Adanya serangan terorisme di Jakarta tahun 2022 merupakan contoh kasus ancaman terhadap

Oleh: Mimin Dwi Hartono

Teror yang menyergap Jakarta pada 14 Januari 2016, pada Kamis pagi yang cerah, mencabik rasa aman dan ketenangan masyarakat. Setidaknya tujuh orang tewas, lima di antaranya diduga teroris, dan puluhan orang dilaporkan luka-luka akibat terkena ledakan bom dan tembakan.

Teror di jantung Kota Jakarta kali ini adalah yang terbesar setelah tragedi bom di Hotel JW Marriott dan di depan Kedubes Australia, yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengklaim sebagai otak di balik serangan tersebut.

Sebagaimana dalam berita dan foto yang beredar, salah satu pelaku melakukan aksi terornya dengan tenang, sebagaimana layaknya penjahat berdarah dingin. Pelaku menembak polisi dari arah dekat di tengah kerumunan massa, walaupun di sekelilingnya banyak polisi, setelah terjadi ledakan di pos polisi. Pelaku terus menjalankan aksinya dengan mengeluarkan tembakan dari depan sebuah kafe dengan tenang, sebelum kemudian diduga melakukan aksi bom bunuh diri.

Teror di jantung Kota Jakarta menyentak kita, dengan menyisakan pertanyaan, apa yang menjadi motif dan penyebabnya. Pendekatan hak asasi manusia (HAM) menekankan pada hal ini, yaitu mengiden tifikasi akar masalah yang memicu aksi terorisme, dari faktor sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Dengan demikian, kebijakan penanggu langan terorisme melalui deradikalisasi dapat berjalan efektif dan mengenai sasaran.

Kegagalan kebijakan penanggulangan terorisme, meskipun sudah dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), adalah bukan pada kurangnya wewenang lembaga tersebut dan regulasinya. Akan tetapi, di antaranya adalah kurangnya identifikasi akar masalah terorisme dan belum dibangunnya mekanisme pencegahan aksi teror secara komprehensif. Aksi teror yang masih terjadi adalah bukti masih gagalnya negara dalam memproteksi dan memenuhi hak atas rasa aman dan hak hidup.

Dengan demikian, dibutuhkan kualifikasi aparat dan lembaga negara yang dapat menjalankan kewajibannya memproteksi setiap orang secara maksimal, serta koordinasi dan sinergitas antarlembaga negara, seperti Polri, TNI, BIN, dan BNPT, dengan partisipasi masyarakat.

Adanya pola dan sasaran yang berubah dari pelaku teror, dari menyerang simbol- simbol negara asing, bergeser ke simbol negara seperti polisi, harus dikaji dan dicari tahu, apa motif, penyebab, dan pemicunya.

Teror tersebut jelas menampar kredibilitas aparat penegak hukum dan wibawa negara secara keseluruhan. Di depan mata publik dan di jantung ibu kota negara, pelaku teror menembak polisi tanpa rasa takut, dengan pesan untuk meneror simbol negara dan menyebarkan rasa takut.

Teror adalah musuh bersama bagi umat manusia sehingga menjadi kepentingan dan tugas bersama untuk memeranginya. Pendekatan terintegrasi antara negara, masyarakat sipil, dan aktor-aktor nonnegara, sangat dibutuhkan karena teror tidak akan selesai melalui langkah penindakan hukum semata, misalnya, hanya melalui Detasemen Khusus 88.

Teror telah merampas hak asasi manusia para korban dan masyarakat secara umum, khususnya hak untuk hidup, hak atas rasa aman, dan kemerdekaan dari rasa takut. Teror juga menyebabkan instabilitas suatu wilayah dan bangsa, membahayakan masyarakat, menjadi ancaman bagi perdamaian dan pembangunan, apalagi yang diserang adalah ibu kota negara seperti Jakarta dan Paris, beberapa waktu yang lalu.

Negara berkewajiban untuk melindungi setiap orang, di antaranya mengambil tindakan semaksimal mungkin dengan menggunakan sumber daya yang tersedia untuk meng adili para teroris dengan mengedepankan due process of law. Penanganan terorisme dengan cara dan pendekatan yang benar dan tepat, berbasis pada penghormatan dan perlindungan HAM, harus menjadi bagian penting dalam kebijakan dan program memerangi kejahatan terorisme yang semakin vulgar menunjukkan jati dirinya.

Pendekatan berbasis HAM harus berada pada setiap tahap dan penanganan terorisme, termasuk ketika terduga teroris menghadapi proses hukum di pengadilan. Pendekatan HAM menekankan bahwa penanganan atas kejahatan terorisme harus akuntabel. Mekanisme untuk menjamin adanya kontrol dan pengawasan publik harus dibangun dan dijalankan atas wewenang yang diberikan kepada negara dalam kebijakannya memerangi terorisme.

Perlakuan sewenang-wenang aparat negara harus dihentikan dan pelakunya harus diproses secara hukum. Kejadian salah tangkap yang beberapa kali dilakukan oleh Densus 88 harus dievaluasi dan menjadi pelajaran penting dalam penindakan hukum agar tidak kontraproduktif dalam memerangi terorisme.

