Tujuan yang ingin diwujudkan oleh gereja oikumene di Indonesia adalah

Tujuan yang ingin diwujudkan oleh gereja oikumene di Indonesia adalah

Pertemuan VIII: Oikumene

Gerakan Oikumene di Indonesia, Beberapa Perkembangan dan Konteksnya

Disampaikan pada Seminar “Menelaah gerakan oikumene di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan”. Diselenggarakan oleh Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Jakarta bekerja-sama dengan Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Distrik XXVIII DKI Jakarta, 14 Mei 2013.

Zakaria J. Ngelow

Selamat Ulang Tahun ke-67 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, semoga Tuhan memberkati semua gereja yang berkomitmen mewujudkan keesaan dalam visi, misi dan aksi gereja.

Beberapa Rangkuman Awal:

1. Gerakan ekumene di Indonesia terkait gereja-gereja Protestan yang berbeda dari 3 latar belakang: (a) Indische Kerk (gereja pemerintah kolonial) menjadi gereja-gereja teritorial – mula-mula empat, kini 12 “gereja bagian”); (b) gereja-gereja hasil pekerjaan zending – yang dibentuk sebagai gereja etnis (Batak, Toraja, Tionghoa, dll) atau teritorial (Poso, Papua, Sumba, Bali, Dayak, dsb); dan (c) gereja-gereja denominasi (Pentakosta, Metodis, Mennonit, dsb). Wawasan Alkitab mengenai kepelbagaian tubuh Kristus sesuai dengan karakter dasar gerakan ekumene di Indonesia, yakni keesaan dalam kepelbagaian: saling mengakui dan menerima dalam kepelbagaian, bukan penyeragaman atau pemaksaan suatu format eklesiologi bagi semua.

2. Dalam perkembangannya berhadapan sayap-sayap ekumenis dan corak evangelikal, yang kemudian mendapat pengaruh gerakan kharismatik, serta fenomena mega churches.

3. Gerakan ekumene muncul dalam semangat penginjilan (baca kristenisasi) yang tinggi kalangan gereja-gereja di Barat (Amerika Utara, Eropa Barat), tetapi kemudian lebih pada gerakan pelayanan untuk keadilan, perdamaian dan kesejahteraan masyarakat serta kelestarian lingkungan, sesuai agenda global.

4. Konteks nasional awal gerakan ekumene di Indonesia – yang dilembagakan dalam DGI -- adalah pergerakan nasional dan kemerdekaan Indonesia, karena itu tujuan gerakan ekumene menjawab nasionalisme Indonesia: menjadi satu gereja di tengah bangsa Indonesia. Dalam perkembangan kemudian, gerakan ekumene di Indonesia berfokus pada panggilan sosial sesuai konteks pembangunan dan reformasi Indonesia.

5. Gerakan ekumene sedunia, khususnya DGD juga memberi perhatian pada masalah-masalah sosial kemanusiaan dan ciptaan. SR X di Busan Korea akhir tahun ini terus menggumulinya melalui tema “Allah kehidupan, pimpinlah kami pada keadilan dan perdamaian”.

6. Dalam PGI gerakan ekumene berusaha menggabungkan pendekatan struktur dengan pendekatan fungsi gereja, dalam rumusan (Lima) Dokumen Keesaan Gereja -- sejak 1984—dengan titik berat pada visi dan misi bersama gereja-gereja. Sayangnya dokumen monumental ini justru tidak dikenal secara luas baik kalangan pimpinan, apalgi warga gereja. Gerakan ekumene disandra para elit gereja menjadi agenda sidang atau konsultasi. Gerakan ekumene seharusnya merupakan aktivitas lokal persekutuan-persekutuan Kristen akar rumput setempat, baik dalam ibadah/perayaan bersama, maupun dalam pelayanan sosial. Keesaan gereja bukan tanggungjawab MPH PGI semata, melainkan terutama bergantung pada komitmen gereja-gereja anggota dan jemaat-jemaatnya.

7. Konteks kontemporer global gerakan ekumene adalah pergeseran gereja-gereja dari Utara (Eropa, Amerika) yang relatif kaya ke Selatan/Dunia ketiga yang relatif miskin. Hal ini berpengaruh pada gerakan ekumene, baik padal fokus concern maupun aspek finansil.

