Apa saja yang dipelajari di teknik sungai

Pidato Pengukuhan Guru Besar oleh Djoko Legono

Sumber: http://djokolegono.staff.tsipil.ugm.ac.id/biodata/pidato-pengukuhan-guru-besar/

Bismillaahir-Rohmaanir-Rohiim

Apa saja yang dipelajari di teknik sungai

Yang saya hormati, Pimpinan dan Anggota Majelis Wali Amanat, Pimpinan dan Anggota Majelis Guru Besar, Pimpinan dan Anggota Senat Akademik, Rektor dan Wakil Rektor,

Rekan Sejawat, Alumni dan Para Tamu Undangan,

Yang saya cintai,
Para Mahasiswa Strata-1, Strata-2, dan Strata-3, serta Sanak Keluarga,

Assalamu’alaikum wa rakhmatullahi wa barakatuh,

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, serta yang telah meringankan kaki sehingga kita dapat bersama-sama berada di Balai Senat ini.

Sungguh merupakan kehormatan dan kebahagiaan bagi saya, karena diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar di bidang Teknik Sipil. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor dan Ketua Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada.

Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul :

PENDIDIKAN DAN IMPLEMENTASI PENANGANAN SUNGAI BERWAWASAN TERPADU DAN BERKELANJUTAN

Para hadirin yang saya hormati.

Sungai didefinisikan sebagai alur alam yang berfungsi sebagai tempat pengangkutan air dan sedimen hasil proses interaksi antara perilaku hidrologi dengan permukaan bumi, dari suatu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, dan berakhir di laut. Dinamika aliran air dan sedimen di sungai tidak saja dipengaruhi oleh perilaku alami (kondisi hidrologi dan kondisi permukaan bumi), namun juga perilaku manusia (aktivitas di sistem daerah tangkapan air maupun di sistem alur sungai). Telah banyak pengertian-pengertian, pendapat-pendapat, ataupun arahan-arahan tentang penanganan sungai, dan banyak diantaranya yang telah dijadikan sebagai peraturan resmi pemerintah. Istilah-istilah terpadu (integrated), berkelanjutan (sustainable), berwawasan lingkungan (environmentaly sound, eco-hydraulics), dan lain sebagainya, termasuk konsep one river – one plan – one integrated management, merupakan pesan utama pada setiap usaha penanganan sungai. Penjabaran beberapa istilah tersebut sangat luas dan tidak terbatas. Bagi para birokrat dan cendekiawan, istilah dimaksud sangat sering disampaikan, namun bagi para pembuat kebijakan yang harus mengambil sikap dan kemudian memutuskan langkah operasionalnya, bukanlah hal yang mudah. Mencermati beberapa sejarah permasalahan penanganan sungai, kompleksitas permasalahan sangat bervariasi, yang secara umum dapat dibedakan menurut fungsi lokasi (bagian hulu, bagian tengah, dan atau bagian hilir), jumlah (banjir dan atau kekeringan), kualitas (agradasi-degradasi, erosi-sedimentasi, pencemaran limbah cair/padat), ataupun waktu (musim hujan, dan atau musim kemarau). Perilaku aliran dan kondisi lingkungan di sepanjang suatu sungai sangat dipengaruhi oleh fenomena yang terjadi di daerah tangkapan air atau catchment area dari sungai yang bersangkutan, baik fenomena yang bersifat alami ataupun fenomena karena campur tangan manusia. Kegiatan pengembangan pemanfaatan lahan yang dinilai mempengaruhi perilaku aliran tersebut antara lain adalah (Singh, 1989), pengembangan jaringan permukiman, pengolahan lahan, jaringan transportasi, kawasan industri, termasuk pengembangan infrastruktur sumberdaya air baik untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi maupun air non-irigasi. Secara alami kegiatan di kawasan hulu (upper catchment), baik di sistem alur maupun di sistem lahan, akan mempengaruhi kondisi aliran sungai di sebelah hilirnya, dan umumnya tidak sebaliknya. Seiring dengan keinginan manusia untuk memperoleh tingkat kehidupan yang lebih baik, perkembangan kegiatan pemanfaatan kawasan sudah barang tentu akan sulit dihentikan sama sekali. Sekalipun demikian, degradasi kualitas lingkungan tetap harus diminimalkan.

Para hadirin yang saya hormati.

Pemanfaatan Sungai dan Persoalannya

Sejarah menunjukkan bahwa sejak sekitar 10.000 tahun yang lalu manusia telah berusaha meraih kehidupan yang lebih baik, termasuk bagaimana selalu berusaha mendapatkan hasil panen ataupun ternak yang lebih banyak, yang terjadi di pebukitan Irak dan Siria (Mays, 1996). Revolusi pertanian ini berlanjut sampai ke lembah sungai Nil dan Indus, dan bersamaan dengan peristiwa itu kawasan permukiman desa terbangun. Sekitar 6.000 tahun yang lalu muncul desa-desa pertanian di kawasan Timur Tengah menjadi kawasan perkotaan, termasuk lahirnya kota Bagdad di tepian sungai Tigris. Para petani berusaha menambah persediaan makanan lebih banyak dari yang sekedar dibutuhkan, sedangkan yang lain berusaha menghasilkan barang-barang yang berguna bagi kehidupan komunitasnya. Manusia mulai mencoba mengembangkan teknologi, termasuk bagaimana mengangkut air serta mengelola air sungai. Sukses pertama dalam usaha mengendalikan aliran sungai adalah seperti yang dilakukan oleh Mesir dan Mesopotamia terhadap sungai Nil.

Persoalan ketidak pastian tentang perilaku aliran sungai mulai dikenali, dimana pada kondisi aliran tinggi menyebabkan banyak tebing sungai yang rusak dan terlimpasi aliran sungai, desa-desa terkena banjir serta ribuan permukiman terrendam. Sebaliknya pada kondisi aliran sungai rendah, banyak lahan yang tidak menerima air dan tanaman tidak dapat tumbuh. Persoalan banjir di Mesopotamia relatif lebih kompleks dari yang terjadi di Mesir. Hal ini dikarenakan sungai Tigris dan sungai Euphrates membawa lebih banyak sedimen dari sungai Nil, dan dengan demikian variasi elevasi dasar sungai serta perubahan alinemen sungai lebih sering terjadi di sungai Tigris dan Euphrates.

Sungai merupakan sumber air dan sedimen yang pada perkembangannya telah menjadi tempat terbentuknya kota sejak jaman nenek moyang, seperti halnya kota Bagdad (Sungai Tigris), kota London (Sungai Thames), kota Delhi (Sungai Brahmaputra), kota Bangkok (Sungai Caophraya), dll. Demikian juga yang terjadi di Indonesia, antara lain kota Surabaya (Kali Brantas), kota Jakarta/Batavia (Kali Ciliwung), Kota Pontianak (Sungai Kapuas), serta Kota Samarinda (Sungai Mahakam). Sebagai konsekuensinya, sistem sungai di bagian hilir merupakan tempat dimana persoalan lingkungan sangat dominan. Pertumbuhan kawasan di sekitar sungai, terutama di perkotaan, telah menimbulkan persoalan lingkungan di sekitarnya (Jiazhu, 2000). Persoalan tersebut antara lain berupa genangan akibat banjir, erosi tebing sungai, degradasi dasar sungai, sedimentasi sungai di kawasan hulu yang mengganggu kinerja sistem infrastruktur bangunan sungai (waduk dan bangunan sadap/bendung), sampai pada sedimentasi di muara sungai. Ditinjau di kawasan Asia Pasific, persoalan banjir di Indonesia dinilai belum separah yang terjadi di daerah Bangladesh, Thailand, maupun India. Namun demikian banjir kota Jakarta pada awal Pebruari 2007 yang telah mengakibatkan genangan lebih dari 70% wilayah Jakarta perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Dari berbagai bencana alam yang timbul sampai dengan tahun 2004 urutan keseriusan bencana alam seperti dilaporkan oleh Universitas Columbia (Center for Hazard and Risk Research) adalah banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi, kekeringan, serta cyclon atau badai, (Halcrow, 2001). Disamping itu bencana alam aliran sedimen merupakan bencana alam yang juga sering terjadi di Indonesia, termasuk di dalamnya bencana alam tanah longsor, gerakan tanah, aliran debris, serta aliran lahar. Namun demikian mengingat korban yang ditimbulkan dinilai kurang signifikan, kejadian bencana alam ini sering tidak didokumentasi dengan baik. Bencana alam terbesar selama dua tahun terakhir adalah gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatatera Utara pada tanggal 26 Desember 2004 (dengan korban lebih dari 125.000 orang), diikuti dengan gempa bumi di Nias, banjir di Jember, tanah longsor di Banjarnegara, gempa bumi di Yogyakarta (dengan korban lebih dari 6.000 orang), semburan lumpur di Sidoarjo, tsunami di Pengandaran, serta banjir di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk Jakarta (dengan kerugian lebih dari Rp. 5 trilyun). Gambaran kejadian bencana tersebut menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu, anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah dalam usaha meminimalkan dampak negatif akibat bencana, semakin lama akan semakin meningkat. Kontribusi dan peran serta yang diharapkan dari bidang ilmu keteknikan sangatlah nyata, namun demikian integrasi dengan bidang ilmu yang lain sudah barang tentu juga sangat diperlukan. Maraknya bencana alam yang terjadi di Indonesia telah mengundang tantangan tentang pentingnya kehadiran sistem peringatan dini (Early Warning System = EWS) pada berbagai kapasitas. Berbagai displin keilmuan di lingkup keteknikan (teknik sipil dan lingkungan, teknik elektro, teknik fisika, dll), menjadi semakin tertantang perannya untuk secara bersama-sama menyajikan teknologi EWS berbasis sumberdaya lokal dan tepat guna.

