3 perjanjian CAFTA yang disepakati Menteri perdagangan ASEAN China

Baru-baru ini beberapa perjanjian dagang telah dicapai antara Indonesia dan negara lain.

Perjanjian ini Indonesia raih baik melalui skema perjanjian banyak negara seperti Regional Comprehensive Economic Cooperation (RCEP) maupun skema satu negara seperti Generalized System of Preferences (GSP) dengan Amerika Serikat.

Kedua perjanjian ini memberikan dampak positif bagi perdagangan karena memberikan keringanan bea atau pajak masuk untuk barang dari Indonesia.

Perjanjian dagang adalah ikatan yang melibatkan dua atau lebih negara untuk menghilangkan hambatan dagang, baik hambatan tarif seperti pajak impor maupun non-tarif misalnya Standar Nasional Indonesia (SNI).

Perjanjian ini bisa dilakukan secara sepihak (unilateral), yakni pemberian kemudahan akses hanya oleh satu pelaku – misalnya dari negara maju kepada negara berkembang – dan secara timbal-balik (reciprocal) yakni pemberian kemudahan akses pada semua pihak yang terikat perjanjian tersebut.

Kesepakatan ini bisa dilakukan di tingkat multilateral seperti melalui World Trade Organisation (WTO) atau organisasi lainnya. Kesepakatan juga bisa melalui perjanjian bilateral (dua negara) ataupun regional (satu wilayah).

Menilik sikap aktif Indonesia terkait perjanjian dagang, penting untuk memahami apa dan bagaimana perjanjian dagang bekerja, alasan yang mendasari pembentukannya, dan bagaimana proses pemanfaatannya di Indonesia.

Perjanjian untuk mengurangi hambatan dagang

Ada beberapa alasan mengapa negara terlibat dalam perjanjian dagang.

Pertama, secara ekonomi, penghapusan hambatan dagang dianggap bisa meningkatkan efisiensi, menciptakan pasar baru, mengoptimalisasi rantai pasokan dan memberikan akses terhadap barang yang lebih murah.

Kedua, perjanjian dagang juga kerap dikaitkan dengan fungsi politik, khususnya dalam membentuk jejaring diplomasi, memperkuat aliansi dan mendorong kerja sama yang lebih luas di bidang lain.

Hingga kini, tercatat ada lebih dari 700 perjanjian dagang global yang telah dilaporkan kepada WTO, baik yang masih berlaku maupun tidak.

3 jenis perjanjian dagang

Dalam implementasinya, ada berbagai jenis perjanjian dagang.

Namun tiga bentuk yang paling umum adalah (1) preferential trading arrangements (PTA) atau pakta perdagangan antar negara, (2) free trade agreements (FTA) atau perjanjian perdaganan bebas, dan (3) comprehensive economic partnership agreements (EPA/CEPA) atau Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif.

PTA memberikan tingkat kemudahan atau preferensi dagang paling rendah yakni penurunan – bukan penghapusan – hambatan tarif dengan cakupan jenis barang dan waktu yang terbatas.

Contohnya Indonesia menandatangani PTA dengan Mozambik, memberikan penurunan tarif atau bea masuk sekitar 217 pos tarif kepada Indonesia, diantaranya produk perikanan, buah-buahan, minyak kelapa sawit, margarin, sabun, karet, produk kertas, alas kaki, dan produk tekstil.

PTA bisa dilakukan secara unilateral, semisal dalam bentuk Generalised System of Preferences (GSP) yang diberikan AS kepada Indonesia, atau PTA resiprokal antara dua negara atau lebih.

Adapun FTA memberikan penghapusan hambatan dagang secara bertahap dengan cakupan barang dan jasa yang lebih luas dari PTA.

Contohnya saja Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Free Trade Area (AFTA) yang membuat negara-negara di Asia Tenggara bisa saling berdagang tanpa dihalangi oleh bea masuk.

Sedangkan EPA/CEPA mencakup penghapusan hambatan dagang untuk sebagian besar barang dan jasa, serta mengatur kerja sama ekonomi lain seperti pergerakan tenaga kerja, investasi dan persaingan usaha.

