Tujuan diterapkan Poenale Sanctie pada Masa Politik Pintu Terbuka adalah memberi hukuman kepada

Pengerahan tenaga kerja secara besar-besaran pada masa politik pintu terbuka menyebabkan kebutuhan akan tenaga kerja sangat diperlukan. Tenaga kerja banyak didatangkan dari Pulau Jawa untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan di luar Pulau Jawa. Untuk mencegah kaburnya tenaga kerja maka dibuatlah peraturan kerja bagi para pekerja atau disebut Koeli Ordonantie tahun 1881. Dalam peraturan tersebut, terdapat aturan mengenai hukuman yang diberikan kepada kuli yang dianggap melanggar kontrak perjanjian yang disebut poenale sanctie.

Dengan demikian, poenale sanctie adalah  hukuman yang diberikan kepada  para tenaga kerja yang melanggar perjanjian kontrak kerja.

Tujuan diterapkan Poenale Sanctie pada Masa Politik Pintu Terbuka adalah memberi hukuman kepada

Tujuan diterapkan Poenale Sanctie pada Masa Politik Pintu Terbuka adalah memberi hukuman kepada
Lihat Foto

Leiden University Libraries (KITLV 12204)

Sejumlah literatur mencatat jumlah perkebunan meningkat di Priangan setelah kereta api hadir sebagai moda transportasi. Pada tahun 1902 di seluruh Hindia Belanda terdapat lebih kurang 100 perkebunan teh; 81 di antaranya terletak di Jawa Barat.

KOMPAS.com - Penerapan Sistem Tanam Paksa di Indonesia mendapatkan pertentangan dari golongan liberalis dan humanis Belanda.

Kaum liberal kemudian memenangkan suara di parlemen Belanda, sehingga di Indonesia mulai berlaku sistem politik yang baru, yakni Politik Kolonial Liberal atau Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy).

Politik Pintu Terbuka adalah sebuah sistem di mana pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pihak swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Pada periode ini, tanah dan tenaga kerja dianggap sebagai milik perorangan (pribadi), tanah rakyat dapat disewakan dan tenaga kerja dapat dijual.

Oleh karena itu, terdapat kebebasan dalam memanfaatkan tanah dan tenaga kerja.

Tujuan Belanda menerapkan Politik Pintu Terbuka adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat jajahan.

Dalam mencapai tujuan tersebut, pemerintah Belanda mengeluarkan beberapa undang-undang sebagai berikut.

  • Undang-Undang Perbendaharaan (Comptabiliteits Wet). Undang-undang yang dikeluarkan pada 1864 ini mengatur setiap anggaran belanja Hindia Belanda yang harus disahkan oleh parlemen dan melarang mengambil keuntungan dari tanah jajahan.
  • Undang-Undang Gula (Suikers Wet). Undang-undang yang disahkan pada 1870 ini mengatur perpindahan monopoli tanaman tebu dari pemerintah ke tangan swasta.
  • Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet). Undang-undang ini dikeluarkan pada 1870 dan mengatur tentang dasar-dasar politik tanah.

Baca juga: Undang-Undang Agraria 1870: Isi, Tujuan, Pengaruh, dan Pelanggaran

Faktor pendorong dijalankannya Politik Pintu Terbuka

  • Jawa menyediakan tenaga buruh yang murah
  • Kekayaan alam Indonesia yang melimpah
  • Banyaknya modal yang tersedia karena keuntungan sistem tanam paksa
  • Adanya bank-bank yang menyediakan kredit bagi usaha-usaha pertanian, pertambangan, dan transportasi

Pelaksanaan Politik Pintu Terbuka

Politik Pintu Terbuka berlangsung antara tahun 1870, sejak peresmian Undang-Undang Agraria, hingga 1900.

Seiring dengan dimulainya pelaksanaan Politik Pintu Terbuka, para pengusaha swasta Barat mulai berdatangan ke Hindia Belanda.

Mereka menanamkan modal dengan membuka perkebunan seperti perkebunan teh, kopi, tebu, kina, kelapa sawit, dan karet.

Tujuan diterapkan Poenale Sanctie pada Masa Politik Pintu Terbuka adalah memberi hukuman kepada

Tujuan diterapkan Poenale Sanctie pada Masa Politik Pintu Terbuka adalah memberi hukuman kepada
Lihat Foto

Tropenmuseum

Para pekerja kontrak atau kuli di perkebunan tembakau.

KOMPAS.com - Poenale Sanctie (sanksi hukum) adalah suatu peraturan yang memuat ancaman hukuman terhadap para buruh atau disebut kuli yang tidak menepati kontrak kerja yang telah mereka ikuti.

Kebijakan ini pertama kali diterapkan bagi perusahaan pertanian dan industri di Sumatera Timur pada 1880.