Para hadirin yang saya hormati,

Pola Pemanfaatan Sungai di Indonesia

Sungai didefinisikan sebagai alur alam yang berfungsi sebagai fasilitas drainase akhir pada suatu daerah pengatusan atau daerah tangkapan air. Penyebutan nama sungai dapat berbeda antara lokasi satu dengan yang lain, misalnya; Kali (di Jawa Tengah dan Jawa Timur), Ci (di Jawa Barat), Air (di Sumatera Selatan), Kruing (di Aceh), Noel (di Timor), dll. Perkembangan sejarah pemanfaatan sungai juga sangat bervariasi tergantung pada kondisi bagaimana masyarakat memanfaatkan keberadaan sungai tersebut. Beberapa sungai besar di Kalimantan (misal Sungai Mahakam dan Sungai Kapuas), serta di Sumatera (misal Sungai Siak, Sungai Musi, Sungai Batanghari), sungai banyak dimanfaatkan sebagai sarana pengangkutan barang (kayu, batubara) ataupun orang, dari suatu tempat ke tempat lain dengan jarak sampai ratusan kilometer. Pemanfataan bantaran di sekitar sungai-sungai tersebut dapat berupa infrastruktur industri, permukiman, perdagangan, perkantoran, sedangkan pemanfaatan tebing dapat berupa sarana perhubungan yang terkait (dermaga sungai dlsb). Pesatnya laju kegiatan perekonomian pada satu sisi telah menyebabkan tingkat pemanfaatan sungai besar sebagai sarana transportasi semakin meningkat, namun di sisi lain telah mengundang berbagai persoalan kerusakan sungai, baik berupa kerusakaan fisik (kikisan tebing, pendangkalan sungai), biota, ataupun kimia. Kondisi pemanfaatan sungai yang demikian menjadikan sungai sebagai ’bagian depan’ yang sepatutnya dilihat atau dipamerkan. Beberapa bantaran dan tepian sungai bahkan dijadikan sarana wisata atau rekreasi (misalnya Sungai Mahakam di daerah Tenggarong, Kalimantan Timur).

Pola pemanfaatan sungai di Pulau Jawa agak berbeda dengan di luar Jawa, namun secara umum dicirikan oleh padatnya penduduk di sekitar sungai, sampai pada pemanfatan bantaran sungai. Sifat memperlakukan sungai sebagai ’bagian depan’ kurang tumbuh subur, dan bahkan sungai masih dianggap sebagai tempat yang ’boleh kotor’. Program Kali Bersih seperti yang dicanangkan oleh beberapa pemerintah daerah merupakan salah satu indikasi bahwa pencemaran sungai telah menuju pada suatu tingkat yang memberatkan.

Pengelolaan sumberdaya sungai merupakan bagian dari permasalahan sumberdaya air. Pengertian sumberdaya air secara umum sering dikaitkan dengan perwilayahan sungai dalam batas daerah pengatusan, di dalamnya termasuk sistem lahan dan sistem alur. Praktek pengelolaan sumberdaya air memerlukan pemaduan yang harmonis diantara kedua sistem tersebut. Sungai merupakan alur alami yang keberadaannya dapat merupakan sesuatu yang menguntungkan dan atau merugikan bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya, tergantung pada bagaimana sungai tersebut dikelola. Secara sederhana, yang dimaksud sumberdaya sungai adalah segenap potensi/fungsi yang dimiliki oleh sungai tersebut yang dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Potensi atau fungsi tersebut dapat saja berupa kandungan air dan sedimen seperti yang diuraikan sebelumnya, namun juga kemampuan sungai untuk kita gunakan berbagai keperluan yang lain (sarana akhir drainasi, pelayaran, pariwisata, pembuangan limbah yang telah diolah, pelestarian biota, dsb).

Permasalahan penanganan sungai umumnya ditujukan untuk mengantisipasi fenomena umum melimpahnya air pada musim hujan serta sedikitnya air pada musim kemarau. Usaha pembangunan sungai pada aspek pengelolaan sumberdaya air umumnya ditujukan untuk menekan besarnya puncak banjir serta membuat persediaan air di sungai secara lebih merata sepanjang musim. Kedua tujuan tersebut memerlukan konsekuensi besar, baik pada taraf perencanaan maupun taraf operasi dan perawatan. Pembagian sungai menjadi ruas-ruas untuk pemanfaatan yang bernuansa konservasi dan bernuansa budidaya perlu sosialisasi secara terus menerus. Pengelolaan aliran puncak sangat memerlukan kecermatan di dalam menetapkan seberapa besar aliran puncak yang akan ditekan. Dari segi keselamatan, semakin besar tingkat aliran puncak yang akan dikendalikan maka akan semakin kecil resiko yang akan dihadapi. Hanya saja biaya yang harus dikeluarkan relatif besar, dan sebaliknya. Bagaimana menetapkan tingkat pengendalian yang akan diraih, serta bagaimana konsekuensi dari masing-masing tingkat pengendalian, perlu diberitahukan secara transparan. Sikap yang harus dikembangkan adalah bagaimana melakukan kegiatan pemanfaatan (operasional dan perawatan) yang sebaik-baiknya. Sekali alternatif sudah dipilih atau ditetapkan, maka yang lebih penting adalah bagaimana mengelola sebaik-baiknya. Suatu waduk yang telah dirancang untuk penyediaan air irigasi, tanpa diduga terjadi perubahan alih fungsi lahan, dari lahan irigasi menjadi lahan pemukiman. Pada gilirannya, penyesuaian sikap ataupun kebijakan dalam pembangunan sungai perlu dilakukan, seiring dengan kecenderungan perubahan paradigma fungsi air.

Para hadirin yang saya hormati,

Variabilitas Permasalahan Sungai

Permasalahan persungaian sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh sifat alami sungai, fungsi sungai, serta perlakuan manusia dalam usaha memanfaatkan sungai tersebut berikut sumberdaya yang dimilikinya. Bentuk sungai sangat dinamik seiring dengan dinamika dan perilaku hidrologi serta interaksinya dengan tampang basah sungai dengan batuan pembentuknya. Jansen (1979) menyebutkan bahwa secara alami bentuk atau morfologi sungai akan berubah dengan kurun waktu yang berbeda antara sungai satu dengan lainnya. Menghindari kompleksitas dinamika morfologi sungai secara prinsip dapat dilakukan dengan cara tanpa mengusik sistem alur ataupun sistem lahan di daerah tangkapan sungai, dan dalam hal ini sangat tidak mungkin dilakukan. Interupsi manusia terhadap badan sungai, baik dataran banjir maupun alur sungai, telah berlangsung sejak dahulu kala (Gore dan Shield, 1995 dalam Brokes, 1996).