Tiga Latar Belakang

Agama Kristen diduga sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke-7, berupa kekristenan Nestorian yang berkembang dari Palestina ke India dan Cina. Tidak ada kesinambungan dengan gereja yang kemudian disebarkan oleh para rohaniwan Katolik Portugis dan Spanyol pada abad ke-16, dan kemudian oleh kalangan Protestan Belanda sejak abad ke-17. Khusus untuk gereja-gereja Protestan di Indonesia, salah satu latar belakangnya adalah “pengalihan” jemaat-jemaat Roma Katolik di Indonesia bagian Timur (kecuali Flores) menjadi jemaat-jemaat Protestan Calvinis setelah Belanda memenangkan pertarungan menguasai Nusantara melawan Portugis pada awal abad ke-17. Jemaat-jemaat ini, yang terdiri dari orang-orang Belanda dan orang asing lainnya, dan penduduk pribumi yang di-kristen-kan, merupakan jemaat-jemaat jauh Gereja Protestan Belanda, dan sesuai keadaan masa itu menjadi tanggungjawab pemeliharaan VOC, badan dagang Belanda yang berkuasa di Nusantara. Setelah VOC dibubarkan karena bangkrut oleh korupsi pada akhir abad ke-18, pemerintah Kerajaan Belanda mengabil tanggungjawab atas jemaat-jemaat Protestan di Indonesia dan membentuk sebuah gereja yang menyatukan semua kelompok Protestan di Indonesia, menjadi Het Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie, disingkat Indische Kerk. Gereja ini dibentuk dan dijalankan oleh pemerintah kolonial sebagai bagian dari administrasi pemerintah kolonial.

Hakekatnya lebih sebagai departemen pelayanan agama Kristen, daripada sebagai sebuah gereja. Tidak berlaku sistem presbiterial-sinodal Kalvinis, melainkan birokrasi kolonial. Proses pemandirian Indische Kerk dari pemerintah kolonial baru berhasil pada Sinode Am ke II tahun 1933 (yang pertama tahun 1916), dalam bentuk pelembagaan gereja-gereja teritorial Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM, 1934), Gereja Protestan Maluku (GPM, 1935), Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT, 1947), dan jemaat-jemaat di luar ketiga wilayah itu menjadi Gereja Prostestan di Indonesia bagian Barat (GPIB, 1948). Tetapi Indische Kerk – yang dikenal sebagai Gereja Protestan Indonesia (GPI), tidak dibubarkan, tetap ada sebagai suatu sinode gerejawi tanpa jemaat sendiri, dan menjadi salah satu anggota PGI. Kini dalam lingkungan keluarga GPI terdapat 12 “gereja bagian”. Pada awalnya gereja-gereja ini menjalankan keesaan dalam keseragaman, yakni tata gereja dan liturgi (serta pengakuan) yang sama.

Latar bekalang kedua gereja-gereja Protestan di Indonesia adalah pekerjaan badan-badan zending, khususnya dari Negeri Belanda (Calvinis) dan dari Jerman (Lutheran), yang masuk ke Indonesia sejak abad ke-19. Kebijakan pembatasan oleh pemerintah kolonial membawa mereka ke wilayah-wilayah pedalaman menginjili masyarakat yang belum di-islam-kan dan dianggap masih kafir. Demikianlah zending bekerja dan membentuk jemaat-jemaat menjadi gereja di daerah-daerah Bali, Batak, Dayak, Halmahera, Nias, Papua, Poso, Sangir, Sumba, Talaud, Tolaki, Toraja. Dan sekalipun dilarang oleh pemerintah kolonial, Injil menemukan jalannya ke dalam kalangan orang Jawa (di Jawa Timur, Jawa Tengah), dan orang Sunda di Jawa Barat, serta di kalangan etnis keturunan Tionghoa. Umumnya gereja-gereja hasil pekerjaan zending ini menjadi gereja suku atau menjadi gereja daerah, sebagaimana nampak pada nama-nama gereja: BNKP, HKBP, GBKP, GKJ, GKS, GKI Papua, GKST, GMIH, Gereja Toraja, dll. Gereja-gereja Protestan di Indonesia, baik dari latar Indische Kerk, maupun zending baru mulai diorganisasikan sebagai sinode gereja-gereja yang berdiri sendiri dan kepemimpinan gereja di kalangan orang Indonesia baru mulai dirintis sejak tahun 1930.