Poenale Sanctie merupakan usaha pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi kaum modal asing agar para buruh tidak melarikan diri.

Dengan menggunakan Poenale Sanctie, secara sosial buruh kontrak dapat ditundukkan dan secara politik tidak berbahaya bagi para pengusaha perkebunan.

Latar belakang dicetuskannya Poenale Sanctie

Penerapan politik liberal di Indonesia menggantikan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) membuka peluang bagi pihak swasta untuk turut membangun perekonomian.

Hal ini kemudian berakibat pada munculnya perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia, salah satunya perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur.

Untuk keperluan itulah, pemerintah kolonial mendatangkan tenaga kerja yang kemudian disebut kuli di bawah sistem kerja kontrak.

Dengan dihapusnya perbudakan, sistem kerja kontrak dianggap sebagai jalan paling logis bagi perkebunan di Sumatera Timur untuk dapat menahan pekerjanya selama beberapa tahun.

Pada 1880, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pertama mengenai persyaratan hubungan kerja kuli kontrak di Sumatera Timur yang disebut Koelie Ordonnantie atau Undang-Undang Kuli.

Dalam kontrak Koelie Ordonnantie termuat Poenale Sanctie, yaitu sanksi hukuman yang diberikan apabila kuli lalai atau melanggar kontrak.

Baca juga: Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Aturan, Kritik, dan Dampak

Kuis (Jum'at Berkah)Sebutkan 37 Provinsi Di Indonesia!​

1. Semua pelaut wajib memiliki sertifikatSecurity Awearness (SAT), Diatur dalam​

program kerja sekbit 5 smp,tlg jwb dong​

Quizznegara di Asia tenggara yang belum masuk menjadi anggota ASEAN ialah​

Perhatikan syarat modernisasi berikut: 1.Cara berpikir ilmiah di semua kalangan masyarakat 2.Desentralisasi wewenang dalan pelaksanaan perencanaan sos … ial 3.Penciptaan iklim yang kontruktif terkait penggunaan alat komunikasi 4.Adanya sistem pengumpulan data yang sistematis dan efisien 5.Sentralisasi wewenang dalan pelaksanaan perencanaan sosial Pernyataan yang benar terkait syarat-syarat modernisasi ditinjukan oleh nomor... a. 1,2,3 b. 1,3,4 c. 1,4,5 d. 2,4,5

1) apa pengaruh globalisasi untuk unia pendidikan? 2) apa penyebab buruknya pendidikan di era globalisasi? keterangan di atas terdapat pada bagian . . … . karya ilmiah

18.pemegang kekuasaan tertinggi pada koperasi sekolah adalah … a.kepala sekolah b.rapat anggota c.guru d.ketua koperasi e.komite sekolah

37.globalisasi mengaburkan batas dan jarak antarnegara. globalisasi dapat berdampak positif dan negatif bagi masyarakat. salah satu dampak positif glo … balisasi adalah

4.menyampaikan segala laporan pemeriksaan atas tata kehidupan koperasi kepada rapat anggota, merupakan kewajiban dari

Agar tidak terjadi konflik dalam suatu negara, dibutuhkan adanya integrasi. integrasi adalah

tirto.id - Dihapuskannya Tanam Paksa pada 1870 tidak memberikan kemudahan apa pun bagi buruh dan kaum tani. Sistem pembayaran pajak tanah menggunakan tanaman bernilai ekspor ini dengan cepat digantikan sistem ekonomi uang yang dibawa oleh pemodal asing. Bermula dari pengesahan Undang-Undang Agraria 1870, orang-orang Eropa dari luar lingkaran pegawai kolonial beramai-ramai menginvestasikan uangnya di negara koloni.

Jan Breman, Profesor Emiritus Sosiologi di University of Amsterdam, dalam Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial (1986: 38), berpendapat liberalisme ekonomi yang baru terjadi di Nusantara kala itu dengan segera memunculkan transisi buruh tani ke tenaga kerja bebas. Petani yang tidak memiliki tanah untuk disewakan terdorong untuk mencari kerja atas kehendak sendiri di berbagai proyek kolonial dan perkebunan swasta.

Celakanya, tenaga kerja murah dan melimpah diperoleh dengan jalan paksaan. Di buku yang sama, Breman mengimbuhkan bahwa demi memenuhi kebutuhan tenaga kerja, para majikan kulit putih tidak segan menerapkan kontrak yang mengikat. Selama kontrak, para buruh dilarang meninggalkan pekerjaannya karena mereka sudah mendapat pembayaran di muka. Tidak sedikit pula yang harus tinggal di barak-barak penampungan dan menjalankan kerja wajib tanpa upah tambahan.