Pada kondisi umum dimana sungai bukan berhulu dari kawasan gunung berapi aktif, (misalnya Ciliwung, Cisadane, Cimanuk, Citarum, di Jawa Barat), permasalahan di bagian hulu seperti luapan air, pencemaran kualitas fisik maupun kimia seharusnya kurang signifikan dibanding di bagian hilir. Hal ini dikarenakan beberapa hal, di satu sisi karena beban aliran (air dan sedimen) di bagian hulu relatif lebih kecil dari di bagian hilir, di sisi lain karena permukiman di sekitar sungai bagian hulu relatif kurang padat dari di bagian hilir. Pada kondisi lain dimana sungai berhulu dari gunung berapi aktif (misalnya Kali Code, Kali Gendol, Kali Kuning di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), persoalan sungai di bagian hulu dirasakan lebih dominan dikarenakan beban aliran (terutama sedimen) sangat besar, karena adanya sumber sedimen dalam jumlah yang sangat besar. Saat ini sejumlah lebih dari 6 juta m3 material hasil erupsi Gunung Merapi tahun 2006 siap mengalir turun melalui hulu sungai-sungai di sebelah barat, selatan dan timur Gunung Merapi. Sebagian diantaranya (+ 600.000 m3) bahkan sudah turun melalui hulu Sungai Gendol pada tanggal 14 Juni 2006 yang menghancurkan kawasan wisata Kali Adem. Jumlah material yang yang turun tersebut diperkirakan akan semakin intensif pada musim hujan dapat potensial untuk menimbulkan kerusakan pada daerah yang dilalui, baik sarana permukiman, sarana transportasi, serta infrastruktur lainnya. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi daya perusak karena mekanisme turunnya aliran sedimen tersebut saat ini sedang dilakukan dengan menempatkan beberapa bangunan pengendali sedimen. Namun demikian perlu disadari bahwa kehadiran bangunan sedimen dapat mengurangi pasokan sedimen ke sebelah hilir sungai yang pada taraf berlebih dapat menyebabkan degradasi atau penurunan dasar sungai. Seperti halnya bangunan sungai yang lain, kehadiran bangunan pengendali sedimen perlu dipahami sebagai usaha untuk mengurangi dampak negatif pada saat-saat kejadian aliran puncak. Dengan demikian pada saat tidak terjadi aliran puncak, perlu ada strategi lain yang menyertai agar dampak negatif tetap seminimal mungkin. Interupsi atau pengusikan sungai pada suatu ruas akan memberikan pengaruh pada ruas sungai di sebelah hilirnya, misalnya adanya perubahan perilaku aliran air (dan sedimen), yang diikuti dengan serangan tebing ataupun degradasi dasar sungai. Pada sisi lain kehadiran sedimen merupakan sumber material yang diyakini merupakan berkah yang dapat meningkatkan kesejahteraan beberapa kalangan masyarakat. Mengingat dinamika suplai sedimen dari aktivitas Gunung Merapi sangat sulit diprediksi, kapan terjadinya, seberapa besar kontribusi pasokan sedimen di sesebelah hulu sungai, maka permasalahan sungai terletak pada permasalahan optimasi pengelolaan aliran sedimen. Permasalahan optimasi pengelolaan dimaksud adalah permasalahan bagaimana mengendalikan aliran sedimen pada kondisi suplai dari aktivitas gunung berlebih, serta bagimana mengatur penarikan sedimen keluar dari sungai pada kondisi dimana suplai dari hulu sangat kecil atau tidak ada sama sekali.

Masalah-masalah yang terkait dengan fenomena bencana (banjir, longsor, tsunami, gempa bumi, volkanik) sesungguhnya telah diantisipasi oleh dunia. Di University of Collorado terdapat suatu institusi yang beranama PERI (Public Entity Risk Institute) yang berdiri sejak awal tahun 1980. Khusus untuk kawasan Asia Pasific, organisasi baru yang dibentuk pada awal tahun 2006 oleh UNESCO, dalam rangka antisipasi bencana erosi dan sedimentasi serta pengelolaan bencana adalah; International Research and Training Centre for Erosion and Sedimentation (IRTCES) yang berkantor di Beijing, China, serta International Centre for Water Hazard and Risk Management (ICHARM) yang berkantor di Tsukuba, Jepang. Kehadiran organisasi-organisasi tersebut menunjukkan adanya keseriusan permasalahan sungai, dalam lingkup nasional maupun regional.

Para hadirin yang saya hormati,

Pendidikan Persungaian di Indonesia

Pemahaman fungsi sungai sebagai alur alam secara tidak langsung telah mulai diberikan kepada pendidikan dasar dan menengah yang menghasilkan beberapa pemahaman tentang sungai. Melalui mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam atau IPA, seorang murid pendidikan dasar mulai memahami bahwa penggundulan hutan dapat menyebabkan banjir, bahwa pembuangan sampah di sungai dapat menyebabkan sungai menjadi kotor dan kurang sehat, bahwa sungai mempunyai fungsi sebagai sumber air dan sumber sedimen, dlsb. Pada masa pendidikan menengah seorang murid mulai memahami proses daur hidrologi sederhana di mana sungai merupakan bagian yang berperan dalam proses tersebut. Dengan demikian melalui pendidikan dasar dan menengah tersebut diharapkan seseorang mulai menyadari bagaimana sebaiknya suatu sungai dikelola. Tentunya hal tersebut akan lebih bermakna apabila sejak dini sudah menyaksikan perilaku sungai maupun usaha-usaha penanganannya, baik secara langsung ataupun melalui media informasi lainnya. Pada masa pendidikan tinggi, pemahaman tentang persungaian diberikan pada beberapa program studi, khususnya program studi teknik sipil. Di Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada sendiri mata kuliah tersebut mulai dikenalkan oleh almarhum Professor Pragnjono Mardjikoen pada tahun 1978. Beberapa matakuliah dasar yang terkait dengan pemahaman persungaian antara lain adalah hidrologi dan hidraulika (khususnya hidraulika saluran terbuka dan transpor sedimen). Pemahaman teknik persungaian pada tahun-tahun sebelum 1980 lebih banyak dilakukan melalui model fisik dengan memanfaatkan kaedah-kaedah analisis dimensi, sehingga interpretasi hasil model ke prototip lebih mendekati. Pada saat itu teknologi alat ukur parameter hidraulika (elevasi muka air, elevasi dasar sungai, kecepatan aliran, dll), belum secanggih seperti saat ini di mana teknologi elektronika telah membuat kegiatan pengukuran tersebut semakin terasa lebih praktis. Model analitik dan model matematik yang dikembangkan untuk memahamai bidang ilmu teknik persungaian tersebut terus berkembang, seiring dengan perkembangan teknologi elektronika informasi sehingga akuisisi data dapat terselenggara lebih praktis namun teliti. Pengenalan model matematik yang terkait dengan teknik persungaian pada tahun 1980 di beberapa negara di Eropa telah dinilai sebagai masa berakhirnya masa model fisik (the time of dinosaurus has passed away). Namun kurang lebih 10 tahun kemudian mulai dirasakan bahwa antara model fisik dan model matematik keduanya sama-sama diperlukan, dan masing-masing mempunyai kelebihan tersendiri. Kelebihan model fisik adalah bahwa pemahaman fenomena hidraulik tiga dimensi pada sekala kecil akan lebih akurat relatif dibanding pada model matematik. Sebaliknya pemahaman fenomena sungai yang terkait dengan profil aliran sungai pada sekala besar yang mencakup ruas sungai dari hulu sampai kehilir, akan lebih praktis kalau dilakukan melalui model matematik (walaupun kadang-kadang sebatas pada aliran tidak tetap satu dimensi) dari pada model fisik. Kehadiran teknologi komputer telah menjadikan para peneliti dari berbagai kelompok ilmu (tidak saja dari kelompok keteknikan, melainkan juga matematika dan ilmu pengetahuan alam) untuk tertarik dalam penyelesaian persamaan Navier-Stokes. Sudah sepantasnya mahasiswa program studi teknik sipil memahami bahwa Persamaan Bernoulli adalah persamaan aliran tetap satu dimensi yang semula diturunkan dari persamaan Navier-Stokes. Bersamaan dengan pemahaman kaedah hidrologi dan hidraulika, pendidikan Strata-1 Teknik Sipil sebaiknya disertai dengan memahami fenomena fisik yang terkait, bagaimana respon hujan di daerah tangkapan terhadap aliran di sungai, seperti apa yang disebut aliran dengan debit tertentu atau kecepatan tertentu, dampak apa yang diakibatkan oleh aliran tersebut setelah berinteraksi dengan tampang basah sungai, dlsb.

Proses pemahaman yang bernuansa problem based learning ini sudah barang tentu memerlukan tenaga yang tidak sedikit, karena harus dilakukan pada pengamatan fenomena riil atau prototip. Pendidikan persungaian pada taraf Strata-1 (Teknik Sungai) sebaiknya dititik beratkan pada pengenalan persoalan-persoalan penanganan sungai termasuk kasus-kasus kerusakan lingkungan sungai, baik kerusakan fisik, kimia, maupun biota. Pemahaman yang bersifat penyelesaian permasalahan sungai dengan berbagai pendekatan penyelesaian (struktur dan non-struktur) seyogyanya diberikan di pendidikan Strata-2 (Teknik Sungai Lanjut), termasuk pemaduannya dengan masalah ekologi. Termasuk di dalam pendidikan persungaian di Strata-2 adalah aplikasi perangkat lunak aliran tidak tetap satu dimensi dan dua dimensi, sehingga pemahaman fenomena hidraulik ini kelak dapat digunakan secara terpadu dengan permasalahan non-teknis yang ada di lapangan. Dengan adanya kenyataan bahwa permasalahan sungai di Indonesia mempunyai variabilitas yang sangat tinggi, hal ini sangat mengundang para peneliti muda (baik dari Indonesia ataupun asing) untuk melakukan disertasi (Strata-3) yang terkait dengan persungaian.

Para hadirin yang saya hormati,

Seperti telah disebutkan di depan kemajuan teknologi komputer telah menginspirasi pesatnya pertumbuhan perangkat lunak yang terkait berbagai bidang keilmuan, termasuk hidrologi, hidraulika, dan transpor sedimen. Sebagai contoh, pengembangan perangkat lunak yang terkait dengan hidrologi telah berubah dari pendekatan lump model (HEC-01) menjadi distributed model (ANSWER). Demikian juga dengan model penelusuran aliran di sungai dari aliran tetap satu dimensi yang mulai marak pada tahun 1980-an dengan sistem DOS, sekarang sudah berubah menjadi sistem WINDOWS (DAMBRK, HEC-06, HEC-RAS), dengan options yang lebih banyak serta presentasi hasil yang lebih menarik. Model matematik aliran tidak permanen dua dimensi seperti halnya SMS, MIKE-11, dll, merupakan langkah pendekatan yang sangat bermanfaat yang digunakan untuk memahami perilaku sungai. Walaupun semua hal tadi tidak dapat dipungkiri bahwa untuk menempuh langkah tersebut diperlukan tersedianya data pendukung, antara lain geometri sungai dan hasil pengukuran hidrometri untuk kalibrasi parameter model. Perlu ditekankan bahwa pengetahuan yang sangat mendasar tentang hal-hal yang terkait penerapan model matematik (antara lain pemahaman algoritma persamaan yang digunakan serta penyelesaiannya) sangat diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar si pengguna perangkat lunak tidak melakukan kesalahan dalam melakukan interpretasi keluaran model matematik tersebut. Tanpa didukung dengan pemahaman hidrologi dan hidraulika yang kuat, sangat mustahil seorang ahli teknik sungai dapat menyelesaikan permasalahan persungaian dengan baik. Dukungan lain yang diperlukan adalah memahami karakter sungai secara langsung dengan memperhatikan perilaku aliran air dan sedimen serta interaksinya dengan tampang basah sungai. Persoalan akan lebih kompleks manakala disadari bahwa secara matematis aliran di sungai sepenuhnya tiga dimensi, serta tampang basah sungai bersifat erodibel. Sementara penyelesaian model matematik dengan tiga dimensi dan tampang basah bergerak (movable boundary) masih merupakan model yang sangat mahal dan masih terus berkembang sampai dengan saat ini.

Raudkivi (1967), menyebutkan bahwa pemahaman tentang ”apa yang terjadi apabila suatu aliran air mengalir di atas dasar sungai yang terdiri dari susunan material yang dapat digerakkan oleh aliran tersebut”, merupakan awal dari pentingnya melibatkan ilmu transpor sedimen dalam pendekatan penanganan persungaian. Pengelolaan sedimen di sebelah hulu sungai dalam bentuk menahan aliran debris dengan bangunan dam pengendali sedimen atau sabo, diharapkan mempunyai segi positip dalam hal mengurangi tingkat kerusakan akibat aliran lahar atau aliran debris. Pada sisi lain, kehadiran bangunan sungai yang sangat banyak dipandang sumber pencemaran lingkungan, antara lain terputusnya mutasi biota perairan sungai, degradasi kualitas fisik serta flora dan fauna di sekitarnya. Namun sekali lagi hal ini harus didukung dengan data yang akurat yang dapat menyajikan kondisi sebelum dan sesudah pengusikan terhadap sungai dilakukan.

Para hadirin yang saya hormati,

Kebijakan Penanganan Persungaian

Kebijakan penanganan persungaian di Indonesia tidak terlepas dari kehadiran aspek legal yang terkait, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, sampai dengan Undang-Undang No.7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air berikut peraturan pemerintah dan keputusan menteri lainnya. Dari kesekian banyak aspek legal yang terkait, seiring dengan era otonomi daerah yang mulai dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2000, terdapat kecenderungan bahwa penyusunan penanganan persungaian pada masa depan perlu mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kondisi daerah. Implementasi dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63 Tahun 1993 Tentang Sempadan Sungai perlu didukung dengan penjabaran praktis dengan memperhatikan kondisi daerah setempat, dan bilamana perlu disertai dengan aspek legal pada taraf Peraturan Daerah Propinsi, Kota/Kabupaten, ataupun Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota. Salah satu langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum adalah dengan hadirnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.11A/PRT/M/2006 Tahun 2006 Tentang Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai, sebagai pengganti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 39/PRT/1989 dan No. 48/PRT/1990. Penanganan persungaian di Indonesia tidak terlepas dari proses-proses kegiatan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya sungai mulai dari penyusunan pola pengelolaan, rencana induk, masterplan, studi kelayakan, serta pelaksanaan pembangunannya. Dengan hadirnya peraturan tentang pembagian wilayah sungai ini diharapkan suatu penyusunan pola pengelolaan sumberdaya air segera dapat dimulai dan ditetapkan secara legal. Di dalam pola pengelolaan sumberdaya air sudah barang tentu memuat tingkatan kewenangan penanganan sungai, dan termasuk pemanfaatan sumberdaya sungai, baik air, sedimen, lahan bantaran, lahan daerah tangkapan, dll.

Dalam setiap usaha peningkatan kesejahteraan, harus diakui bahwa dampak negatif selalu akan muncul. Hal yang sangat penting adalah bagaimana menekan dampak negatif tersebut menjadi sekecil kecilnya. Pemahaman tentang “siapa, berbuat apa, menyebabkan apa, seberapa besar” merupakan langkah utama yang diperlukan dalam setiap pengambilan keputusan. Proses degradasi sungai merupakan proses yang panjang, yang laju nya tidak saja dipengaruhi oleh fenomena stokastik (hujan, banjir, longsoran, letusan gunung berapi, dsb.), namun juga campur tangan manusia. Kegiatan penarikan pasir dari dasar sungai (penambangan pasir), adalah contoh pemanfaatan sumberdaya sungai yang sedikit banyak memberikan kontribusi terhadap penurunan dasar sungai. Penataan tentang lokasi kegiatan serta jumlah penambangan pasir merupakan penataan yang bersifat pengaturan operasional. Konsekuensi dari penataan yang bersifat operasional adalah terselenggaranya pemantauan dan evaluasi untuk tenggang waktu relatif pendek.