Teror di Ibu Kota memberikan pesan penting bahwa diduga sel-sel terorisme makin kuat serta makin berani dan vulgar dalam menjalankan aksinya. Hal ini menjadi warning serius bagi pemerintahan Jokowi untuk mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan dan program memerangi terorisme, termasuk dengan mengacu pada norma dan standar hak asasi manusia agar akar masalah munculnya teror dapat diatasi secara terintegrasi dan pelakunya dapat dijerat dengan hukuman yang maksimal.

Dimuat: Harian Republika, 16 Januari 2016

Adanya serangan terorisme di Jakarta tahun 2022 merupakan contoh kasus ancaman terhadap

Adanya serangan terorisme di Jakarta tahun 2022 merupakan contoh kasus ancaman terhadap
Lihat Foto

Shutterstock

Ilustrasi Terorisme

KOMPAS.com - Aksi teror baru-baru ini kembali muncul di Indonesia. Kasus terbaru terjadi di Mabes Polri pada Rabu (31/3/2021).

Dalam video amatir dan rekaman CCTV yang disiarkan Kompas TV memperlihatkan terduga teroris berjalan dari arah pintu masuk pejalan kaki atau pintu belakang Mabes Polri yang memang untuk umum.

Menurut pemberitaan Kompas.com, (31/3/2021), dia melepaskan tembakan lalu polisi pun membalasnya hingga pelaku teror tersebut tewas di tempat.

Baca juga: Zakiah Aini, Lone Wolf, dan Mengapa Aksi Teror Terus Bermunculan?

Sebelumnya, sebuah ledakan terjadi di depan Gereja Katedral Makassar, Makassar, Sulawesi Selatan, pada 28 Maret 2021.

Pada akhirnya bom tersebut dinyatakan bom bunuh diri. Pasangan suami istri yang meledakkan bom meninggal di tempat.

Lantas, mengapa terorisme masih terjadi hingga kini?

Ketua Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme MUI yang juga Kaprodi Kajian Terorisme Muhammad Syauqillah menjelaskan, teroris yang muncul di Indonesia belakangan ini terdiri atas dua pola.

Pertama, berbentuk jaringan, seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang satu rumpun dengan ISIS dan Jamaah Islamiyah (JI).

Selain itu ada juga yang menggunakan metode lone wolf atau yang bergerak sendiri.

"Kita lihat memang kondisi yang ada saya lihat serangan teror itu lebih banyak beberapa tahun belakangan selain metode jaringan teror juga menggunakan metode lone wolf," kata Syauqillah kepada Kompas.com, Kamis (1/4/2021).

Baca juga: Evolusi Aksi Terorisme, dari Tempat Ibadah hingga Penusukan Wiranto

Adanya serangan terorisme di Jakarta tahun 2022 merupakan contoh kasus ancaman terhadap

Adanya serangan terorisme di Jakarta tahun 2022 merupakan contoh kasus ancaman terhadap
Lihat Foto

DICKY/ISMAWADI

Infografik kronologi bom Thamrin. Kompas/DICKY/ISMAWADI

JAKARTA, KOMPAS.com - Pada 14 Januari 2016, tepat lima tahun lalu, bom meledak disusul baku tembak antara teroris dan polisi di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.

Serangan teror yang terjadi pada Kamis siang, menelan korban jiwa dan luka-luka.

Kronologi teror

Ledakan terjadi sekitar pukul 10.39 WIB, di kedai kopi Starbucks persis seberang Mal Sarinah.

Diketahui, seorang pria yang kemudian teridentifikasi bernama Ahmad Muhazan menjadi pelaku bom bunuh diri di kedai kopi tersebut.

Baca juga: Jaksa: Sangat Naif kalau Aman Abdurrahman Menyatakan Tak Terlibat Bom Thamrin

Sesaat sebelum meledakkan bom yang dilekatkan pada tubuhnya, Ahmad sempat berusaha memegang tangan petugas satpam kafe bernama Aldi Tardiansyah (17).

Beruntung, Aldi selamat karena berhasil menghindar. Namun, ia terpental hingga 10 meter dan menghantam kaca di dalam Starbucks.

Aldi beserta pengunjung lainnya mengalami luka-luka akibat ledakan itu, sementara tubuh pelaku hancur.

Berselang 11 detik dari teror di Starbucks, ledakan lain terdengar di pos polisi dekat Gedung Sarinah.

Pelaku kemudian diketahui bernama Dian Juni Kurniadi. Dia melempar bom tabung sembari mengendarai sepeda motor.

Bom tersebut menggunakan saklar untuk mengaktifkannya.

Saat kejadian nahas tersebut, ada empat orang di sekitar pos polisi. Mereka adalah Ajun Inspektur Satu Denny Maheu yang tengah menilang Rico Hermawan (22) dan sepupunya, Anggun Kartikasari (24).

Satu orang lainnya adalah Sugito (43), seorang kurir barang yang sedang berjalan melewati pos polisi.

Akibat bom tersebut, Rico dan Sugito tewas dan Denny terluka parah. Sementara Anggun selamat.

Tak berhenti sampai di situ, sekitar pukul 10.48, penembakan terjadi di dekat Starbucks ketika polisi melakukan penutupan ruas Jalan Thamrin dan massa berkerumun.

Ada dua pelaku, yakni Sunakim alias Afif dan Muhamad Ali. Keduanya berjalan ke tengah jalan sambil membawa ransel berisi bom rakitan, lalu menembak ke arah polisi di lokasi.