Perjanjian kerja yang sangat mencekik ini semakin berat tatkala pemerintah kolonial menerbitkan Koeli Ordonantie atau Undang-Undang Kuli pada tahun 1880. Pembukaan perkebunan besar-besaran yang diikuti peningkatan tajam kebutuhan buruh di Sumatra Timur, membuat pemerintah merasa perlu mengatur perilaku sekaligus menghukum para buruh perkebunan yang dianggap merepotkan pengusaha Eropa. Butir-butir hukuman yang kelewat kejam ini kemudian dikenal dengan sebutan poenale sanctie (sanksi pidana).

Baca juga: Bachtiar Siagian, Sineas Lekra dan Kuli Kontrak Perkebunan Deli

Buruh Malas dan Buruh Rajin

Berbeda dengan Jawa yang sudah menyaksikan pertumbuhan jumlah perkebunan besar sepanjang masa Tanam Paksa (1830-1870), eksploitasi kekayaan alam di Sumatra waktu itu baru berada pada tahap awal. Sistem ekonomi liberal yang datang setelahnya menandai terbentuknya masyarakat perkebunan Sumatra Timur yang terkonsentrasi di wilayah Kesultanan Deli.

Dalam berbagai catatan sejarah kolonial, sosok Jacobus Nienhuys dianggap sebagai peletak dasar budaya tembakau yang memakmurkan pesisir timur Sumatra setelah berhasil membuka wilayah itu pada 1863. Perusahaan Deli Maatschappij yang dia dirikan enam tahun setelahnya merupakan perusahaan perkebunan swasta pertama dan terbesar di masa kolonial. Menurut mitos, Nienhuys seorang diri merintis daerah yang nyaris kosong dan kumuh di Deli menjadi perkebunan tembakau raksasa dengan ratusan ribu buruh.

Jan Bremen dalam karyanya yang lain, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20 (1997: 18), mengisahkan Nienhuys tidak datang ke Deli secara kebetulan melainkan diundang. Penguasa tanah itu rupanya pernah mengutus seorang Arab ke Jawa untuk menarik minat perusahaan dagang terhadap peluang ekonomi setempat. Nienhuys, mewakili kongsi dagang asal Rotterdam, menjadi orang Belanda pertama yang menanamkan modalnya setelah Sultan Deli mengizinkannya menanam tembakau di tanah seluas 25.000 hektare tanpa uang sewa.

Pada masa permulaan, tenaga kerja jauh lebih langka dibandingkan ketersediaan tanah. Nienhuys, sang perintis, awalnya menerapkan sistem upah agar orang-orang Batak dan Melayu di pesisir timur mau berpartisipasi menanam tembakau. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil karena sebagian orang Melayu menolak kerja upahan, sementara orang Batak menganggapnya “tidak layak."

Kesal diperlakukan demikian, Nienhuys lantas menjuluki mereka sebagai bangsa pemalas. “Penduduk setempat bukanlah tenaga kerja yang cocok karena tak punya disiplin dan malas. Orang Batak adalah bangsa yang umumnya bodoh," catat Bremen, mengutip tulisan Nienhuys yang terbit di De Indische Mercuur (1888). Pendapatnya ini seolah dianggap menjadi kebenaran ketika di kemudian hari semakin banyak orang Eropa mengikuti jejak Nienhuys membuka perkebunan.

Masih menurut Bremen, dari sinilah Nienhuys memutuskan merekrut buruh dari luar Sumatra. Dia berusaha mendatangkan sepuluh orang haji dan para muridnya dari Penang untuk ikut bekerja. Tetapi bukannya datang ke Deli, sebagian besar dari mereka malah mangkir dan memilih kembali mengajar agama ketimbang melakukan kerja upahan. Pada tahun 1865, Nienhuys berhasil mendatangkan 120 buruh Cina dari Semenanjung Malaya yang dia anggap lebih rajin.

Tak lama kemudian, tembakau terbukti menjadi komoditas yang menguntungkan di Eropa. Jumlah tuan kebun di Sumatra Timur meningkat drastis diikuti sikap persaingan dalam mendapatkan tenaga kerja kontrak. Sementara para majikan bersusah payah mempertahankan kesetiaan buruh mereka, Nienhuys pulang ke Belanda sebagai orang berpengaruh yang kekayaannya mencapai setengah juta gulden.

Baca juga: Sejarah Tembakau Rakyat yang Berjasa Membuat Petani Bisa Berhaji

Strategi Menjinakkan Buruh

Seperti halnya yang pernah dialami Nienhuys, pelarian buruh perkebunan merupakan masalah akut bagi tuan kebun Deli jelang akhir abad ke-19. Akan tetapi, berbeda dibandingkan sebelumnya, kondisi kerja yang buruk pada waktu itu merupakan alasan bagi sebagian buruh untuk melarikan diri. Kehebohan soal tindakan tuan kebun yang semena-mena menganiaya seorang buruh hingga meninggal dunia bahkan sempat mendapat pemberitaan besar.

Pada 1879, para tuan kebun membentuk Deli Planters Vereeniging (Perhimpunan Tuan Kebun Deli) yang secara khusus mengurusi masalah buruh sambil berusaha menjaga citra perkebunan Deli. Mereka memberlakukan denda berupa pengurangan upah kepada buruh yang berusaha melarikan diri atau mengikat kontrak di tempat lain. Tidak tanggung-tanggung, komite tuan kebun juga mempekerjakan barisan penjaga dari suku setempat yang siap memburu para pelarian.

Berbagai upaya komite tuan kebun mengisi kebutuhan tenaga kerja murah membuat Deli dipenuhi berbagai kasus penyiksaan terhadap buruh. Kabar penyiksaan terhadap beberapa tenaga kerja yang berasal dari wilayah kekuasaan Inggris di Malaya lama-kelamaan membuat malu Parlemen Kerajaan Belanda. Padahal sebelumnya, pemerintah kolonial sempat membesar-besarkan jaminan keselamatan kerja bagi setiap buruh perkebunan Deli.

Tujuan diterapkan Poenale Sanctie pada Masa Politik Pintu Terbuka adalah memberi hukuman kepada

INFOGRAFIK Poenale Sanctie

Demi memuaskan komite tuan kebun yang menghendaki hukuman bagi buruh pembangkang, pemerintah kolonial mengesahkan Undang-Undang Kuli pada 1880. Isi pokoknya berputar di sekitar aturan pemberian kontrak, upah, izin tertulis bagi yang ingin keluar perkebunan, dan hukuman (poenale sanctie). Perjanjian kerja yang disesuaikan setelahnya wajib disepakati setiap buruh kendati sebagian besar dari mereka tidak bisa membaca.

Menteri Urusan Tanah Jajahan, Otto van Rees, sempat mengkritisi poenale sanctie dalam Undang-Undang Kuli yang justru dibuat sekadar menguntungkan majikan. Dia menunjuk keberadaan peraturan yang hanya samar-samar menyebut kemungkinan pelanggaran oleh tuan kebun. Secara garis besar, poenale sanctie membuat perkebunan besar di Sumatra Timur jadi tampak seperti tangsi militer yang kelewat keras.

Jika dianggap terbukti membangkang, baik buruh laki-laki maupun perempuan akan dihukum dengan cara diikat dan dipukuli di depan umum untuk menakuti buruh lain. Buruh perempuan yang tertangkap ada kalanya pula ditelanjangi dan diarak mengelilingi barak buruh laki-laki sambil dipukuli. Sementara, laki-lakinya ada yang digantung terbalik, dicambuk, bahkan diseret kuda. Tidak sedikit dari mereka yang meninggal atau malah memilih bunuh diri karena tidak tahan dengan rasa malu.

Baca juga: Pembunuhan Buruh Marsinah dan Riwayat Kekejian Aparat Orde Baru

Ann Laura Stoler dalam Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979 (1995) mencatat adanya polemik di kalangan orang Belanda terkait kabar kekejaman dalam poenale sanctie. Praktik pemerasan tenaga yang berlebihan ini membuat tokoh-tokoh sosialis Belanda merasa gelisah. Tidak sedikit di antara mereka yang melancarkan kritik berulang-ulang sambil membandingkan kondisi kerja dan hidup kaum buruh di perkebunan Deli dengan perbudakan modern.

Pada 1902, seorang tokoh sosialis sekaligus pengacara di Keresidenan Sumatra Timur, J. van den Brand, memutuskan membeberkan bentuk-bentuk penyiksaan yang dia saksikan dalam lembaran brosur bertajuk De Millioenen uit Deli. Tulisannya yang menggebu dan penuh kemarahan pada praktik kolonial khas gaya Multatuli ini dianggap menyebarkan fitnah, tetapi di saat bersamaan juga berhasil membakar semangat perubahan pada nasib buruh perkebunan.

Sayangnya, harapan Van den Brand menghapus poenale sanctie tidak bisa terjadi dalam semalam. Kebiasaan menghukum yang dilakukan mandor kulit putih kepada buruh kulit berwarna sudah begitu mengakar, sehingga ketika ordonansi kuli dihapus pada 1915, penderitaan fisik para buruh tidak ikut berakhir. Poenale sanctie baru berhasil dihapus pada 1930 berkat perjuangan Mohammad Husni Thamrin dalam sidang Volksraad.

Baca juga: Husni Thamrin, Pahlawan Betawi yang Berjuang di Volksraad

Baca juga artikel terkait BURUH PERKEBUNAN atau tulisan menarik lainnya Indira Ardanareswari
(tirto.id - ina/irf)


Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh

Subscribe for updates Unsubscribe from updates