Hingga kini, Indonesia tercatat paling banyak terlibat dalam FTA dan CEPA, dan saat ini hanya memiliki dua PTA resiprokal yaitu dengan Pakistan dan Mozambik.

Dalam perjanjian dagang model EPA/CEPA, Indonesia bisa melibatkan diri secara mandiri seperti dalam Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), atau secara kolektif melalui ASEAN, seperti pada ASEAN-China FTA (ACFTA).

Misalnya, Regional Comprehensive Economic Cooperation (RCEP) merupakan perjanjian kolektif via ASEAN yang bertujuan untuk mengkonsolidasi berbagai FTA terdahulu yang sudah dimiliki ASEAN dengan mitra yang sama.

Sebelum RCEP, ASEAN telah memiliki 6 FTA lain dengan negara-negara inisiator RCEP yakni Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan India.

Pada dasarnya, RCEP diharapkan bisa mengurangi kompleksitas perjanjian dagang di kawasan Asia, yang ditandai dengan fenomena noodle bowl, yakni banyaknya perjanjian dagang yang tumpang tindih di kawasan ini.

Hingga kini, Asia memiliki 268 perjanjian dagang, baik yang telah berlaku maupun masih dalam tahap negosiasi.

Ini pun kerap dilakukan dengan mitra yang sama, seperti Indonesia yang memiliki tiga skema perjanjian dagang dengan Jepang yakni melalui RCEP, ASEAN-Japan CEP dan Indonesia-Japan CEPA (IJEPA).

Dalam praktiknya, RCEP tampaknya belum akan mereduksi kompleksitas ini mengingat pemberlakuan RCEP tidak mencabut perjanjian dagang terdahulu sehingga RCEP hanya menambah – bukan mengganti – jaringan perjanjian dagang di Asia.

Manfaat dan penggunaan perjanjian dagang Indonesia

Secara ekonomi, manfaat dari perjanjian dagang biasanya diukur secara makro melalui proyeksi peningkatan ekspor, penambahan angka domestik bruto atau peningkatan pertumbuhan negara.

Angka-angka ini selalu menjadi patokan utama ketika membicarakan perjanjian dagang. Namun sayangnya, ukuran ini kerap mengabaikan satu komponen penting, yakni angka utilisasi dari perjanjian dagang.

Angka utilisasi preferensi dagang mengacu kepada persentase nilai ekspor/impor yang memanfaatkan perjanjian dagang relatif terhadap keseluruhan nilai ekspor/impor.

Semakin tinggi angka ini, berarti semakin efektif perjanjian dagang tersebut.

Sayangnya, Indonesia tidak menerbitkan data ini, sehingga sulit menilai efektivitas riil dari perjanjian dagang dengan negara lain.

Namun, sebuah riset menemukan bahwa rata-rata tingkat utilitas pakta dagang dan ekonomi komprehensif oleh pengusaha ekspor dan impor Indonesia hanya sekitar 30%.

Hal ini juga diperparah dengan adanya kecenderungan perjanjian tersebut hanya menguntungkan industri besar, karena Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tidak banyak mengakses perjanjian dagang ini.

Sebagai perbandingan, angka rata-rata utilisasi atau penggunaan FTA Singapura berada di kisaran 68% dan Uni Eropa di angka 77,4%. Ini berarti lebih dari setengah nilai ekspor/impornya telah memanfaatkan perjanjian dagang.

Rendahnya angka utilisasi ini menunjukkan problem mendasar dalam politik dagang Indonesia, yakni tidak terkoneksinya pemerintah dengan pelaku usaha, khususnya UMKM.

Kementerian Perdagangan telah mendirikan FTA Center sejak 2018 untuk mendorong angka utilisasi ini, namun hasilnya pun belum maksimal.

Karena itu, pemerintah perlu memperbesar keterlibatan bisnis, khususnya UMKM, bukan hanya pasca perundingan, namun juga selama proses perumusannya.

