 2 meter.

Tumpeng Agung yang berisikan beras merah akan dilarung ke tengah telaga. Sedangkan tumpeng-tumpeng lain yang bernama buceng purak akan menjadi rebutan warga serta pengunjung yang memadati Telaga Ngebel.

Kemeriahan semakin terasa dengan adanya hiburan masyarakat mulai dari reog hingga pagelaran musik.

"Tahun ini hanya ada upacara inti pada malam hari, untuk seremonial besok siang tidak ditiadakan," kata Hartono.

Larung Sesaji ini jelas Hartono adalah sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT.

• Larung Sesaji 1 Suro di Telaga Ngebel Ponorogo Dilakukan Tertutup, Berikut Rangkaian Ritualnya

"Selain itu masyarakat juga berharap agar Telaga Ngebel tetap aman terkendali dan tidak terjadi musibah ataupun bencana," kata Hartono.

"Kita juga berharap agar wabah Pandemi Covid-19 segera berakhir," tandasnya.

Tags:

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA