Setelah satu abad, teori Malthus akhirnya terbantahkan. Malthus memprediksi akan terjadinya kelaparan karena tidak seimbangnya kemampuan lahan untuk pangan dengan pertambahan penduduk. Karena pesatnya ilmu pengetahuan, kemudian terjadilah revolusi hijau (green revolution). Revolusi hijau dimulai dengan penemuan persilangan jenis gandum yang responsif terhadap pupuk yang kemudian disilangkan dengan varietas asal Jepang, dihasilkanlah tanaman pangan yang dapat dimanfaatkan secara lebih efisien. Rekayasa genetika ini dipelopori oleh pemenang hadiah nobel bidang pangan dari AS, Borlaug. Pengembangan rekayasa genetika yang memberi manfaat ini kemudian banyak disebarluaskan di berbagai belahan dunia, seperti di India, Pakistan, Meksiko maupun beberapa belahan dunia lainnya. Selanjutnya awal 60-an, IRRI (International Rice Research Institute) sebagai lembaga riset dan penelitian beras mengembangkan rekayasa genetika dengan mengembangkan "padi ajaib", di mana ditemukan padi dengan umur pendek dan jumlah produksi relatif besar. Itulah yang kita kenal IR 5 dan IR 8. Inilah tonggak revolusi hijau di tahun 60-70-an. Dengan penemuan semacam ini, prediksi bencana kelaparan dapat diminimalisasi. Di era Orde Baru, pada saat pemerintah bercita-cita mewujudkan swasembada pangan, pengembangan rekayasa genetika sungguh sangat membantu untuk mewujudkannya. Pada masa penjajahan Belanda dulu, bidang pertanian banyak dikembangkan untuk kepentingan pemerintah penjajah dengan menerapkan metode tanam paksa. Banyak hasil pertanian yang favorit dan legendaris di pasaran internasional, seperti rempah-rempah, tembakau, kopi, tebu, dan lain-lain. Di masa penjajahan Jepang, dengan metode kerja rodi, Jepang memaksa para petani menanam berbagai hasil pertanian untuk kepentingan mereka, seperti beras, jagung, dan pohon jarak sebagai bahan bakar. Di awal kemerdekaan, pembangunan pertanian dipengaruhi semangat nasionalisme dan untuk mencukupi seluruh kebutuhan rakyat, terutama kebutuhan pokok, seperti beras, jagung, kedelai, ketela, kacang tanah, dan kebutuhan akan ikan serta daging. Masih di era ekonomi Soekarno tahun 60-an, pendekatan perencanaan pembangunan mulai dicanangkan seperti intensifikasi, ekstensifikasi untuk mendukung memenuhi kebutuhan pangan nasional. Walaupun dalam jangka pendek pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan secara penuh, bahkan terjadi lonjakan inflasi yang cukup tinggi. Di masa Orde Baru, dengan anggaran APBN cukup besar yang melanjutkan program intensifikasi dan ekstensifikasi dengan semangat swasembada pangan, akhirnya secara umum tercapai. Program pengembangan infrastruktur begitu intensif seperti pembangunan irigasi, waduk dan bendungan, pabrik pupuk di mana-mana dan berdiri berbagai lembaga penelitian pangan. Kita masih ingat pemberdayaan petani cukup dominan, seperti kelompencapir, sebagai media penyambung antara program pemerintah dengan petani. Banyak program lain yang dijalankan, seperti kredit untuk tani, subsidi pupuk, benih dan lain-lain. Hal itu didukung program transmigrasi serta pemanfaatan lahan tidur yang disulap sebagai lahan pertanian. Terlepas dari dampak negatif program-program tersebut, tetapi kebutuhan akan bahan pokok makan terpenuhi. Tentu program ini berhasil, walaupun nasib dan derajat petani belum sepenuhnya terangkat. Pada era reformasi sekarang ini, pembangunan pertanian terbawa arus eforia dan warna sosial politik. Ada kecenderungan kebijakan pemerintah di bidang swasembada pangan mulai terabaikan. Terbukti pada awal reformasi sampai sekarang ini anggaran di sektor pertanian tidak terlalu besar. Untuk APBN terakhir hanya sebesar Rp 9 triliun. Disamping itu ada indikasi karena hiruk pikuknya kebijakan desentralisasi sehingga program swasembada pangan justru terabaikan. Isu-isu lainnya juga membuat kebijakan ini tidak optimal, karena alasan partisipasi rakyat serta mekanisme pasar sudah berjalan, artinya petani sudah menyadari mana komoditas yang menguntungkan maka mereka akan menanamnya. Ada permintaan tinggi maka mereka secara otomatis akan memenuhi supply-nya. Tetapi kenyataannya berbeda, petani Indonesia masih perlu dibimbing yang sejalan dengan program pemerintah. Kalau kita cermati selama ini, kebijakan-kebijakan pemerintah yang diambil terkait dengan berbagai isu lonjakan harga komoditi pangan sungguh membingungkan. Kebijakan pemerintah yang ditempuh selama ini cenderung hanya responsif yang mempunyai implikasi jangka pendek, padahal