Latar belakang ketiga adalah kekristenan denominasi yang umumnya berasal dari Amerika Utara (dan Inggeris), yang umumnya masuk pada abad ke-20. Jemaat-jemaat Pentakosta, Kemah Injil, Metodis, Adven, Bala Keselamatan termasuk pada latar belakang ini. Dengan pengecualian Kemah Injil dan BK, gereja-gereja denominasi mulanya merupakan fenomena kota.

Latar belakang historis gereja-gereja Indonesia yang demikian memperlihatkan bahwa sejak awal gereja-gereja bertumbuh sendiri-sendiri di tengah-tengah masyarakat yang relatif terisolasi satu dengan yang lain. Baru kemudian, oleh pengaruh pergerakan nasional, muncul semangat nasionalisme, yang turut mempengaruhi cita-cita untuk menjadi gereja yang esa di tengah-tengah bangsa Indonesia. Perkembangan itu memperlihatkan bahwa gerakan ekumene bukan dalam kerangkan rekonsiliasi, sebagaimana di Eropa dan Amerika, melainkan memuarakan bersama sejarah gereja-gereja dalam suatu visi “gereja yang esa di Indonesia”.

DGI, PGI

Usaha untuk bekerjasama di kalangan zending sudah berlangsung sejak tahun 1880-an, dan menjadi lebih gencar sejak konferensi pertama pekabaran Injil sedunia (IMC) tahun 1910 di Edinburgh. Sesuai perkembangannya, gerakan ekumene di Indonesia mula-mula diarahkan untuk kerjasama antara badan-badan zending. Setelah beberapa gereja berdiri, digagas kelembagaan ekumenis beranggotakan badan-badan zending dan gereja. Tetapi akhirnya pada bulan Mei 1950 dibentuk Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI). Pembentukan DGI dimotori oleh para pemimpin gereja dan zending dari Indonesia bagian Timur, yang melanjutkan usaha membentuk suatu wadah ekumenis pada akhir tahun 1930-an. Gagasan membentuk suatu wadah ekumenis di Indonesia mengemuka setelah beberapa tokoh Kristen Indonesia menghadiri Konferensi IMC III di Edinburgh (tahun 1937); namun pembentukannya tertunda karena pendudukan Jepang. Semangat berekumene di Indonesia masa itu didorong oleh beberapa faktor. Selain pengaruh gerakan ekumene sedunia -- yang mengambil bentuk kerjasama di bidang penginjilan (IMC), pelayanan (Life and Work), dan ajaran (Faith & Order) – gerakan mahasiswa Kristen dalam WSCF patut disebut, khususnya kepercayaan kepada CSV op Java untuk menyelenggarakaan konferensi Asia dan Australia WSCF pada tanggal 9-14 September 1934, yang memberi perhatian pada panggilan Kristen di tengah pergolakan nasional negara-negara Asia. Banyak bentara ekumenis Indonesia bahkan dunia adalah kader-kader gerakan mahasiswa Kristen pada zaman kolonial itu. Sayangnya, dewasa ini pelayanan mahasiswa Kristen di kampus-kampus ditengarai lebih merupakan pembinaan rohani yang kurang memberi perhatian pada panggilan ekumenis. Yang juga bermakna penting bagi gerakan ekumene di Indonesia adalah pembukaan HTS (Hoogere Theologische School, kini STT JAKARTA) di Bogor pada tanggal 9 Agustus 1934. Para lulusan pendidikan teologi ini mengambil alih kepemimpinan gereja dari kalangan zending, dan memungkinkan kemandirian gereja-gereja Indonesia.

Pada bulan Maret 1947 Konferensi Gereja dan Zending di Malino membentuk Majelis Keristen Indonesia bagian Timur sebagi cabang badan ekumenis nasional yang akan dibentuk. Sementara itu suatu badan ekumenis lainnya dibentuk di Yogyakarta oleh para pemimpin gereja-gereja Jawa dan Tionghoa. Setelah suatu pertemuan pada tahun 1946 di Jakarta, tokoh-tokoh kedua badan ekumenis regional ini, al. Ds. Rumambi, Ds. R.M. Luntungan, Ds. S. Marantika, Ds. B. Probowinoto, Mr. M. Tamboenan, mengajak Ds.T. Sihombing dan Ds.H. Dingang (masing-masing mewakili gereja-gereja Sumatera dan Kalimantan), menghubungi sejumlah tokoh gereja di Jakarta (al. Dr. J. Leimena. Dr. T.S.G. Moelia, Ds. B.A. Supit, dr.J.E. Siregar, Mr. A.L. Fransz) untuk membentuk suatu badan ekumenis nasional. Suatu panitia ditunjuk dan setelah beberapa tahun – di tengah-tengah pergolakan perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan – mereka berhasil membentuk Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), pada tanggal 25 Mei 1950 di gedung gereja GPIB Paulus, Jakarta Pusat.

Dapat diakui bahwa setelah 60 tahun wadah ekumene ini dibentuk, cukup banyak kemajuan yang telah dicapai. Gereja-gereja saling mengakui dan saling menerima sebagai gereja, sekalipun masih ada gereja yang menjadi predator warga gereja-gereja lain. Tetapi makin banyak pula gereja menjadi anggota PGI, yang rupanya berkaitan dengan menguatnya kecenderungan “memekarkan” persekutuan sinodal dan membentuk sinode-sinode baru. Konflik internal berlangsung pada aras jemaat, sinode dan bahkan antargereja. Sementara itu sayap-sayap ekumenis dan injili-kharismatik makin berbeda orientasinya.

Panggilan Bersama

DGI dibentuk dalam semangat nasionalisme Indonesia: kesatuan gereja-gereja di tengah-tengah kesatuan bangsa Indonesia. Sebab itu tujuan DGI adalah membentuk gereja yang esa di Indonesia. Para pemimpin gereja dari latar belakang Indische Kerk (GPI) bahkan sempat menawarkan suatu format keesaan yang dikenal sebagai keesaan jeruk, sebagaimana GPI dan gereja-gereja bagiannya: gereja-gereja yang sama (iman, tata gereja dan liturginya) dan menyatu dalam kemandirian masing-masing. Pendekatan penyeragaman – yang bertolak dari keesaan struktural-- dicoba lagi menjelang Sidang Raya DGI VI tahun 1967 di Makassar, dengan konsep Sinode Gereja-gereja di Indonesia (SINOGI) dan Pemahaman Iman Bersama (PIB), namun belum dapat diterima. Pendekatan lain, yang mulai memberi perhatian pada misi gereja, akhirnya melahirkan Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) pada Sidang Raya X di Ambon (1984): PBIK, PTPB, PSMSM, TD PGI, KTD2. Kelima dokumen ini berporos pada keesaan fungsi gereja melalui kesepakatan memahami dan melakukan misi bersama (PTPB) gereja-gereja di Indonesia, dan dalam kesadaran untuk saling menerima dan saling mengakui sebagai sesama gereja Tuhan dalam kepelbagaiannya – sebagaimana ditetapkan dalam Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM). Sejumlah praktek antargereja, seperti pertukaran mimbar, perjamuan kudus bersama, perayaan natal bersama, pemberkatan nikah, dan berbagai pelayanan gerejawi lainnya dianggap bentuk-bentuk saling mengakui dan saling menerima. Tetapi memang ada gereja-gereja anggota PGI yang juga tidak menjalankan kesepakatan-kesepakatan ekumenis itu. Masih ada gereja-gereja yang tidak mengakui dan bahkan “mengambil” warga gereja-gereja lain. Persoalan muncul, misalnya, oleh pembentukan jemaat dari suatu gereja di wilayah yang diklaim oleh gereja lain sebagai wilayah kekuasaannya. Dalam hal ini pemahaman gereja territorial berhadapan dengan pemahaman gereja etnis, atau dengan gereja denominasi. HKBP atau Gereja Toraja, misalnya, mengikuti perantauan warganya di seluruh Indonesia bahkan sampai di luar negeri; sementara gereja-gereja seperti GPM atau GKST membatasi diri pada wilayah tertentu. Kesepakatan-kesepakatan dilakukan, misalnya antara Gereja Toraja dengan GKI Papua untuk tidak mendirikan jemaat-jemaat Gereja Toraja di Papua, namun kesepakatan seperti itu tidak lagi dipertahankan di Sulawesi Tenggara. Dalam kaitan itu, penting mengembangkan prinsip keesaan dalam kepelbagaian, bahwa pandangan suatu gereja tidak mutlak mengikat gereja lain; dan dalam hal adanya perbedaan perlu percakapan-percakapan untuk mencapai kesepakatan tertentu. Menjadi satu tubuh dengan banyak anggota yang berbeda-beda (Rm 12: 4,5) mengandaikan adanya tempat bagi perbedaan dalam kesamaan dan kebersamaan.

Juga disepakati Pemahaman Iman Bersama (Dokumen PIB). Aspek kesatuan kelembagaan juga diberi perhatian dengan meningkatkan hakekat kelembagaan dari dewan menjadi persekutuan: DGI menjadi PGI, sebagaimana diatur dalam salah satu dokumen, Tata Dasar PGI. Dengan menjadi persekutuan maka DGI telah sampai pada tujuan maksimum kelembagaan (visible unity) yang dapat dicapai dalam persekutuan gereja-gereja. Hanya dalam satu hal kelembagaan persekutuan ini masih dapat ditingkatkan, yakni menjadikan keputusan-keputusan persidangannya (SR PGI, Sidang MPL PGI) bersifat mengikat semua anggota secara hukum, bukan hanya mengikat “secara moral dan etika”.

Dokumen yang juga strategis adalah dokumen KTD2: Kemandirian Teologi, Daya dan Dana. Dalam dokumen ini diungkapkan pokok-pokok permasalahan utama gereja-gereja di Indonesia: pengembangan teologi, pembinaan sumber daya manusia, dan pengembangan sumber dana. Sekalipun gereja Protestan di Indonesia sudah ada sejak abad ke-17, pendidikan tinggi teologi bagi orang Indonesia baru dimulai tahun 1934, dan pengembangan teologi kontekstual baru pada tahun 1970-an. Maka kekristenan di Indonesia sampai tahun 1980-an belum mengembangkan pemikiran teologi yang khas, berbeda dengan India, Cina dan Jepang yang sudah sejak awal abad ke-20 menampilkan para teolognya dengan pemikiran-pemikiran yang berakar dalam konteks mereka. Khusus menyangkut sumber dana, banyak gereja yang tidak siap menghadapi kenyataan berakhirnya dukungan finansil dari lembaga-lembaga zendingnya. Sementara itu, beberapa gereja yang mampu tidak memperlihatkan usaha-usaha serius membantu gereja-gereja tetangganya. Di lain pihak jemaat-jemaat seakan berkompetisi membangun gedung-gedung gereja yang megah dan berbiaya mahal.

(L)DKG pada intinya memperlihatkan keesaan gereja yang nyata dalam kesatuan iman (PBIK), kepelbagaian gereja-gereja dalam pelayanan (PSMSM/OG), misi bersama (PTPB) sebagai gereja, dan struktur organisasi (TD PGI). Dokumen-dokumen ini direvisi dan ditetapkan pada setiap Sidang Raya PGI. Pada beberapa versi terakhir dokumen KTD2 ditiadakan, entah mengapa, namun jelas bukan karena gereja-gereja sudah berhasil dalam ketiga bidang kemandirian itu. Maka kini disebut Dokumen Keesaan Gereja (DKG). Suatu dokumen lain ditambahkan pada awal, yakni dokumen Prasetya Keesaan Gereja, sedangkan dokumen PSMSM diganti menjadi Oikoumene Gerejawi. Adanya DKG ini mungkin dapat dianggap prestasi gerakan ekumene di Indonesia, namun kenyataannya masih sebatas naskah yang tidak menjadi acuan atau program di lapangan, elitis dan tidak ada usaha-usaha serius memperkenalkan dan menjalankan isinya di kalangan gereja-gereja anggota. Kesenjangan ini mungkin dapat diatasi dengan melakukan revisi dari bawah. Proses dari bawah bukan sekadar menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dari wilayah-ke wilayah di mana tim pakar dari pusat memperkenalkan dan mendiskusikan tema-tema pokok kepada para pemimpin gereja lokal, melainkan proses berbagai menemukan bersama gagasan-gagasan yang muncul dalam pengalaman dan pergumulan pelayanan gereja-gereja lokal.

Pendekatan elitis lainnya nampak dalam penyelenggaraan berkala Konferensi Gereja dan Masyarakat. Sejak tahun 1960 para pemimpin gereja, wakil-wakil lembaga-lembaga Kristen – termasuk kalangan kampus dan para teolog, dan dengan difasilitasi para pakar tertentu – bersama-sama berusaha setiap kali membaca tanda-tanda zaman dan kemudian menggariskan sikap dan usul-usul bagi respon gereja. Pada zaman Orde Baru peran alm. T.B. Simatupang sangat menonjol dalam mengarahkan DGI dan gereja-gereja untuk “berpartisipasi dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila”, mengikuti prinsip-prinsip positif, kritis, kreatif, realistis. Pada alur ini gerakan keesaan gereja mengambil jalan aman mendukung pemerintah, tidak menapak jalan martir para nabi. Bahkan sampai sekarang di lapangan banyak pimpinan gereja terus berusaha mengembangkan hubungan-hubungan manis dengan para penguasa, dan menutup mata terhadap berbagai pelanggaran.

Keesaan gereja sebagai gerakan tidak hanya elitis pada pendekatannya yang cenderung dari atas ke bawah, melainkan juga lebih merupakan kegiatan para pimpinan gereja pada lingkup sinode di aras wilayah, nasional, atau global. Itu pun lebih dalam bentuk konsultasi, konferensi dsb, yang hasil-hasilnya tidak dibawa pulang untuk ditindaklanjuti di jemaat-jemaat lokal. Berekumene menjadi identik dengan rapat atau konferensi di kalangan para pemimpin gereja. Kegiatan-kegiatan gerejawi lebih sebatas masing-masing gereja. Jarang kegiatan lintas jemaat atau lintas gereja. Pada hal idealnya gerakan ekumene merupakan gerakan lokal misi dan pelayanan bersama persekutuan-persekutuan Kristen yang berbeda; baik gerakan yang bersifat pelayanan ke dalam maupun keluar. Dalam kaitan ini peranan organisasi intra dan ekstra gerejawi – termasuk organisasi Kristen di dunia pendidikan tinggi, seperti pelayanan mahasiswa-- bersifat strategis. Sayangnya bahwa di banyak perguruan tinggi gereja-gereja tidak berusaha menangani pelayanan mahasiswa secara serius. Mungkin pendeta mahasiswa tidak ada lagi, dan di belakang itu tidak ada gereja yang mau atau mampu menyediakan dana pendukungnya. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, yang dulu menjadi ajang pengkaderan para pemimpin Kristen ekumenis sudah lama tersisih oleh wadah pelayanan mahasiswa Kristen dengan orientasi yang berbeda, yang terutama menekankan kesalehan vertikal.

Empat Agenda

Pada beberapa tahun terakhir, suatu upaya yang bertolak dari pergumulan gereja-gereja untuk mengidentifikasi dan mengatasi tantangan bersama gereja-gereja dilakukan oleh pimpinan gereja-gereja mitra Gereja Protestan Belanda (PKN, Protestantse Kerk in Nederlands), yang juga anggota PGI. Pertemuan para pimpinan gereja ini mengidentifikasi dan menetapkan empat agenda pergumulan bersama gereja-gereja mitra di Indonesia, yakni pengembangan sumber daya, mengembangkan hubungan dialog dengan umat Islam, hubungan dengan gerakan/gereja-gereja kharismatik, dan komitmen terhadap diakonia transformatif. Upaya ini secara lebih jelas memperlihatkan usaha-usaha konkrit bersama menghadapi tantangan internal dan eksternal gereja-gereja, dan dengan menjalankan pendekatan dari bawah --berbagi-menganalisis-merancang program – bertolak dari pengalaman dan pergumulan pelayanan di lapangan.

Perhatian pada hubungan dengan gerakan/gereja Pentakosta-Kharismatik juga merupakan agenda ekumenis penting. Gereja-gereja Pentakosta-Kharismatik makin berkembang pesat di seluruh dunia, juga dengan melakukan pembaptisan ulang warga gereja-gereja lain, dan di Indonesia menimbulkan konflik dengan gereja-gereja dan dengan kalangan non-Kristen karena militansinya dalam merekrut anggota. Kemampuannya mengembangkan diri dengan pendekatan organisasi moderen dengan pelayanan berkelas mempesona kaum muda serta kelas menengah, dan dengan demikian sangat berkecukupan secara finansil. Jumlah warganya terus bertambah dan tempat-tempat ibadah dan pola ibadahnya sesuai dengan sifatnya sebagai mega church. Tetapi orientasi ritual-seremonial serta pada sukses materi menjadikan kepekaan sosialnya tumpul. Prinsip-prinsip kebenaran sendiri menjauhkan mereka dari hubungan-hubungan ekumenis, dan memperlakukan warga gereja lain bukan sebagai sesama orang percaya.

Hubungan dengan Islam salah satu agenda penting ekumenis gereja-gereja di Indonesia. Sejarah hubungan penganut kedua agama di dalam sejarah dunia dan sejarah Indonesia adalah sejarah panjang permusuhan, yang diperparah oleh berbagai pekembangan politik dan ekonomi, serta teologi misi. Hubungan baik kedua (dan semua) penganut agama diakui merupakan kunci bagi masa depan, karena itu bukan sekadar perlu saling mengerti dan bertoleransi, melainkan mengembangkan tanggung jawab bersama dalam bersama-sama membangun kehidupan bersama yang adil, damai dan sejahtera. Sebab itu pula gereja-gereja perlu meluruskan panggilan diakonianya, bukan sekadar belas kasih karitatif, melainkan kepekaan terhadap nasib orang miskin dan kritik-profetis terhadap struktur-struktur yang menciptakan kemiskinan, untuk mengembangkan diakonia transformatif (pemberdayaan dan pendampingan) dan reformatif (perjuangan bersama di bidang sosial dan politik untuk pembaruan sosial-politik bagi kesejahteraan rakyat).

Panggilan sosial makin mengemuka sebagai agenda gereja, agenda gerakan ekumene. Berbeda dengan sebelumnya, amanat agung Kristus tidak lagi menunjuk pada amanat penginjilan (Mat 28), melainkan pada amanat kasih (Mat 22), yaitu kasih kepada Allah dan kepada sesama, yang diwujudkan dalam berbagai aspek kepedulian dan perjuangan sosial. PGI mengidentifikasi bahwa konflik, kekerasan dan korupsi makin membudaya, sementara kolusi penguasa dan pengusaha dalam mengeksploitasi SDA (hutan, tambang, sungai, laut) makin berkembang seiring pemekaran kabupaten dalam salah kaprah desentralisasi.

Pentas Kolosal?

Salah satu aspek gerakan ekumene di Indonesia adalah hubungannya dengan perkembangan ekumene mondial. Berbagai perkembangan penting dalam gerakan ekumene sedunia dalam lingkaran DGD bergema kuat di Indonesia. Beberapa tokoh gereja Indonesia duduk dalam badan pengurus DGD. Pada tahun 1975 Indonesia mendapat kesempatan menjadi tuan rumah SR DGD, namun terpaksa dipindahkan ke negara lain karena penolakan unsur-unsur radikal dalam negeri. DGD mengembangkan keesaan gereja dalam pendekatan rekonsiliasi antara tradisi-tradisi utama kekristenan, khususnya Reformasi (Reform, Lutheran dan Anglikan), Roma Katolik dan Gereja-gereja Ortodoks. Sebab itu masalah-masalah Faith and Order dirundingkan, yang al. berhasil menetapkan dokumen Baptisan, Perjamuan dan Pelayanan Gereja (BEM). DGD berakar dari gerakan misi, dan karena itu juga kuat perhatian pada pekabaran Injil. Bidang Misi dan Penginjilan DGD mempersiapkan suatu dokumen pandangan DGD mengenai misi dan evangelisasi, yang akan ditetapkan pada SR X DGD di Busan, Korea bulan Oktober-November mendatang. Dokumen berjudul “Together Towards Life: Mission and Evangelism in Changing Landscapes” (112 points, lebih 12.400 kata) merupakan dokumen misi DGD kedua -- yang pertama ditetapkan pada tahun 1982. Dokumen baru ini memberi penekanan pada kehidupan, bukan yang di sorga kelak, melainkan kehidupan manusia dan seluruh ciptaan di masa kini dengan segala permasalahannya. Merupakan fokus panggilan ekumenis dewasa ini untuk membela kehidupan dan memelihara seluruh ciptaan dari berbagai kuasa kebinasaan, yang berakar dalam struktur-struktur kuasa yang korup dan menghisap, yang al. nampak dalam ketidakadilan dan pelanggaran HAM, intoleransi, ketamakan, pencemaran ekologi, dsb. SR X DGD akan diselenggarakan dengan tema "God of life, lead us to justice and peace", yang diinspirasi oleh konteks kepelbagaian Asia dan oleh mendesaknya kebutuhan merawat kehidupan dan mencari keadilan.

DGD bukan satu-satunya lembaga keesaan gereja sedunia. Kalangan gereja-gereja Protestan Injili membentuk World Evangelical Alliance (WEA). Di samping itu ada pula badan-badan ekumene sedunia lainnya, yang lebih bersifat denominasi, seperti Reform (WCRC, dulu WARC dan REC) dan Lutheran (LWF). Gereja-gereja di Indonesia juga menjadi anggota badan-badan ekumenis itu. Dan semua itu belum juga dianggap cukup, sehingga suatu wadah baru dibentuk, The Global Christian Forum (GCF), dalam suatu pertemuan di Nairobi tahun 2007, dan melangsungkan pertemuan ke-2 tahun 2011 yang lalu di Manado. Tujuan wadah baru ini adalah menyediakan tempat di mana wakil-wakil semua gereja-gereja Kristen utama dan rumpun gereja-gereja, dan organisasi internasional mereka dapat duduk bersama satu meja, yang tidak terikat pada struktur-struktur yang ada”.

Persiapan delegasi Asia ke SR DGD membahas isu-isu keadilan dan perdamaian serta pluralitas di Asia. Demikian juga Executive Meeting of WCRC yang sedang berlangsung di Ghana.[7] Komitmen pada keadilan dan perdamaian membuka pintu-pintu gereja bagi gerakan ekumene secara lintas iman. Pada permukaannya ini suatu pendetakan kebersamaan semua umat beragama untuk bersama-sama membangun masa depan bersama; dan lebih dalam lagi keyakinan iman bahwa Tuhan memanggil semua umat-Nya dalam misi-Nya mewujudkan keadilan dan perdamaian dunia.

Sementara itu, suatu acara Perayaan Keesaan (Celebration of Unity), yang disebut sebagai pre-event General Assembly WCC, akan diselenggarakan di Jakarta dihadiri undangan 300-an sinode dan undangan gereja-gereja/badan-badan ekumenis dari luar negeri. Selain “seminar” acara puncak dipersiapkan berupa “pentas kolosal yang akan menampilkan tarian kolosal, paduan suara, hiburan dari artis-artis serta peneguhan Ikrar Nasional Kesatuan Gereja” bertempat di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Apakah keliru menghubungkan pola perayaan kolosal ini dengan mega churches? Barangkali ini yang disinyalir seorang rekan sebagai mengaburnya vision and mission gerakan ekumene digantikan fashion.

Dalam kaitan itu, perayaan keesaan gereja dalam kemeriahan show bizz seperti ini saya anggap tidak peka terhadap konteks pergumulan gereja-gereja di Indonesia menghadapi berbagai kesulitan, seperti perusakan dan pelarangan membangun tempat beribadah, bahkan sampai beribadah Minggu di pinggir jalan! Juga tidak sejalan dengan tema SR X DGD, Tuhan, tuntunlah kami pada keadilan dan damai …

Pembiayaan merupakan salah satu faktor penting dalam gerakan ekumene. Pada abad lalu, gerakan ekumene muncul dan berkembang di kalangan gereja-gereja Eropa Barat dan Amerika Utara, yang kuat membiayai berbagai program dan pertemuan gerakan ekumene. Jika tidak demikian, banyak gereja-gereja di dunia ketiga yang jelas tidak mampu membiayai perjalanan ekumenis utusannya. Bukan rahasia bahwa banyak gereja-gereja anggota badan-badan ekumenis menunggak iuran bertahun-tahun. Kekristenan di abad ke-21 pindah ke Selatan, yang jumlah warganya besar tetapi lemah secara finansil, sementara kekuatan finansil gereja-gereja di Eropa Barat dan Amerika Utara makin melemah.

TUGAS:

Catatlah hal-hal penting yang terdapat pada materi kemudian kirimkan ke WA guru mata pelajaran 085239027050 (Ibu Mety), ini sekaligus merupakan absensi