Suku yang mendiami mesir ketika umar bin khattab menaklukan wilayah tersebut adalah bangsa

buku.tokobagus.com

Sampul depan buku Sang Legenda Umar bin Khattab.

Red: Heri Ruslan

REPUBLIKA.CO.ID,  Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, khilafah Islam berhasil menaklukkan seluruh wilayah Suriah. Wilayah pertama yang takluk adalah Damaskus, pada tahun 635 M. Sedangkan penaklukan kedua berhasil membuat Yerussalem berlutut di hadapan kepemimpinan Islam. Kedua penaklukan tersebut dicapai dengan pertempuran yang dipimpin panglima Khalid bin Walid. Saat Damaskus menyerah, penduduknya memperoleh jaminan keamanan dalam hal harta, nyawa, bahkan tempat ibadah mereka (gereja), dengan syarat mereka membayar upeti atau jizyah. Ketika Kaisar Romawi, Heraklius, mengetahui kemenangan pasukan Islam, ia mengerahkan empat pasukan besar untuk menghadapi mereka. Di tempat terpisah, laskar Islam menghadapi kesulitan yang berat, sehingga para panglimanya bermusyawarah untuk mencari jalan keluar. Dalam musyawarah tersebut, Amru bin al-'Ash mengusulkan agar pasukan Islam berkumpul di suatu tempat untuk menghadapi perlawanan Romawi secara bersama-sama di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Tempat yang dimaksud adalah tepi Sungai Yarmuk (anak Sungai Sei, Yordania) yang bernama Wakusah.Pendapat tersebut disetujui oleh Umar. Maka berkumpullah 40 ribu pasukan Islam di Wakusah guna menghadapi Romawi. Pertempuran berlangsung hebat karena pasukan Romawi yang berjumlah enam kali lebih banyak dari pasukan Islam. Meski demikian, pertempuran berakhir dengan kekalahan Romawi pada tahun 636 M.Pasukan Islam akhirnya berhasil merebut kembali wilayah Damaskus dan Yerussalem pada tahun 640, yang sekaligus menjadi momen berakhirnya penaklukan Suriah secara total. Khalifah Umar kemudian membagi Suriah menjadi empat distrik, yakni Damaskus, Hims, Yordania, dan Palestina. Ia memerintahkan seluruh tentara Islam agar tetap tinggal di barak-barak militer, sehingga kehidpan masyarakat lokal tidak terganggu.Setelah itu, banyak di antara masyarakat yang telah lama menetap di Suriah beralih memeluk Islam. Mereka terdiri dari berbagai suku Arab, dan juga suku Ghassan. Umar juga memberlakukan toleransi beragama sehingga menciptakan citra positif Islam di mata umat Kristen dan Yahudi, mengingat mereka kerap dianiaya pada masa kekuasaan Romawi.Pemungutan jizyah secara berlebihan dan dengan pemaksaan dihindari, petani diminta membayar zakat dengan penyesuaian terhadap hasil panen mereka. Hal-hal tersebut diyakini menjadi faktor penting suksesnya pemerintahan Islam menata wilayah kekuasaannya.

Setelah Islam berhasil menaklukkan Suriah yang terletak di wilayah barat, pasukan Islam dapat memfokuskan diri untuk penaklukan ke wilayah Timur, yakni Kekaisaran Sassaniyah Persia. Setelah Sassaniyah takluk, pasukan Islam menargetkan penaklukan provinsi Bizantium, Aegiptus.

Suku yang mendiami mesir ketika umar bin khattab menaklukan wilayah tersebut adalah bangsa

Masukan adalah salah satu cara menyelamatkan pemimpin dari jurang kesalahan.

Wordpress.com

Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)

Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Begitu berat kesedihan yang dirasakan pria bernama Abdullah bin Utsman bin Amir. Betapa tidak, ia baru saja kehilangan sahabat perjuangan, penunjuk jalan hidup, hingga saudara yang ia cintai.

Jasad orang yang ia cintai masih terbujur. Kesedihan belum juga reda darinya. Namun, kaum Muslimin bersepakat, pria yang akrab disapa dengan nama kuniyah Abu Bakar ini diangkat menjadi pemimpin kaum Muslimin.

Maka, saksikanlah pidato Abu Bakar yang digelari as-Shidiq karena benar lagi membenarkan ini setelah urusan kaum Muslimin dipikulnya.

“Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik  di antara kamu. Maka, bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi bila aku bertindak salah, betulkanlah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku.”

Abu Bakar as-Shidiq RA telah memberikan garis tegas dalam kepemimpinannya. Sepanjang ia berjalan dalam rel ketaatan Allah dan Rasul-Nya maka tak ada alasan bagi kaum Muslimin mengingkarinya. Namun, jika ia sudah melenceng, kaum Muslimin boleh berlepas darinya.

Selain itu, di masa awal kepemimpinannya, Abu Bakar telah memberikan peluang kepemimpinan partisipatif. Beliau RA tidak mengenal apa yang kini terkenal dengan perkataan Lord Acton jika kekuatan absolut cenderung koruptif. Abu Bakar membuka selebar-lebarnya peran kaum Muslimin untuk memberi ruang kritik kepadanya. Tak ada kekuasaaan absolut, alih-alih koruptif.

Pemimpin, dalam perspektif Abu Bakar, bukan yang antikritik. Pemimpin, sesuai perkataan Abu Bakar, memberikan tuntunan kapan ia boleh ditaati, kapan boleh ia dikritik. Tidak mudah tentu saja menjadi Abu Bakar. Beliau RA harus menggantikan sosok kepemimpinan seorang nabi dan rasul. Jika Rasulullah dibimbing wahyu, Abu Bakar harus menggunakan Alquran dan sunah sebagai petunjuk praktis kepemimpinannya. Ditambah, upaya ijtihadnya diuji.

Seperti, beratnya pemimpin 230 juta penduduk Indonesia. Ada ratusan juta nyawa yang ia pikul. Membayangkan yang akan dihisab di negeri akhirat saja bebannya seperti tak tertanggungkan. Maka, orang-orang yang memantapkan diri sebagai pemimpin negeri ini tentu sadar ia sedang memikul apa, bukan mencari apa.

Beban berat itu salah satunya adalah keikhlasan untuk mendengar masukan dan kritikan dari orang yang ia pimpin. Abu Bakar sahabat terbaik Rasulullah sadar, ia hanya manusia biasa yang bisa salah. Maka, ia membuka dan mengajak kaum Muslimin untuk meluruskannya jika ia khilaf. Seperti itu pula pemimpin kita. Boleh jadi, kritik dan masukan adalah upaya untuk meringankan beban tuan pemimpin yang sudah begitu berat.

Terbukalah terhadap masukan, terimalah setiap pembenahan. Tentu, tidak harus semua diakomodasi. Minimal, jangan alergi terhadap kritik, setajam apa pun.

Adalah Amr bin Ash RA, sahabat yang membebaskan Negeri Kinanah, Mesir, dan mengubahnya menjadi negeri yang dinaungi Islam. Amr diamanahi menjadi gubernur Mesir semasa pemerintahan Khalifah Umar Ibnul Khattab RA.

Amr yang notabene pemimpin tertinggi di wilayah Mesir suatu saat diadukan rakyatnya seorang Yahudi. Merasa mendapat ketidakadilan, sang Yahudi berkelana ke Madinah, hendak mengadukan masalahnya ke Khalifah Umar bin Khattab RA. Didapatinya sang khalifah sedang tidur siang di bawah pohon. Penampilan Umar memang tak seperti Kisra atau Heraklius yang menguasai dua imperium besar. Umar mendengar keluh kesah sang Yahudi, lalu mengambil tulang dan menggambar garus lurus di atasnya dengan pedang.

Disampaikannya tulang itu ke Amr bin Ash. Seketika itu, pucat pasi wajahnya hanya melihat tulang. Sang rakyat Yahudi bingung bukan kepalang. Mengapa Amr bisa begitu takut hanya dengan tulang. "Ketahuilah," Amr memulai penjelasannya, "Umar memintaku berbuat adil dan lurus seperti lurusnya garis di dalam tulang ini."

Amr, dikritik oleh rakyatnya yang bukan orang Islam. Namun, rakyatnya mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya. Kritik bukan sesuatu yang menghancurkan seseorang ke dalam nista. Namun, bisa jadi ia penyelamat sang pemimpin dari berbuat tidak adil.

Seperti lelaki yang menggaris di atas tulang itu, saat ia dilantik menjadi khalifah pun ia meminta kaum Muslimin mengawasinya. "Jika engkau salah, akan kuluruskan dengan pedang," jawab salah seorang pemuda menanggapi pidato Umar. Umar pun menerimanya sebagai sebuah kebaikan meski harus berurusan dengan pedang jika ia menyeleweng.

Suku yang mendiami mesir ketika umar bin khattab menaklukan wilayah tersebut adalah bangsa

sumber : Dialog Jumat Republika

tirto.id - Terjadi peristiwa penting dalam sejarah Islam pada 1 Ramadan 21 Hijriah atau tahun 641 Masehi. Saat itu, pasukan kaum muslimin untuk pertamakalinya menaklukkan Mesir di bawah pimpinan Amru bin Al-Ash yang sebelumnya berhasil merebut Suriah, Palestina, dan Yordania.

Mesir kala itu menjadi bagian dari kekuasaan Kekaisaran Bizantium atau Imperium Romawi Timur. Satu dekade sebelumnya, wilayah ini sempat dikuasai Dinasti Sasaniyah dari Persia. Namun, Bizantium berhasil merebutnya kembali sebelum akhirnya tunduk oleh serbuan pasukan muslim dari Arab.

Sebelum wafatnya Nabi Muhammad pada 632 M, Amru bin Al-Ash ditugaskan sebagai penarik zakat di kawasan perbatasan Syam atau Suriah. Pada era Abu Bakar Ash-Shiddiq (632-634 M), dikutip dari buku Khalid bin Al-Walid: Panglima yang Tak Terkalahkan karya Manshur Abdul Hakim (2010), Amru diberi tugas baru sebagai salah satu panglima pasukan muslim.

Peran itu berlanjut pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab (634-644 M). Sebelum menaklukkan Mesir, Amru telah berhasil menundukkan beberapa wilayah termasuk Syam, Palestina, dan Yordania. Hingga akhirnya, Umar memberikan Amru misi serupa dengan tujuan merebut Mesir yang terletak di Afrika bagian utara.

Hepi Andi Bastoni dalam Wajah Politik Muawiyah bin Abu Sufyan (2012) mengungkapkan, Amru hanya diberi 6 ribu orang prajurit (sumber lain ada yang menyebut 4 ribu) dalam misi ke Mesir tersebut. Pasalnya, pasukan inti dibutuhkan untuk berjaga-jaga dari serangan Irak yang saat itu berada di bawah kendali Dinasti Sasaniyah (Persia).

Baca juga: Yazdegerd III, Penjaga Terakhir Persia Sebelum Era Islam

Misi Penaklukan Mesir

Amru bin Al-Ash memimpin pasukan Arab, yang sebagian besar terdiri dari pasukan berkuda, menuju Mesir. Dari Suriah hingga perbatasan Palestina, rombongan prajurit ini bergerak ke Rafah lalu berbelok ke Arisy yang sudah termasuk wilayah Mesir.

Umar bin Khattab yang terus memantau pergerakan Amru sempat khawatir karena jumlah pasukan yang dibawa ke Mesir jauh lebih sedikit ketimbang angkatan perang Romawi. Khalifah Umar kemudian mengirim surat kepada Amru.

“Apabila suratku sampai kepadamu sebelum engkau memasuki Mesir, maka kembalilah. Tetapi jika engkau sudah memasukinya, lanjutkanlah dengan keberkahan dari Allah," perintah Umar kepada Amru.

Amru menerima surat tersebut sesaat setelah memasuki wilayah Arisy di pinggiran Mesir. Oleh karena itu, Amru memutuskan untuk melanjutkan misi merebut Mesir dari cengkeraman Romawi.

Dari Arisy, mereka bergerak ke selatan hingga tiba di benteng bernama Farama. Dikutip dari Buku Pintar Sejarah Islam (2014) karya Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, di sinilah terjadi pertempuran pertama antara pasukan muslim dan Romawi meletus. Perang berlangsung selama satu bulan dan dimenangkan oleh pasukan Amru.

Pasukan Amru sempat mengalami kesulitan saat hendak menyeberangi Sungai Nil. Amru pun meminta bantuan kepada Khalifah Umar dan dikirimkanlah pasukan yang menambah jumlah barisan tempur pimpinan Amru menjadi 12 ribu orang.

Baca juga: Alasan Umar bin Khattab Menolak Salat di Gereja

Strategi Amru dan datangnya tentara bantuan membuat pasukan Romawi terisolasi dan dapat dihancurkan. Benteng serta pos-pos militer terpenting Romawi pun bisa direbut oleh pasukan Arab. Misi penaklukkan Mesir pun berhasil dengan gemilang.

Berkat keberhasilan itu, Amru bin Al-Ash diangkat sebagai Gubernur Mesir dan menjadikan Kota Fustat (sekarang Kairo) sebagai pusat pemerintahan. Sebelumnya, pada 18 Hijriah atau 639 Masehi, Khalifah Umar juga telah menunjuknya sebagai Gubernur Palestina dan Yordania.

Baca juga artikel terkait SEJARAH ISLAM atau tulisan menarik lainnya Anggit Setiani Dayana
(tirto.id - asd/isw)


Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Iswara N Raditya

Subscribe for updates Unsubscribe from updates