permasalahannya menyangkut jangka panjang. Kita ambil contoh kebijakan mengenai minyak goreng tahun lalu, pemerintah kemudian tergopoh-gopoh dengan menaikkan pungutan ekspor crude palm oil (CPO). Kebijakan ini akhirnya tidak juga efektif, sampai akhirnya pemerintah merelakan merogoh kocek anggarannya dengan mengambil kebijakan klasik berupa subsidi minyak goreng, sebagai pro poor. Alangkah sederhananya menyetel sebuah paket kebijakan yang kelihatan grabak-grubuk itu. Padahal permasalahannya tidak sesederhana itu. Akhirnya kebijakan ini tidak tuntas. Kita yakin suatu saat permasalahan ini akan muncul kembali. Dan, instrumen klasik seperti subsidi digunakan lagi sebagai senjata pamungkasnya, sehingga beban anggaran juga semakin berat. Sekarang pemerintah disibukkan lagi dengan melonjaknya berbagai harga komoditas pangan kita, termasuk harga kedelai. Kita berharap kebijakan pemerintah yang diambil akan tuntas. Tidak hanya kebijakan jangka pendek, tetapi semestinya pemerintah mengambil kebijakan yang lebih permanen dan menyeluruh. Karena secara jangka panjang kebutuhan masyarakat terus meningkat seiring kesadaran masyarakat untuk hidup sehat. Jadi, swasembada pangan selalu menjadi prioritas. Jangan sampai pemerintah seolah gengsi untuk melanjutkan kebijakan pemerintah Orde Baru, apalagi kebijakan-kebijakan Orde Baru tidak selalu jelek. Sudah saatnya pemerintah memikirkan sektor pertanian, perkebunan dan peternakan, sektor yang dianggap tidak penting di era reformasi. Untuk itu, perlu kebijakan serupa insentif perbankan, perbaikan infrastruktur pertanian dan lain-lain, yang mendorong kaum muda terlibat dan bersama-sama menuju cita-cita swasembada pangan.*** Oleh : Ragimun *Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan Show (pernah dimuat di Suara Karya, 13 Maret 2008) Revolusi hijau adalah perubahan cepat mengenai pembaruan teknologi pertanian dan peningkatan produksi pertanian, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Revolusi hijau sering disebut juga revolusi agraria, pengertian agraria meliputi bidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan kehutanan.
Latar belakang revolusi hijauRevolusi hijau dimaknai sebagai perubahan bertani dari tradisional menjadi lebih modern. Revolusi hijau diilhami oleh tulisan ilmuwan Thomas Robert Malthus. Thomas melakukan penelitian dan mendapatkan kesimpulan bahwa kemiskinan adalah masalah yang tidak bisa dihindari. Kemiskinan terjadi karena pertumbuhan penduduk yang tinggi sedangkan peningkatan hasil pertanian (pangan) tidak terlalu banyak. Dia menjelaskan lebih lanjut bahwa pertumbuhan penduduk berkembang mengikuti deret ukur, misal 1, 2, 4, 8, 16, 31, dan seterusnya). Sedangkan laju perkembangan hasil pertanian (pangan) mengikuti deret hitung seperti 1, 3, 5, 7, 9, 11, dan seterusnya). Maka, dia berpendapat laju pertumbuhan penduduk lebih cepat dari pada laju pertumbuhan pangan. Sehingga, jumlah makanan di dunia tidak bisa mencukupi kebutuhan semua manusia di bumi ini. Dampak Revolusi HijauMeskipun terlihat bagus, revolusi hijau dapat memberikan keuntungan dan kerugian bagi masyarakat secara keseluruhan. Dampak positif revolusi hijau di sektor pertanian : >
Dampak negatif revolusi hijau di sektor pertanian :
Tujuan Revolusi HijauTujuan revolusi hijau pada dasarnya adalah :
Revolusi Hijau di DuniaBerawal dari Perang Dunia pertama yang mengakibatkan lahan-lahan pertanian di Eropa banyak yang hancur. Melihat kondisi tersebut maka ada pemikiran untuk membangun kembali lahan pertanian ditambah dengan inovasi baru untuk lebih mempercepat produksi pangan dunia. Maka, pengusaha dari Amerika Serikat muncul dengan terobosan pengembangan pertanian melalui berbagai penelitian di beberapa negara berkembang seperti Meksiko, Filipina, India, dan Pakistan. Tujuan dari penelitian tersebut adalah menciptakan varietas tanaman unggul penghasil biji-bijian seperti beras dan gandum. Penelitian tersebut disponsori oleh Ford and Rockfeller Foundation. Selain meneliti varietas unggul dari beras dan gandum, teknologi di bidang pertanian juga senantiasa diperbaruhi. Sehingga muncul alat-alat pertanian modern seperti bajak, alat penyemprot hama, dan mesin penggiling padi. Namun, perkembangan penelitian tersebut harus terhenti sejenak karena Perang Dunia II. Akibat dari Perang Dunia II tersebut membuat banyak lahan pertanian mengalami kerusakan. Pasca Perang Dunia II menjadi langkah awal lagi dalam pengembangan di bidang