Para hadirin yang saya hormati,

Beberapa istilah yang perlu dipahami dalam rangka penanganan sungai antara lain adalah istilah terpadu, berkelanjutan, ekohidraulik, struktural, dan non-struktural. Istilah-istilah tersebut sangat sering dilontarkan, namun apabila pemahaman arti tidak disampaikan secara lengkap akan memberikan nuansa yang kurang menguntungkan. Untuk suatu sungai yang berada di kawasan remote atau jauh dari permukiman, ketidak-tepatan pemahaman istilah-istilah tersebut bukan merupakan permasalahan. Namun untuk suatu sungai dimana permukiman di sekitarnya sangat padat, ketidak-tepatan pemahaman dapat menimbulkan potensi konflik antara pihak terkait, termasuk masyarakat di sekitar sungai tersebut.

Penanganan Terpadu

Sungai mengalir dari hulu ke hilir melalui wilayah dengan karakteristika fisik dan administrasi yang berbeda-beda. Penanganan sungai berwawasan terpadu menuntut penanganan satu sungai – satu perencanaan – satu pengelolaan. Dengan demikian keterpaduan diartikan terpadu secara fisik maupun secara institusi di wilayah administrasi yang dilalui. Sebagai contoh, Kali Pesanggrahan yang semula mengalir di Kabupaten Bogor, Kota Jakarta Selatan, serta Kota Jakarta Barat, saat ini (karena pemekaran), menjadi mengalir di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Jakarta Selatan, serta Kota Jakarta Barat. Penanganan Kali Pesanggrahan dengan wawasan terpadu menemui tingkat kekompleksan yang lebih tinggi karena adanya pemekaran dengan hadirnya Propinsi Banten dalam era otonomi. Kali Gadjahwong yang mengalir melalui wilayah lereng selatan G. Merapi dan tiga kota/kabupaten (Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul) perlu perencanaan yang memperhatikan karakteristika sungai di kawasan hulu serta hilir, dan memadukan kepentingan berbagai sektor di ketiga wilayah administrasi Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, serta Kabupaten Bantul. Dampak dari usaha penanganan sungai secara terpadu pada perkembangannya menyangkut pula permasalahan tidak saja sumberdaya air sungai melainkan sumberdaya sedimen sungai, bahkan sampai dengan sedimen yang masuk ke sistem cekungan permukaan (waduk) ataupun sistem muara sungai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa waduk yang telah dibangun saat ini mulai menghadapi permasalahan sedimentasi. Hirarki penanganan sedimentasi waduk seperti yang disarankan oleh Bank Dunia (Mahmood, 1987) menunjukkan bahwa evakuasi atau pengeluaran sedimen dari waduk, apapun teknologinya, sebaiknya dilakukan sebagai pilihan terakhir. Usaha-usaha lain yang sebaiknya terlebih dahulu dilakukan adalah adalah pengurangan erosi lahan di DAS, mencegah supaya hasil erosi lahan tidak masuk ke sungai, mencegah supaya sedimen yang masuk ke sungai tidak masuk ke waduk, mencegah supaya sedimen yang masuk ke waduk tidak mengendap dalam waduk, dan kemudian yang terakhir adalah mengeluarkan sedimen yang sudah terlanjur mengendap dalam waduk. Alternatif terakhir inilah yang dinilai mempunyai banyak keberatan, antara lain biaya yang mahal, tidak tersedianya lahan untuk pembuangan hasil pengerukan, maupun nilai keberlanjutan dari hasil yang diperoleh (White, 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa waduk di Pulau Jawa menunjukkan adanya pengurangan volume tampungan mati (dead storage) sampai lebih dari 70% dalam kurun waktu 10 tahun usia guna waduk (Legono, 2005). Penanganan sungai secara terpadu menuntut penanganan di sistim lahan dan sistim alur di daerah aliran sungai, serta keterlibatan berbagai sektor (pekerjaan umum, pertanian, kehutanan, perhubungan, maupun sosial).

Penanganan Berkelanjutan

Konsep utama penanganan berkelanjutan diartikan bahwa perlakukan apa yang telah ditetapkan dalam program penanganan seyogyanya tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Hal ini tidak diartikan bahwa penanganan sama sekali tidak boleh mengandung dampak negatif, karena pada hakekatnya tuntutan tersebut tidak mungkin dipenuhi. Dampak negatif boleh saja muncul, namun diupayakan nilainya seminimal mungkin, dan oleh sebab itu kegiatan operasi dan pemeliharaan tetap harus dilakukan.

Pendekatan Ekohidraulik

Pada tahun 1996, suatu asosiasi penelitian hidraulik tingkat internasional (IAHR = International Association for Hydraulic Research) menyelenggarakan suatu forum pertemuan dimana para ahli biologi, hidrologi, geomorfologi, mikro-biologi, kimia air, statistik, model matematik, dan hidraulik saling bertukar gagasan dan informasi untuk membentuk seksi baru asosiasi tersebut, yaitu seksi Ecohydraulics. Lembaga atau asosiasi tersebut menyebutkan bahwa penanganan sungai ekohidraulik didefinisikan sebagai pendekatan interdisiplin untuk menyelesaikan permasalahan sungai pada skala hidraulika, dengan melibatkan habitat organisme yang terkait. Sedangkan definisi penanganan sungai secara ekohidraulik seperti diberikan oleh Center for Ecohydraulics Research (CER), University of Idaho, adalah suatu penanganan sungai yang memperhatikan interaksi atau kaitan antara proses fisik dan respon ekologi. Penanganan sungai dengan pendekatan ekohidraulik sungguh tidak menunjukkan ketidak-bolehan pengenalan bangunan keras (hard structure), namun terletak pada tuntutan bertahannya kualitas lingkungan karena proses fisik dan respon ekologi.

Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural dalam penanganan sungai merupakan pengenalan bangunan sipil atau non-sipil (misal vegetasi), yang ditujukan untuk sesuatu keperluan yang terkait dengan usaha mengurangi dampak negatif. Penaganan sungai tersebut misalnya berupa perlindungan terhadap elevasi muka air tinggi, perlindungan tebing sungai dari bahaya runtuh, perlindungan tebing sungai dari serangan arus sungai, pengarahan alur sungai, pengendalian fluktuasi atau perubahan elevasi dasar sungai, dll. Dari sisi kestabilan morfologi sungai, pengenalan bangunan struktural pada suatu ruas sungai dapat mengundang permasalahan atau dampak negatif pada ruas sungai di sebelah hilirnya. Konsekuensi ini harus dipertimbangkan secara cermat dengan memperhitungkan kaidah-kaidah fisik dan hidraulik dengan baik, dimana prediksi perubahan morfologi sungai disampaikan ke masyarakat secara lebih mendasar. Perlakuan struktural merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, namun hendaknya memadai. Pengertian memadai sungguh luas, antara lain dampak negatif minimal, serta mendapat dukungan dari masyarakat terkait serta dampak negatif minimal. Dampak negatif hanya bisa minimal apabila sepanjang perjalanan usia infrastruktur tersebut ada kegiatan operasi dan pemeliharaan yang sepadan. Dukungan dari masyarakat dapat diperoleh atau diciptakan apabila masyarakat dilibatkan dalam proses pemahaman langkah penanganan yang dipilih, misalnya melalui kegiatan pembangunan masyarakat atau community development.

Pendekatan Non-Struktural

Dalam banyak hal dimana keterbatasan fisik maupun sumberdaya (waktu, lahan, dan biaya) sudah merupakan keberatan maka penanganan struktural pasti akan menemui banyak hambatan. Dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah melakukan penanganan dengan membiasakan para pelaku pemanfaat sungai menyesuaikan diri dengan fenomena sungai itu sendiri. Para pelaku diarahkan untuk menyadari sepenuhnya, mengantisipasi, serta menyesuaikan diri terhadap konsekuensi yang timbul akibat campur tangan manusia terhadap sungai. Pendekatan ini disebut dengan pendekatan non-struktural yang dalam berbagai kasus dan pengalaman bahkan lebih berlanjut (sustainable) daripada penanganan struktural. Pendekatan penanganan secara non-struktural lebih banyak dituntut untuk melibatkan masyarakat, yaitu dengan memanfaatkan organisasi kemasyarakatan yang ada baik tingkatan pemerintah maupun swasta. Program pengembangan (development) dan atau pemberdayaan (empowerment) masyarakat semakin menunjukkan adanya sustainabilitas dari program pengananan sungai pada jangka panjang.

