Oleh: Yudha Pratomo* Energi angin merupakan salah satu energi tertua yang dimanfaatkan manusia. Lebih dari 5.500 tahun yang lalu, energi ini mulai digunakan untuk menggerakkan kapal layar para nelayan, pedagang, dan penjajah. Pada abad pertengahan di eropa, energi angin digunakan untuk pertanian, peternakan dan menggiling bahan makanan, seperti yang sering dijumpai di negara kincir angin, Belanda. Barulah pada abad 19, ilmuan eropa untuk pertama kali memanfaatkan energi angin untuk menciptakan listrik dan pada tahun 1979 industri pembangkit listrik tenaga angin didirikan di Denmark. Sejak saat itu pemanfaatan energi angin pun berkembang, penelitian untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas energi yang dihasilkan semakin banyak dan memberikan hasil yang signifikan. Jumlah energi yang dapat “dipanen” dari sumber daya alam ini pun meningkat tajam dari tahun ke tahun secara eksponensial. Hingga akhir tahun 2010 lalu saja, total kapasitas energi angin terpasang di dunia mencapai 194,4GW (Gambar 1), jumlah ini sama dengan peningkatan 22,5% dari pasar global tahunan. Industri ini telah membuka banyak lahan pekerjaan baru, lebih dari 400.000 orang terlibat dalam indsutri ini. Tidak hanya itu, subtitusi sebagian energi listrik yang didapat dari bahan bakar fosil dengan energi angin telah menyelamatkan bumi dari 158 juta ton CO2 tiap tahunnya. Lalu, bagaimana dengan potensi energi ini di Indonesia? Gambar 1 : Total kapasitas energi angin terpasang di dunia Potensi Energi Angin Indonesia Energi angin di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sumber energi terbarukan. Potensi ini bukan hanya pada besarnya nilai energi yang dapat dihasilkan namun juga akan memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Dalam beberapa tahun mendatang diperkirakan dapat menjadi sumber energi tumpuan bagi Indonesia. Pada tahun 2006 lalu, Presiden mengeluarkan dekrit presiden nomor 5 tahun 2006 yang berkaitan tentang Kebijakan Energi Nasional di tahun 2025 (Gambar 2). Dari keputusan tersebut dapat terlihat bahwa Indonesia berusaha untuk mengurangi ketergantungan energi dari sumber daya fosil yang semakin menipis. Namun skema pembagian energi ini pun masih terlihat bahwa 83% sumber energi bergantung dari energi fosil (minyak, batubara, dan gas), hanya sekitar 17% yang berasal dari sumber energi terbarukan termasuk energi angin (kurang lebih 1%). Pada tahun 2011 Perusahaan Listrik Negara (PLN) memprediksikan pertumbuhan listrik di Indonesia mencapai 5.500 MW pertahunnya. Angka tersebut sama dengan kapasitas total sebesar 100.000 MW pada tahun 2025 nanti. Gambar 2 : Skenario Sumber Energi Nasional 2025 Dengan skenario national perpaduan energi (energy mix) di atas, kebutuhan listrik yang disediakan dari energi angin dapat diperkirakan sebesar 1000 MW pada tahun 2025. Sedangkan menurut data World Wind Energi Association Report (WWEA 2010), kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga angin di Indonesia sebesar 1,4 MW yang tersebar di Nusa Penida (Bali), Bangka Belitung, Yogyakarta dan Pulau Selayar (Sulawesi Utara). Jumlah tersebut belum mencapai angka yang signifikan untuk memenuhi skenario energy mix 2025. Artinya pemerintah harus berusaha keras untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dengan kapasitas total 1.000 MW hingga 13 tahun mendatang. Jumlah ini bukanlah mustahil untuk dipenuhi jika kita melihat potensi energi angin yang tersebar di seluruh pesisir nusantara. Indonesia yang memiliki total garis pantai mencapai 81.000 km dengan kecepatan angin rata-rata 3-5 m/s, bahkan di beberapa tempat mencapai 10 m/s. Kemudian dari data cetak biru (blue print) Energi Nasional departemen ESDM, total potensi energi angin diperkirakan mencapai 9 GW. Angka ini merupakan suatu potensi besar jika dapat dimanfaatkan untuk menuai energi angin demi terciptanya ketahanan energi nasional dalam beberapa waktu ke depan. Gambar 3 : Peta Potensi Angin Indonesia Tantangan ke Depan Kendala terdahulu yang sering dijumpai ketika kita ingin membuat suatu pembangkit listrik tenaga angin adalah kecepatan angin di Indonesia yang sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di eropa utara dan amerika. Kemudian fluktuasi kecepatan angin tersebut sering kali membuat turbin bekerja tidak efektif. Namun hal ini dapat teratasi dengan teknologi generator dan konverter daya modern dimana dengan kecepatan angin yang sangat rendah pun, hanya sekitar 2,5 m/s, kita masih dapat menuai energi listrik secara optimal. Teknologi ini masih terus dikembangkan karena memiliki beberapa keunggulan, yaitu : 1. Tidak memerlukan sistem transmisi (gearbox) yang mengakibatkan rendahnya efisiensi turbin. 2. Sistem dapat digunakan pada kecepatan angin yang rendah sekalipun (2,5 – 3 m/s), sehingga efisiensi tinggi. 3. Pengendalian sistem dan pemeliharaan yang cenderung lebih mudah. Namun beberapa kendala umum yang sering muncul ketika ingin mengembangkan sistem ini juga ada yaitu sebagai berikut : 1. Belum banyak industry yang bermain di wilayah ini karena biaya investasi yang masih cenderung mahal. 2. Belum ada pemetaan spasial yang spesifik dan akurat, yang secara khusus dilakukan untuk menghitung potensi aktual tiap daerah. 3. Secara ekonomis, energi ini belum bisa bersaing dengan energi fosil. Catatan Redaksi: *Yudha Pratomo adalah mahasiswa penerima beasiswa unggulan Kemdiknas, Master Program of Electrical Engineering, Polytech de Nantes, Prancis. Melakukan penelitian tentang generator angin yang dapat digunakan pada kecepatan rendah. Loading Preview Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above. |