Selain itu, melihat isi perjanjian dagang yang semakin kompleks, seperti isu tenaga kerja, perlu ada partisipasi publik yang lebih luas untuk mendorong akuntabilitas dan manfaat dari perjanjian-perjanjian dagang ini.

If so, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. With the latest scientific discoveries, thoughtful analysis on political issues and research-based life tips, each email is filled with articles that will inform you and often intrigue you.

Editor and General Manager

Find peace of mind, and the facts, with experts. Add evidence-based articles to your news digest. No uninformed commentariat. Just experts. 90,000 of them have written for us. They trust us. Give it a go.

If you found the article you just read to be insightful, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. Each newsletter has articles that will inform and intrigue you.

Komentari artikel ini

3 perjanjian CAFTA yang disepakati Menteri perdagangan ASEAN China

3 perjanjian CAFTA yang disepakati Menteri perdagangan ASEAN China

CAFTA (China – ASEAN Free Trade Agreement) merupakan perjanjian antara Cina dan negara – negara ASEAN mengenai penjualan – penjualan produk Cina di ASEAN. Perjanjian ini diberlakukan pada tahun 2010 di Indonesia yang berlaku pada negara – negara anggota Cina dan ASEAN. CAFTA merupakan sebuah kesepakatan perdagangan bebas antara Cina dan negara – negara ASEAN terutama Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand,  Brunesi Darussalam dan Filipina. Terdapat pro dan kontra dikalangan masyarakat mengenai penerapan CAFTA ini. Para pengusaha Indonesia merasa resah akan adanya regulasi CAFTA karena berdampak pada matinya usaha – usaha kecil dan menengah karena kalah bersaing dengan barang – barang dari Cina.

Sejarah CAFTA

Sebelum disepakatinya CAFTA, negara – negara ASEAN sudah pernah mendeklarasikan AFTA (ASEAN Free Trade Agreement) dengan anggota 10 negara dari ASEAN. Pada tahun 2006, Cina dan ASEAN menandatangani perjanjian CAFTA. CAFTA mulai berlaku sejak tahun 2010 untuk 6 negara ASEAN diantaranya Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand dan Filipina dan pada tahun 2015 menyusul Kamboja, Myanmar, Laos dan Vietnam. Perjanjian CAFTA dimaksudkan untuk mendongkrak perekonomian negara – negara ASEAN dan Cina dengan meluasnya perdagangan ke seluruh ASEAN dan Cina dengan tarif pajak yang sangat kecil.

Pro Kontra CAFTA

Mengenai pemberlakuan CAFTA di Indonesia terdapat pro dan kontra. Pihak yang pro berpandangan bahwa dengan adanya free trade agreement akan meningkatkan ekspor Indonesia ke negara – negara lain dengan biaya yang murah. Sedangkan pihak yang kontra dengan adanya CAFTA memandang bahwa adanya CAFTA akan berpotensi mengubah pengusaha kecil menjadi pedagang serta akan banyak industri kecil yang gulung tikar dengan diberlakukannya CAFTA ini.

Dampak CAFTA

Dampak Postif :

  • Dengan diberlakukannya CAFTA bisa diprediksikan barang – barang maupun jasa dari Indonesia akan lebih mudah masuk kedalam pasar domestik Cina. Produk seperti kakao, minyak kelapa, dan lain lain akan lebih mudah dibeli konsumen dari Cina sebab lebih kompetitif. 
  • Bisa dijadikan motivasi bagi Indonesi untuk lebih membangun masyarakat yang lebih produktif dan kreatif serta mandiri seara ekonomi. 

Dampak negatif CAFTA

  • Meningkatnya PHK dan pengangguran pada sektor industri akibat kalah bersaing dengan barang – barang dari Cina. Adanya penghematan tenaga kerja berimbas pada pemecatan dan angka pengangguran naik, padahal industri merupakan sektor kedua terbesar setelah pertanian dalam penyerapan tenaga kerja. 
  • Matinya usaha kecil menengah akibat kalah bersaing dengan barang – barang buatan Cina. 
  • Ketergantungan Indonesia pada barang – barang dari Cina semakin besar. 
  • Karena impor barang lebih mudah, volume impor menjadi naik sehingga menghabiskan devisa negara. Imbasnya kurs rupiah menjadi anjlok. 
  • Melemahnya industri manufaktur Nasional.