Para hadirin yang saya hormati,

Riset Persungaian dan Implementasinya

Dapat kita bayangkan, berapa banyak sungai yang ada di suatu pulau dan kepulauan di Indonesia. Dengan sifat fisiografi daerah yang berbeda antara suatu pulau dengan pulau yang lain, maka fenomena fisik sungai tersebut akan saling berbeda pula. Bahkan untuk satu sungai, fenomena fisik bagian sungai di hulu, di bagian tengah, dan di bagian hilir, dapat berbeda satu sama lain. Sebagai contoh, sungai Progo di bagian hulu, yaitu yang mengalir di wilayah Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang, mempunyai fenomena yang dicirikan oleh adanya fisiografi pegunungan berbatu yang membentuk tampang basah yang sangat kokoh, baik pada tebing maupun dasarnya. Fenomena ini dimiliki oleh sungai Progo di bagin hulu sampai dengan bagian sungai di sebelah hilir pada pertemuannya dengan sungai Elo. Fenomena yang indah dengan banyaknya riam menjadikan sungai Elo, sebagai anak sungai Progo, dimanfaatkan sebagai fasilitas olah raga arung jeram. Bagian tengah sungai Progo, yang kebanyakan mengalir di Kabupaten Muntilan, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulon Progo, merupakan bagian sungai yang mempunyai fenomena yang dicirikan oleh sifat-sifat keaktifan gunung Merapi. Sungai Progo bagian tengah ini mempunyai tujuh anak sungai, dan hampir semuanya bermata air atau berhulu dari gunung Merapi. Suplai sedimen dari gunung Merapi sungguh merupakan fenomena fisik yang sangat sulit untuk diprediksi, kapan terjadinya, seberapa banyak dikeluarkan, dan bagaimana terdistribusinya pada masing-masing sungai yang berhulu dari Gunung Merapi tersebut.

Suatu pemahaman ahli hidraulika sungai yang sudah menjadi pemahaman standar bagi siapapun, kehadiran bangunan melintang sungai akan menyebabkan sedimentasi/kenaikan dasar sungai di dekat sebelah hulu bangunan, serta erosi/penurunan dasar sungai di dekat sebelah hilir bangunan. Secara alami, melalui proses hujan dan aliran di sungai, proses-proses ini mestinya dapat diprediksi dengan tingkat kesalahan yang relatif masih dapat diterima. Persamaan dasar transpor sedimen dasar seperti persamaan Einstein, Frijlink, dan Meyer-Peter-Muler (serta belasan persamaan transpor sedimen lainnya), merupakan persamaan dasar yang dapat membuka wawasan tentang bagaimana suatu padatan dan cairan berinteraksi dan kemudian membentuk pola aliran sungai. Pertumbuhan pemahaman transpor sedimen sungai pada masa-masa tersebut sesungguhnya masih memanfaatkan kehadiran teori permulaan gerak butiran oleh Shield. Keterbatasan rumus-rumus yang ada untuk penerapan praktis di lapangan merupakan tantangan bagi seorang yang berperan sebagai ahli teknik sungai. Cara memperoleh data lapangan, termasuk hidrometri sungai merupakan teknologi yang tiada hentinya harus dikembangkan. Sebagai contoh, pembuatan rating curve suatu sungai akan sangat mudah dilakukan dengan mengumpulkan data aliran sungai. Pada pelaksanaan pengukuran debit di lapangan, siapapun kelihatannya akan menghindar untuk melakukan kegiatan hidrometri sungai pada kondisi banjir. Dengan majunya teknologi elektronika dan instrumentasi, rasanya hidrometri sungai pada kondisi apapun akan dapat dilakukan.

Sungai sebagai alur alami mempunyai nilai sumberdaya air dan sedimen yang jumlah dan perilakunya dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan manusia. Pemahaman tentang nilai-nilai manfaat ataupun kerugian tentang keberadaan sungai belum dimulai secara terstruktur pada pendidikan dasar ataupun menengah. Pemahaman tentang pentingnya nilai sungai sebaiknya perlu dimulai sejak awal, sehingga pandangan mengapa sungai harus bersih, terpelihara ruang bantarannya, dapat dinikmati sebagai ruang publik yang sehat, dll, harus segera ditanamkan pada usia dini. Pengelolaan sumberdaya sungai dalam konteks pengelolaan bahan padat (sedimen) seperti dicontohkan di atas tidak terlepas dari dua fenomena penting. Fenomena penting yang pertama adalah fenomena ekstrim berupa suplai berlebih. Untuk daerah di wilayah gunung berapi aktif fenomena aliran bahan padat tersebut dapat terjadi karena adanya gunung berapi yang aktif mengeluarkan sejumlah sedimen. Beberapa daerah lain fenomena aliran sedimen berlebih dapat terjadi karena longsoran (misal sungai Noelmina, Manikin, dan Benanain, di pulau Timor, sungai Bawakaraeng di Sulawesi Selatan). Pengelolaan sedimen di alur sungai gunung berapi dengan sistem sabo lebih ditujukan untuk pengelolaan fenomena aliran sedimen berlebih. Pengelolaan ini bersifat usaha preventif terhadap bencana yang mungkin terjadi dengan berbagai tingkatannya. Tingkat bencana manakah yang akan diantisipasi, merupakan kekompleksan tersendiri untuk menetapkannya, di mana unsur ekonomi dan resiko akan berperan sama pentingnya. Beberapa teori pengelolaan resiko (management of risk) yang berkembang umumnya menagalami perubahan paradigma dalam jangka satu dekade terakhir (Darmawi, 2000). Pengelolaan resiko sering diidentikkan dengan pengelolaan darurat. Menurut Salter, 1998, trend atau kecenderungan pengelolaan darurat pada era satu dekade terakhir sangat berbeda dengan yang terjadi pada era sebelumnya, yang dirumuskan seperti berikut :

a). dari pemusatan perhatian pada kondisi bencana menjadi pada kondisi rawan;

b). dari Re-Aktif menjadi Pro-Aktif;

c). dari institusi pemerintah menjadi pelibatan peran serta masyarakat;

d). dari monodisiplin menjadi multidisiplin;

e). dari pengelolaan respon menjadi pengelolaan resiko;

f). dari perencanaan untuk masyarakat menjadi perencanaan bersama-sama masyarakat;

g). dari mengkomunikasikan ke masyarakat menjadi berkomunikasi dengan masyarakat.

Dari urian tersebut dipahami bahwa jalinan kerjasama antara berbagai pihak perlu diciptakan dalam upaya mengurangi dampak negatif atau resiko karena kejadian bencana alam, termasuk bencana alam aliran sedimen. Pelibatan sumberdaya local (teknologi, biaya, sumberdaya manusia, dll) sangat diperlukan sehingga masyarakat di kawasan rawan bencana mengenal dengan baik perilaku darurat alam di sekitarnya. Dalam kaitannya dengan rencana pengelolaan terpadu, terdapat lima prioritas issu atau hal penting, yaitu :

a). meyakinkan bahwa penanganan darurat perlu dilakukan;

b). melakukan identifikasi jenis dan memantau resiko, serta menyusun gagasan penanganan darurat;

c). memanfaatkan pengetahuan dan informasi dalam upaya mengurangi intensitas dampak negatif, serta memberitahukannya ke khalayak;

d). menyeleksi faktor penting dalam penanganan darurat;

e). memperkuat kesiapan dalam merespon kejadian darurat.

Para hadirin yang saya hormati,

Mempertimbangkan kompleksnya permasalahan penanganan sungai, tampaknya perkembangan riset persungaian pada arah sepuluh tahun ke depan perlu diarahkan pada dua fenomena dominan. Kedua fenomena dominan tersebut adalah fenomena berlebih (aliran lahar atau aliran debris, serta aliran banjir), serta fenomena kurang atupun normal. Kajian fenomena berlebih akan menyangkut kesiapan-kesiapan mengenai bagaimana mengendalikan daya perusak yang ditimbulkan sehingga dampak negatif yang timbul terkurangi. Kajian yang terkait dengan fenomena normal atau kurang akan menyangkut usaha optimasi pemanfaatan, dengan demikian nuansa terpadu dan berkelanjutan dapat terwujud.