pertanian. Dilakukan berbagai upaya untuk menangani masalah pangan tersebut dengan pembukaan lahan pertanian baru, mekanisme pertanian, penggunaan pupuk, serta mencari metode yang tepat untuk membasmi hama tanaman. Pada tahun 1943 (sebelum berakhirnya perang Dunia II), diadakan Konferensi Hot Spring. Konferensi tersebut membicarakan usaha peningkatan produksi pangan di Eropa serta masalah pertanian dan kemiskinan dunia. Hasil dari pertemuan tersebut berupa kesepakatan tentang peningkatan produksi pangan, perbaikan distribusi, peningkatan taraf hidup konsumen maupun produse, dan pengadaan kebutuhan yang cukup di seluruh dunia. Konferensi Hot Spring 1943 tersebut menjadi pelopor berdirinya organisasi pangan dan pertanian dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) yang bernaung di bawah PBB. Revolusi hijau hasil penelitian tersebut sudah memperlihatkan hasilnya pada negara-negara berkembang seperti India dan Filipina. Di India, revolusi hijau berhasil dengan hasil panen gandum yang berlipat dalam waktu 6 tahun. Hingga tahun 1970 India sudah hampir dapat memenuhi kebutuhan negaranya sendiri. Sementara di Filipina, revolusi hijau juga berhasil mengakhiri setengah abad ketergantungan terhadap beras yang diimpor ke negara tersebut. Lembaga penelitian pangan Filipina seperti International Rice Research Institute berhasil mengembangkan bibit unggul padi bernama IR-8 yang sangat produksi. Bahkan akhir tahun 1960-an Filipina menjadi negara pengekspor beras. Perkembangan selanjutnya, Pusat penelitian yang pernah di beri bantuan seperti International Rice Research Institute (Filipina) dan Maize Wheat Improvement Centre (IMWIC) di Meksiko. Penelitian tentang revolusi hijau semakin lengkap dengan penemuan jenis tanaman biji-bijian yang cocok untuk mengubah energi surya menjadi karbohidrat pada tanah yang diolah menjadi subur dengan tanaman yang tahan terhadap penyakit. Penelitian tersebut digagas oleh Norman Borlaug, bahkan pada tahun 1970 dia mendapat hadiah nobel atas jasanya. Penerapan Revolusi Hijau di IndonesiaRevolusi hijau di indonesia dimulai sejak adanya penggunaan pupuk dan pestisida kimia di masa orde baru. Revolusi hijau orde baru adalah sebuah proyek untuk menghasilkan produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern. Revolusi ini dimulai sejak tahun 1970-an. Tahun 1980-an, pemerintah menginstruksikan penanaman padi, pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida dan lain-lain. Terbukti indonesia pernah menjadi negara swasembada beras saat itu. Tahun 1990-an, mulai terjadi hal yang di luar perhitungan. Banyak petani yang gagal panen karena serangan hama, ketergantungan penggunaan pupuk, penggunaan pestisida yang tidak manjur lagi, dan hasil panen dijual dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Revolusi hijau yang terjadi di Indonesia memang pernah membuat negera ini swasembada beras. Namun dalam jangka waktu tersebut secara perlahan mengakibatkan tingkat kesuburan tanah menurun, tanah dan tumbuhan mengandung residu pestisida sertaa terjadi ledakan serangan hama. Revolusi hijau pada masa orde baru memang menjadi suatu prestasi yang prestisius. Namun, dibalik keberhasilan di bidang pertanian, terdapat kaum petani yang mengalami kerugian karena lahan mereka yang sudah tidak subur lagi serta harus sesuai aturan pemerintah. Di Indonesia, revolusi hijau berhubungan dengan hal-hal berikut :
Revolusi Hijau di Indonesia dirumuskan dalam konsep "Pancausaha Tani". Konsep ini hanya berlangsung selama tahun 1984-1989. Pancausaha Tani mengusung konsep :
Dalam rangka peningkatan produksi pangan dan produksi pertanian umumnya dilakukan dengan empat usaha pokok, yaitu : 1. Intensifikasi pertanian adalah usaha meningkatkan produksi pertanian dengan pemilihan dan penggunaan bibit unggul atau varitas unggul; pemupukan teratur; pengairan yang cukup; pemberantasan hama secara intensif; dan teknik penanaman yang lebih teratur (Pancausaha Tani). 2. Ekstensifikasi pertanian adalah usaha meningkatkan produksi pertanian dengan membuka lahan baru termasuk usaha penangkapan ikan dan penanaman rumput untuk makanan ternak. 3. Diversifikasi pertanian adalah usaha meningkatkan produksi pertanian dengan keanekaragaman usaha tani. 4. Rehabilitasi pertanian adalah usaha meningkatkan produksi pertanian dengan pemulihan kemampuan daya produktivitas sumber daya pertanian yang sudah kritis. Demikian pembahasan tentang revolusi hijau. Semoga bermanfaat. Wassalamu'alaikum. |