Solusi permasalahan CAFTA 

  • DPR berencana membuat Panja (Panitia Kerja) DPR berencana membuat Panja untuk membahas renegosiasi implementasi perdagangan bebas CAFTA. Pembentukan Panja dimaksudkan untuk sektor – sektor yang tidak siap menghadapi CAFTA. Panja tidak dimaksudkan untuk pembatalan, tetapi penundaan terhadap sektor – sektor yang belum siap bersaing.
  • Pembentukan Balai Pelatihan Promosi Export DaerahDi beberapa daerah telah dibentuk Balai Pelatihan Promosi Export Daerah seperti di Makasar Surabaya, Medan dan Banjarmasin. Balai pelatiahan ini nantinya akan dapat meningkatkan kapasitas ekspor ke berbagai negara. Balai pelatihan ini ditujukan kepada UKM masyarakat dan mahasiswa. 
  • Bantuan Mesin Produksi dan Pelatihan,
    Dinas Perindustrian dan Perdanganan di Surabaya telah memberikan bantuan mesin produksi kepada 4000 mikro kecil dan menengah UMKM di Surabaya. Penggunaan mesin ini dapat mengurangi biaya produksi. Dengan murah biaya produksi akan berimbas pada penurunan harga barang. Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga melakukan pelatihan kepada 4000 UMKM. Pelatihan dibagi kedalam 20 bidang industri. Dimana setiap industri ada sebanyak 200 peserta. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan UMKM sesuai jenis usahanya. 

 Karena telah terlanjur terjadi kesepakatan, maka solusi dari permasalahan CAFTA diantaranya :

  1. Meningkatkan daya saing produk lokal
    Produk Cina memiliki kelebihan harga yang murah dan kualitas yang lebih baik daripada produk lokal. Meningkatkan daya saing produk lokal sangat diperlukan dalam rangka menghadapi CAFTA. Peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan cara meningkatkan mutu dan kualitas produk lokal seperti desain produk sesuai dengan kegemaran konsumen, up to date, membuat publikasi yang gencar kepada masyarakat sehingga masyarakat lebih mengenal produk lokal dibanding produk Cina, membuat inovasi – inovasi terbaru yang dapat menyaingi produk Cina.
  2. Menyiapkan SDM yang bermutu
    Produksi barang yang murah dan berkualitas tidak akan tercapai apabila SDM yang dimiliki berkualitas rendah. Maka sangat diperlukan peningkatan SDM dengan cara pengadaan pelatihan – pelatihan.
  3. Realisasi Undang – Undang Perlindungan bagi Produsen dan UMKM di Indonesia.
    Dengan realisasi undang – undang mengenai perlindaungan UMKM diharapkan para pelaku UMKM akan merasa benar – benar aman dan tidak khawatir akan dirugikan CAFTA.
  4. Membuat kebijakan untuk distributor agar tidak mendistribusikan barang impor secara berlebihan
    Penyebaran produk – produk Cina di Indonesia tidak terlepas dari para distributor yang mengimpor barang dari Cina dengan volume yang banyak. Dampaknya adalah barang – barang dari Cina membanjiri pangsa pasar di Indonesia dan mengancam produk lokal. Pemerintah dapat membuat kebijakan mengenai pembatasan distribusi barang impor agar tidak berlebihan.
  5. Mensosialisasikan cinta produk lokal
    Masyarakat akan lebih memilih produk lokal apabila masyarakat tau keberadaan produk tersebut. Maka dari itu sangat diperlukan adanya sosialisasi produk produk di tempat – tempat strategis seperti melalui baliho, pamflet, sosial media dan lain – lain. Dengan adanya sosialsiasi ini diharapkan masyarakat akan lebih tau dan memilih membeli produk lokal daripada impro.