Implementasi dari konsepsi one river-one plan-one management telah mulai dikenalkan semenjak tahun 1978 memerlukan kebijakan-kebijakan khusus yang dapat diterima oleh semua unsur yang berkepentingan dalam usaha pemanfaatan sungai. Masalah yang sering dijumpai adalah bahwa persepsi antara yang merencana dan yang mengelola sering berbeda. Kekompleksan permasalahan meningkat manakala program participatory dianggap sebagai terobosan baru yang harus disertakan dalam upaya penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya sungai secara terpadu. Koordinasi antar unsur-unsur yang memanfaatkan sumberdaya sungai sangat diperlukan pada saat menyusun kegiatan pembangunan sungai, baik pada taraf perencanaan maupun pada taraf pengelolaan (operasi dan perawatan). Apabila tidak disertai dengan tool atau peralatan bantu yang dapat membantu pembuatan keputusan, maka penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya sungai secara terpadu dapat menemui kesulitan. Program participatory dengan melibatkan para stakeholders dapat mengalami kemacetan kalau tidak ditunjukkan contoh perlakuan apa dan menyebabkan apa. Dengan demikian kehadiran tool atau peralatan yang dapat digunakan untuk memandu proses pembuatan keputusan sangat diperlukan.

Para hadirin yang saya hormati,

Pengembangan sistem pendukung keputusan atau Decision Support System = DSS di bidang penanganan sungai merupakan salah satu upaya pendekatan dalam rangka menetapkan kebijakan penanganan persungaian secara optimum. Pengembangan DSS ini memerlukan data masukan teknis maupun non-teknis, antara lain berupa data aliran sungai, data geometri sungai, data hujan di DAS, dan sebagainya. Data masukan non-teknis dapat berupa informasi-informasi non-teknis yang harus dipertimbangkan dalam mekanisme pembuatan keputusan, antara lain aspek sosial, lingkungan, budaya, dll. Pemaduan aspek teknis dan non-teknis dalam perancangan DSS memerlukan seni tersendiri, karena pengolahan aspek non-teknis tidak hanya sekedar kualitatif, namun juga kuantitatif. Khusus untuk data teknis, data yang bersifat real time mempunyai prospek sangat penting, terlebih dalam era mitigasi bencana, dimana model-model peringatan dini sangat diperlukan. Aspek non-teknis sangat mewarnai pola aplikasi dan solusi dari permasalahan pemanfaatan sungai secara spesifik, yang seringkali menjadi kunci keberhasilan usaha penanganan sungai secara optimum. Kesulitan umum yang dijumpai pada pengembangan DSS adalah dalam bentuk sulitnya membangun kesepakatan diantara pihak terkait. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kompleksnya permasalahan sungai yang harus diselesaikan, kurang mendasarnya penyampaian informasi oleh para ahli terkait, serta tingginya variabilitas aspirasi masyarakat dalam usaha penanganan sungai. Namun demikian, dengan menyadari bahwa pengembangan DSS untuk keperluan apapun, lebih-lebih untuk penanganan sungai, tidak dapat dilakukan secara sekaligus sempurna. Penyempurnaan DSS secara terus menerus tentunya akan menghasilkan suatu model DSS handal yang dapat menjamin terselenggaranya penanganan sungai secara optimum. Penanganan sungai yang optimum adalah penanganan sungai yang mengandung kearifan, dan kearifan hanya dapat terbangun melalui serangkaian pemahaman ilmu dasar terkait serta riset yang terstruktur yang memadukan aspek teknis dan non-teknis.

Para hadirin yang saya hormati,

Selalu segar dalam ingatan saya, pada saat Prof. Pragnjono Mardjikoen sebagai dosen pertama teknik sungai di Jurusan Teknik Sipil pada tahun 1978, berpesan seperti berikut. “Semakin banyak saudara mempelajari karakter berbagai sungai, maka saudara akan makin merasa semakin tidak pantas untuk disebut sebagai ahli teknik sungai”. Pesan ini mengingatkan kepada kita, betapa bervariasinya perilaku/fenomena fisik sungai, dimana karakter suatu sungai, secara alami dapat sangat berbeda antara satu sungai dengan sungai lainnya. Pendekatan penanganan secara terpadu dan berkelanjutan akan menjadi sangat bervariasi seiring dengan peningkatan intensitas pengusikan sungai oleh manusia terhadap sungai tersebut. Sungguh merupakan pelajaran bagi saya bahwa ilmu teknik sungai merupakan ilmu yang penuh dengan variasi dan tiada habisnya untuk dipelajari. Sesungguhnyalah bahwa di dalam penanganan sungai, proses pendidikan dan implementasi sangat terkait erat dan multi iteratif. Hanya dengan bekal yang mendasar serta pengalaman yang banyaklah yang akan memandu pada terwujudnya penanganan sungai secara terpadu dan berkelanjutan.

Para hadirin yang saya hormati.

Sebelum saya mengakhiri pidato saya, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia yang telah menghargai saya dengan jabatan Guru Besar di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Semoga saya dapat memenuhi harapan almamater untuk turut serta menjadikan nama Fakultas Tekik Universitas Gadjah Mada, khususnya Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, sebagai institusi pendidikan yang tidak hanya sekedar harum dalam nama, namun benar-benar sebagai institusi yang bermanfaat bagi masyarakat.

Kepada sivitas akademika Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, saya ucapkan terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama ini. Perjalanan karir saya tidak terlepas dari adanya iklim dan atmosfer yang sangat kondusif, di mana saya dapat berkarya dengan penuh semangat sekaligus menggembirakan. Dalam kenyataannya, inpirasi dan energi hampir selalu saya peroleh setiap hari. Saya sangat berterima kasih kepada Professor Hardjoso Prodjopangarso yang banyak membekali saya tidak saja tentang ilmu-ilmu keairan, namun juga tentang falsafah-falsafah beliau yang sangat bermanfaat. Faham bahwa perbedaan adalah hal lumrah dan perlu dianggap sebagai energi, adalah sebagian falsafah yang saya peroleh dari beliau. Kepada para kolega saya di Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada terutama senior-senior saya, saya ucapkan terima kasih atas kelakar-kelakar ilmiahnya yang menyehatkan. Kepada teman-teman sejawat di lingkungan Laboratorium Hidraulika, ibarat air yang sehat, harus mengalir, dan perlu ada perbedaan (tinggi), saya ucapkan terimakasih atas kebersamaannya. Semoga semangat dan keinginan bersama dalam rangka untuk menjadikan Laboratorium Hidraulika menjadi ujung tombak pendidikan keairan dapat terpelihara.

Kepada orang tua saya Bapak Setyorumekso (almarhum) dan Ibu Siti Aisah, yang telah mengasuh, membesarkan, mendidik dan memberi doa restu, sehingga saya dapat menjadi orang seperti sekarang ini, saya ucapkan terima kasih. Kedisiplinan dan kejujuran dalam mengarungi bahtera kehidupan seperti ditanamkan oleh ayah-ibu saya sungguh merupakan bekal pelajaran yang tak ternilai harganya. Juga kepada Bapak dan Ibu mertua saya almarhum (Bapak Suharman dan Ibu Sri Wurjaningsih), yang telah mendoakan dan merestui perjalanan hidup saya. Saya berdoa semoga Allah SWT berkenan mengampuni dosa Bapak saya Almarhum, Bapak dan Ibu mertua saya almarhum, menerima amalannya, serta memberi tempat yang sebaik-baiknya. Kepada para kakak, adik, serta sanak saudara saya yang lain, saya ucapkan terima kasih atas pengertian dan doa restunya.

Akhirnya, terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada isteriku Dewi Woro Retno Panuluhing Tyas, dan ketiga anak-anakku, Distiana Harset, Debriadi Harset, dan Demetrio Harset, yang selalu mendampingi saya, berbagi pengalaman dalam senang maupun susah, dan hari ini kita bersama-sama mensyukuri karunia Allah SWT.

Para hadirin yang terhormat,

Demikianlah pidato saya, atas nama pribadi dan keluarga, saya mengucapkan terima kasih atas keikhlasan dan kesabaran para hadirin untuk mendengarkan pidato saya. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan taufik dan hidayah Nya kepada kita sekalian.

Amin, ya rabbal alamin.

Wassalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarokatuh.

DAFTAR PUSTAKA

Brookes, A., dan Shields, F.D.JR., 1996, “River Channel Restoration: Guding Principles for Sustainable Projects”, John Wiley and Sond Ltd, Baffins Lane, Chichester, West ussex PO19 1UD, England.

Darmawi, H., 2000, ”Manajemen Resiko”, Bumi Aksara

Halcrow Water, 2001, “Final Report ; Sedimentation in Storage Reservoirs”, Departement of Environment Transport and The Regions

Jiazhu, W. , 2000, “Progress of Three Gorges : The World’s Largest Water Resources Project”, International Journal on Hydropower and Dams, Conference and Exhibition, Bern, 2-4 October.

Legono, D., 2005, “Important issues on sediment-related disaster management in Indonesia”, International Symposium on Fluvial and Coastal Disaster, Kyoto University, Japan, December 1-2, 2005.

Legono, D., dan Rahardjo, A.P., 2000, Otomatisasi Sistem Pemantauan di Bidang Keairan dengan Sumberdaya Lokal, Seminar Komputerisasi Hidrometri, UNY.

Mahmood, K., 1987, “Reservoir Sedimentation: Impact, Extent, and Mitigation”, World Bank Technical Paper Number 71, ISBN-0-8213-0952-8.

Mays, L.W., 1996, Water Resources Hand Book, McGraw-Hill Companies, Inc.

Publikasi ICOLD, No. 118, 2001, “Recommendations Sedimentation Control of Reservoirs – Guidelines”

Raudkivi, A.J., 1967, Loose Boundary Hydraulics” Pergamon Press Ltd., Headington Hill Hall, London.

Rouse, H., and Ince, S., 1957, History of Hydraulics, Dover, New York.

Salter, 1998, “Shifting Paradigm in Emergency Management”, Australian Journal in Emergency Management.

Singh, V.P., 1989, Hydrologic System, Prentice Ha-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey

White, W.R., 2001, “Evacuation of Sediments from Reservoirs”, http://www.hrwallingford.co.uk.

Whitten, A.J., 1997, “The Ecology of Java and Bali”, Oxford University Press.

Wurbs, R.A., 2002, “Modeling and Analysis of Reservoir System Operation, Prentice Hall, New Jersey.

Yang, C.T., 1996, “Sediment Transport; Theory and Practice”, McGraw-ill International Editions, Civil Engineering Series, New York, USA.

BIODATA

Nama : Djoko Legono Tempat/tanggal lahir : Surakarta, 12 Nopember 1952 NIP : 130 890 124 Jabatan : Guru Besar / IVc Alamat Kantor : Jurusan Teknik Sipil FT-UGM, Jl Grafika No.2 Yogyakarta. Alamat Rumah : Perum. Jombor Baru Blok IV/10, Jl. Magelang Km 7, Yogyakarta Nama Isteri : Dewi Woro Retno Panuluhing Tyas, S.E.

Nama Anak : 1. Distiana Harset S.T. 2. Debriadi Harset 3. Demetrio Harset

Riwayat Pendidikan: 1. 1958 – 1964 SR Negeri No.1 Kartasura, Surakarta 2. 1964 – 1967 SMP Negeri VII, Surakarta 3. 1967 – 1970 SMA Negeri I, Surakarta 4. 1973 – 1979 Insinyur, Jurusan Teknik Sipil, UGM, Yogyakarta

5. 1983 – 1987 Ph.D, The City University, London

Riwayat Pekerjaan: 1. 1980 – sekarang : Dosen Jurusan Teknik Sipil FT-UGM 2. 1994 – 1997 : Sekretaris Juruisan Teknik Sipil Fakultas Teknik UGM 3. 1997 – 1999 : Kepala Laboratorium Hidraulika, Jurusan Teknik Sipil FT-UGM 4. 1999 – 2001 : Ketua Pengelola Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Air, Jurusan  Teknik Sipil FT-UGM 5. 2001 – 2003 : Ketua Pengelola Program Magister Pengelolaan Bencana Alam, Jurusan Teknik  Sipil FT-UGM

6. 2003 – sekarang : Koordinator Seksi Penelitian, HATHI Cabang DI Yogyakarta

Pengalaman Mengajar dan Bimbingan Skripsi/Tesis/Disertasi (di luar UGM): 1. Jurusan Teknik Sipil, Sekolah Tinggi Teknik Nasional, Yogyakarta 2. Jurusan Teknik Sipil, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta 3. Jurusan Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta 4. Jurusan Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta 5. Jurusan Teknik Sipil, Universitas Lampung, Bandar Lampung 6. Jurusan Teknik Sipil, Universitas Merdeka, Malang

7. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Teknologi Surabaya, Surabaya

Keanggotaan Profesi/Asosiasi: 1. International Association for Hydraulic Research (IAHR) : Membership No.SR-9602

2. Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI) : No. Anggota 072060

Publikasi Ilmiah (terseleksi):

1. Legono, D., and Rao, K.V., 1985, Velocity Distributions of a Rectangular Open Channel as Revealed by Laser Doppler Anemometer, Poceeding of 21 st Congress of IAHR (International Association of Hydraulic Research), Melbourne, Australia.

2. Legono, D., 1991, Perilaku Kali Code dan Pemanfataannya, PAU-Ilmu Teknik, Universitas Gadjah Mada

3. Legono, D., 1992, Teknologi Laser Doppler Anemometr dan Penerapannya dalam Bidang Teknik Hidro, Majalah HATHI Cabang Yogyakarta

4. Legono, D. and Jain, S.C., 1993, Debris Flow Mechanism and Its Modeling, Proceeding of ISEV (International Symposium on Erosion of Volcanic Eruption), Yogyakarta, Indonesia

5. Legono, D., 1994, Analisis Kelayakan Ekonomi Pada Perbaikan Sungai (Kasus: Perbaikan Kali Lorog, Pacitan, Jawa Timur), Media Teknik, Vol.

6. Legono, D., 1995, Hydraulic Simulation of Lake Beratan, Bali, Indonesia, International Symposium on Civil Engineering, Kasetsart, Bangkok.

7. Legono, D., 1997, Pengembangan Sistem Pemantauan Aliran Sungai Guna Pengamanan Jembatan Rel, Riset Unggulan Terpadu – III, Kementerian Riset dan Teknologi.

8. Legono, D., Sujono, J., Darmanto, 1998, An Introduction of Modeling of the Regional Integrated Water Resources Management in Indonesia, Eleventh Congress of Asia and Pasific Division of the International Association for Hydraulic Research, September, Yogyakarta.

9. Legono, D., 2001, Teknik Evaluasi Sedimentasi Waduk dengan Metode Gridding, Media Teknik, Vol.

10. Legono, D.dan Triatmojo, B., 2002, Perilaku Hidraulik Banjir Kanal Barat dan Cengkareng Drain serta pengaruhnya terhadap Fenomena Banjir Jakarta, Media Teknik, Vol.

11. Legono, D., 2003, Hidraulika Groundsill, Media Komunikasi Teknik Sipil, Vol.

12. Legono, D., 2004, Hyper Concentrated Flow Modeling and its Numerical Solution, 14th Congress of APD-IAHR, Hongkong, 15-18 Desember.

13. Legono, D., 2005, Sedimentation Issues and Countermeasures of Some Reservoirs in Central Java and DIY, Second Workshop on Countermeasures for Sedimentation in the Wonogiri Multipurpose Dam, Surakarta, 8 September.

14. Legono, D., 2005, Important Issues on Sediment-related Disaster Management in Indonesia, International Symposium on Fluvial and Coastal Disaster, Kyoto University, Japan, Desecember 1-2 ; Key Note Speaker.

15. Legono, D., and Fathani, F, 2006, Sedimentation Problems of Some Reservoirs in Indonesia: Current Issues After Two Decades of the Development, Workshop on Sediment Management in South and South East Asia, Thailand, 24-25 April.

16. Legono, D., 2006, Sand By-Pass Modeling of Volcanic Rivers (Case Study: Boyong River), International Symposium on Maritim Hydraulics, 15th Congress of APD-IAHR, Chennai, India, 15-18 Desember.

17. Mananoma, T., Ali, R., dan Legono, D., 2006, Estimasi Kapasitas Alur K. Gendol Paska Erupsi 2006, 12 Nopember 2006, Pertemuan Ilmiah Tahunan, HATHI, Manado,